Pagi ini sang Surya menampakkan sinarnya begitu cerah tanpa malu malu, namun tidak secerah suasana hatiku.
Hari ini dengan langkah gamang ku paksakan kakiku melangkah menuju pengadilan agama, untuk menghadiri sidang putusan atas gugatan cerai yang di layangkan suami tiga bulan yang lalu.
Proses perceraian kami memang terbilang sedikit lamban, bukan karena aku memberatkan pihak suami, tapi karena penggugat dari pihak suami itulah yang menjadi penyebab.
Ketika tiba di pengadilan agama nampak suamiku yang tengah duduk berdampingan dengan seorang wanita yang dulunya menjadi penyebab suami menggugat cerai diriku.
Meski hati ini masih terasa sakit kala mengingat pengkhianatan keduanya, namun tetap ku paksakan bibir ini mengukir senyum walau sedikit getir saat keduanya menatap ke arahku.
Semua kulakukan demi putraku, buah hati yang lahir dalam pernikahan kami yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun.
Beberapa menit duduk di bangku untuk menunggu waktu persidangan kami di mulai, seorang wanita yang berseragam hitam memanggil namaku serta suami untuk segera memasuki ruang sidang, tandanya sebentar lagi kamu akan segera mendengar hasil putusan persidangan.
Kami duduk berdampingan menghadap hakim, kursi kami hanya berjarak beberapa meter.
Meski berulang kali mencoba menolak untuk bercerai, namun aku tidak bisa lagi berbuat apa apa saat pria yang telah memberiku seorang putra tersebut menjatuhkan talak padaku.
Seraya memukuli dadaku yang terasa sesak aku hanya bisa berucap dalam hati.
"Akhirnya aku harus menyerah." buliran bening terus meluncur membasahi wajahku, terus kupukuli dadaku berharap sedikit mengurangi rasa sesak yang saat itu kurasakan.
Setelah membacakan sidang gugatan cerai serta pertimbangan yang cukup panjang yaitu hampir tiga bulan lamanya, akhirnya hari ini aku dan pria yang dulunya berjanji akan selalu menjaga serta menyayangiku tersebut, kini di nyatakan sah bercerai secara hukum dan agama.
"Saudara Hardin putra bin Sahabuddin serta Saudari Widia Saputri binti Arman saya nyatakan secara hukum dan agama kalian resmi bercerai." Kalimat lantang yang di ucapakan hakim ketua sebelum mengetuk palu tersebut membuat hatiku tak menentu, di satu sisi aku merasa sedih karena harus berpisah dari pria yang sudah menjalani hidup bersama denganku selama kurang lebih sepuluh tahun, namun di sisi lain rasanya hatiku lega karena bisa terlepas dari pria yang selalu menghancurkan hatiku.
Sebagai mantan istri aku sama sekali tidak menuntut apapun dari mantan suami, aku tidak menuntut rumah, maupun harta lainnya termasuk nafkah untuk anak, yang hak asuhnya jatuh kepadaku. menurutku mantan istri mungkin ada, namun tidak pernah ada yang namanya mantan anak. dari situ aku berpikir jika beliau menyadari memiliki seorang anak dari hasil pernikahan kami, maka beliau akan memenuhi kewajibannya tanpa harus di minta.
Sebelum keluar dari ruang persidangan aku mengulurkan tanganku padanya, mantan suami pun menyambut uluran tanganku.
Saat tangan kami berjabat satu kalimat yang aku ucapakan tulus dari lubuk hatiku terdalam.
"Maaf jika selama menjadi istri mas aku belum bisa menjadi seperti yang mas inginkan, serta aku mohon halalkan makan dan minumku selama menjadi istri mas." pintaku tulus dari lubuk hati terdalam, berharap keikhlasan di hatinya selama menafkahi ku dulu saat masih menjadi istrinya.
"Aku ikhlaskan semuanya, aku juga minta maaf jika selama menjadi suami belum bisa menjadi suami yang baik serta belum bisa membahagiakanmu." sahut mantan suami dengan nada suara bergetar seperti sedang menahan tangis.
Ku lihat wajah mantan suami berubah sendu, aku sendiri tidak tahu apa yang ada di dalam hati serta pikirannya saat ini, hanya beliau dan Allah SWT yang tahu.
Usai melepas jabat tanganku darinya, aku pun segera pamit undur diri.
"Jaga diri baik baik, saya permisi." ucapku sebelum beranjak meninggalkan ruang persidangan.
Aku pun kembali dari pengadilan seorang diri sama seperti saat aku datang tadi hanya seorang diri, tak ada orang tua yang mendampingiku sebab aku seorang yatim piatu.
Aku kembali dengan mengendarai sepeda motor yang dulu aku beli dengan hasil keringatku sendiri.
Di perjalanan aku terus berpikir kemana aku harus pergi membawa serta putra semata wayangku, karena setelah resmi bercerai otomatis aku harus keluar dari rumah yang dulunya kami tempati bersama. di mana dulu rumah itu kami bangun dengan jerih payah bersama. karena itu sudah menjadi salah satu syarat dari mantan suami, jika aku menginginkan hak asuh putra kami jatuh padaku.
Dengan terpaksa aku menyetujui syarat dari mantan suami, karena bagiku putraku adalah harta paling berharga dalam hidupku. tidak sebanding jika di bandingkan dengan berlian sekalipun, apalagi hanya sebuah rumah.
Sebelum melanjutkan perjalanan menuju rumah bibiku di mana aku menitipkan putraku pagi tadi, aku mampir sebentar untuk menenangkan hati serta pikiranku dengan duduk merenung di tepi pantai.
Aku kembali teringat ucapan mantan suamiku sepuluh tahun yang lalu saat memintaku pada kedua orang tuaku.
Saat itu usiaku masih tujuh belas tahun aku bahkan belum lulus dari bangku sekolah menengah atas.
Karena faktor ekonomi aku terpaksa harus berhenti sekolah. demi meringankan beban kedua orang tuaku, aku terpaksa menerima lamaran dari pria yang saat ini sudah berstatus mantan suamiku.
Di awal pernikahan kami suamiku nampak begitu menyayangiku, namun itu tidak berlangsung lama. saat usia pernikahan kami memasuki usia satu tahun, Allah SWT memberikan kepercayaan kepada kami dengan menitipkan janin di rahimku.
Saat itu suamiku nampak sangat bahagia ketika mengetahui kabar tentang kehamilanku. beliau pun semakin sayang padaku.
Tapi sayang itu tidak berlangsung lama, karena pada saat usia kehamilanku memasuki usia ke tujuh bulan, mantan suami ketahuan berhubungan dengan seorang gadis. hal itu membuatku stres karena terlalu banyak pikiran, hal itu juga sampai membuatku harus melahirkan anakku dalam kondisi prematur.
Hatiku begitu sakit bagai teriris saat mengetahui jika bobot tubuh putraku hanya seberat seribu empat ratus gram saat dilahirkan, akibatnya aku harus berpisah sementara dari putraku. aku yang sudah di perbolehkan dokter untuk kembali ke rumah, namun anakku harus tetap mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. dan itu berlangsung selama lebih dari satu bulan lamanya, aku harus bolak balik rumah sakit untuk sekedar membawakan asi eksklusif untuk putraku.
Sejak kejadian putraku lahir dalam kondisi prematur mantan suami tak hentinya meminta maaf, karena sadar penyebab sampai aku harus melahirkan dalam kondisi yang belum genap tujuh bulan.
Kuasa Allah begitu luar biasa seiring berjalannya waktu bobot tubuh anakku semakin hari semakin bertambah, meski anakku masih sering harus masuk keluar rumah sakit saat usianya masih menginjak satu tahun.
Aku pikir sikap suamiku akan berubah sejak kehadiran putra kami, namun harapan itu seakan sia sia sebab itu hanya sebuah isapan jempol belaka.
Setelah putraku berusia satu tahun lima bulan suamiku malah suka mabuk mabukan. tak jarang suamiku pulang ke rumah saat waktu menunjukkan pukul tiga bahkan empat pagi.
Ingin rasanya saat itu aku bertanya bahkan marah dari mana saja dia, namun itu urung aku lakukan sebab jika aku bertanya demikian itu malah akan memancing kemarahannya, sementara kami masih menumpang di rumah orang tuaku.
Aku tidak ingin harapanku menikah muda ingin meringankan beban kedua orang tuaku, malah menjadi buah pikiran kedua orang tua saat mendengar kami malah ribut.
Kegiatan pulang hingga dini hari terus di lakukan suamiku bahkan hampir setiap hari, sampai aku merasa tidak enak pada kedua orang tuaku.
Meski begitu suamiku tetap melaksanakan tugasnya dengan menafkahi ku serta putra kami.
Sebelum kembali menumpang di rumah orang tuaku kami sempat tinggal di sebuah kos kosan selama setahun. saat itu aku memutuskan untuk keluar dari rumah orang tuaku, karena aku merasa malu pada kedua orang tuaku atas sikap suamiku yang sering pulang dalam kondisi mabuk.
Seperti saat malam itu, sudah pukul dua belas malam suamiku belum kunjung Kemabli ke rumah. aku terus kepikiran sebab saat keluar dari rumah beliau sama sekali tidak memberi tahu padaku beliau akan pergi kemana.
Sampai dengan jam menunjukkan pukul satu lewat tiga puluh menit, aku mendengar suara motor suamiku baru saja tiba. aku pun segera keluar dari kamar menghampiri suamiku, saat berada dekat dengan suami aku mencium aroma menyengat alkohol dari mulut suamiku.
"Mas dari mana saja seharian??." meski kesal dengan kelakuan suamiku, aku tetap bertanya dengan intonasi lembut.
"Dari rumah teman." dengan entengnya suamiku menjawab, sebelum masuk ke dalam rumah.
Walaupun rumah orang tuaku sendiri, namun aku merasa tidak enak dengan anggota keluarga yang lain, saat suamiku pulang dalam kondisi seperti itu.
Akhirnya sesuatu yang paling aku takutkan selama ini terjadi juga. mungkin karena sudah tidak tahan melihat tingkah suamiku, untuk pertama kalinya ibuku mengomentari sikap suamiku.
"Wid, apa suami kamu tidak bosan hampir setiap hari mabuk mabukan seperti itu?? jujur ibu tidak tahan melihat sikapnya sama kamu." kata Ibuku yang tidak suka suami pulang dengan kondisi mabuk seperti ini, karena setiap kali mabuk suamiku sering berkata kata kasar padaku. aku bisa mengerti dengan perasaan ibuku, ibu mana yang terima jika anaknya di caci meski itu suaminya sendiri.
"Sampai kapan kamu mau bertahan hidup dengan laki laki yang tidak berniat merubah sikapnya menjadi lebih baik, jika dia sama sekali tidak berniat merubah kelakuan buruknya lebih baik kalian berpisah!!." baru kali ini aku melihat ibuku sangat marah, sampai aku yang tidak bisa berkata kata itu pun hanya bisa menangis.
Sementara suamiku kini telah masuk ke dalam kamar kami dalam kondisi sempoyongan.
Di satu sisi aku ingin menuruti ucapan ibuku, namun di sisi lain aku mengingat masa depan putraku, aku tidak ingin anakku sampai tidak mendapatkan kasih sayang seorang ayah.
Aku mencoba memberi pengertian pada sosok wanita yang sudah mempertaruhkan nyawanya demi melahirkan aku ke dunia ini.
"Bagaimana Widia bisa berpisah dari mas Hardi di saat Widia baru saja melahirkan anak Widia Bu?? bukannya Widia ingin menjadi anak durhaka dengan menentang keputusan ibu, tapi Widia tidak tega melihat anak Widia harus tumbuh tanpa mengenal sosok ayahnya." pecah sudah tangisku di hadapan ibuku, sampai ibuku pun ikut menangis karena tidak tega. bahkan saat itu ibuku bahkan sampai mengucapkan kalimat yang membuat air mataku semakin tak berhenti mengalir.
"Maafkan ibu nak, karena ibu telah salah memilihkan jodoh untuk kamu nak. jika itu sudah keputusan kamu, ibu tidak bisa melarangnya" akhirnya kalimat itu terlontar sudah dari mulut ibuku.
"Ibu tidak perlu minta maaf, ibu tidak salah, mungkin ini sudah menjadi ketetapan Tuhan yang harus Widia jalani dengan ikhlas." ucapku agar ibuku tidak semakin merasa bersalah, mengingat sebelum pihak suami datang melamarku, ibuku lah yang memilihnya menjadi calon suami untukku. awalnya aku juga menolak karena aku tidak mencintainya, terlebih lagi saat itu aku masih sangat muda. tapi karena ibuku terus memaksa, demi mematuhi mematuhi wanita yang sudah bertaruh nyawa melahirkanku, aku pun bersedia menikah dengan mas Hardi.
Berbeda dengan ibuku, ayahku termasuk sosok yang penyabar, beliau bahkan tidak berkomentar sama sekali. meski aku tahu ayahku juga tidak tega melihatku harus terus hidup bersama pria yang sama sekali tidak berniat membimbing atau membahagiakan aku. bagi ayahku kebahagiaan tidak meski berbentuk materi, menjalani biduk rumah tangga dengan mencari ridho ilahi itu lebih membahagiakan, sesederhana itu harapan ayahku, terhadap menantunya. namun sayang hal sesederhana itu saja tidak dapat di penuhi oleh suamiku, apalagi yang lebih dari itu.
Setelah berpamitan pada kedua orang tuaku, aku pun segera pindah ke sebuah kos kosan bersama suami dan anakku.
Sejak menjalani hidup di sebuah kos kosan sikap suamiku mulai berubah, suami mulai berhenti mabuk mabukan, beliau lebih fokus mencari nafkah sebagai seorang driver di sebuah perusahaan ternama di kota kami tinggal.
Aku pikir ujian akan berhenti sampai di situ, tapi ternyata aku salah di saat suamiku mulia berubah lebih baik, kini malah ibu mertuaku yang selalu menyalahkan aku. lebih tepatnya ibu mertuaku mencari cari kesalahanku, agar bisa terus memojokkan aku.
Salah satunya saat anakku tidak mau menyusu padaku, secara otomatis aku harus memberikan susu formula untuk anakku. dengan memberi susu formula pada anakku saja sudah menjadi kesalahan besar di mata ibu mertuaku.
Jika alasan beliau marah dengan alasan kesehatan cucunya mungkin aku mengerti, tapi ini berbeda, ibu mertuaku marah dengan alasan memberikan susu formula pada anakku hanya akan menambah beban untuk putranya. padahal aku pun terpaksa melakukannya sebab setiap kali aku menyusui, anakku merasa kesulitan mungkin karena ****** pada payudaraku enggan keluar sampai anakku menangis karena merasa kesulitan untuk menyusu padaku.
Aku sudah berusaha untuk memompa ASI ku, namun lama kelamaan Asiku semakin berkurang dan bahkan beberapa bulan setelahnya Asi tak lagi keluar.
Hampir setiap hari ibu mertuaku datang di tempat kami, beliau datang bahkan sekedar untuk mengomeliku di saat suamiku sedang pergi bekerja. hal hal kecil saja bisa membuat ibu mertuaku marah bahkan terkesan benci padaku.
Seperti malam itu, saat aku tengah menidurkan putraku, tiba tiba aku di kejutkan dengan suara tendangan dari balik pintu rumahku. hal itu sontak membuat putraku kembali membuka matanya lalu menangis.
"Buka!!." teriakkan ibu mertuaku terdengar saat aku hendak membuka pintu.
"Ada apa ma??." tanyaku ketika saat pintu sudah terbuka.
"Kamu kalau pakai motor di balikin dong, kamu pikir itu motor nenek moyang kamu!!." cacian ibu mertuaku terdengar begitu menyayat hatiku, namun begitu aku tetap menghormatinya.
"Tapi motor papa nggak ada di sini mah, mungkin lagi pakai sama mas Hardi" jawabku.
Dengan tatapan jijik mertuaku berlalu meninggalkan kos kosan kami, setelah sebelumnya menendang dengan kasar pintu. untung saja putraku sedang berada di gendonganku, sehingga buah hatiku itu tidak kaget dengan suara tendangan pintu.
Terkadang aku merasa lelah dengan perlakuan ibu mertuaku, apalagi jika aku mengadukan sikap kasar mertua pada suamiku, jangankan mencoba memberi pengertian pada ibunya, suamiku malah ikut menyalahkan aku.
Sebenarnya aku mengatakan pada suamiku tentang sikap kasar mertua padaku, agar suamiku bisa sedikit memberi pengertian pada ibunya. namun semua itu hanya harapan belaka, jangankan memberi pengertian pada ibunya, suamiku malah mempersalahkan aku karena tidak menghubungi dirinya saat tadi ibunya datang. padahal beliau tahu sendiri aku bahkan tidak punya telepon genggam, jadi bagaimana bisa aku menghubunginya.
Beberapa bulan setelahnya ibu yang sering sakit sakitan membuatku terus kepikiran, di satu sisi aku ingin berbakti pada ibu yang telah melahirkan aku, di sisi lain aku juga harus berbakti pada pria yang sudah memberiku seorang putra.
Posisiku saat itu bagai Buah simalakama, aku jadi serba salah. meski begitu hampir setiap hari aku menjenguk ibuku.
Benar kata orang, di mata mertua menantu perempuan selalu salah. di saat aku menjenguk ibuku, ibu mertuaku selalu berpikir jika aku hanya menghabiskan uang putranya untuk keperluan keluargaku, sementara kenyataannya justru ayahku yang selalu membantu karena tidak tega melihatku kesulitan.
Tidak jarang aku menjadi topik perbincangan ibu mertuaku pada tetangga sekitar, awalnya aku mencoba untuk cuek bahkan terkesan menulikan telingaku agar hatiku tidak lelah. bukan sekali aku menjadi bulan bulanan ibu mertuaku, apa saja yang terjadi di dalam rumah tanggaku sudah pasti aku yang di salahkan tanpa bertanya kebenarannya.
Sama seperti malam itu saat aku sakit ibu mertuaku datang, aku pikir beliau akan datang menjengukku, karena saat itu asam lambungku sedang naik, mungkin karena terlalu banyak pikiran karena tekanan demi tekanan yang aku hadapi.
Ternyata dugaanku salah, ibu mertuaku malah meminta suamiku untuk ikut dengannya tanpa peduli dengan kondisiku saat itu. mungkin karena suamiku tidak tega makanya beliau menolak ajakan ibunya. sampai ibu mertuaku memutuskan untuk membawa serta anakku ke rumahnya. tidak ingin berdebat karena kondisiku saat ini lemas, aku pun mengizinkan ibu mertuaku membawa cucunya.
Namun saat waktu telah menunjukkan pukul dua dini hari ponsel suamiku berdering, ternyata ibu mertuaku yang menelepon. dari nadanya aku bisa mendengar jika ibu dari suamiku tersebut sedang mengoceh, meski aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang di ucapkan.
"Baik bu aku akan segera ke sana." jawab suamiku melalui sambungan telepon, sebelum mematikan sambungan teleponnya.
"Sejak tadi Farhan tidak mau tidur, ia terus menangis makanya ibu menelepon." ucapan suamiku seketika membuatku terus kepikiran dengan putraku. begitulah seorang ibu sakit pun tidak akan terasa lagi saat mendengar keadaan putranya sedang tidak baik baik saja.
"Ayo mas kita ke rumah ibu sekarang, aku takut perut Farhan bisa sakit jika ia terus menangis." kataku yang sudah kelabakan memikirkan putraku.
Karena jarak kos kosan yang kami tinggali berjarak sekitar setengah kilometer ke rumah mertuaku jadi butuh waktu hampir dua puluh menit untuk tiba di sana, karena kami hanya berjalan kaki. saat itu kehidupan kami sangat jauh dari kata cukup, tapi aku ikhlas menerima takdir yang telah di haruskan untukku.
Mungkin kesal menunggu dua puluh menit lamanya ibu mertuaku terdengar mengoceh tidak jelas saat kami baru saja tiba di pekarangan rumah. aku pun bergegas mengetuk pintu, setelah pintu terbuka aku pun segera meraih tubuh putraku.
Anakku memang jarang sekali berpisah denganku, apalagi harus tidur terpisah denganku. mungkin itu yang menyebabkan putraku terus menangis sejak tadi, mungkin saat ini perutnya sakit akibat kelamaan menangis sehingga membuatnya sulit berhenti menangis meski aku sudah mencoba mendiamkan putraku.
Karena terus melihat putraku terus menangis tak kunjung berhenti aku pun jadi bingung sendiri, sementara ibu mertuaku bukannya membantu untuk mendiamkan cucunya yang tengah menangis, beliau malah mengoceh tidak jelas. seperti biasa beliau kembali membanding bandingkan aku dengan menantu tetangga sebelah rumahnya.
"Ngurus anak satu aja nggak becus, lihat tuh si Neneng ngurus anak empat semua anteng anteng aja, nggak ada yang ribet seperti anak kamu." tiba tiba hatiku terasa begitu nyeri saat mendengar ocehan ibu mertuaku. mungkin jika beliau hanya mengatai aku saja itu tidak akan membuat hatiku sesakit ini, tapi beliau juga ikut mengatai anakku yang notabennya adalah cucu kandungnya sendiri.
Aku hanya bisa mengelus dadaku, berharap rasa sakit di sana sedikit berkurang. malam itu kurasakan malam terpanjang bagiku di sepanjang hidupku karena harus menginap di rumah yang tidak pernah menganggap kehadiranku.
Sementara suamiku jangankan untuk sedikit membelaku di depan ibunya, beliau malah ikut menyalahkan aku. dari semuanya hanya ayah mertua serta salah satu adik ipar ku yang sedikit peduli padaku, namun di saat ia memberi pembelaan padaku, justru ia yang jadi sasaran ocehan ibunya sendiri.
Namun Kini adik iparku tersebut telah lebih dulu menghadap sang khalik, karena sakit yang di deritanya.
Sampai dengan pagi harinya aku sama sekali tidak bisa memejamkan mataku bahkan sedetik pun, setiap kalimat pedas yang di lontarkan ibu mertuaku masih terngiang jelas di telingaku.
Sekitar pukul setengah delapan aku membangunkan suamiku untuk segera mengantarkan aku pulang, jujur aku tidak tahan berlama lama di rumah itu, di mana hampir semua penghuninya tidak suka padaku.
Dengan berat hati karena masih merasakan kantuk akhirnya suamiku mengantarkan aku kembali ke kos kosan kami. dan setelahnya beliau kembali meninggalkan kami, ia pun segera kembali ke rumah orangtuanya dengan berbagai macam alasan.
Di lubuk hati terdalam terkadang aku berpikir jika suamiku mungkin tidak lagi mencintaiku, bagaimana tidak, setiap kali ibunya mencaci maki diriku beliau bahkan sama sekali tidak peduli. padahal ia sendiri tahu kedua orang tuaku bahkan tidak pernah berkata sekasar itu padaku.
Setiap kali hatiku sedih kala teringat semua perkataan pedas ibu mertuaku, aku hanya bisa berlinang air mata, hanya tuhan tempatku mengadu. aku juga tidak pernah mengadukan semua perlakuan kasar mereka pada kedua orang tuaku, sebab aku tidak ingin menambah beban kedua orang tuaku.
Sampai kadang di sela tangis aku hanya bisa meminta suatu saat aku bisa merasakan kebahagiaan layaknya wanita pada umumnya. namun ketika aku tersadar, Aku segera beristighfar tidak ingin tuhan menganggap aku tidak ikhlas dengan takdir yang telah digariskan untukku.
Sampai suatu hari saat aku datang menjenguk ibuku, aku benar benar tidak tega melihat kondisi ibuku yang semakin hari semakin lemah.
Dan pada saat itu ibuku memintaku untuk kembali ke rumah agar ada yang merawatnya, karena saat itu adik bungsuku masih sekolah, jadi saat ia sekolah tidak ada yang menjaganya ketika ayahku pergi bekerja, sementara dua orang saudara laki lakiku sudah menikah dan tinggal di rumah masing masing.
Sore harinya aku segera kembali dari rumah ibuku sebelum suamiku kembali dari tempatnya bekerja, aku sengaja pulang lebih dulu di banding beliau karena aku takut jika beliau akan marah jika tahu aku masih berada di rumah ibuku. karena jika beliau marah bukan hanya aku yang mendapat cacian darinya namun keluargaku pun jadi sasaran. hampir setiap kali tersulut amarah suamiku pasti akan mengikut sertakan keluargaku di dalamnya terutama orang tuaku yang sama sekali tidak tahu apa apa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!