Cinta Dalam Diam Bagian 1
Oleh Sept
Pengenalan tokoh
Bimasena, putra pertama dari tiga bersaudara. Menjadi seorang perwira polisi adalah impian bagi banyak orang. Dan itu juga impian dari seorang bernama Bimasena. Pria berbadan tegap dengan tinggi 180 cm lebih itu, terlihat gagah layaknya seorang prajurit perang.
Pria itu kini terlihat fokus pada target yang berada jauh di depannya. Ya, Bimasena sedang melakukan ancang-ancang untuk menembak sasaran. Selain jago menembak, ia juga ahli bela diri. Bima bahkan mampu melumpuhkan musuh dengan tangan kosong. Dia adalah salah satu perwira terbaik yang dimiliki oleh negeri ini.
Asha Farhana Permadi, seorang dokter. Cantik, berhati hangat. Kerja di sebuah rumah sakit besar di kota Jakarta. Untuk menjadi dokter, Asha hanya butuh waktu 5 tahun. Sering mengikuti program akselerasi sejak duduk di bangku SD. Membuat Asha di umurnya yang masih muda sudah menyandang gelar dokter. Dengan predikat lulusan terbaik pada saat itu.
Haris, seorang pegawai bank. Adik kandung Bimasena. Pria dingin dan selalu fokus pada pekerjaan. Namun, kehadiran Asha membuatnya bersikap berbeda. Bermula dari sebuah salah paham, akhirnya ia terjebak pada cinta segitiga dengan sang kakak.
***
Saat ini usia Asha baru 20 tahun, statusnya sebagai mahasiswi kedokteran di salah satu perguruan tinggi ternama di kota Jakarta, membuat Asha menjadi bahan incaran untuk teman-teman satu angkatan.
Siapa yang tidak tertarik dengan sosoknya yang cantik, manis dan kalem tersebut. Senyumnya seperti embun, menyegarkan bagi siapa yang melihat. Suaranya lembut, tutur bicaranya sopan. Sangat good attitude dan good looking.
Bahkan Asha sering tak segan-segan menolong temannya untuk sekedar memberikan endorse gratis di kolom IG gadis cantik dan cerdas tersebut. Karena sudah pasti, Asha memiliki banyak pengikut setia di sosial medianya.
Sayang, meski cantik dan idola kampus. Asha masih jomblo. Ya, dia belum punya pacar. Bahkan tidak pernah punya pacar.
Entah mengapa, gadis secantik dia sama sekali tidak tertarik pada lawan jenis. Asha lebih tertarik pada kegiatan baksos di kampus daripada kencan dengan pacar, nongkrong di kafe ala anak muda jaman sekarang.
Itulah Asha, gadis yang tumbuh di era milenial tapi tidak terpengaruh dengan dunia luar. Ia seperti anak pondok yang tersesat di tengah kota metropolitan.
***
Siang hari, udara di Jakarta saat itu terasa sangat panas. Asha turun dari sebuah taksi. Sambil membawa rantang makanan, Asha berjalan menuju sebuah gedung bank ternama. Iklan bank tersebut bahkan sering wara-wiri di televisi.
Karena udara panas, Asha pun buru-buru. Hingga tidak sengaja ia menabrak seorang. Untung saja rantangnya aman. Itu kan isinya makanan. Sayang kalau tumpah. Asha memasak itu khusus untuk pria yang akan ia temui di dalam bank tersebut.
"Hati-hati kalau jalan!" ucap pria yang ditabrak Asha.
Pria itu berjongkok memunguti berkas yang tercacar karena tabrakan barusan. Semua berkas yang berisi data penting nasabah, jatuh berserakan di lantai cor tersebut.
Bukannya membantu, Asha malah menyilangkan tangan sambil menatap ke arah pria yang sedang mengambil kertas-kertas itu. Kesal, pria itu lalu mendongak. Menatap jengkel ke arah Asha.
"Kalau sudah menabrak orang, harusnya minta maaf. Dan minimal bantu ambilkan barang yang kamu jatuhkan!" celetuk Haris.
Wajahnya yang tampan, terlihat ditekuk seperti cucian yang kusut. Panas-panas ditabrak seorang wanita. Cantik sih, tapi gak sopan. Sudah nabrak malah belagu. Dia mematung, hanya memperhatikan dirinya yang sibuk memulung berkas-berkas miliknya yang berantakan di lantai.
"Kau tidak dengar aku bilang apa?"
Haris mungkin kesal, karena berkasnya malah tersapu angin lari ke sana-kemari. Bukannya ikut menolong, Asha benar-benar hanya diam mengamati seperti juri.
"Astaga!" desis Haris yang menahan rasa kesal.
"Maaf ya, aku gak mau kaya di film-film! Tidak sengaja tabrakan, ngambil barang bareng-bareng, terus tangan gak sengaja bersentuhan. Lalu tukar nomor dan jadian!" celetuk Asha dengan sangat lancar dan mengangkat dagunya tinggi.
'Astaghfirullahaladzim! Salah makan apa gadis ini?' batin Haris menatap Asha. Ia sama sekali tidak habis pikir. Apa yang ada dalam kepala Asha membuatnya geleng-geleng. Kok ada gadis model begini.
Yang ada, Haris malah tidak tertarik. Kalau begini, ceritanya seolah-olah ini adalah skenario Haris. Sengaja menabrak, biar mereka mengalami momen yang Asha halukan barusan.
'Gadis aneh!' gumam Haris.
"Ya sudah! Pergilah! Kenapa kau tetap berdiri di sini?" cetus Harus sambil memungut kertas yang terakhir.
Asha yang biasanya sangat ramah pada semua orang, entah mengapa saat itu sangat jengkel saat melihat Haris. Padahal, ini adalah pertemuan mereka yang pertama.
Dengan langkah percaya diri, Asha berbalik. Sambil tangannya membawa rantang. Asha berjalan masuk ke dalam Bank.
"Siang, Pak!" sapa Asha pada petugas keamanan yang membuka pintu untuknya.
"Siang Mbak Asha."
"Ini buat Bapak!" Asha mengeluarkan sesuatu dalam tasnya. Sepertinya makanan ringan. Sedangkan rantang miliknya, tidak boleh buat siapapun. khusus untuk someone special di hati Asha.
"Permisi, Pak!"
"Silahkan, Mbak."
Di belakang Asha, Haris berjalan sambil mendekap berkas. Pria itu memasang muka serius tak kala memasukkan gedung bank yang cukup bergengsi tersebut.
Haris sendiri adalah branch manager di bank tersebut. Saat ia berjalan, semua pegawai melempar senyum padanya dengan ramah. Haris hanya mengangguk sedikit, kemudian masuk ke dalam ruangannya sendiri.
***
Di belahan kota yang lain. Sukabumi, di salah satu pusat pendidikan kepolisian terbaik di negeri ini. Seorang pria nampak fokus dengan benda yang ia pegang. Siap menembus apa saja yang ia bidik.
Dooorrr ...
Tembakan pas mengenai sasaran. Sekali lagi ia mencoba, hasilnya sama. Dia adalah perwira terbaik. Sepertinya calon komandan masa depan.
Tidak hanya itu, selain menguasai dunia pertembakan, sosok tersebut juga terkenal sangat disiplin. Kaya akan prestasi. Cintanya pada tanah air pun tidak diragukan lagi. Bagi pria berbadan tegap dan atletis itu, cintanya sekarang ini adalah negaranya. Hanya negara, karena dia masih betah jomblo.
Perwira tampan itu sibuk dengan urusan negara. Hingga tidak mau memikirkan masalah asmara. Dia adalah Bimasena, pria 27 tahun, salah satu perwira terbaik di negeri ini.
Hari-harinya hanya ia habiskan untuk negara, tidak ada yang lain. Sebenarnya ia sedang mengincar seorang gadis. Sudah lama, lama sekali. Sejak gadis itu masih belia.
Bima bukannya tidak normal. Karena menyukai seorang gadis kecil saat dia duduk di bangku SMA. Pertemuan pertama di rumah temannya saat SMA dulu, cukup membuatnya terkesima.
"Bagaimana kabarmu Asha?" gumam Bima tersenyum getir.
Sudah lama ia tidak mendengar kabar gadis kecilnya itu. Adik dari sahabatnya sendiri semasa sekolah menengah atas. Dulu, sering sekali ia pura-pura belajar kelompok. Hanya sekedar melihat Asha bermain.
Tidak lupa, selalu membawa coklat saat belajar kelompok. Ia memang terkesima dengan kepandain Asha. Di usia yang baru 10 tahun Asha sudah duduk di bangku SMP.
Kecerdasan Asha membuat Bima kagum. Hingga semasa SMA, ia iseng ke sana. Sampai Asha lulus SMP. Ya, Asha hanya 2 tahun SMP. Dan begitu juga dengan SMA. Semua sangat singkat, karena IQ Asha yang luar biasa.
Mungkin itu pertama yang membuat Bima terkesan. Hingga sampai sekarang. Tapi, sejak memutuskan menjadi perwira polisi. Mereka sudah tidak bertemu. Asha sibuk kuliah kedokteran, sedangkan ia sendiri sibuk keliling Indonesia.
Iseng, di kala jam istirahat. Ia menghubungi temannya. Kakak perempuan Asha. Nia Eka Permadi. Tidak kalah dengan Asha. Terpaut 7 tahun, tapi Nia terlihat sangat cantik.
"Assalamu'alaikum ... hallo? Bima? Tumben telpon? Apa kabar? Sekarang sibuk apa?"
"Waalaikumsalam ... pertanyaannya satu-satu, Nia!" protes Bima.
Meski jarang komunikasi, keduanya tetap terlihat dekat. Itu karena semenjak SMA mereka satu sekolahan, dan selalu satu kelas. Sering belajar bareng, pas lulus SMA pun kalau ada waktu mereka bertemu. Bersama teman satu geng mereka.
Nia, Bima dan Firman. Trio wek-wek, sahabat saat muda sampai mereka sudah menginjak usia dewasa.
"Eh tumben telpon? Ada apa? Aku dengar kamu baru tugas dari Aceh."
"Alhamdulillah kabar baik. Sekarang sudah di Sukabumi."
"Oh, terus ada apa ini? Gak biasanya kamu telpon?"
Bima tersenyum tipis, kemudian dengan ragu menanyakan sesuatu.
"Bagaimana kabar Asha?"
Di seberang telpon, Nia langsung terkekeh.
Sementara orang yang dibicarakan, sedang berada di sebuah ruangan bersuhu dingin karena AC.
"Makan yang banyak, ya. Ini masakan Asha. Dibuat penuh cinta!" seru Asha tersenyum manis dengan mata berbinar-binar pada sosok pria di depannya yang menatap dengan tatapan sayang.
BERSAMBUNG
Baca juga novel Sept yang lain
Dinikahi Milyader
suami Satu Malam
Dipaksa Menikah
Wanita Pilihan CEO
Dea I love you
Kanina Yang Ternoda
cinta yang terbelah
menikahi pria dewasa
Pernikahan Tanpa rasa
The Lost Mafia Boy
Menikahi pria Cacat
suamiku Pria Tulen
dokter Asha and KOMPOL Bimasena
crazy Rich
selengkapnya kalian bisa klik profile Sept
Terima kasih
Cinta Dalam Diam Bagian 2
Oleh Sept
"Bagaimana? Enak kan masakan Asha, Pak?"
Asha begitu percaya diri, ketika rantang yang ia bawa kini isinya ludes dihabiskan oleh Pak Han. Bapak kesayangan Asha. Pria berusia 50 tahun itu merupakan karyawan senior di salah satu BUMN tersebut.
Pak Han salah satu karyawan senior yang sudah seperti sesepuh di sana. Beliau adalah pegawai paling tua usianya di sana. Hitungan tahun juga sudah mulai pensiun.
"Ya sudah ... Asha balik ya, Pak. Mau mampir ke toko buku. Ada buku baru yang baru saja terbit."
"Asha!" panggil Pak Han.
Asha menoleh, dilihatnya sang bapak malah mengulurkan tiga lembar uang merah seratus ribuan.
"Asha punya duit, Pak! Uang jajan Asha masih banyak."
Pak Han mengangguk pelan. "Ambil Asha, buat traktir temen Asha juga boleh!"
Bibir Asha langsung mengembang, dengan malu-malu ia raih yang dari bapaknya.
"Makasih, bapakku sayang!" ucapnya sambil memeluk pak Han.
Pak Han pun mengusap kepala Asha yang tertutup hijab tersebut. Dengan lembut, ia mengusap sayang kepala putri ketiganya itu. Asha anak terakhir, paling manja, paling manis, dan paling dekat dengan bapaknya.
Dari pada Ibu Weni, nama ibunya Asha. Ini karena ibu Weni sibuk. Beliau kepala sekolah di semua SMA ternama di kota itu. Jadwal ibu Weni sangat padat. Sering sekali Asha kurang waktu dengan ibunya itu.
Sebagai gantinya, Asha lebih dekat dengan bapaknya. Bapak yang sudah seperti temannya sendiri tersebut.
"Ya sudah. Asha balik ya, Pak!"
Asha mendekatkan wajahnya, kemudian mengecup punggung tangan Pak Han. Keduanya terlihat dekat, saling tatap dengan tatapan penuh kasih. Membuat orang di seberang ruangan, yang mengamati sejak tadi ngedumel tidak jelas.
"Astaghfirullahaladzim ... masih muda sudah jadi istri simpanan!" gerutu Haris.
Ia lalu kembali mengintip, dilihatnya lagi Pak Han mengusap pipi Asha. Padahal Pak Han sedang merapikan sehelai rambut Asha yang keluar dari hijabnya.
Makin kekilah si Haris. Branch manager itu tiba-tiba gusar sendiri. Tidak suka kantor dijadikan tempat yang tidak pantas.
Haris ini Manager baru, dia tidak tahu siapa Asha. Ia hanya mengira bahwa Asha wanita gak bener. Malu sekali dengan hijabnya. Tapi kelakuan minus. Seperti pria julid, Haris komat-kamit mengatai Asha.
***
Esok harinya. Seperti kemarin, tapi kali ini agak sorean. Langit pun sudah mulai petang. Asha kembali datang ke Bank. Begitu Pak Han keluar bank tersebut, Asha langsung mendekati bapaknya. Asha menggelayut manja pada sosok pria yang tidak muda tersebut.
"Astaghfirullahaladzim!" pekik Haris yang kala itu ada dalam mobil. Ia hendak keluar untuk mencari sesuatu. Haris heran, mengapa keduanya bermesraan di depan umum.
"Dunia memang sudah terbalik. Rasa malu rasanya sudah tidak ada!" celetuk Haris sambil memundurkan mobilnya. Entah mengapa, dia menjadi kesal melihat perilaku yang ia anggap tidak pantas tersebut.
Kadang manusia mempercayai apa yang ia lihat. Seolah itu adalah fakta yang pasti sudah benar adanya. Padahal, yang terlihat kadang tidak seperti kelihatannya.
Seperti sekarang, Haris sudah mengambil kesimpulan yang salah. Ia mengira Asha adalah gadis yang suka uang. Makanya bergelendotan pada pria yang cocok jadi ayahnya.
"Astaga ... kenapa aku memikirkan gadis itu? Ish!"
Haris pun memacu pajeronya lagi. Meninggalkan kawasan bank.
***
Di tempat yang lain.
Sukabumi, malam sudah semakin gelap. Bimasena baru kembali dari markas. Sepanjang malam, ia tidak bisa tidur. Ia terbaring dengan mata yang masih terjaga. Menatap langit-langit kamar dengan gelisah.
Sudah beberapa malam ini ia merasa tidak tenang. Seolah sesuatu sedang mengusik hatinya. Tanpa sadar, ia akhirnya lama-lama terpejam.
Pukul 3 pagi. Bimasena, atau Bima panggilan akrabnya terbangun. Ia melihat sekitar. Hanya ada suara jangkrik dan binatang malam lainnya.
Pria itu pun turun dari ranjang, sempat terdiam untuk sesaat. Kemudian pergi mengambil air wudhu. Bima yang resah hatinya. Gundah gulana karena merasa hampa, memilih mengadu pada Rab-nya.
Di sepertiga malam, sosok pria berbadan tegap dan jangkung itu pun menggelar sajadah. Bima hendak bercerita pada sang Pencipta. Tentang hatinya yang risau, tentang perasaan yang tiba-tiba terasa kosong.
Begitulah keseharian Bimasena, di sela-sela tugasnya sebagai abdi negara. Pria muda, gagah, dan perkasa itu tidak lupa dengan Penciptanya.
***
Jakarta
Sudah beberapa kali Asha bolak-balik ke bank. Dan ketika ia makan bersama bapaknya, Haris juga selalu mengamati dari jendela dari ruang kerjanya.
"Gak nyangka banget, Pak Han tega sekali sedang istri tuanya!"
Haris masih saja suudzon. Ia marah-marah tidak jelas. Dengan sinis kemudian menutup tirai jendelanya.
Hingga beberapa minggu kemudian. Asha sama sekali tidak pernah kelihatan di bank. Penasaran, tiap jam makan siang, Haris selalu mengintip.
"Ke mana gadis itu?"
Penasaran, ketika sudah sore. Saat waktu pulang, Haris sengaja bertanya pada satpam di bank itu.
"Pak, istri mudanya Pak Han sudah lama tidak ke sini?"
Dahi satpam bank itu pun mengkerut. Sejak kapan manajer mereka jadi suka ghibah. Pakai bertanya istri muda Pak Han. Istri muda yang mana pula. Sejak kapan Pak Han menikah lagi?
'Masa Pak Han nikah lagi?' pikir satpam tersebut.
"Maaf Pak Haris. Pak Han yang mana yang bapak maksud?"
"Ya Salam! Di sini kan cuma ada satu yang namanya Han!" cetus Haris tiba-tiba naik darah.
"Tapi Pak Han kan tidak pernah menikah lagi? Setahu saya istrinya cuma satu."
Ganti dahi dan alis Haris yang menyatu.
"Masa bapak nggak tahu? Istri mudanya yang itu ... yang sering mesra-mesraan dengan Pak Han!"
"Apa jangan-jangan selingkuhan? Astaghfirullahaladzim!" tambah Hari sambil geleng-geleng kepala.
"Hah? Mbak Asha? Yang sering datang bawa rantang makanan?"
"Nah itu!" sela Haris antusias.
Satpam tersebut langsung tersenyum.
"Bukan istrinya, Pak."
"Hah? Bukan istri .... Selingkuhan? Lalu ... apanya?"
Pak satpam hanya bisa geleng-geleng kepala melihat bagaimana Haris yang sudah salah paham pada Asha dan Pak Han.
"Bukan, Pak! Itu Mbak Asha. Putri ketiga Pak Han."
JLEB ...
Mak nyess ...
Entah mengapa, ada yang tiba-tiba menyeruak masuk merambat melalui pembuluh darah dan langsung masuk dalam jantungnya.
Cinta Dalam Diam Bagian 3
Oleh Sept
Setelah drama salah paham, Haris mulai kepikiran Asha. Tiap hari kalau ke kantor pasti kegiatannya ngintip ke luar jendela ruangan. Sayang, Asha memang sudah berminggu-minggu tidak datang.
"Ke mana gadis muda itu? Apa dia sakit?"
Penasaran, ia pun mencari cara untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Dasar Haris licik, ia sengaja memberikan banyak berkas untuk diperiksa oleh Pak Han.
Sampai Pak Han harus lembur, karena jam kerja serasa tidak cukup. Saking banyaknya pekerjaan yang dibebankan dari atasannya itu.
Tok tok tok
"Masuk!"
Pak Han masuk, memberikan berkas yang sudah ditugaskan padanya.
"Ini lagi, Pak!" ucap Haris yang memang sengaja.
Pak Han mengernyitkan dahi.
'Ada apa dengan Pak Haris, tutup bulan masih lama, kenapa pekerjaan menumpuk begini?' batin Pak Han yang merasakan aneh pada bosnya tersebut. Meski lebih tua, bahkan usianya terpaut dua kali. Namun, Pak Han memperlakukan Haris dengan hormat. Karena pria itu adalah atasannya.
"Kenapa, Pak? Kalau waktunya gak cukup. Nanti bisa saya bantu. Tapi jangan di kantor. Bisa minta alamat Pak Han. Nanti saya ke sana."
TOENG ...
Makin bingung lah Pak Han. Kenapa atasannya di kantor malah mau ke rumahnya sekedar lembur? Sangat mencurigakan.
Tapi karena Pak Han ini orangnya ekstra sabar, ia pun menuliskan alamat rumahnya.
"Ini, Pak Haris."
Haris langsung tersenyum menang dalam hati.
"Besok sabtu sore ya, Pak. Saya ke sana."
Dengan sengaja, Haris menambah lagi berbendel-bendel berkas di atas mejanya.
Karena posisi jabatan ada di bawah Haris, Pak Han pun hanya bisa diam. Mungkin aslinya pingin getok kepala Haris. Sabar-sabar Pak Handoko. Orang sabar rejekinya lancar.
***
Sabtu sore
Haris sudah berpakaian rapi, pria itu beberapa kali menatap spion. Tidak lupa kacamata hitam, agar tampilannya makin oke, kece badai.
Habis dari kantor, karena pulang setengah hari. Haris langsung meluncur ke alamat yang pernah Pak Han kasih. Entah mengapa, ia jadi sangat penasaran dengan sosok Asha.
Perlu diketahui, meksipun manager cabang di sebuah bank besar. Tampan, kaya, mapan, soleh, Haris ini belum pernah pacaran.
Hidupnya fokus pada sekolah, setelah lulus dengan pendidikan terbaik, ia fokus ke karir. Tidak mikir cewek sama sekali. Usianya kini 24 tahun, sudah punya jabatan ya lumayan lah, padahal masih muda.
Selama ini ia tidak tertarik pada wanita, begitu mengetahui kalau ia salah paham pada Asha, entah mengapa. Ia merasa bahwa Asha itu jodohnya.
Dengan semangat 45, Haris memacu pajeronyaa ke kediaman Pak Han. Sambil sesekali bersiul, tanda hatinya sedang riang gembira. Kok rasanya mau apel. Tiba-tiba sudut bibirnya tertarik ke atas. Senyum tipis mencuat menggambarkan perasaan hating.
24 tahun ngapain aja, Ris?
Kediaman Pak Han, rumahnya sangat luas. Di depan ada pohon jambu yang cukup tinggi. Dan disampingnya ada bangku panjang dari kayu.
Haris sudah semangat sekali mau bertemu dengan Asha. Ia juga merapikan rambutnya agar tampak klimis. Pokoknya mau tampil perfect di mata gadis incarannya itu.
KLEK
Ia membuka pintu mobil, menatap teras Pak Han.
"Masya Allah ... senyumnya manis sekali!" gumam Haris saat melihat sosok Asha main ayunan di teras rumahnya.
Asha tersenyum, tapi tidak padanya. Seorang pria keluar dari dalam rumah. Pria itu langsung mencubit hidung Asha.
"Sakit, Mas!" rengek Asha manja.
Asha dan pria berpakaian seragam polisi itu saling bercanda gurau. Keduanya bahkan saling memukul, mencubit dan mengusap dengan sayang.
"Jangan kenceng-kenceng! Asha jatoh nanti Mas!"
Pria berbaju tugas warna coklat itu hanya terkekeh. Tidak mau berhenti, malah mengayun Asha."
Sementara, di samping mobilnya, Haris sudah terlihat pucat.
"Wanita cantik mana ada yang single!" gumamnya sendu.
Karena Asha berisik, Pak Han pun keluar. Ingin melihat putrinya. Eh malah melihat mobil Haris.
"Pak Haris?"
Pak Han, Asha dan pria di sampingnya langsung menatap ke depan. Asik bercanda, mereka berdua tidak menyadari ada tamu yang datang.
"Asha, siapin minum!"
"Iya, Pak!"
Asha buru-buru masuk, diikuti sosok pria yang mengekorinya di belakangnya.
"Sana!!! Jangan ganggu Asha!" bentak Asha.
"Ish!"
Ruang tamu
Rasanya Haris mau menghilang, tahu begini ia tidak mau berkunjung ke rumah Pak Han. Belum jatuh cinta, Haris sudah patah hati duluan.
***
Kediaman orang tua Bimasena
"Bimaa!"
Ibu terlihat senang karena Bima pulang. Sudah berbulan-bulan mereka tidak bertemu.
"Sehat, Bu?" Bima langsung mengecup punggung tangan ibunya. Orang yang sudah melahirkan dan mensupport Bima selama ini. Dan orang yang pasti menyebut namanya dalam doa di setiap saat. Begitu juga sebaliknya.
"Alhamdulillah ... Kamu bagaimana? Sehat?" Ibu memeluk putra pertamanya dengan sayang. Menjadi polisi dengan banyak tugas negara, membuat Bima jarang ketemu dengan keluarganya.
Setelah pelukan terlepas, Bima memperhatikan sekeliling.
"Alhamdulillah sehat, Bu. Rumah kok sepi? Bapak, Ardi sama Haris ke mana Bu?" tanya Bimasena, matanya menyapu ruangan. Mencari dua adiknya, Haris dan Ardi.
"Biasanya Haris sudah pulang, entah ke mana. Ibu juga gak tahu. Kalau Ardi, ada di apotik. Seperti biasa, memeriksa stok obat mungkin. Tapi bentar lagi mereka semuanya biasanya pulang kok.
Bima pun pamit masuk kamarnya. Kamar yang sudah lama tidak ia jamah.
Bukkkkk
Ia merebahkan tubuhnya, tiba-tiba ia tersenyum. Bima mencari ponselnya, kemudian menekan tombol kontak. Ia cari nomor ponsel Nia, saudara perempuan Asha.
"Assalamu'alaikum,"
"Waalaikumsalam."
"Nia."
"Eh Bimaaa!"
"Sibuk tidak, aku lagi di rumah. Lama tidak ketemu sama Firman juga. Bisa tidak ketemu nanti malam,"
Nia langsung terkekeh.
"Main aja ke rumah, tapi jangan bawa banyak coklat lagi. Asha udah gede!" ledek Nia. Ia paham betul, sedang dimodusin Bima.
Bima hanya mengaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.
"Oh ... hemm ... Iya. Nanti malam aku ke sana ya."
"Oke. Samperin Firman sekalian ya. Biar aku gak jadi obat nyamuk!"
Bima hanya tersenyum, kemudian menutup telepon.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam. Ingat bawa Firman."
"Hemm!"
Begitu ponsel mati, Bima langsung sumringah. Ia langsung beranjak menuju lemari. Mencari baju paling kece buat ketemu Asha malam minggu nanti.
Serasa mau ngedate sama pacar. Dasar keluarga jomblo. Adik dan kakak semuanya sama saja. Jomblo premium, kualitas super.
***
Malam minggu
Bima sudah tampan, cakep. Badan tegap atletis dan berwibawa. Sudah pasti membuat kaum Hawa klepek-klepek. Pak polisi tersebut hendak ke rumah gadis, ngakunya main menemui sang kakak. Aslinya hanya modus belaka. Modus bertahun-tahun yang belum ada perkembangan sama sekali.
Sejak Asha SMP, SMA, kuliah, Bima sama sekali belum mengutarakan perasaannya. Cukup mengagumi Asha dalam diam. Mencintai Asha dengan caranya sendiri. Menyimpan cintanya diam-diam.
BERSAMBUNG.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!