"Nona Alissa, Anda diminta Nyonya untuk turun ke bawah ...."
Seorang pelayan datang ke kamarku untuk menyampaikan pesan. Raut wajahnya menggambarkan kecemasan dan ketakutan. Aku mengerti kalau hari ini akhirnya telah tiba, ketika satu titik kehidupanku akan berubah selamanya.
Aku segera beranjak keluar kamar. Aku bahkan tidak sempat merias wajah atau merapikan pakaian sama sekali. Aku terlalu sibuk berpikir tentang apa yang aku lakukan nanti agar terhindar dari awal kematian yang menunggu di lantai satu mansion ini.
Setibanya aku di lobi, bau anyir darah yang menguar di udara segera merasuki rongga hidung. Muak sekali rasanya, seperti aroma di rumah sakit. Percikan cairan merah kental mengotori dinding rumah terlihat di sana-sini. Kedua kakak laki-lakiku meringkuk dengan ikatan tali kencang yang melilit tangan mereka.
Duchess Valcke hanya bisa menitikkan air mata melihat kedua putranya dalam keadaan seperti itu. Beberapa prajurit kerajaan tampak memenuhi sisi ruangan, sementara para prajurit Dukedom Valcke tergeletak di sekitar meringis kesakitan. Kulihat, bahkan beberapa sudah tak bernyawa dengan luka sayatan pedang di seluruh tubuh. Satu orang berpakaian zirah besi tebal berdiri di tengah-tengah, menampilkan bilah pedang panjang nan tajam.
Sosok tersebut mengarahkan ujung pedangnya pada leher salah satu kakakku. Sosok bertampang sangar yang akan menakuti siapa pun yang bertemu pandang dengannya. Sosok yang ditakuti warga seluruh negeri saat ini karena dia lah biang masalah peperangan politik yang terjadi.
Sosok ini menutupi sebagian wajahnya dengan kain guna menutupi mulut. Akan tetapi, tanpa dibuka pun, aku sudah mengetahui wajah siapa yang berada di balik kain tersebut.
Pangeran Rion Ardinand Glassheight.
Aku yakin semua orang melihat ke atas ketika diriku menuruni tangga, tak terkecuali Pangeran Rion. Aku bertemu pandang pada pria tersebut. Meskipun semua warga takut pada pangeran, tetapi tidak bagiku. Kuturuni tangga dengan langkah yang mantap, lalu berdiri berhadapan dengan sang Pangeran.
"Nak, maafkan---"
"Tidak apa, tidak perlu meminta maaf," ucapku, memotong perkataan Duchess Valcke.
Aku mendongak supaya dapat melihat jelas wajah Pangeran Rion. Ada goresan bekas luka melintang melewati kelopak mata kiri pria tersebut. Rasanya aneh sekali, karena aku sangat mengenali goresan luka itu. Bahkan, aku pun mengetahui semua letak luka yang didapatkan sang pangeran sejak masa kecilnya. Kutatap Pangeran Rion dengan pandangan lembut, seperti seorang ibu pada anaknya.
Inikah karakter yang kutuliskan dalam cerita "Ksatria Lucius"? Akhirnya, aku bertemu dengan anak fiksiku!
"Hey, wanita! Berani sekali kau tersenyum di hadapanku, padahal aku tidak memintanya!"
"Awww!"
Pangeran Rion menghardikku, lalu mendorong keras tubuhku hingga tersungkur dan menghantam lantai. Benar-benar tanpa belas kasih, padahal lemak di tubuhku tak ada setengah pun dari besar otot di bisepsnya. Hanya karena tadi aku tak sengaja menampilkan sedikit senyum di wajah mengingat bahwa pangeran di hadapanku ini adalah karakter buatanku.
"Beraninya kau berbuat kasar pada adikku!" Rupanya kakakku tak tahan melihatku diperlakukan semena-mena.
"Tutup mulutmu, atau aku harus memenggalmu supaya ada seorang adik yang akan kehilangan kakaknya di sini!"
"Sudah cukup!" Kulerai perdebatan mereka dengan teriakanku. "Aku tidak apa-apa, Kak, jangan khawatir."
Aku kembali berdiri. Meski pun aku telah mengetahui jalan cerita dan seluruh adegan yang akan terjadi hari ini, tetapi tetap saja, didorong sekeras itu akan menimbulkan rasa sakit juga..
Sabar, sabar ... Aku yang menuliskan karakternya seperti itu. Aku harus sabar pada karakter ciptaanku sendiri.
Sudah delapan belas tahun sejak aku lahir dan tinggal di kerajaan Glassheight sebagai Alissa. Semenjak itu pula, tidak ada yang mengetahui bahwa aku, putri keluarga Duke Valcke, memiliki satu identitas berbeda yang selama ini tidak pernah diketahui orang lain.
Namaku sebelum menjadi Alissa adalah Masya, seorang penulis novel online ternama dari bumi yang karena suatu hal, bereinkarnasi menjadi Alissa, si figuran wanita dalam novel pria berjudul "Ksatria Lucius". Aku mengetahui semua adegan dalam cerita ini, karena aku lah penulis novel tersebut.
Kemudian, yang ada di hadapanku ini adalah Pangeran Rion, si antagonis dalam cerita. Meskipun marah, aku tidak bisa melampiaskan emosiku, karena aku sendiri lah yang menciptakan karakter sang pangeran seperti itu.
Pangeran Rion meraih daguku dan mengangkatnya ke atas, lalu mengamati wajahku lekat-lekat.
"Oh, lumayan juga calon istriku ini."
Pangeran Rion menurunkan kain penutup yang terpasang di wajahnya.
Lho, Mas Dion?
Begitu wajah pangeran tersingkap, aku merasa sangat mengenalinya. Bukan karena dia adalah karakter ciptaanku, tapi karena wajahnya sangat mirip dengan seseorang yang sangat kukenal saat masih menjadi Masya.
Mas Dion, suamiku saat aku masih hidup di bumi.
"Kamu--- hmphhh!"
Sebuah ciuman kasar mendarat di bibirku. Ciuman Pangeran Rion begitu kasar seolah hendak memakanku. Wajah ini memang sering menciumku dulu, tapi tidak pernah sekasar ini. Bahkan terlalu lembut, karena pria itu begitu menyayangiku dengan segenap jiwa.
"Hahhh! Hahhh!"
Akhirnya ciuman itu terlepas juga! Ciuman Pangeran Rion membuatku benar-benar tak bisa bernapas. Aku sungguh tak habis pikir, mengapa perlakuan Mas Dion beda dari yang selama ini aku kenal?
"Ma-Mas Dion?" Aku mendekat, lalu meraba-raba seluruh wajah Pangeran Rion.
"Ini benar kamu, Mas? Kamu selamat dari kejadian malam itu?"
Selama ini, aku selalu menggambarkan wajah tokoh-tokoh karanganku tidak terlalu mendetail. Aku tidak pandai membuat character building yang terlalu kompleks. Sepenuhnya kuserahkan pada pembaca untuk berkhayal seperti apa visualisasi tokoh yang mereka inginkan. Pengecualian untuk karakter Alissa, karena aku menjadikan wajahku sendiri sebagai model untuk deskripsi rupa tokoh figuran penting tersebut.
Begitu pula dengan tokoh Pangeran Rion, aku tidak pernah terlalu detail menggambarkan seperti apa rupa si antagonis tersebut. Aku hanya menyematkan nama Rion, terinspirasi dari nama Dion yang berbeda satu huruf saja.
Maka dari itu, aku benar-benar heran saat ini mengapa wajah Pangeran Rion sangat mirip dengan Dion, suamiku. Begitu miripnya, hingga sampai ke garis pada alis sebelah kiri di wajah pria tersebut.
Namun, memang ada yang janggal. Meski payah dalam mendeskripsikan visual tokoh, tetapi aku tidak lupa untuk menuliskan warna rambut dan mata para karakterku. Pangeran Rion seharusnya memiliki rambut berwarna silver, bukan hitam seperti yang kulihat saat ini. Aku juga menuliskan kata merah pada gambaran bola mata pria itu, bukan hitam.
Ini jelas sekali, kalau yang di hadapanku adalah Mas Dion yang asli, bukan Pangeran Rion. Akan tetapi, semua prajurit kerajaan memanggilnya dengan sebutan Yang Mulia.
"Apa-apaan wanita ini!"
Lagi-lagi aku mendapat perlakuan kasar dari si antagonis. Tanganku ditepis hingga tubuhku hampir oleng karenanya.
"Mas Dion! Kamu tidak mengenaliku? Aku ini Masya, istri kamu! Kita sudah menikah selama bertahun-tahun!"
Suara tawa Pangeran Rion menggelegar ke seluruh ruangan begitu mendengar ucapanku.
"Tidak kusangka, ada wanita yang begitu tidak sabar untuk menjadi istriku, hingga dirinya sendiri mengakui kalau pernah menikah denganku."
"Mas Dion! Kamu tidak ingat sama sekali padaku? Ini aku, Mas! Aku---"
"Cukup!" teriak Pangeran Rion geram. Matanya berkilat menampilkan amarah yang mendalam.
"Aku tidak mengenal siapa Dion! Seumur hidupku, nama yang menempel pada diriku ini hanya satu, yaitu Rion Ardinand! Aku bahkan tidak pernah bertemu denganmu sebelumnya!"
Apa? Ini tidak mungkin ... Mas Dion tidak mengenaliku sama sekali ...?
***
...\=\= chat telegram @author_ryby \=\=...
...\=\= follow IG @author_ryby \=\=...
(Ryby: Selamat datang di karya kedua Ryby! Jangan lupa like tiap bab, fav dan komentarnya ya. 🤗)
Delapan belas tahun yang lalu, di bumi.
"Udah pulang, Cha?"
Seperti biasa, Mas Dion menyambutku pulang kerja sambil mengenakan celemek dapur, memanggil nama kecilku. Dia masih memegang spatula, kentara sekali kalau sedang sibuk memasak di dapur. Namun, dia menghentikan kegiatannya dan buru-buru pergi ke depan pintu.
"Iya, Mas. Aku capek banget," jawabku. Mas Dion memeluk dan mencium keningku sesaat.
"Masak apa, Mas?" tanyaku.
"Seafood kesukaan kamu. Mau makan sekarang?" Mas Dion menawarkan. Aku menggeleng.
"Nanti deh, Mas. Aku mau mandi dulu, abis itu ngerjain beberapa bab."
"Kamu baru sampai, loh. Masa' mau langsung kerja?"
"Iyah, aku---"
"Mamaaa!"
Putraku Dimas berlari ke arahku dengan langkah kecilnya. Usia dua setengah tahun membuat batita ini semakin besar dan lincah. Begitu aku mengulurkan kedua tangan, instingnya segera bekerja untuk minta digendong.
"Hup! Anak Mama kok belum bobok?" tanyaku begitu Dimas ada dalam gendongan. Pipi gembulnya bergoyang ketika anak itu menggeleng.
"Sama Mama!" jawabnya lantang.
"Hmmm, tapi Mama masih ada kerjaan, Sayang ..."
"Maunya sama Mamaaa, huaaa!"
Dimas langsung menangis. Ini kesekian kalinya dia tidak mau kalau aku lebih memilih pekerjaanku ketimbang menemaninya tidur. Melihat diriku mulai kewalahan, Mas Dion segera mengambil alih Dimas dari tanganku.
"Dimas boboknya sama Papa aja, ya? Nanti Papa bacain dongeng lagi! Sekarang, Dimas makan dulu, ya!" Mas Dion membujuk Dimas. Seperti batita pada umumnya, perhatiannya langsung teralihkan. Dimas langsung mengangguk di sela-sela air mata yang masih menetes.
"Makasih ya, Mas, kamu--- *sniff* loh, bau apa ini?"
Aroma tak sedap tercium dari arah dapur. Seketika itu juga, kedua mata Mas Dion membelalak.
"Aku lupa matiin kompor!"
Mas Dion bergegas menurunkan Dimas dari gendongan dan lari ke arah dapur. Aku hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng.
Kuletakkan tasku di sebelah komputer, dan mulai menekan tombol power pada CPU. Sebelum mandi, aku ingin membaca komentar para pembaca di karya-karyaku.
Namaku Masya, seorang penulis online di sebuah platform. Karya-karyaku dapat dibaca dengan gratis di sana. Meski begitu, aku tetap mendapat pemasukan dari banyaknya jumlah view orang-orang yang membaca karyaku setiap kali aku update bab. Kebanyakan, genre yang kutulis adalah romance berlatar belakang fantasi. Sudah banyak karya yang kutelurkan dari imajinasiku, hingga pendapatannya cukup untuk memenuhi kebutuhanku, Mas Dion, dan Dimas per bulan.
Pria yang saat ini sedang sibuk mengurus masakan gosong di dapur itu adalah Mas Dion. Aku menikah dengannya sejak empat tahun lalu. Pekerjaannya adalah, well, bapak rumah tangga.
Mas Dion sempat bekerja sebagai pegawai kantoran di salah satu perusahaan swasta ibukota, tetapi Mas Dion mengundurkan diri. Rupanya, dia tidak suka lingkungan kerjanya. Karena Mas Dion itu sangat baik dan tidak bisa menolak permintaan orang lain, dia jadi sering dimanfaatkan oleh para atasan.
Mas Dion sering pulang larut karena lembur, bahkan mengerjakan tugas teman satu divisinya tanpa imbalan atau pengakuan apa pun. Aku yang mulai kesal melihat semua itu, meminta Mas Dion untuk mengundurkan diri saja. Berikutnya, Mas Dion membuka usaha jualan online. Lagi-lagi gagal karena banyak pelanggan yang menginginkan harga diskon darinya terus-menerus.
Hati Mas Dion terlalu lembut dan penyabar untuk bisa berada di lingkungan kerja yang keras. Awalnya, menulis hanya kujadikan sebagai hobi saja. Namun, melihat pendapatan yang kudapatkan ternyata meningkat, aku mengatakan keinginanku pada Mas Dion untuk menjadikan menulis sebagai sumber penghasilan rumah tangga kami. Mulanya, Mas Dion tidak setuju, karena baginya tidak enak dilihat orang lain kalau peran kami jadi terbalik seperti itu.
Akan tetapi, yah, aku tidak peduli pada kata orang lain, selama Mas Dion sendiri juga tidak keberatan. Toh, aku akan lebih sering menulis di rumah ketimbang pergi ke luar. Jadi, tidak benar-benar ada yang tahu kalau peran menafkahi dan mengurus rumah tangga dilakukan berbeda dari keluarga lainnya.
Setiap kali, ada yang bertanya apa pekerjaan Mas Dion, aku akan dengan santai menjawab kalau Mas Dion membantuku berjualan di rumah. Tidak bohong juga sebenarnya, karena setiap kali ada karyaku yang berhasil naik terbit cetak, memang Mas Dion yang mengurus segala keperluan untuk bisa sampai ke tangan pembaca.
"Cha? Kok malah ke komputer dulu. Mandi dulu, gih!"
"Iya, Mas. Itu ... Dimas bobok?" tanyaku begitu melihat tubuh kecil putraku terkulai lemas karena kantuk dalam dekapan ayahnya.
"Iya. Aku nemenin dia tidur dulu ya. Abis itu kutemenin makan malam," ucap Mas Dion, lalu dia pergi ke kamar Dimas. aku mematikan komputer dan bergegas ke kamar mandi.
Aku memutar keran shower. Air membasahi ubun-ubun seolah menghapus segala kelelahan yang hari ini. Jalanan ibukota cukup padat untukku yang terbiasa naik bus kemana-mana. Hari ini aku harus pergi keluar rumah untuk urusan bukuku.
Meski aku sering menulis karyaku dari rumah, tetapi sesekali aku harus pergi ke luar rumah untuk menjadi pembicara seminar atau tutor kelas menulis. Aku sendiri sebenarnya belum merasa pantas untuk melakukan hal itu, tetapi rupanya karya-karyaku memiliki banyak penggemar sampai aku bisa di tahap ini.
Semakin dikenal orang, aku semakin menulis banyak novel ongoing dalam satu waktu. Saat ini saja, aku sedang menulis empat novel sekaligus, dengan update satu bab masing-masing setiap harinya. Jadi, walaupun aku bekerja dari rumah, kesibukanku tidak kalah dengan karyawan kantoran. Aku mulai menulis pukul delapan pagi dan selesai pukul lima sore.
Mas Dion sering sekali protes mengapa aku jarang bermain dengan Dimas, karena Sabtu Minggu pun aku masih menulis, demi memenuhi target update harian di platform tempatku menulis. Seringkali aku berjanji pada diriku sendiri supaya tidak menulis banyak novel sekaligus, supaya waktuku bisa kubagi antara kerja dan keluarga. Akan tetapi, aku bisa apa? Ide di kepalaku mengalir terus menerus tanpa henti.
Selesai mandi, aku berpakaian piyama. Suara dering telepon berbunyi notifikasi chat. Kusambar smartphoneku untuk melihat isinya.
[Mbak, besok jangan lupa ada Meet & Greet untuk Ksatria Lucius di Mall XX, jam 7 malam, ya.]
Rupanya pesan dari editorku. Kubalas singkat "oke" padanya.
Oh iya, aku lupa update satu bab lagi untuk karyaku yang berjudul Ksatria Lucius. Kubuka aplikasi menulis di smartphoneku dan mulai mengetik. Bukunya sudah sampai season dua. Jangan sampai jumlah view pembaca menurun hanya karena aku bolos update harian.
***
"Mas ...."
Kudapati Mas Dion tertidur sambil menelungkupkan kepala di atas meja. Rupaya dia terlalu lama menungguku untuk keluar dari kamar. Kubangunkan suamiku itu dengan menggoyang pundaknya. Dia terkesiap. Mas Dion menatapku, lalu menampilkan senyumnya.
"Ayo makan, Cha. Mandinya kok lama banget?"
"Aku sekalian update Ksatria Lucius, hehehe!" ucapku.
Mas Dion geleng-geleng kepala. Jelas dia tahu apa yang aku maksud dengan Ksatria Lucius. Mas Dion selalu membaca semua karyaku di sela-sela waktunya.
Mas Dion mengambilkan nasi dan lauk ke atas piringku. Dia melakukan hal sama pada piringnya.
"Lho, kamu belum makan malam juga?" tanyaku heran. Kupikir tadinya dia akan menemani saja, tidak ikut makan bersama.
"Kan nungguin kamu pulang, Sayang."
"Hmmm, makasih, ya Mas." Aku tersenyum pada perlakuan manis Mas Dion.
"Cha ... aku mau ngomong sesuatu." Mas Dion tiba-tiba membuka percakapan dengan nada serius.
"Kenapa, Mas?" tanyaku di sela-sela suapan.
"Aku ingin kamu bisa lebih sering main sama Dimas. Dia butuh sosok ibunya," ucap Mas Dion pelan. Dia terdengar takut menyakiti hatiku, karena lagi-lagi dia mengutarakan protes yang sama.
"Mas, kita udah sering bahas ini. Kamu tahu kan kalau aku sibuk setiap hari. Demi keluarga kita juga."
"Kamu bisa mengurangi jumlah novel ongoing kamu. A-atau, ambil hari libur weekend, jadi kamu update harian hanya Senin sampai Jumat saja," usul Mas Dion. Refleks aku mengernyitkan dahi pertanda tak suka.
"Ideku banyak, Mas. Kalau gak ditulis langsung, aku bakal lupa!"
"Kamu bisa tampung dulu idemu di catatan. Kalau soal keuangan, aku akan coba buka usaha lagi. Aku janji aku gak akan selemah dulu!" ucap Mas Dion lagi. "Yang penting, kamu ada untuk Dimas."
Aku terdiam. Mendengar perkataan Mas Dion, seolah aku adalah ibu yang menelantarkan anak. Aku tidak terima dianggap seperti itu. Namun, belum sempat aku berkilah, Mas Dion meraih tanganku di atas meja makan.
"Tolong, Cha. Demi Dimas, anak kita. Dia harus dapat kasih sayang yang seimbang dari papa mamanya."
"... aku akan pertimbangkan, Mas."
***
...\=\= chat telegram @author_ryby \=\=...
...\=\= follow IG @author_ryby \=\=...
[Cha, nanti pulangnya jangan malam-malam, ya. Banyak kejahatan akhir-akhir ini.]
^^^[Iya, Mas. Nanti abis acara Meet n Greet aku bakalan langsung pulang.]^^^
[Kamu beneran gak mau aku jemput pakai mobil aja?]
^^^[Nanti Dimas gimana? Kalaupun dia ikut, pasti udah ngantuk banget dia. Aku gak apa, naik bus aja.]^^^
[Oke, hati-hati ya, Sayang. Selalu kabarin kalau abis ngapa-ngapain. Love you.]
^^^[Love you too]^^^
Selesai berkirim pesan dengan Mas Dion, aku scroll chat lainnya. Aku mengecek barangkali ada yang belum kubuka sejak tadi siang karena sibuk mengetik update harian novel-novelku.
Rupanya sudah kubuka dan kubalas semua pengirimnya. Kebanyakan berasal dari teman-teman grup kepenulisan tempatku bergabung. Membaca obrolan mereka semua lumayan mengisi luang saat sedang berada di perjalanan dalam bus seperti ini.
Oh, ada satu yang belum kubuka. Nomor asing. Siapa ini?
[SyaDi, kok kamu gak balas-balas sih pesanku. Udah kesekian kalinya kamu block nomorku.]
Ish! Dia lagi!
Segera kublok nomor barusan. Dasar sinting!
SyaDi adalah nama penaku, gabungan dari Masya dan Dion. Pengirim chat tadi adalah salah satu pembacaku, yang sepertinya sudah hilang akal. Dia pernah menyatakan cintanya padaku, padahal jelas-jelas aku tak mengenalnya. Kami bahkan belum pernah bertemu sama sekali. Kebanyakan semua pembacaku pun tahu aku sudah bersuami, tetapi dia tetap nekat mengirimkan pesan-pesan seperti tadi!
Sudah kesekian kalinya nomor asing macam itu kublok. Biasanya mereka akan menyerah setelah aku melakukannya. Akan tetapi, ternyata fan yang satu ini cukup keras kepala. Setiap hari dia bisa mengirimiku chat dengan nomor baru, tanpa jera.
Aku sudah mengatakan hal ini pada Mas Dion. Dia sempat khawatir dan memintaku untuk tidak membalas sama sekali. Bahkan memasangi alat deteksi GPS di hapeku, supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan katanya.
****
Suasana acara Meet & Greet berlangsung cukup stabil. Setelah acara seminar, kini saatnya aku duduk di depan, bersiap dengan pena untuk menandatangani novel-novelku yang telah dibeli para pembaca. Mereka mengantri di hadapanku, membawa karyaku di tangan.
"Halo!" sapaku pada seorang fan. Dia terlihat masih duduk di bangku sekolah. Raut wajahnya semringah saat melihatku dari dekat.
"Kak SyaDi, aku ngefans banget sama Kakak!" sahutnya, menjabat tanganku erat. Kemudian, dia menyerahkan novel di tangannya. Kubuka karyaku itu pada halaman pertama.
"Terima kasih, ya! Mau untuk siapa tanda tangannya?"
"Aku, Kak! Namaku Gia!" jawabnya antusias.
"Oke, " Untuk Gia, selamat membaca! Salam, SyaDi." Ini!"
"Terima kasih, Kak!" Si pembaca itu melonjak kegirangan, kemudian berlalu dari hadapanku.
Berikutnya, adalah seorang pembaca pria. Aku tidak bisa menebak usianya karena wajahnya tertutup masker dan dia memakai jaket bertudung. Tangannya terlihat cokelat dan kasar saat dia menyerahkan novel untuk kutandatangani.
Ketika aku menerima novel tersebut, tangannya menyentuh jemariku, sekitar beberapa detik. Aneh rasanya. Aku segera menarik kembali tanganku karena merasa tidak nyaman.
"U-untuk siapa?"
"Reno," jawab orang itu dengan suara yang berat dan dalam. Cepat-cepat kutandatangani buku tersebut dan mengembalikannya.
***
Setelah menandatangani puluhan buku, akhirnya acara selesai. Aku tengah bersiap untuk pulang ketika editorku, Mbak Fafa, menghampiriku.
"Mbak, acaranya sukses. Terima kasih banyak!"
"Aku yang harusnya bilang makasih, Mbak!" sahutku. "Kalau gitu, aku pulang dulu, ya."
"Mau bareng, Mbak?" tawar Mbak Fafa. Aku menggeleng.
"Enggak usah, Mbak, aku sendiri aja. Aku mau jalan-jalan dulu di sekitar Mall ini."
Usai berpamitan pada para kru, aku berjalan keluar dari tempat acara. Waktu masih menunjukkan pukul 20:30.
Ah, ada toko mainan tak jauh dari tempatku berdiri sekarang. Apa aku belikan saja, ya, oleh-oleh untuk Dimas?
^^^[Mas, Dimas lagi suka mainan apa, ya?]^^^
Aku mengirimkan chat pada suamiku. Selang satu menit, dia menjawab.
[Dimas lagi suka mainan dinosaurus yang ada di iklan akhir-akhir ini.]
[Kamu lagi dimana? Acaranya udah selesai? Cepat pulang, jangan mampir-mampir!]
^^^[Iya, Mas, cuma mau beli mainan buat Dimas aja, abis itu langsung pulang.]^^^
[Ya udah, kalau ada apa-apa kabarin.]
Aku menutup chatku dengan Mas Dion. Suamiku itu memang terkadang over protective terhadapku.
Aku melangkah masuk ke toko mainan. Setelah bertanya-tanya pada si mas kasir, dia membawakan mainan dinosaurus yang diinginkan Dimas, yang katanya sedang popular saat ini. Dinosaurus jenis Tyrex berwarna cokelat yang tangan dan kakinya bisa digerakkan. Kesibukanku dalam menulis membuatku jarang melihat iklan di televisi. Semoga setelah kubawakan ini, Dimas jadi senang.
…
Aneh, aku merasa ada seseorang yang memerhatikanku. Akan tetapi, setelah aku menoleh, ternyata tidak ada siapa pun.
Jam tanganku menunjukkan jam sembilan malam kurang. Aku mengirimkan chat lagi pada Mas Dion, layaknya sebuah laporan.
^^^[Aku sudah keluar Mall. Sekarang lagi otw ke halte bus]^^^
…
Nah, kan. Lagi-lagi aku merasa ada orang di belakangku.
Aku mempercepat langkaku menuju halte. Derap kaki si penguntit makin jelas terdengar. Aku terpaksa berlari. Ah, sial, kenapa aku pakai sepatu hak tinggi di saat-saat begini!
Kutoleh ke belakang. Benar, ada yang mengejarku! Dia …
Dia pembaca yang pakai masker dan jaket bertudung tadi! Mau apa dia mengejarku! Bahkan dengan senyum menyeringai seperti itu!
Aku harus fokus lari ke depan. Sepatuku sampai tertinggal karena terlalu cepat berlari. Segera aku mengeluarkan ponselku, dan membagikan lokasiku saat ini secara live selama delapan jam padanya. Kemudian, kusematkan satu kata berhuruf kapital semua.
^^^[Location shared. Live until 05:10 AM]^^^
^^^[DARURAT!]^^^
[Apa? Darurat kenapa, Cha? Ada apa?]
[ACHA!]
Aku tak sempat membalas chat dari Mas Dion karena sibuk berlari. Aku belok ke kanan, ke sebuah gang kecil. Aku berharap si penguntit itu akan terkecoh dan kehilangan jejakku.
Akan tetapi, rupanya dewi fortuna tidak berpihak padaku. Ternyata, gang kecil yang kupilih adalah jalan buntu.
Aku benar-benar terjebak sekarang. Gang kecil ini dibatasi tembok setinggi dua meter. Tidak ada benda di sekitar yang bisa kujadikan pijakan untuk melompat. Sementara itu, si penguntit sudah tampak memasuki gang yang sama.
Seringai di mulutnya benar-benar mengerikan.
“Siapa kamu! Mau apa kamu ngikutin aku!”
“Kok kamu masih tanya namaku? Padahal, aku sudah chat kamu setiap hari ….”
Chat? Apa yang dia kata---
Oh, sial. Hari ini aku benar-benar sial. Rupanya dia fan sinting yang sering mengirim rayuan padaku!
“Jangan gila kamu! Saya sudah punya suami!”
“Lupain aja dia!” teriak si penguntit itu. Dia melepas maskernya. Wajahnya tak terlalu jelas karena gang kecil ini gelap tanpa penerangan. Hanya gigi-giginya yang terlihat karena mulutnya tersenyum lebar sekarang. Pria penguntit itu mendekatiku perlahan.
“Menjauh! Tolong! Tolong!”
Berkali-kali aku berteriak minta bantuan, tetapi tidak ada satu pun yang datang. Pria itu smeakin mendekat.
“Sudahlah, Sayang, biarkan aku menjadi Lucius, dan kamu jadi Rika-nya ….”
“Jangan sebut-sebut nama-nama tokoh novelku! Aku membuatnya susah payah, mereka itu suci! Mulut kotormu itu enggak pantas sebut nama mereka!” teriakku. Aku terus berjalan mundur, hingga akhirnya punggungku mentok mengenai tembok di ujung gang. Posisiku terjepit sudah.
“Apa! Kotor? Kotor?!”
Pria itu mengeluarkan pisau kecil dari dalam saku celana. Gawat, sepetinya aku telah membuatnya kalap.
“Kumohon, jangan seperti ini … aku harus pulang … ada suami dan anakku menunggu di rumah …”
Aku benci ini, nada suaraku jadi memelas. Seolah aku adalah wanita tak berdaya, mengemis seperti ini pada orang lain.
Detik berikutnya, pria itu mendorong tubuhku hingga kepalaku terbentur.
Rasanya panas dan sangat pusing. Sakit sekali, sampai kelu. Sepertinya ada yang hangat pula mengalir dari bagian belakang kepalau. Entahlah, aku tidak dapat mengeceknya. Penglihatanku mulai samar.
Pria itu menanggalkan satu persatu rok bawahanku dan menindihku. Aku tidak tahu apakah dia baru melepaskan rok atau sudah berhasil emncapai bagian kulit. Sinting, dia ingin merenggut kehormatan seseorang yang sudah hampir mati.
“Acha!!”
Suara itu … Mas Dion …
Si penguntit itu disingkirkan dari atas tubuhku. Samar-samar aku melihat wajah Mas Dion. Si penguntit menodongkan pisaunya. Gambaran mereka mulai terlihat buram. Apa ini saatnya aku mati?
Mas Dion … maaf, aku belum bisa jadi istri yang baik …
Dimas … maafin Mama ya, Sayang … dinosaurusnya enggak sempat Mama kasih ke kamu …
Mas Dion … Dimas …
Tuhan, sekali saja … beri aku kesempatan sekali lagi … aku janji akan membagi waktu untuk keluargaku … kumohon …
***
...\=\= original writing by Ryby \=\=...
...\=\= baca karya Ryby yang lain dengan follow IG @author_ryby \=\=...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!