Nine years earlier ....
Satu embusan napas pelan kembali lolos dari mulut Hanna Osment. Matanya tak henti-hentinya menatap tak suka pada adegan yang terjadi beberapa meter dari mejanya. Di sana, empat orang siswa yang sedang tertawa puas mengerjai seorang siswa lainnya. Empat orang siswa itu menyuruh siswa tersebut untuk menari dengan gaya yang aneh.
Hanna menggerutu dalam hati. Baik di Amerika, maupun di Singapura kenapa penindasan yang begitu dibencinya masih saja terjadi? Ini adalah hari pertamanya bersekolah di River Halley High school, sekolah terbaik dan ter elit di Singapura. Awalnya, ia mengira bersekolah di tanah kelahirannya itu akan lebih baik daripada di Negri Paman Sam. Namun nyatanya, tidak berbeda sama sekali.
"Siapa mereka?" Hanna bertanya pada Michael, teman sekelas sekaligus teman sebangkunya yang makan di meja yang sama dengannya.
"Mereka Felix Alley Huang, Kevin Sang, Leo Zhang, dan Sean Hao. Mereka penguasa sekolah ini," jawab Michael sambil ikut menatap ke arah sumber kehebohan di Kafetaria itu.
"Penguasa?"
"Yap." Michael menoleh pada Hanna. "Kau tahu F4 di drama Boys Over Flower, 'kan? Nah, mereka adalah F4 di dunia nyata."
Hanna berdecih. "Aku tidak tahu kalau hal kekanakan seperti itu masih terjadi di Singapura."
Michael hanya mengangkat bahu sambil meringis.
Hanna kembali menatap kearah penindasan itu terjadi. Ini sudah tidak bisa dibiarkan lagi. Ia sungguh tidak tahan melihat hal semacam itu terjadi di depan matanya. Ia tidak bisa diam saja. Hanna bangkit dari duduknya, hendak menghampiri Felix Alley Huang dan teman-temannya itu. Namun, Michael mencekal pergelangan tangannya. "Hanna kau mau ke mana? Jangan bilang kalau-"
"Ya, Mic. Aku ingin menghentikannya. Aku tidak bisa diam saja." Hanna melepas cekalan tangan Michael. Michael hanya pasrah saat Hanna benar-benar berjalan ke meja Felix dan teman-temannya.
Hanna menghampiri meja Felix dan teman-temannya dengan waktu yang dibilang tepat. Saat itu, Felix baru saja akan menumpahkan saus ke baju siswa yang ditindas olehnya. Langsung saja Hanna mendorong botol saus itu hingga isinya mengenai baju Felix. Felix dan teman-temannya memekik kaget. Terutama Felix yang langsung memaki.
Perhatian semua murid yang ada di Kafetaria kini sepenuhnya ditujukan pada Hanna. Ini pertama kalinya ada murid yang berani menolong korban penindasan Felix dan teman-temannya. Selama ini, tidak ada seorang pun yang berani melawan mereka karena akan kekuasaan keluarga mereka. Terutama keluarga Felix.
Felix dan teman-temannya menatap Hanna terkejut. Kemudian, tatapan terkejut itu berubah menjadi tatapan terpana. Wajar bila mereka begitu karena itu pertama kalinya mereka melihat Hanna. Apalagi Hanna memanglah sangat cantik.
"Hentikan! Semua ini tidak lucu," ujar Hanna sambil menatap Felix dengan teman-temannya sengit. Felix dan teman-temannya langsung tersadar. Felix secepat kilat mengubah tatapannya menjadi tatapan marah.
"Apa yang telah kau lakukan, hah? Berani-beraninya kau membela si cupu ini. Kau pikir kau siapa? Dan lihat-" Felix menunjuk bajunya yang kotor oleh saus. "-bajuku kotor karenamu."
Hanna tersenyum sinis. "Kau bertanya siapa aku? Aku memang bukan siapa-siapa, tapi aku tidak suka penindasan." Hanna pun mengeluarkan tissue basah dari saku seragamnya. Ia mengacungkannya di depan Felix. "Pakailah ini untuk membersihkan bajumu." setelah mendorong kasar tissue itu ke dada Felix, Hanna langsung menarik tangan siswa yang ditolongnya untuk pergi. Namun, Felix sudah terlebih dahulu mencengkeram tangannya. Hanna pun menyuruh siswa yang ditolongnya agar segera pergi.
"Urusan kita belum selesai." Felix mendesis sambil menatap Hanna tajam. "Sebenarnya kau ini siapa? Kau tidak tahu ya, siapa aku, maka dari itu kau berani melawanku?"
"Aku tidak peduli kau itu siapa. Aku berani melawanmu karena aku benci pada seseorang yang suka menindas seperti dirimu."
"She's that girl!" Tiba-tiba, Sean berseru heboh sambil menunjuk Hanna. Hanna, Felix, dan Leo menatapnya bertanya-tanya.
Sean berdecak. "Dia ini Hanna Osment, si gadis pindahan dari Amerika yang sedang jadi perbincangan hangat hari ini."
Kevin menjentikkan jarinya. Dengan wajah berbinar, ia berkata, "Benar. Dia murid pindahan yang katanya cantik itu, 'kan? Woah, ternyata dia benar-benar cantik." Kevin menyeringai menatap Hanna. Leo yang tidak berkata apa-apa hanya bersiul menggoda Hanna.
"Oh, jadi kau murid pindahan?" Felix angkat bicara. Ia tersenyum sinis pada Hanna. "Kalau begitu, kau harus menerima salam perkenalan dulu dariku."
Hanna mengernyit tak mengerti dengan perkataan Felix. Sejurus kemudian, Felix menarik tubuh Hanna agar mendekat padanya. Hanna terkejut saat Felix dengan lancangnya mencium bibirnya. Teman-teman Felix langsung bersorak heboh. Murid-murid lain memekik terkejut, terutama murid perempuan. Hanna segera berontak dengan mendorong tubuh Felix. Namun, Felix justru ******* pelan bibirnya. Hanna melotot terkejut dan semakin mendorong tubuh Felix agar menjauh darinya.
Akhirnya, Felix pun menarik diri. Hanna langsung menghadiahi Felix dengan tamparan keras di pipinya. Wajah gadis itu terlihat sangat marah. "Brengsek!" Hanna memaki Felix dan langsung menghentakkan kakinya meninggalkan Kafetaria. Dan, Felix hanya menatap punggung Hanna yang menjauh tanpa ekspresi di wajahnya.
***
"Felix Alley Huang tidak akan melepaskanmu setelah apa yang telah kau lakukan padanya, Hanna."
Michael menyusul Hanna yang kabur ke atap sekolah. Kini, ia duduk di samping Hanna yang wajahnya masih mengeras karena amarah. Michael mengembuskan napas pelan. "Kau tahu, dengan menciummu dia telah menandaimu sebagai miliknya." Michael kembali berujar. Hanna menoleh terkejut pada Michael. Michael menatapnya serius.
"Apa maksudmu?"
"Seperti yang kukatakan tadi, dia tidak akan membiarkan hidupmu tenang di sekolah ini. Dia mungkin akan terus mengganggumu dan mengusikmu. Dan tidak ada satupun orang di sekolah ini yang boleh menyentuhmu dalam beragam makna kecuali dia."
Hanna mendengkus. Ia mengepalkan tangannya kuat. Felix Alley Huang brengsek! Hanna tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya. Ia bukannya marah karena Felix merebut ciuman pertamanya. Ia tidak seperti gadis-gadis lain yang peduli pada hal-hal semacam itu. Ini semua soal harga diri. Harga dirinya begitu terluka karena Felix menciumnya tanpa permisi di depan banyak orang seperti tadi.
"Maaf, tadi aku sudah mencoba memperingatkanmu, tapi ...."
Hanna mengangguk mengerti. Ia tersenyum tipis pada Michael yang tampak merasa bersalah padanya. "Aku tahu, Mic. Maaf karena aku bersikap egois dan tidak mau mendengarkanmu. Kau tidak perlu merasa bersalah seperti itu. Ini semua salahku. Kau tenang saja, aku bisa menghadapi Felix dan teman-temannya. Jangan khawatir."
"Aku akan membantumu menghadapi mereka." tekad Michael.
Hanna menggeleng. "Jangan, kau bisa dapat masalah nanti. Ini masalahku. Aku sendiri yang akan menghadapinya." Michael menatap Hanna ragu.
Hanna menghela napas frustrasi. "Mic, please trust me. Aku bisa menghadapi mereka sendiri. Apa pun yang terjadi, jangan terlibat dengan masalah ini, oke? Kalau aku kesulitan menghadapi mereka, aku akan mengatakannya padamu, bagaimana?"
Michael tampak berpikir. Sebenarnya ia tidak setuju dengan gagasan Hanna. Namun, melihat Hanna yang bersikeras ingin menghadapi Felix dan teman-temannya seorang diri, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Alhasil, ia pun terpaksa mengangguk setuju. Hanna tersenyum melihatnya. "Terima kasih, Mic."
"Anytime."
Hanna meneguhkan tekadnya bahwa ia tidak akan membiarkan Felix dan teman-temannya mengusik hidupnya seenak hati mereka.
Bersambung.
Tadi aku otak-otak data di HP lama, eh, ketemu sama cerita ini. Cerita ini udah lama banget, umurnya sudah dua tahun dan sebelumnya ini fanfiction, tetapi aku udah ubah namanya dan settingnya sebelum aku up di sini.
Suara dentuman musik menghentak ke segala penjuru Heaven club, club terbesar dan termewah di Singapura, ratusan manusia berpakaian mahal dan modis tampak meliuk-liukkan tubuhnya di atas lantai dansa. Tak jarang, di antara mereka ada beberapa pasangan yang saling mencumbu satu sama lain. Pemandangan yang sama terjadi di beberapa meja di pojok-pojok ruangan club itu.
Di antara manusia-manusia tersebut, tampak empat orang remaja yang sedang asyik menikmati hiburan malam disana. Mereka adalah Felix Alley Huang, Kevin Sang, Leo Zhang dan Sean Hao. Oh, jangan tanya bagaimana anak dibawah umur seperti mereka bisa masuk ke sana. Mereka punya banyak uang. Ditambah lagi, Kevin adalah putra pemilik Club itu. Jadi, bisa dipastikan kalau mereka bebas pergi ke sini kapanpun mereka mau. Bahkan, sudah bukan rahasia lagi kalau mereka sering minum dan one night stand di sini.
"Kau gila, Lix! Bagaimana bisa kau mencium Hanna di depan banyak orang seperti tadi?" Leo berkata. Ia menatap Felix sambil menggeleng tak percaya.
"Hey, sebenarnya apa yang kau pikirkan tadi? Aku tahu dia memang sangat cantik, tapi haruskah kau melakukannya? 'Salam perkenalan' Ck!" celetuk Kevin sambil menyeringai meneguk birnya. Di sampingnya, Sean hanya tertawa kecil sambil ikut menggeleng tak habis pikir.
Felix terpaku mendengar pertanyaan teman-temannya. Benar, untuk apa dia mencium Hanna? Ah, sebenarnya dia melakukan hal itu untuk mempermalukan Hanna. Ia ingin membalas perbuatan Hanna sekaligus menandai gadis itu agar tidak ada yang berani menyentuhnya. Felix ingin gadis itu menyesal karena telah berani mencari masalah padanya.
Namun, kenapa sekarang dia jadi terus teringat oleh wajah Hanna? Tidak hanya itu, jantungnya terus saja berdebar tak karuan setelah ciuman itu terjadi. Padahal, itu sudah kesekian kalinya ia mencium bibir seorang gadis. Melakukan yang lebih jauh dari itu pun pernah dilakukannya. Namun, itu semua Felix lakukan atas dasar nafsu dan Felix tidak berdebar ketika mengingatnya. Kali ini, semuanya sangat jelas berbeda. Felix tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya dan ia tidak menyukainya. Ia benci perasaan seperti itu. Akan tetapi, hatinya berkata bahwa ia menginginkannya. Ia menginginkan Hanna Osment.
Lantas, perasaan macam apa yang sebenarnya sedang ia rasakan?
"Woah, jangan-jangan kau jatuh cinta pada gadis itu, ya?!" Tiba-tiba Sean berseru. Felix, Leo, dan Kevin langsung menoleh terkejut padanya. Terutama Felix yang langsung mendelik karena seruannya.
"Jangan bicara sembarangan, Sean! Dia sudah mempermalukanku, jadi mana mungkin aku jatuh cinta padanya." Felix mendesis tak suka. Leo mengangkat bahu.
"Kenapa? Apa ada yang salah? Sadarlah kau, setelah ciuman itu, kau tampak berbeda? Kau jadi lebih pendiam dan sering melamun."
"Aku setuju dengan perkataan Sean." Leo angkat bicara. Ia menatap Felix serius. "Kau memang tampak berbeda, Sepupuku. Aku sudah mengenalmu dari kecil. Jadi, kalau ada yang berbeda sedikit saja darimu, aku pasti tahu."
Felix mendengkus. Presensi macam apa itu? Jatuh cinta? Mana mungkin?! Dalam kamus seorang Felix Alley Huang hanya ada ambisi dan nafsu. Mustahil seorang yang bersikap dingin seperti dirinya jatuh cinta. Apalagi, kepada Hanna Osment yang terang-terangan melawannya. Ugh, bukan khas Felix sama sekali.
"Ah, sudahlah, Lix! Terima saja kenyataan bahwa kau memang mencintainya. Lagipula, dia cantik. Bahkan, dia jauh lebih cantik daripada gadis-gadis yang sering mengejarmu atau yang pernah tidur denganmu," timpal Kevin. Ia berkedip pada Felix yang menatapnya tajam.
"Terserahlah!" Felix bangkit dari duduknya. Ia pun segera pergi dari temannya yang menjengkelkan itu untuk pulang. Hari ini, ia benar-benar kacau. Tidur adalah solusi terbaik yang harus dilakukannya.
Sementara itu, sepeninggal Felix, Kevin, Leo, dan Sean justru tertawa geli. Mereka tidak menyangka bahwa Felix itu bisa uring-uringan hanya karena seorang gadis. Yeah, ini pertama kalinya Felix bisa begitu marah saat membahas seorang gadis.
***
Dengan kecepatan yang luar biasa, Felix mengendarai mobilnya melaju membelah jalan. Ia tidak peduli pada kondisi jalanan yang masih lumayan ramai mengingat saat ini memang masih pukul sembilan malam. Felix begitu karena ia terus saja memikirkan perkataan teman-temannya mengenai Hanna. Ditambah lagi bayangan wajah Hanna selalu menghantui pikirannya.
Sungguh, ia frustrasi pada perasaannya sendiri. Ia tidak mengerti perasaan apa yang sedang dirasakannya. Kenapa seorang gadis yang sama sekali tidak tertarik kepadanya justru bisa membuat perasaannya kacau seperti ini? Benarkah ia ... jatuh cinta? Bagaimana bisa? Felix bahkan baru bertemu sekali dengan Hanna.
"Aargh!" Felix mengacak rambutnya frustrasi. "Hanna Osment sialan!"
Mobil Felix berdecit saat ia berhenti di lampu merah. Ia mengarahkan pandangannya ke luar untuk mengalihkan perhatian. Namun, seketika ia membeku. Gadis yang sejak tadi membuatnya uring-uringan ada di halte bus yang berada tak jauh dari lampu merah. Gadis itu tidak sendirian, ia bersama Michael. Mereka sepertinya sedang menunggu bus bersama sambil saling tertawa.
Saat itulah jantung Felix kembali berulah. Penyebabnya adalah senyum dan tawa lepas Hanna yang begitu mempesona. Namun, ada perasaan lain yang menggerayanginya. Perasaan seperti marah, perasaan ingin mengganti posisi Michael.
Felix cemburu.
***
Hari ini benar-benar aneh. Hanna baru saja datang dan langsung diberi ucapan selamat. Selamat untuk apa? Hanna tidak sedang berulang tahun hari ini, omong-omong. Tidak hanya ucapan selamat, para siswi sebagian menatapnya sinis dan bahkan saling berbisik. Ada apa sebenarnya?
Begitu Hanna memasuki kelasnya, situasi yang sama juga melandanya. Teman-teman sekelasnya juga mengucapkan selamat padanya. Para siswi di kelasnya juga melakukan hal yang sama dengan sebagian siswi yang ia temui di luar kelasnya. Hanna semakin bingung ketika tiba-tiba Michael menariknya untuk segera duduk di bangku mereka.
Michael kemudian menyerahkan ponselnya pada Hanna. Hanna pun menerima ponsel Michael dengan penasaran. Rupanya, Michael membuka website sekolah dan di sana ada berita yang Felix umumkan bahwa ia dan Hanna sudah resmi berpacaran.
"Apa-apaan ini?! Aku dan Felix tidak berpacaran." Hanna memekik tak terima. Ia menatap layar ponsel Michael tak percaya. "Kenapa dia mengumumkan berita bohong seperti ini? Apa maunya?" Hanna menyerahkan ponsel Michael. Wajahnya kini tersungut-sungut marah.
Michael menggeleng tak mengerti. Tiba-tiba, ia terkesiap saat Hanna bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kelas. "Hanna!"
Hanna terus berjalan keluar kelas. Ia tidak mempedulikan Michael yang terus-terusan memanggil namanya dan bahkan mengejarnya. Hanna harus menemui Felix dan meminta penjelasannya. Kalau perlu, ia juga ingin menghabisinya.
Bersambung.
Hanna mencari Felix ke seluruh penjuru sekolah. Sebelumnya, ia sudah mencari Felix di kelasnya, tetapi pemuda itu tidak ada. Teman sekelasnya mengatakan, Felix dan teman-temannya sudah keluar kelas sejak tadi. Hanna pun mencari Felix di Kafetaria. Namun nihil, pemuda itu tidak bisa ia temukan di mana pun.
"Felix, sialan! Apa dia sengaja bersembunyi agar aku tidak bisa menemukannya?" desis Hanna kesal.
Mata Hanna melebar tatkala melihat Kevin, Leo dan Sean yang sedang berjalan ke arahnya sambil saling bersenda gurau. Dengan langka lebar Hanna segera menghampiri mereka untuk menanyakan keberadaan Felix.
"Oh, hai Sepupu ipar!" Leo berseru saat melihat Hanna yang berjalan ke arah mereka. Sean dan Kevin menoleh dan langsung tersenyum lebar begitu melihat Hanna.
"Di mana Felix?" Hanna bertanya tanpa basa-basi. Ketiga manusia di depannya langsung saling pandang kemudian menatap Hanna sambil ber wow ria.
"Aw, ternyata kau rindu pada pacarmu, ya?" Kevin menggerling. Hanna mendengkus kasar.
"Di. Ma. Na. Fe. Lix?" tanya Hanna dengan menekankan setiap penggal katanya. Kevin, Leo, dan Sean terkikik geli. Hanna mengernyit heran.
"Beritahu dulu, untuk apa kau mencarinya," ujar Sean kemudian. Kevin dan Leo mengangguk.
Hanna tergelak pelan. Kemudian ia menatap tajam ketiga orang di depannya. Tidak Felix tidak juga teman-temannya, mereka sama-sama menyebalkan. "Kurasa tanpa perlu kuberitahu kalian sudah tahu, bukan? Karena kuyakin kalian termasuk dalam rencana sialan ini."
"Wow, rencana apa itu? Tolong jelaskan dulu rencana apa yang kau maksud itu," ujar Leo. Ia bersidekap sambil menyeringai menatap Hanna lekat.
"Benar, dan hei- kenapa wajahmu semakin cantik saat sedang kesal seperti itu? Tolong, jangan pasang wajah jutekmu itu." perkataan Kevin langsung disambut jitakan keras oleh Leo dan Sean. Kevin meringis.
Hanna memutar bola matanya malas kemudian mendengkus. Sungguh, berbicara dengan ketiga orang di depannya hanya membuatnya semakin frustrasi. Buang-buang waktu saja!
Hanna pun pergi dari hadapan Kevin, Leo, dan Sean. Namun, mereka bertiga menghalanginya.
"Wow, wait a minute, Sweety. Kau mau ke mana? Kita belum selesai bicara," ujar Leo disertai cengiran khasnya yang mampu melelehkan hati para gadis kecuali Hanna tentunya.
"Tapi kurasa kita sudah selesai karena kalian tidak menjawab pertanyaanku."
"Oh, jadi kau serius ingin tahu keberadaan Felix?" tanya Sean. Kali ini, raut wajah dan nada suaranya tampak serius. "Dia di ruang musik."
Mendengar hal itu, Hanna tanpa ragu kembali berjalan ke ruang musik. Ia sudah tidak sabar ingin memaki Felix. Namun, suara Sean membuatnya menghentikan langkahnya.
"Kusarankan kau untuk tidak menemuinya sekarang karena ia sedang tidak ingin diganggu."
Hanna berbalik. Kevin, Leo, dan Sean sedang menatapnya serius.
"Apa peduliku?" tanya Hanna sinis. Hanna pun kembali melanjutkan langkahnya yang terhenti. Kali ini, Kevin, Leo, ataupun Sean tidak mencegahnya. Namun, Hanna bisa mendengar helaan napas mereka.
Hanna sampai di ruang musik. Dengan sedikit tidak sabaran, Hanna memutar kenop pintu dan masuk. Namun, ia dibuat terpaku oleh pemandangan di depannya begitu ia masuk ke ruangan yang dindingnya dilapisi peredam suara tersebut. Felix sedang duduk membelakanginya dan memainkan piano dengan begitu lembut. Nada-nada yang dimainkannya terdengar begitu pilu. Hanna seolah ikut merasakan rasa sakit yang tercipta dari rangkaian nada yang dimainkan oleh Felix.
Untuk beberapa saat, Hanna tenggelam dalam alunan melodi indah yang Felix mainkan. Ia seolah lupa dengan tujuan awalnya datang ke ruang musik. Pemandangan di depannya seolah memiliki daya tarik magis yang tak mampu membuatnya berpaling barang sedikit pun.
Namun, secara tiba-tiba Felix menghentikan permainannya. Hanna seperti ditarik kembali ke dunia nyata dan ia pun tersadar.
"Apa yang ingin kau katakan?" Felix bertanya dengan masih membelakanginya. Nada bicaranya terdengar begitu dingin, berbeda dengan nada bicaranya yang kemarin Hanna dengar.
Sambil menata kembali perasaannya yang tadi sempat terhanyut, Hanna berjalan menghampiri Felix. Tangannya terkepal kuat disisi tubuhnya. "Apa maksudmu mengumumkan kalau kita berpacaran di website sekolah? Apa tujuanmu sebenarnya?"
Felix menoleh pada Hanna. Ia menatap Hanna dalam diam dengan tatapan dinginnya. Sejurus kemudian, ia bangkit dan berdiri di depan Hanna sambil memasukkan tangannya kedalam saku celananya. "Kenapa, ada masalah?" tanya Felix santai.
"Tentu saja itu sebuah masalah besar! Kau dan aku tidak saling menyukai, bahkan sepertinya kita saling benci karena kejadian kemarin. Jadi, apakah masuk akal kalau kita berpacaran?"
"Masuk akal."
"Apa?"
"Aku ingin pacaran denganmu dan semua yang kuinginkan harus terpenuhi. Jadi, kau tidak bisa menolak karena aku tidak suka penolakan."
Hanna menatap Felix dengan mulut menganga lebar. Ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran pemuda di hadapannya itu. Alasan pemuda itu sangat diluar nalar. "Kenapa kau ingin pacaran denganku kalau kau membenciku? Kau pasti hanya ingin balas dendam padaku, 'kan? Katakan!!"
Felix bergeming. Ia sama sekali tidak melakukan apa-apa kecuali menatap Hanna dingin. Hanna mendesah frustrasi melihat tingkah laku Felix. Ia menatap Felix kesal. "Aku tidak mau jadi pacarmu karena aku membencimu. Kau dengar itu, Felix Alley Huang? AKU MEMBEN-mmph."
Tiba-tiba Felix mencium Hanna kasar sambil mendorong tubuh Hanna ke dinding. Punggung Hanna menabrak dinding cukup keras. Hanna berusaha mendorong dada Felix agar pemuda itu tidak menghimpitnya. Hanna juga berontak dengan menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, tanda kalau ia menolak ciuman Felix. Namun, Felix tetap bertahan dengan aksi gilanya.
Setelah sekian lama bertahan menerima pemberontakan dari Hanna, Felix mulai kesal lalu menghentikan aktivitasnya. Selain menghentikan aksi tersebut, Felix juga melampiaskan amarahnya pada dinding disamping kepala Hanna dengan meninjunya keras.
"Sial!" Felix mengumpat keras. Ia menatap Hanna dengan mata berkilat marah. Hanna hanya menatapnya dengan tatapan terluka. Mereka berakhir dengan adegan saling menatap dengan Hanna yang masih menempel di dinding dan Felix yang masih mengukungnya.
Felix berkata, "Kau tahu, Hanna Osment? Aku juga sebenarnya sangat membencimu. Aku membencimu karena kau membuatku merasakan sesuatu yang sangat asing bagiku. Aku membencimu karena kau membuat hatiku terasa sakit tiap kali melihatmu. Dan aku membencimu karena kau membenciku. Tapi, apa kau tahu hal yang lebih gila dari itu semua?"
Hanna bergeming.
Felix menggeram. "Aku menginginkanmu. Aku menginginkan dirimu untuk kumiliki. Aku ingin memilikimu, Hanna Osment. Itu alasan aku ingin pacaran denganmu."
Kali ini Hanna terkejut. Felix menjauhkan tubuhnya dan pergi dari hadapan Hanna. Ia melangkah dengan diiringi amarah yang meluap-luap. Hanna hanya bisa melihat punggung Felix yang menjauh dengan rasa penasaran. Ia penasaran dengan arti tatapan Felix barusan padanya. Felix menatapnya dengan tatapan penuh luka.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!