Sore hari, Rahmat yang berpakaian lusuh dengan tas gendong yang terbilang tak layak pakai itu baru saja tiba di Kota Jakarta, pertama tiba di kota itu sesuatu yang ia perhatikan adalah gedung-gedung raksasa pencakar langit. Sungguh ia terkagum-kagum melihatnya, karena ini adalah kali pertama ia datang ke kota Jakarta.
“Wah.. Inikah kota Jakarta? Kota besar yang di sebutkan ibu, sungguh indah,” ucapnya sambil merentangkan tangan. Hidungnya kempang kempis saat merasakan hembusan angin di kota metropolitan itu.
“Hari sudah sore, kemana aku harus bermalam malam ini?” tanyanya pada diri sendiri.
Ia pun berjalan menelusuri trotoar, detik berganti detik menit berganti menit. Waktu begitu cepat berlalu, langit terang kini telah berubah menjadi gelap namun Rahmat belum juga menemukan tempat yang cocok untuknya beristirahat. Bukan tak cocok untuknya, namun dengan keadaan kantongnya bahkan untuk mengisi perut pun uang yang ada padanya mungkin tak akan cukup hingga dua hari kedepan.
Karena merasa lelah dan letih, Rahmat pun duduk di depan emperan Toko yang sudah tutup. Ia pun memutuskan untuk tidur di emperan Toko tersebut.
“Hari sudah semakin larut, lebih baik aku tidur di sini saja.” Katanya sambil menarik kardus yang ada di tempat itu. Ia pun tidur beralaskan kardus pada malam itu.
Keesokkan paginya.
“Bangun.. Bangun! Gembel dari mana ini?!” Teriak seseorang sambil menyepaki kaki Rahmat.
Rahmat langsung terbangun setelah mendengar dan merasakan sepakan pada kakinya.
“Pergi dari sini, dasar gembel merusak pemandangan Toko ku saja!” maki Pria pemilik Toko tersebut.
“Maaf pak, saya tidak bermaksud merusak pemandangan Toko bapak. Saya juga bukan gembel,” kata Rahmat meminta maaf. Namun lagi-lagi ia malah di caci maki.
“Mana ada gembel mau di sebut gembel, dan juga siapa yang kamu sebut sebagai bapak? Saya bukan bapak kamu!” seru pemilik Toko sambil menunjuk-nunjuk wajah Rahmat. “Cepat pergi dari sini!” usir pemilik Toko kemudian, Rahmat pun segera pergi meninggalkan tempat itu.
Pagi hari itu, Rahmat memulai tujuannya datang ke Ibu kota Jakarta itu. Yaitu mencari keberadaan ayah dan juga saudaranya. Ia mencoba bertanya kepada orang-orang yang lalu lalang di pagi hari itu.
“Buk, apakah ibuk tau di mana alamat ini?” tanya Rahmat kepada seorang ibu-ibu sambil memperlihatkan secarik kertas yang berisikan alamat sang Ayah.
“Tidak,” jawab ibu itu sambil memandang rendah Rahmat yang berpenampilan lusuh.
Kesana kemari Rahmat membawa alamat, namun tidak satupun orang yang menjawab pertanyaan dengan benar. Bahkan kini pagi telah berganti dengan siang, terik matahari semakin menyengat. Rasa haus dan lapar mendominasi tenggorokan dan juga perutnya.
“Ahh.. Lapar sekali, tenggorokan ku juga terasa sangat kering,” ucap Rahmat sambil menyeka keringatnya dengan tangan.
Ia pun berjalan menuju warung makan. Namun ia melihat harga yang tertera di depan etalase warung makan tersebut.
“Mahal sekali makanan disini, nasi dan sambal saja sudah seharga 10000 ribu,” katanya sambil berjalan masuk kedalam warung.
“Hei.. Kalau mau ngemis jangan disini! Bisa sial nanti warung ku!” usir ibu pemilik warung, yang mengira Rahmat hendak mengemis.
“Buk, saya bukan pengemis. Saya kesini mau pesan nasi,” kata Rahmat cepat menjawab.
“Memang kamu punya uang?” tanya ibu itu.
“Ada buk, tunggu sebentar ,”jawab Rahmat sambil merogoh saku celananya. Ia pun mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan sepuluh ribu dan lima ribuan.
“Boleh pesen di sini, tapi kamu duduk di luar saja ya. Saya takut kalau kamu makan di dalam, nanti pelanggan saya pada kabur,” kata pemilik warung dan langsung di angguki oleh Rahmat.
“Ini lauknya pakek apa? Terus minum apa?” tanya pemilik warung.
“Nasi putih dan sambal tempe saja buk, minumnya air putih,” kata Rahmat dengan sopan.
“Kamu tunggu sebentar,” ibu pemilik warung langsung masuk ke dalam.
Rahmat duduk di depan warung makan itu. Tiba-tiba sepasang muda-mudi yang lewat memberinya uang.
“Mas, mbak, saya bukan pengemis!” kata Rahmat menolak uang 20000 ribu yang di lempar kepadanya.
“Ambil aja,” kata pasangan muda-mudi itu sambil berjalan pergi.
“Beginikah cara orang Kota memperlakukan orang Dusun seperti ku,” ucapnya sambil menggenggam uang pemberian muda-mudi itu.
“Ini nasi dan minum kamu, setelah makan cepat pergi ya dari sini! Saya takut warung saya kena sial karena kehadiran orang seperti kamu!” kata pemilik warung dengan ketus.
Rahmat tak mendengarkan ocehan ibu pemilik warung, ia langsung saja mengambil piring nasi dan juga segelas air putih yang ada di tangan pemilik warung, lalu segera menyantapnya.
Singkat cerita, sudah lebih seminggu ia mencari alamat sang ayah yang di tuliskan mendiang sang ibu sebelum meninggal. Namun alamat itu belum juga ia temukan, tiap malam pula ia harus mencari tempat tidur perpindah dari satu emperan ke emperan Toko yang lain. Sungguh nasip yang sangat menyedihkan.
“Aduh, badan ku sakit semua.” Keluh nya. “Di Dusun memang miskin dan susah, tapi gak pernah merasa sangat susah dan terhina seperti ini,” sambungnya.
“Lebih baik besok aku coba cari pekerjaan, siapa tahu ada yang mau nerima aku sebagai kuli atau buruh panggul pasar. Kan kemarin ku lihat, gak jauh dari sini ada pasar,” katanya, setelah itu ia langsung tidur di atas lantai emperan toko dengan beralaskan kardus.
***
“Kali ini kamu sudah sangat keterlaluan!” maki seseorang.
“Marco minta maaf, Pa. Marco khilaf,” ucap seseorang yang sepertinya anak dari orang yang memaki.
“Kalau sudah begini, kita harus bagaimana?” tanya sang Papa pada Putranya.
“Papa kan banyak uang, suap aja lagi. Pasti masalah langsung beres,” kata putranya menganggap enteng.
“Tidak sesederhana yang kamu fikirkan Marco! Kamu tahu, Anak gadis siapa yang telah kamu lecehkan? Dia adalah salah satu anak konglomerat di kota ini!” geram sang Papa. “Papa tidak masalah kamu mau minum-minum ataupun menghamburkan uang di meja judi. Tapi Papa tidak mengizinkan kamu bermain wanita, apalagi jika sampai harus memaksa! Kamu lihat kan, sekarang harus berakhir seperti ini?”
“Marco kan sudah minta maaf, lagian bukan salah Marco juga. Perempuan itu saja yang datang menggoda Marco,” kata putranya mencoba membela diri.
“Entah lah! Papa pusing mikirin kamu, punya anak satu tapi otaknya gak waras!” setelah berkata seperti itu, sang Papa pergi meninggalkan putranya.
“Pelayan.. Pelayan!” teriak Marco saat Papa nya sudah pergi.
“Iya Den, ada apa?” sang pelayan datang dengan terpogoh-pogoh.
“Saya lapar Mbok, tolong ambilkan makan!” perintahnya dan si pelayan yang di ketahui bernama Mbok Mumun itu langsung segera kembali ke dapur dengan tergesa-gesa.
Jika di dalam Rumah, Marco sedang memerintah pelayannya menyiapkan makan, lain lagi hal nya dengan sang Papa yang sudah siap berangkat ke kantor. Kini di dalam mobil ia sedang menelpon seseorang.
“Hallo!” sahut seseorang dari sebrang telpon.
“Cari cara untuk melepaskan Marco dari masalah ini!” perintahnya. Setelah itu ia langsung memutuskan sambungan telpon itu secara sepihak.
Keesokan harinya, Rahmat benar-benar pergi mencari pekerjaan. Ia berkeliling pasar mencari orang yang membutuhkan jasa angkat barang.
“Pak, apakah bapak butuh jasa saya untuk mengangkat barang bapak?”
“Boleh, tolong kamu angkat karung beras- beras ini dan pindahkan ke lapak yang ada di belah sana!” perintah seorang bapak-bapak yang di duga adalah seorang bos beras di pasar yang di datangi Rahmat tersebut.
“Sudah semua Pak, apa ada yang lain lagi?” tanya Rahmat setelah selesai memindahkan karung-karung beras itu.
“Terimakasih, ini bayaran kamu. Buat beli rokok,” ucap bos beras itu sembari memberikan selembaran uang 50 ribu.
“Terimakasih pak, berkat bapak saya bisa makan hari ini,” kata Rahmat sambil menerima uang itu dengan rasa penuh syukur.
“Sepertinya kamu orang baru ya di sini?” tanya Bos beras itu kepada Rahmat.
“Benar, Pak. Baru seminggu,” jawab Rahmat dengan jujur.
“Lalu sekarang kamu tinggal di mana?”
“Saya tidur di emperan Toko jika malam hari,” jawab Rahmat lagi.
“Emm.. Begini, berhubung kamu tidak punya tempat tinggal. Bagaimana kalau kamu ikut saya dan kerja di Pabrik penggilingan beras di gudang saya?” tawar Bos beras.
“Bapak serius?” tanya Rahmat antusias. Lalu di angguki oleh Bos beras. “Kalau begitu saya mau, Pak. Saya mau kerja di Gudang beras bapak.”
“Ya sudah, sore nanti kamu ikut saya pulang,”
Pada saat sore harinya, Rahmat ikut Bos beras itu pulang. “Nah! Ini rumah saya, Gudang nya ada di belakang. Di belakang luas, kamu juga bisa istirahat dan tidur di sana.” Kata Bos beras. “Oiya, nama saya Jono. Siapa nama kamu?”
“Nama saya Rahmat, Pak,” jawab Rahmat dengan sopan.
“Kamu bisa mulai bekerja besok, ada beberapa orang yang juga bekerja di Gudang ini bersama kamu. Tapi jika malam hari mereka akan pulang ke rumah mereka masing-masing.”jelas pak Jono kepada Rahmat.
Setelah itu, pak Jono pun memerintah Rahmat untuk membersihkan diri dan beristirahat.
Keesokan harinya, Rahmat sudah mulai langsung bekerja di Gudang beras milik pak Jono. Ia bekerja dengan sangat rajin dan telaten, hingga membuat pada buruh lain tidak suka padanya karena takut tersaingi di mata pak Jono.
“Sialan gembel itu! Cari muka sama bos Jono dia!” umpat salah satu buruh di Gudang itu.
“Orang baru tuh! Kayak nya bukan orang sini deh, soalnya baru pertama kali ini liat dia!” sahut Buruh lain.
Hari-hari di lalui begitu cepat, tak terasa sudah lebih satu minggu Rahmat bekerja di Gudang beras milik pak Jono. Namun seminggu lebih pula, ia selalu mendapat perlakuan buruk dari buruh yang lain.
“Kak Rahmat, ini Mayang bawakan untuk kakak,” Seorang gadis muda memberikan rantang makanan pada Rahmat. Ia adalah anak gadis dari pak Jono yang bernama Mayang sari.
Mayang sari gadis cantik berumur 19 tahun, bersikap cuek kepada orang lain. Tapi entah mengapa perlakuannya pada Rahmat sangat berbeda, apakah karena ia kasihan dan iba kepada Rahmat atau menyukai sebagai lawan jenis nya.
“Gak bisa di biarin ini! Kita harus cari cara untuk nyingkirin Rahmat,” ucap Budi salah satu buruh Gudang.
“Kita laporin aja sama bos Jono, kalau setiap hari kerjaannya pacaran sama si Mayang,” kata Baron, buruh yang lainnya.
“Lu yakin bakal berhasil?” tanya si Murat.
“Kalo gak berhasil, kita habisi aja dia. Apa susahnya?” kata Baron menjawab pertanyaan Murat.
“Ya udah, Lu panggil bos Jono. Suruh dia datang kesini, biar dia lihat tu si Rahmat lagi makan sama anak perempuannya!” Budi memerintah Baron untuk memanggil pak Jono.
“Terimakasih Mayang, tapi kamu tidak usah repot-repot. Tidak enak sama Buruh yang lain,” ucap Rahmat dengan sopan. Ia tidak ingin membuat para Buruh lain semakin membencinya.
“Kenapa harus tidak enak kak? Lagian tidak ada urusan sama mereka,” kata Mayang sambil membuka rantang makanan yang ia bawa.
“Sekali lagi terimakasih, Mayang,” ucap Rahmat.
Saat Rahmat hendak memakan makanan pemberian Mayang, tiba-tiba saja datang Baron, pak Jono serta beberapa Buruh lainnya.
“Itu bos, bos bisa lihat sendiri kan?” tunjuk Baron pada Rahmat dan Mayang yang duduk bersebelahan.
Pak Jono mendekati Rahmat dan putrinya. “Mayang, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya pak Jono dengan wajah tidak senang.
“Ayah, Mayang hanya membawakan bekal untuk kak Rahmat,” jawab Mayang sambil menundukan wajahnya.
“Rahmat, jangan kira kamu bisa mendekati putri saya karena saya yang telah membawa kamu kemari!” pak Jono menunjuk nunjuk wajah Rahmat.
“Maaf pak, saya tidak bermaksud untuk mendekati Mayang,” kata Rahmat.
“Mampus!” Baron dan kawan kawannya tertawa sinis kepada Rahmat yang di marahi oleh pak Jono.
“Kali ini saya maafkan, tapi jika saya lihat lagi kamu masih dekat-dekat dengan putri saya. Saya akan langsung mengusir kamu dari tempat ini!” setelah berkata seperti itu, pak Jono pergi sambil menarik tangan Mayang dari tempat itu.
“Ayo pulang, bikin malu saja!” bentak pak Jono pada putrinya.
“Mayang tidak mau pulang ayah, mayang bisa pulang sendiri nanti,” kata Mayang hingga membuat ayah nya semakin murka.
Setelah pak Jono dan Mayang pergi dari tempat itu, Baron dan rekannya mendekati Rahmat.
Mereka membuang makanan pemberian Mayang, dan kembali menghajar Rahmat hingga babak belur.
Bukk.. Bukk..
Suara pukulan pada bagian perut dan juga bagian tubuh yang lain. Rahmat hanya bisa mengeryit menahan sakit.
“Jika kau masih mau hidup, cepat tinggalkan tempat ini!” ancam Murat.
Setelah berkata demikian, mereka meninggalkan Rahmat yang terkapar tak berdaya di atas tanah depan Gudang beras itu.
“Arrgghh..” Rahmat mengeryit, merasakan nyeri pada tulang tulangnya dan juga perih pada bagian sudut bibirnya.
Dengan sekuat tenaga ia bangkit dari tanah itu. “Aku harus sabar, semoga saja aku bisa cepat menemukan ayah dan juga saudaraku,” Suatu harapan yang ia fikir akan menyenangkan jika bertemu dengan ayah dan juga saudaranya.
Suatu sore, ia di minta menemani Mayang jalan-jalan. Tanpa rasa curiga sedikitpun bahwa semua itu adalah jebakan yang di buat oleh Baron dan rekannya.
“Kak, temani Mayang jalan-jalan yuk?” pinta Mayang pada sore itu.
“Kamu ajak orang lain saja ya, saya masih banyak kerjaan,” tolak Rahmat dengan sopan.
“Ayolah kak, sekali ini saja!” pinta Mayang memohon.
“Saya tidak mau, Ayah kamu salah paham lagi terhadap saya. Apa kamu tidak ingat kejadian tempo hari saat ayah kamu melihat kita bersama, saya menjadi sebagai tersangka di sana. Jika nanti ketahuan lagi, bukan hanya saya yang akan di beri pelajaran tapi juga kamu. Dan saya tidak mau kamu terluka,” ucap Rahmat panjang lebar.
“Ayah gak akan tahu selama kita tidak terlalu lama, lagipula hari ini ayah pulang malam,” jelas Mayang. “Lagi pula kan, kak Rahmat abis gajian. Masa tidak mau membelikan Mayang hadiah,” sambung Mayang.
Dengan terpaksa Rahmat menuruti kemauan Mayang yang keras kepala seperti anak kecil itu.
Akhirnya Mayang dan Rahmat pun segera pergi menuju pasar Sore yang tidak jauh dari tempat itu. Tanpa tahu, bahwa Baron sudah menyiapkan rencana untuk menyingkirkan Rahmat dari lingkungan mereka.
Tidak terasa, hampir satu setengah jam mereka keluar rumah. Kini hari sudah mulai gelap saat mereka tiba kembali, namun ternyata pak Jono dan beberapa anak buahnya telah menunggu Rahmat dan Mayang di halaman depan.
“Berani muncul juga rupanya?” pak Jono bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Rahmat yang berdiri di depan Mayang.
“Ada apa ini, Pak?” tanya Rahmat kepada pak Jono.
“Masih tanya ada apa? Apa kamu buta, tuli? Sudah berapa kali saya bilang jauhi putri saya!” bentak pak Jono pada Rahmat.
“Ayah, kak Rahmat tidak mendekati Mayang, Mayang lah yang selalu mendekati kak Rahmat.” Jelas Mayang.
“Beru dia pelajaran, setelah itu usir dia!” perintah pak Jono kepada beberapa Algojo nya.
Rahmat pun di pukuli tanpa perlawanan, Mayang yang melihat hanya bisa menangis dan berteriak.
Setelah Rahmat terkapar, barulah pak Jono memerintah anak buahnya untuk berhenti.
“Sudah cukup! Sekarang bawa Mayang masuk, dan tinggalkan saja dia di sini!”
“Kak Rahmat, maafkan Mayang,” ucap Mayang yang di tarik paksa oleh anak buah sang ayah.
“Begini, Tuan. Kami menemukan seorang pemuda yang sangat mirip dengan Tuan muda,” ucap salah seorang bawahan kepada bos nya.
“Mirip dengan Tuan muda?” tanya sang Bos.
“Benar, Tuan. Namun dia berpakaian sangat lusuh. Kami sudah beberapa kali melihat pemuda itu, sepertinya ia bekerja di salah satu Gudang yang ada di pasar M.” Jelas bawahan sang bos. “Tapi sepertinya dia sering di perlakukan buruk di tempat itu,” sambungnya lagi.
“Pancing dia kemari, aku ingin melihat seperti apa dia?” perintah sang Bos kepada anak buahnya itu.
“Baik, Tuan! Kalau begitu saja pamit undur diri,” sang bawahan membungkukkan tubuhnya, lalu segera pergi.
“Mungkinkah itu dia? Dia sudah datang? Ini kesempatan yang bagus,” batin orang itu setelah anak buahnya pergi.
***
Sedangkan dengan Rahmat, kini ia tengah duduk di pinggir jalan dengan wajah yang memar akibat pukulan yang ia terima dari para anak buah pak Jono.
“Ya tuhan.. Apa salahku? Kenapa kau perlakukan aku tidak adil seperti ini!?” rutuknya sambil memegangi dada. “Tidakkah kau memberiku sedikit keadilan? Aku lelah, aku juga bisa merasakan sakit seperti orang lain,” sambungnya dengan rasa penuh ke putusasa’an.
Keesokan harinya, dengan sisa uang yang ia peroleh saat bekerja di Gudang beras. Ia kembali mencoba untuk mencari sosok sang ayah dan juga saudaranya.
“Semoga kali ini kau memberiku jalan yang baik, Tuhan!”
Ia pun mulai berjalan, bertanya kepada orang-orang yang lalu lalang. Hingga suatu ketika, ia tiba di sebuah Gedung tua yang tak berpenghuni. Ia pun memutuskan untuk beristirahat di sana.
Rahmat memberanikan diri untuk masuk kedalam Gedung tua itu. Ia pun segera melangkahkan kakinya, setelah sampai ia langsung membuka tasnya, mengeluarkan sebungkus nasi dan juga sebotol air mineral yang sebelumnya ia beli.
Saat ia hendak menyantap nasi bungkus itu, tiba-tiba ada suara seseorang terbatuk-batuk.
“Uhukk.. Uhukk..”
“Siapa di sana?” tanya Rahmat setengah berteriak. “Kalau kamu manusia, cepat keluar!”
Orang yang terbatuk-batuk sebelumnya, menampakan diri pada Rahmat. Seorang Pria yang berumur kisaran 35 tahun dengan wajah tampan tapi pucat dan terluka di bagian kaki juga lengan kirinya.
“Siapa kamu?” tanya Rahmat.
“Sa-,” belum lagi menjawab pertanyaan Rahmat, pria tersebut terjatuh dan hilang kesadaran.
“Hey.. Hey..” Rahmat menepuk-nepuk pipi orang tersebut. “Dia pingsang!”
Rahmat menyeret orang yang hilang kesadaran itu ke pinggirin Gedung. Tepatnya ke tempat yang lebih luas.
Setelah lama menunggu, akhirnya orang tersebut sadar.
“Kakak sudah sadar?” tanya Rahmat.
“Siapa kamu? Kenapa kamu menolong saya?” suara pria itu sangat lemah saat bertanya pada Rahmat.
“Saya Rahmat, apakah ada alasan untuk menolong orang lain?” bukannya menjawab pertanyaan pria tersebut, Rahmat malah balik bertanya.
Pria itu terdiam, namun tak lama kemudian. Ia kembali berbicara. “Bolehkah saya meminta sedikit air minum dan makanan kamu?” pinta pria tersebut.
“Silahkan kalau kakak mau, tapi nasi ini sudah saya makan sebagian tadi,” kata Rahmat.
Tanpa ragu, pria tersebut langsung meraih bungkus nasi yang ada di depan Rahmat lalu memakannya dengan rakus.
“Baru kali ini ada orang yang mau makan dengan saya,” kata Rahmat pelan.
“Kenapa?” tanya pria tersebut setelah meneguk air minum.
“Tidak apa-apa,” jawab Rahmat. “Oiya, siapa nama kakak? Dan kenapa kaki dan juga lengan kakak bisa terluka?”
“Saya Dean, saya habis di keroyok oleh segerombolan orang,” jawab pria tersebut yang ternyata bernama Dean.
“Kakak tunggu di sini, saya keluar sebentar untuk mencari obat penahan rasa sakit. Nanti saya kembali,” kata Rahmat sambil meninggalkan tas gendong.
Dean menatap Rahmat sejenak, “Jangan curiga, saya bukan bagian dari kelompok orang yang menyerang kakak. Saya hanya pria bodoh yang tidak beruntung,” Rahmat segera keluar dari Gedung tua itu untuk mencari obat.
Dean tersenyum mendengar perkataan Rahmat. “Baru kali ini ada orang bodoh yang terang-terangan mengakui bahwa ia bodoh. Dasar benar-benar bodoh,” guman Dean.
Dean pun bangkit dan berjalan menuju tempat ia semula bersembunyi, ia pun mengambil sesuatu di tempat persembunyiannya itu, lalu kembali ke tempat ia dan Rahmat duduk.
Ia kembali duduk dan menunggu Rahmat. Tak lama kemudian, Rahmat kembali membawa obat dan juga kantong kresek berwarna hitam.
“Apa itu?” tanya Dean.
“Ini obat, dan ini Roti.” Jawab Rahmat. “Huh, harga di Kota dan di Desa sungguh berbeda jauh,” keluh Rahmat.
“Memangnya kenapa?” tanya Dean lagi.
“Kakak tahu tidak, Roti sebesar ini seharga 2500 ribu di sini. Sedangkan di Desa, uang 2500 sudah dapat 3 gorengan,” jelas Rahmat dengan wajah lugu.
“Hahaha.. Kota berbeda dengan Desa, di Desa kamu bisa hidup dengan damai. Tapi di Kota, kamu tidak akan bisa hidup dengan tenang. Bahkan urusan perut pun, jika kamu tidak kuat maka kamu akan sering kelaparan. Karena di Kota ini, siapa yang kuat dialah yang berkuasa!”
Selama dua hari Rahmat dan Dean berdiam di dalam Gedung tua itu. Kini luka di lengan dan kaki Dean sudah membaik. Dean pun segera pamit pergi kepada Rahmat.
“Saya harus segera pergi, terimakasih sudah mau merawat dan mengobati saya. Suatu saat, Saya akan membalasnya dengan sesuatu yang pantas,” kata Dean pada Rahmat.
“Kemana kakak akan pergi?” tanya Rahmat.
“Saya akan pulang, Saya harus membalas orang-orang yang sudah melukai, Saya.”
“Belajarlah dengan baik menilai orang lain, singkirkan keluguan yang ada pada diri kamu. Jangan sampai kamu di manfaatkan pihak lain di kemudian hari!” Setelah berbicara seperti itu kepada Rahmat, Dean pun segera meninggalkan tempat itu.
Rahmat mencoba mencerna ucapan Dean, perkataan yang tidak ia pahami sama sekali. Namun ia tahu, bahwa ada maksud yang tersimpan di dalam ucapan itu.
“Apa maksudnya? Siapa dia sebenarnya? Kalo di liat dari pakaian dan juga sepatu yang dia pakai. Tentu dia bukan orang biasa,” guman Rahmat sambil memandang punggung Dean yang sudah menjauh dari area dalam Gedung tua itu.
“Sudah dua hari aku gak keliling untuk mencari keberadaan ayah dan juga saudaraku. Sekarang aku harus mencari mereka lagi.” Rahmat menggendong tasnya lalu segera pergi dari Gedung tua itu.
Saat hari sudah beranjak sore, Rahmat yang sedang berjalan di jalanan yang cukup sepi. Tiba-tiba saja datang sekelompok orang menghampirinya. “Kalian siapa?” tanya Rahmat saat sekelompok orang itu mendekatinya.
“Tidak perlu banyak tanya, kami menginginkan nyawa kamu!” bentak salah seorang dari kelompok itu.
“Saya tidak pernah merasa ada urusan dengan kalian, bahkan kita semua tidak pernah bertemu sebelumnya.”
“Banyak omong!” seseorang langsung memukul perut Rahmat hingga membuat Rahmat jatuh tersungkur di jalanan ber Aspal itu.
Di saat pengeroyokan terjadi, suara seseorang menghentikan nya.
“Berhenti!” teriak seseorang yang baru saja turun dari mobilnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!