Dreetttt Dreettttt
Suara getar ponsel yang tergeletak di nakas samping tempat tidur Aini.
Aini melihat nama sang kakak tertera di layar ponsel miliknya sedang memanggil. Dengan bibir tersenyum, Aini menggeser tombol hijau di layar ponsel.
"Hallo kak.. Tumben telephone malam malam..?" Tutur Aini pada sang kakak di seberang telephone
"Ya kakak sengaja sayang biar tau apa kamu begadang lagi atau gak.." Jawab Aima dari seberang sana.
Aini tersenyum meski lawan bicaranya saat ini tidak dapat melihat senyumnya.
"Aku bangun karena kebelet pipis kok kak.." Bohong Aini takut sang kakak khawatir akan kondisinya jika dia jujur.
"Ya sudah kamu tidur lagi ya.. Jangan begadang lagi.. Kakak tutup telephone nya ya..? Assalamualaikum cantik.." Tutur Aima dari seberang.
Terhempas sudah perasaan gadis imut itu ke dalam gelisah. Meski raut wajahnya selalu menebar senyum. Namun itu semata mata hanya menutupi kegelisahan yang meraung dalam batinnya.
Seperti saat ini, Aini tengah merasakan kesakitan dalam tubuhnya, dan dirinya takut akan praduganya nanti.
Hampir setiap malam dia mencurahkan perasaanya di buku diary nya.
Untaian kata demi kata ia tuliskan.
Menyatu menjadi bait-bait kalimat puisi. Mengupas semua rasa yang tak mampu ia pendam lagi.
Hanya tetes demi tetes air mata yang menemaninya di ujung malam hingga menjelang pagi.
Aini Kamelia 20 tahun, seorang gadis yang santun, ramah dan lemah lembut serta berparas cantik.
Memiliki kedua orang tua yang harmonis, penuh kasih, serta lingkungan yang nyaman, membuat Aini selalu bersyukur.
Meski demikian, tak banyak lelaki yang berani mendekati bahkan sekedar ingin berkenalan dengannya.
Aini adalah seorang gadis dari keturunan orang berada di kotanya. Kakeknya seorang pengusaha tekstil dan memiliki yayasan madrasah pendidikan yang sempat di kelola oleh neneknya.
Sedangkan Ayahnya memiliki hotel berbintang di kotanya yang kini sudah memiliki cabang di dua kota lainnya.
Sungguh dirinya sangat beruntung hidup dan tumbuh di lingkungan seperti itu. Di tambah limpahan kasih sayang yang di berikan oleh kedua orang tuanya.
Meski demikian, Setiap harinya Aini selalu berpenampilan sederhana.
Sedangkan kakaknya, dia selalu berpenampilan sempurna karena tuntutan pekerjaan. Namun di luar dari itu, sama saja dengan Aini, sederhana pilihannya.
Aini dan Aima adalah kakak beradik yang memiliki sifat yang sama.
Namun Aima adalah anak yang tidak begitu dekat dengan kedua orang tuanya karena Sejak kecil Aima di asuh oleh Kakek dan Neneknya.
Namun meski demikian, hubungan antara kakak beradik itu selalu manis. Tak ada rasa iri sekalipun.
Sebab Aima juga selalu di lengkapi dengan kasih sayang dan limpahan harta dari kakek dan neneknya.
Hanya ada satu hal yang membuat mereka tak pernah saling terbuka. Yaitu tentang, asmara.
Dan anehnya, masing masing di antara keduanya juga tak pernah ada yang bertanya soal itu.
***
Saat Aini mulai merasakan ketertarikan pada lawan jenis, hatinya terpaut pada sosok lelaki tampan, sederhana, pintar, yang tengah menjadi idola di kampusnya.
Bukan semata karena itu, tapi karena sikap ramah lelaki itulah yang menyentuh perasaannya.
Setiap dari gerak gerik lelaki itu, Aini tersenyum mengamatinya dari kejauhan tanpa sedikitpun berniat menghampiri bahkan sekedar ingin berbasa-basi.
Namun setiap sepulang dari kampus, entah mengapa rasa penasarannya selalu mengusik perasaan dan pikirannya.
Sampai pada akhirnya, ia pun mencari tahu tentang siapa sebenarnya lelaki yang ia kagumi itu kepada teman di kampusnya.
Arif namanya. Teungku Arif, Seorang anak pedagang bakso kaki lima yang setiap malam mangkal di perempatan tak jauh dari taman kota.
Aini pun makin penasaran. Padahal ini bukan dirinya yang tertarik dengan kehidupan dan pribadi orang lain. Tapi entah mengapa, sosok Arif mampu mengusik pikirannya.
Sampai pada malam menjelang, Aini ingin memastikan sendiri apa yang ia ketahui dari temannya tentang lelaki itu.
Dengan pakaian rumahan, sendal jepit di kaki indahnya, rambut di urai, Aini melangkah menuju bagasi mobil dan keluar perlahan hingga melaju di ruas jalan utama.
Tepat di lampu merah, Aini membelokan mobilnya menuju deretan gerobak bakso dan gorengan di samping taman kota.
“Ternyata benar. Arif anak pedagang kaki lima,,”. Gumamnya di dalam mobil sambil mengamati Arif yang tengah sibuk membantu Ayahnya melayani para pelanggan.
Masih belum yakin dengan apa yang dia lihat, dia pun turun dari mobilnya dan menghampiri gerobak milik Ayah Arif.
Rasa penasaran yang terus saja mengusik itulah yang akhirnya menuntun kakinya semakin mendekat ke gerobak dimana Arif sedang sibuk melayani pelanggan.
Lama Aini berdiri mematung mengamati aktivitas lelaki itu. Hingga
“Saya pesan satu ya bang,,” Akhirnya Aini greget ingin menyapa Arif.
Mendengar suara itu, Arif menolehkan pandangannya kearah pemilik suara.
Dag dig dug irama jantung Arif berdetak tak menentu ketika matanya menangkap sosok wanita cantik primadona kampus itu berada di tempatnya mencari nafkah.
"Heyy.. Ada apa..?" Ucap Aini melambaikan tangannya tepat di wajah Arif.
Senyum Aini pun semakin membuatnya tak menentu hingga Aini tak sanggup menahan gelak tawanya.
“Maaf.. Eh, silakan duduk dulu..” ucap Arif gemetar sambil menunjuk ke arah bangku panjang khusus untuk pengunjung.
“ Iya makasih. Aku boleh minta waktu kamu sebentar gak..?” Ucap Aini setelah duduk.
“Hmmm, iya boleh..” Sambut Arif mengiyakan tanpa mikir panjang.
“Oh iya, kenalkan aku Aini.. ” Ucap Aini mengulurkan tangannya.
“Saya Arif.." Sambut Arif tersenyum gugup.
Perasaan Arif semakin tak mengarah. Jelas saja, ternyata diam-diam Arif mengagumi Aini sejak lama.
Hanya saja Arif sadar siapa dia dan siapa yang ia kagumi.
Karena hal itulah yang membuat Arif tak mau ada yang tahu soal perasaannya terhadap Ainia. Bahkan dia di juluki oleh sahabatnya sebagai lelaki aneh.
Kebanyakan laki-laki di kampus yang sepantaran dan pantas pun menurut Arif, hanya beberapa di antara mereka yang berani mendekati Aini.
Meski rata rata dari mereka bukan karena soal harta dan kecantikan Aini, atau bahkan bukan karena sombong, tapi karena enggan dan takut di tolak.
Hingga kini rasanya bagai mimpi baginya. Seorang Aini berada di tempatnya dan Ayahnya menjajakan jualan demi menyambung hidup.
' Sudah lama jualan disini..?" Tanya Aini sekedar basa basi.
Arif yang fokus memperhatikan wajah cantik Aini, tidak mendengar apa yang di ucapkan oleh gadis itu.
Sehingga pandangan Aini yang tadinya tengah mengamati suasana di sekitarnya berada, teralihkan menatap wajah Arif dengan tatapan aneh.
'Kenapa menatapku seperti itu..?" Ujar Aini merasa canggung.
'Eh nggak. Maaf tadi, eh tadi.." Arif jadi bingung sendiri berucap apa karena merasa malu tertangkap basah tengah memperhatikan wajah Aini dengan fokus.
.
.
...BERSAMBUNG.....
...Terima kasih sudah mampir disini.. ...
...Mohon dukungannya ya teman teman..🙏💖💖...
' Maaf.." ucap Arif menutupi kegugupannya.
' Iya gak apa apa. Santai aja.." Aini tersenyum ramah.
Pandangan Aini kembali mengintari suasana sekitar tenda yang memang di gelar untuk jualan tersebut.
Suasana cukup ramai disana. Meski tempatnya sederhana dan berada di pinggir jalan, namun tempat itu cukup bersih dan rapih. Sehingga para pengunjung pun merasa nyaman.
Melihat Aini tengah memperhatikan tempatnya jualan, Arif tak sedikitpun merasa gengsi dengan apa yang dia jalani saat ini.
Namun tetap saja ia merasa Aini tak pantas berada di tempat itu mengingat Aini adalah seorang putri konglomerat di kotanya.
“ Oh iya maaf.. Apa nona gak apa-apa berada di tempat seperti ini..? ini hanya tempat orang-orang kecil berjualan..” Ucap Arif mengikuti setiap arah pandangan Aini.
Aini menolah menatap ke arah Arif.
“ Mmm, nama saya Aini.. Panggil nama aja jangan nona.." Sanggah Aini sedikit tidak suka.
Arif tersenyum simpul tanpa menjawab. Ingin bertanya lagi, tapi di urungkannya kembali.
" Saya nggak masalah dengan tempat ini. Santai aja, dimanapun juga sama aja, tujuannya ya makan juga kan. Lagian disini asik, rame, gak bikin suntuk..” Ujarnya lengkap dengan senyum manisnya.
Senyum yang kian membuatnya memukau.
" Iya bukan gitu.. Cuman kan disini tempatnya gak kayak di cafe atau restoran bagi orang orang seperti.." Arif menggantung ucapannya dan melanjutkannya dengan isyarat ibu jari menunjuk ke arah Aini.
Aini paham maksud Arif tersebut. Ada sedikit tidak suka dengan ucapan yang di lontarkan oleh Arif. Bukan kah tadi dia sudah mengatakan bahwa makan di tempat mana pun tujuannya tetaplah sama. Hanya mengisi perut yang kosong.
Belum sempat menjawab, Aini di kagetkan dengan suara dering ponselnya. Ibunya yang mengkhawatirkan kondisinya segera memintanya untuk pulang.
" Mmm baksonya di bungkus aja ya..? Aku harus pulang sekarang soalnya.." Ucap Aini sambil melirik arloji mahal yang menempel di pergelangan tangannya.
" Oh ya udah, sebentar biar saya bungkuskan dulu.." Jawab Arif bergegas menyiapkan bakso pesanan Aini.
Setelah selesai, dengan senyum Aini pun pamit menuju mobilnya untuk pulang.
***
Sejak dari pertemuan mereka malam itu, Aini belum pernah lagi bertemu dengan Arif.
Di kampus pun, Arif tidak pernah melihat sosok Aini. Dia ingin tahu kabar Aini, namun dia tidak punya keberanian untuk bertanya pada teman-teman kampus Aini.
Dia tidak ingin Aini tahu jika dia mencari dirinya hanya karena besar hati telah sudih mampir di tempatnya berjualan bahkan ngobrol berdua disana.
Karena perbedaan status sosial yang samgat jauh, dan tahu betul bahwa Aini adalah wanita yang banyak pengagumnya di kampus tempat mereka menempuh pendidikan, sejujurnya Arif cukup ge er seperti istilah anak muda sekarang.
***
Pagi menjelang, di hari ke empat dimana sejak pertemuan Aini dan Arif pada malam itu, Arif tiba tiba dilanda kerinduan.
Dengan hati yang tidak bersemangat, Arif menaiki motor maticnya menuju kampus.
Dengan langkah gontai Arif berjalan menuju ruang kelas yang berada di lantai 3. Saat menaiki anak tangga, tidak sengaja matanya melihat sosok yang dia rindukan sedang bercengkrama dengan mahasiswi di ujung anak tangga.
Arif mempercepat langkahnya ingin menghampiri Aini. Namun saat sudah di ujung anak tangga, tiba tiba dia tersadar dari kecerobohannya itu.
Arif menggerutu dalam hati, kenapa juga harus menuruti perasaannya yang seharusnya sadar diri siapa dirinya.
" Haduu bodoh bodoh bodoh. Kenapa harus nyamperin sih? Belum tentu dia masih ingat kamu Rif, Rif.." Gerutu Arif dalam batin yang sudah kepalang tanggung tengah berada di depan Aini dan teman temannya berada.
“ Hay, Assalamualaikum..” Sapa Arif dengan senyum gugupnya.
Aini membalas salamnya dan langsung memalingkan wajahnya dengan acuh. Membuat Arif menjadi malu dan langsung pergi meninggalkan sekelompok mahasiswa itu.
“ Wah si abang kasep tadi menyapa aku kan ya..?” Tanya Mila teman Aini yang memang mengagumi Arif kakak tingkat mereka itu dengan narsis.
“ GR , dia menyapa kita semua tau. Kamu gak dengar tadi dia gak sebut nama..?”. Jawab Rani menimpali.
Mila menggerutu karena kesal.
“Sudah sudah.. Ributin apa sih..? Ayo ah ke kantin.. Aku laper ni belum sarapan tadi pagi..” Ujar Inayah menengahi.
Sedangkan Aini sejak tadi hanya diam saja. Dia merasa kasihan juga sudah cuek pada Arif yang membuat Arif terlihat malu di depan teman temannya.
Hingga tanpa sadar ketiga sahabatnya menarik lengannya menuju kantin dan membuat lamunannya buyar.
***
Tiba di kelas, Arif mengusap wajahnya kasar. Merutuki dirinya dengan bodoh. Beraninya menyapa Aini yang jelas sudah tahu resiko yang bakal dia temui.
Menyesal bukan karena dia sakit hati. Tapi karena dia malu pada Aini dan sahabat-sahabatnya karena telah berani menyapa dengan percaya diri nya.
Selang beberapa saat kemudian, setelah mata kuliah selesai, Arif yang kini sudah berada di parkiran kampus, sudah memakai helmnya dan siap meluncur pulang.
“ Mobil ku ban nya bocor, bisa nebeng pulang gak..?” ucap Aini sambil duduk di jok belakang motor Arif tanpa permisi.
Arif terlonjak kaget dengan suara dan gerakan Aini yang tiba tiba tanpa aba aba itu.
Dengan spontan dia menengok ke arah kebelakang. Arif semakin gugup saat matanya berpapasan dengan manik mata Aini yang teduh.
Aini yang tahu kegugupan Arif, tersenyum mencubit lengan Arif dengan pelan. Terlihat Arif meringis akibat cubitan tangan Aini.
"Apa sih liatinnya gitu amat..?" Tanya Aini menahan tawanya agar tidak keluar dari bibirnya.
Arif yang tersadar dari keterpakuan nya langsung membuka helmnya dan memberikannya kepada Aini tanpa satu katapun.
“ Loh gak ada helm lain..?” tanya Aini menerima helm dari tangan Arif dengan ragu.
“Gak ada. Cuma ada itu. Gak pernah soalnya boncengin siapa- siapa. Jadi gak pernah bawa cadangan selain yang aku pake..” Jawab Arif yang mulai bisa menetralisir perasaan gugupnya.
Aini tersenyum menatap punggung Arif yang mulai menghidupkan mesin motornya
Saat mendengar pengakuan Arif yang menurutnya lucu sebab kenapa juga Arif harus menjelaskan kepadanya. Toh mereka bukan siapa siapa.
Sepanjang perjalanan, Arif lebih memilih diam meski Aini sering mengomentari apa saja yang dia lihat di sekitar jalan.
Aini bukanlah orang yang suka bercerita. Hanya saja Itu dia lakukan semata untuk mengakrabkan mereka karena merasa bersalahnya sudah bersikap acu pagi tadi.
Sementara di sisi lain, Arif tidak mengerti apa maksud wanita yang sedang duduk di jok belakangnya itu.
Arif semakin bingung dengan sikap Aini hingga memilih diam, itulah yang Arif lakukan.
Sesampainya di depan pintu gerbang rumah mewah milik orang tua Aini, Arif tetap memilih diam membisu.
Aini turun sambil membuka helm dan menyerahkan ke Arif. Namun saat Arif meraih helm tersebut, Aini menahannya.
Arif mengernyitkan alisnya dengan sikap usil Aini yang baru dia ketahui ini. Aini tertawa geli melihat ekspresi Arif. Pada dasarnya, Aini adalah sosok yang periang dan suka becanda jika pada orang yang dia kehendaki.
Melihat Arif menurunkan tangannya dan diam tanpa protes, membuat Aini menyerahkan kembali tanpa menahannya lagi.
“ Kenapa..? ” tanya Aini melihat Arif menatapnya datar.
Arif menjawab dengan gelengan kepala sambil memakai helmnya.
Dalam hati Arif, dia gemes dan bahagia melihat sosok Aini yang baru dia ketahui ini.
Namun karena kejadian pagi tadi membuat dia memilih diam karena malu jika Aini kembali mengabaikannya.
Arif mencoba untuk menahan diri. Aini tidak tahu jika Arif menyukai nya. Dia hanya tahu Arif menjaga jarak dengannya karena status social mereka.
“ Gak mau masuk dulu..?” tawar Aini kemudian.
“Gak usahlah, terima kasih sebelumnya atas tawarannya..” Ujarnya tanpa mau melihat wajah Aini.
Melihat reaksi Arif, Aini merasa Arif kesal karena sakit hati dengan sikapnya.
“ Maaf..” ucap Aini akhirnya.
“Maaf untuk apa..” tanya Arif menoleh menatap Aini.
“ Pagi tadi.. Aku punya alasannya..” ucap Aini dengan nada lirih.
Arif tersenyum menatap wajah idola hatinya itu. Dia menyimpulkan bahwa masud dari Aini soal punya alasan kenapa Aini melakukan itu kepadanya tak lain karena Aini malu jika ada yang tahu karena status mereka yang jauh.
“Tidak apa-apa.. Aku mengerti..” jawab Arif tersenyum simpul.
“ Mmm, aku balik dulu ya..? Terima kasih sudah mau naik motor butut ku..” pamitnya dengan senyum.
Aini menjawabnya dengan lambaian tangan tanpa menjawab. Dia merasa bersalah karena sikapnya yang terkesan sombong pada Arif saat di depan teman-temannya.
Namun seperti katanya tadi, dia mempunyai alasan saat melakukan itu. Tapi bukan seperti yang di pikirkan oleh Arif.
.
.
...BERSAMBUNG...
...Terima Kasih sudah mengunjungi novel saya ini. Mohon dukungannya, agar saya bisa terus memberikan karya dan cerita yang sesuai dengan harapan teman teman semua.. 💞💞🙏🙏...
Tanpa terasa dua bulan sudah kedekatan mereka terjalin dengan baik. Saling bertukar pesan lewat aplikasi di handphone tanpa canggung lagi, membuat keduanya semakin dekat.
Sampai pada suatu hari, Arif memberanikan diri untuk mengutarakan perasaannya lewat sebuah puisi menjelang tidur.
Sebelumnya, sudah seharian Arif tidak bertemu dengan Aini di kampus.
Kemana Aini, tidak ada yang tahu. Membuat hati Arif gundah berbalut rindu pada sosok wanita yang telah mengisi hatinya yang kosong itu.
Dengan perasaan dag dig dug, Arif mencoba mengirim satu rangkaian puisi dadakan.
Jika di tanya, siapa yang telah menyentuhnya saat ini.
Siapa yang membuatnya damai bak dalam pelukan hangat
Jawabannya adalah dirimu Aini.
Bayangan senyummu yang tak bisa pudar bahkan sedetikpun di ingatanku.
Tawamu, gerak gerik mu, tutur sapamu, dan yang semua ada padamu, selalu mampu membuat hatiku merindu.
Namun bibir ini kaku, lida ini keluh saat berada di depanmu. Seakan terkunci dengan gembok kekal.
Sempat aku meragu..
Namun hampir di setiap menjelang malam seperti ini,
Aku bermohon pada pemilik semesta
Untuk menyadarkan diriku, apakah rasa ini sungguh.
Dan kini di malam ini, aku tidak bisa lagi membendung rasa ini untukmu.
Maafkan aku
Sebab aku tahu tak layak, Namun harus ku katakan, Bahwa aku merindukanmu.
Aku menginginkanmu.
Aku mencintaimu.
Aini tersenyum tatkala membaca pesan yang bertajuk puisi tersebut.
Dari sekian banyak laki-laki yang mendekatinya, baru kali ini Aini mendapatkan kiriman puisi.
Dan itu dari Arif, lelaki yang dia sukai di kampusnya.
Sementara di seberang sana, Arif gelisah menunggu jawaban dari Aini. Meski dia tidak yakin akan ada balasan, namun dia tetap saja berharap ketika tahu Aini sedang Online.
Arif melihat pesan nya sudah tercentang biru, bertanda telah di baca. Namun semenit kemudian Aini justru offline.
Ingatan Arif sejenak menerawang jauh kebelakang. Mengingat kembali dimana Aini yang tak sekali pun mau setiap di ajak makan di luar ataupun sekedar untuk nonton.
Entah apa alasannya, Arif pun tak tahu kala itu. Namun melihat apa yang terjadi hari ini, Arif menyimpulkan sendiri bahwa Aini tidak sekali pun menyukainya.
Arif menarik nafasnya dan menghembuskannya dengan kasar. Arif merutuki kebodohannya sudah berani menyatakan cinta pada gadis yang jelas sangat jauh kasta dan tahta dengannya.
Dia pun akhirnya memilih untuk tidur. Meski dia terus saja merasa gelisah sehingga sulit untuk memejamkan mata.
Sementara itu, di kamar Aini, Aini diam memandangi ponselnya.
"Entah apakah ini sudah benar. Yang jelas, aku merasa kamu harus menghindari mu demi kebaikanmu juga. Aku takut membebani mu.." Gumam Aini dalam hati.
" Ada banyak mata yang tidak suka melihat kedekatan kita.. Aku gak ingin orang-orang menghujatmu di belakang seperti yang sering ku dengar. Mendekatiku karena sesuatu, meski aku tahu kamu tulus. maafkan aku Arif.." Gumamnya begitu lirih.
***
"Sayang.. Kenapa duduk di luar..? Angin malam gak baik untuk kamu sayang.." Tutur bu Ineke menghampiri Aini yang saat ini duduk di balkon kamarnya.
Sudah beberapa hari Aini mengalami keluhan sakit. Awalnya yang hanya lemas, kini bertambah dengan sering mengalami demam secara tiba tiba.
Meski sudah sempat berobat, namun Aini belum juga tahu pasti apa sebenarnya sakit yang menyerang tubuhnya.
Dan beberapa saat yang lalu pun Aini tiba tiba mengalami mimisan. Meski hanya sebentar, namun jujur saja hal tersebut membuat dia dan orang tuanya sangat khawatir.
"Aini gak kenapa napa mama.." Sanggah Aini tersenyum kecil.
"Tapi nak, tetap aja.. Ayo ah masuk.. Ini minum dulu susunya.." Ujar bu Ineke menarik lembut tangan sang putri dan menutup pintu balkon dengan segera.
Bu Ineke menuntun sang anak duduk di tepian tempat tidur. Dengan menyodorkan segelas susu hangat yang di terima oleh Aini, ibunya mengelus pipinya dengan penuh kasih.
"Besok kita berobat lagi ya..? Sekarang kamu istirahat dulu.." Ucap bu Ineke mencium pipi sang anak penuh sayang.
Aini menatap wajah sang Ibu dengan diam. Jujur saja, dia takut kali ini. Namun sesaat kemudian, Aini pun menganggukkan kepalanya.
"Mama keluar ya? Habisin susunya dan langsung istirahat." Ucap sang Ibu mengelus pipi pucat Aini kemudian berlalu meninggalkan kamarnya.
Pagi menjelang. Ibu Ineke menghampiri kamar Aini berniat membangunkan anak gadis kesayangannya itu, di kejutkan dengan kondisi Aini yang terkulai lemas di pintu balkon kamarnya.
Dengan panik Ibunya menangis histeris memanggil manggil sang suami untuk segera ke kamar sang anak.
Mendengar teriakan sang istri, pak Samsul yang saat itu baru saja keluar dari kamarnya hendak ke meja makan, bergegas menemui sang istri di kamar Aini.
Dengan sigap pak Samsul menggendong tubuh Aini menuju mobil dan melarikannya ke rumah sakit Kasih setia.
"Gimana dok keadaan anak saya..?" Tanya bu Ineke dengan cemas setelah melihat dokter muncul dari balik pintu.
Terlihat jelas sang dokter yang sudah begitu akrab dengan mereka itu tengah menarik napasnya sebelum menjawab.
"Begini bu, anak Ibu kondisinya sangat lemah.. Kami harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut lagi untuk mendeteksi kemungkinan adanya penyakit serius dalam tubuh Aini.."
"Kita sudah mengambil sampel darahnya. Semoga apa yang kita khawatirkan tidak terjadi. Namun jika diagnosa saya benar, maka kita akan segera melakukan tindakan lanjutan." Jelas sang dokter panjang lebar.
Ibu Ineke maupun pak Samsul seketika menjadi lemas saat mendengar penjelasan dokter. Mereka tidak menyangka, anaknya yang selama ini sering mengeluh kecapean dan lemas ternyata bisa sampai sakit seserius ini.
" Tapi dok, bukankah hasil pemeriksaan kemarin Aini hanya mengalami demam biasa karena faktor kecapean..?" Tanya pak Samsul merasa bingung.
" Iya benar. Dan ini sudah berapa kali Aini mengalami demam dan pingsan tiba tiba. Apalagi sempat mengalami mimisan serta lemas.." Jelas dokter.
"Lakukan saja yang terbaik dok untuk anak kami.." Ucap pak Samsul meminta.
"Kami pasti akan melakukan yang terbaik untuk pasien.. Kalau begitu, saya permisi dulu.." Ujar dokter pada bu Ineke dan pak Samsul.
***
Seminggu sudah Aini terbaring sakit di RS karena kanker darah yang ia derita.
Kabar penyakit Aini sangat membuat Keluarganya terutama bu Ineke dan pak Samsul, sangat terpukul.
***
Selama sakit dan di rawat di rumah sakit, Aini tidak pernah sekali pun memberi kabar pada Arif.
Hal itu tentu membuat Arif beranggapan bahwa Aini sengaja menghindarinya karena pernyataan cintanya malam itu.
Arif bahkan kecewa dengan sikap Aini yang menurutnya sangat ke kanak kanak kan. Hal itu dia simpulkan sendiri karena Arif tidak mengetahui perihal Aini yang saat ini sedang sakit sehingga tidak pernah terlihat berada di kampus.
Hingga sampai pada minggu kedua, Arif menghampiri Naya teman sekelas Aini untuk sekedar bertanya dimana Aini berada.
Meski mempunya kesimpulan sendiri, bahkan merasakan kekecewaan yang amat, Arif memutuskan untuk menemui Aini bagaimana pun caranya.
Arif ingin menjelaskan pada Aini agar tak perlu menghindarinya seperti itu jika memang dirinya tidak pantas berada di sisinya.
Dan saat dirinya mencari sosok sahabat sahabat Aini, tanpa sengaja matanya menangkap bayangan Naya di ujung lapangan basket.
"Naya.." Arif berlari kecil menghampiri Naya yang baru saja akan beranjak dari tempatnya.
Naya menolehkan pandanganya ke arah suara yang memanggil namanya.
"Saya mau nanya. Aini kemana ya..? Kok gak pernah saya liat dia di kampus.." Tanya Arif langsung pada tujuannya.
"Emang kamu beneran gak tau..?" Selidik Naya menatap manik mata Arif.
"Kalau tau, saya gak akan nanya Naya." Jawab Arif greget.
Naya yang tahu perihal kedekatan keduanya dari Aini sendiri, akhirnya mengatakan dimana Aini berada sekarang.
Jujur saja Naya pun baru mengetahuinya semalam dari pembantu di rumah Aini saat Naya berkunjung disana seperti biasanya.
Dan bak petir di siang hari rasanya, saat Arif mendengar orang yang ia cintai kini terbaring di rumah sakit dengan vonis penyakit yang mematikan.
Tanpa Pikir panjang, Arif langsung berlari menuju parkiran mengambil motornya dan beranjak menuju ke Rumah Sakit tempat Aini di rawat.
Setibanya di rumah sakit, Arif tak sanggup membendung perasaannya. Ingin rasanya ia berontak tapi entah pada siapa.
Ketika melihat Aini terbaring lemah di hadapannya, tetes air matanya tak mampu ia tahan. Entah mengapa dirinya begitu cengeng di hadapkan dengan realita di depan matanya itu.
Ibu Ineke yang baru saja masuk setelah dari ruangan dokter, terkejut saat melihat seorang lelaki tengah berdiri di samping ranjang Aini.
"Mmm, anda siapa ya..? Kenapa bisa berada di kamar anak saya..?" Tanya bu Ineke mengerutkan keningnya.
Pasalnya dia tidak pernah melihat Arif sebelumnya.
Arif terlonjak kaget mendengar suara bu Ineke tepat di belakangnya berdiri.
"Ehh maaf.. Maaf saya lancang masuk tanpa permisi.. Saya Arif nyoya, teman kampusnya Aini.." Tutur Arif santun sembari menunduk.
Ibu Ineke diam memperhatikan Arif dari kepala hingga kaki. Dia memastikan apakah teman anaknya itu orang baik atau kurang baik seperti anak muda di luar sana.
Sementara itu, Arif merasa tak nyaman melihat Ibu Ineke memandangnya seperti maling yang kedapatan sedang mencuri.
.
.
...BERSAMBUNG.....
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!