Orang-orang selalu bilang, "lebih baik membuat orang lain jadi alat-mu daripada menjadi alat mereka."
Tapi, di dalam diri-ku...
Aku merasa tidak memperdulikannya, jadi alat mereka atau menjadikan mereka alat tidaklah penting.
Bagiku...
Yang terpenting adalah hasilnya.
Meskipun aku menjadi alat dari nenek itu sekalipun, aku tidak peduli. Asalkan impianku terwujud, maka itu cukup.
Begitulah apa yang ada di dalam pikiran laki-laki yang sudah berinjak umur kepala tiga itu.
Kring!!!!!
Sebuah suara dari alarm ponsel terdengar keras di sebuah kamar berukuran kecil dan kumuh itu.
Terdapat sebuah lemari kayu kecil yang hanya memuat pakaian sehari-hari dan sebuah lemari kaca yang pecah di sana, satu-satunya penerangan alami hanyalah jendela seukuran kaki orang dewasa yang langsung menembus ke matahari pagi.
Tik!
Sebuah jemari telunjuk yang kerempeng namun keras menggesek layar ponsel itu, dan mematikan suara bising itu.
"Jadi... Ini adalah harinya?"
Aku tidak percaya dia benar-benar melakukannya.
Rambutnya yang pendek habis dipotong terlihat masih berantakan setelah melewati satu malam, matanya yang hitam masih mengisi daya dan bergegas menghadap hari baru
Rasyid Londerik, seorang pria yang tidak punya tujuan hidup dan hanya bekerja demi uang akhirnya dibuat menemui kehidupan yang baru
Bukan sebuah hidup dengan orang lain atau pernikahan, namun sebuah pekerjaan yang akan mengubah pola pandang hidupnya selama ini.
"Oh, kau sudah bangun... Ayo makan! Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu."
Saat keluar dari kamarnya, Rasyid yang masih memiliki kantung mata di matanya langsung disambut dengan seorang pria yang terlihat muda tapi sebenarnya lebih tua darinya.
Pria itu tersenyum lebar ke arah Rasyid, seperti tak ada rasa dosa sedikit pun, dia dengan tenangnya mengatakan itu pada seorang mantan pembunuh bayaran(Rasyid).
Pria dengan rambut panjang sampai punggung, berkulit sawo matang sama seperti Rasyid, dan mengenakan jas dan dasi yang sangat formal ala politikus itu merupakan seorang yang memiliki hubungan darah dengan Rasyid.
Kakakku tidak pernah seperti ini... Pasti ada alasan dibaliknya.
Rizki Kamil, orang yang paling disegani di kota ini. Dia merupakan wakil bupati dari Kota Ningru ini, meskipun begitu... hubungannya dengan adiknya(Rasyid) tidaklah begitu baik, bahkan mereka tidak pernah bicara satu sama lain, dan baru seminggu yang lalu orang itu tiba-tiba bicara dengan Rasyid.
"Jadi, apa yang kau inginkan dengan tiba-tiba mendaftarkanku menjadi guru di sekolah itu? Belum lagi pakai orang dalam. Apakah kau tidak takut statusmu akan terancam?"
Pasti ada udang di balik batu, begitulah yang dipikiran Rasyid saat ini.
Namun, bukannya sebuah jawaban yang muncul dari muka mengesalkan itu, namun sebuah tangan yang di ayunkan ke arah meja makan.
"Makan yuk!" Ucapnya tanpa menghilangkan senyum itu.
"Tch!" *Sling!*
Kesal dengan perilaku kakaknya, Rasyid membuat sebuah pedang berkarat dari benda berbentuk silinder yang berada di sakunya dan mengarahkan ujung pedang itu ke leher kakaknya.
Benda silinder yang digunakan Rasyid itu disebut Pageblug, benda yang bisa berubah menjadi senjata sesuai dengan data yang tersimpan di dalamnya, dan kebetulan data yang berada di pageblug milik Rasyid adalah pedang berkarat itu.
Dengan sedikit ekspresi terkejut yang dibuat-buat, Rizki membalikkan kepalanya dan menghadap ke Rasyid. Masih sama, senyuman itu tidak bisa lepas dari mukanya.
"Kamu kesal? Apakah kau mau menghabisku? Tapi kamu tahu, bukan? Kamu tidak bisa melakukannya... Karena ini adalah perintah langsunh dari nenek itu."
Mendengar kakaknya menyinggung nenek itu, Rasyid dengan sedikit terkejut mulai menurunkan pedangnya yang karatan itu.
Dengan perasaan berat, dia mengubah pedang itu kembali menjadi silinder yang berukuran segenggam manusia itu.
Aku tahu aku tidak bisa, tapi jika aku dikacangin begini, aku tetap tidak terima!
Dengan menurut apa yang kakaknya mau, Rasyid menghabiskan makanannya dan ikut dengan kakaknya.
***
Di dalam sebuah mobil sedan hitam, Rasyid dengan kemeja biru mudanya ditemani dengan kacamata yang tergantung di matanya duduk di sebelah kakaknya yang sedang menyetir melihati gedung-gedung besar khas dari Kota Ningru.
Gedung-gedung tempat para orang-orang besar dan berduit berkumpul untuk memamerkan kekayaan mereka.
Sejak kematian menjadi sesuatu yang mustahil saat ini, kesenjangan sosial menjadi terlihat jelas. Orang yang miliki uang dan jabatan akan menjadi hidup di atas sedangkan yang lemah tetap berada di bawah.
Bahkan dengan kekuatan sekalipun, mereka tidak akan bisa menang melawan orang yang berada di atas. Menyiksa orang bawah sampai menjadi trauma adalah alasan kenapa itu mungkin terjadi.
Mau bagaimana lagi, kematian selain usia sudah tidak bisa dilihat saat ini.
Sambil memikirkan itu, Rasyid melihati telapak tangannya yang terlihat lembut dan lemah.
Dari luar tangan itu terlihat biasa, tapi baginya, tangan itu adalah penjaga dari kestabilan era ini. Tangan Rasyid sudah sering berlumuran darah, bahkan dia sampai tidak bisa menghitung dengan jari jumlah korbannya.
Semua itu dia lakukan demi-
Aku melakukan ini... Demi apa?
Rasyid melupakan tujuan hidupnya.
Meskipun lupa, tapi dia tetap ingat, tangannya adalah hakim untuk menghukum orang yang melanggar.
Kembali ke dalam mobil, Rasyid melihat dari kaca spion mobil itu. Dia melihat sebuah mata yang bolak-balik menatapnya.
"Bicara..." Dengan nada yang lemah Rasyid menyuruh orang yang berada di sebelahnya bicara.
"Hebat sekali, padahal aku sedang fokus ke jalan, tapi kamu selalu tahu apa yang ada di dalam pikiranku."
Kau terlalu terlihat bodoh!
Hanya dengan menatap kakaknya dengan datar, Rasyid mengisyaratkan kakaknya untuk segera menjawab.
"Nanti saat sampai, ada seorang wanita yang akan menunggumu, dia Erika Rahmana, panggil dia Erika. Dia yang akan menjadi pengawasmu."
Kembali menatap jalan, Rasyid tidak terlihat begitu tertarik dengan apa yang kakaknya beritahu.
Seorang wanita... Pengawas... Sudah berapa jauh di mempersiapkannya?
Bodoh ah, lakukan saja.
***
Mobil berhenti tepat di depan sebuah gerbang besar.
Sebuah pagar tinggi mengelilingi sebuah gedung tingkat dua yang megah itu. Kemungkinan ukuran bangunan beserta pagarnya bisa sebesar stadiun sepak bola bahkan dua kalinya.
Di dalamnya terlihat hanya ada sebuah parkiran mobil dan hanya ada dua mobil yang terparkir di sana.
Sepertinya aku harus ke dalam...
Sambil memikirkan itu, Rasyid menoleh ke belekang tepat ke arah kakaknya yang masih dalam kemudi.
"Aku hanya bisa sampai sini, setelahnya urus sendiri. Lagipula semuanya sudah kupersiapkan jadi tidak perlu khawatir. Ingat kata-kataku tadi!" Dengan tersenyum menjengkelkan Rizki mengatakan itu
Dengan begitu, Rasyid terpaksa berjalan keluar dari mobil sedan itu dan menghadap ke arah gerbang.
Tak lama kemudian suara mobil yang kian menjauh terdengar di belakangnya, kini kakaknya telah pergi dan meninggalkannya sendirian.
Berjalan masuk melewati gerbang, Rasyid melihati sebuah parkiran mobil yang sepi ini.
Kelihatannya ini parkiran guru, dan mereka masih belum datang.
Meskipun begitu, Rasyid merasakan keanehan dari sepinya parkiran itu.
Dua mobil yang terparkir di parkiran itu kelihatannya milik staff yang kerja pagi, namun juga tidak menutup kemungkinan kalau mobil-mobil itu adalah milik guru yang menjadi pengawasnya.
Tapi itu terlalu banyak hanya untuk mengawasi satu orang.
Kemungkinan salah satunya milik Erika.
Tanpa memperdulikan lebih panjang, Rasyid kembali berjalan mendekat ke pintu gedung utama.
Tepat seperti yang dikatakan kakaknya. Seorang wanita dengan rambut hitam yang dikepang ke depan bahu, mata hitam namun bersinar dipenuhi kehidupan ceria, mengenakan jas bewarna ungu gelap dan celana panjang yang dilapisi rok pendek di luarnya sedang menanti kedatangannya.
Wanita itu memegang sebuah papan daftar di tangannya seperti orang yang hendak mengabsen.
Matanya terus melihat ke arah pria yang terus berjalan mendekat ke arahnya.
Mulutnya menutup datar seperti tidak memberikan kesan apapun pada Rasyid.
Namun, saat Rasyid sudah mendekat, mulut itu menekuk dan membuat sebuah senyuman.
"Apakah anda Rasyid?"
Rasyid menjawab dengan mata yang sudah membaca gelagak mulut wanita itu. "Ya, benar." Kepalanya mengangguk.
"Erika?" Rasyid mencoba memastikan.
"Ya, aku adalah Erika, yang akan menjadi pengawas anda. Ngomong-ngomong, anda sepertinya bukanlah tipe yang suka banyak bicara..."
Matanya menatap curiga.
"Aneh, kenapa Pak wakil bupati merekomendasikan orang ini?" Suaranya mendesis terdengar jelas oleh Rasyid tanpa ada niat mengecilkannya.
"Sudahlah... Aku tidak boleh meragukannya!"
Dengan tangan mengepal, Erika kembali menatap Rasyid dengan tatapan biasa.
"Ikut saya, saya akan membawa anda ke tempat registrasi."
Ini adalah langkah awal Rasyid dalam dunia barunya, tapi sepertinya kehidupan itu tidak akan berjalan mulus buatnya.
Karena suatu masalah akan menimpanya sebentar lagi.
Rasyid merasakan itu, tapi tidak bisa mengkonfirmasi masalah apa yang akan ia temui.
......................
Tik tik tik...
Suara ketukan layar dari sebuah tablet yang cukup lebar terdengar konstan dari dalam ruangan.
Saat ini Rasyid bersama Erika sedang mengisi data diri pria itu.
Nama:
Elemen:
Pageblug:
Anitya:
Kekuatan setiap elemen:
Ke lima itu adalah hal penting dan yang akan menjadi penentu utama sekolah ini.
Namun, Rasyid berpikir lain saat melihat kelima tabel itu.
Aku tidak bisa memperlihatkan semuanya, aku harus mengisi secara hati-hati, terutama di bagian elemen dan Anitya.
Bagi orang normal, mereka hanya bisa memiliki 2 elemen saja. Elemen-elemen itu terbentuk saat pertama kali Anitya disuntikkan ke tubuh mereka, dan elemennya akan menyesuaikan dengan kepribadian mereka saat itu juga.
Anitya di sisi lain, mendengar namanya saja sudah pasti membuat semua orang langsunh takjub dan bersujud, bagaimana tidak, Anitya adalah maha karya di dunia ini. Manusia tidak bisa mati karena cairan ini.
Untuk lebih detilnya, Anitya adalah cairan yang disuntikkan saat manusia minimal berumur 5 tahun, cairan itu akan mengalir dan bersarang di jantung dan otak, saat itu juga mereka akan kebal dari kematian, setiap luka yang mereka dapatkan akan segera beregenerasi, tapi tetap saja, trauma adalah musuh utama mereka. Meskipun Anitya bisa menyembuhkan luka fisik, namun luka batin tetaplah sesuatu.
Sekarang, Rasyid harus berpikir, dia memang saat ini terlihat seperti orang biasa dan terlihat amatir. Tapi tetap, pengalaman dan kekuatan diri-nya berbeda dari yang lain.
Rasyid bisa mengenakan ke-delapan elemen sekaligus, dan dia juga memiliki kekuatan terlarang yang hanya bisa dipakai oleh 3 orang di dunia ini.
Sekarang... Apa yang harus kupilih?
Anityanya bisa ku kecoh-kan dengan 'Basic' saja, namun soal elemen... Aku harus memikirkannya baik-baik. Memilih elemen saat ini, berarti aku harus memakai elemen yang kupilih selama di sekolah ini.
"Rasyid? Kenapa anda melamun?"
Sebuah suara lembut mengembalikan pria itu ke kesadarannya.
"Maaf, hanya sedikit bengong..." Dia mengelak dengan tersenyum bodoh.
Tidak mungkin buatnya mengatakan dia bingung memilih elemen, semua orang jelas akan menulis bagian elemen paling cepat karena mereka tidak bisa diubah sampai mati.
"Bengong?"
"Tidak, bukan apa-apa..."
Dengan tergesa-gesa, Rasyid menulis elemennya secara acak dan menguji kekuatan elemennya di tablet itu.
Nama: Rasyid Londerik
Elemen: Air/Tanah
Pageblug: Rusted Sword
Anitya: Basic
Kekuatan setiap elemen: 40/20
Sebuah formulir yang sangat biasa, bahkan sangat buruk.
Erika yang memasang wajah tersenyum sopan dengan sekilas membuat wajah kesal. Namun, karena profesioal dia dengan cepat mengembalikan raut mukanya dan memasang wajah normal.
Dia... Mendercakkan mulut?
Rasyid melihatnya.
"Sudah, sepertinya ini adalah saatnya."
Erika menekan sesuatu yang ada dikupingnya, semacam alat komunikasi. Dia dengan berbisik mengatakan, "ini saatnya." Di dalam alat itu.
Erika mengatakannya dengan pelan, namun Rasyid menyadarinya. Di ruangan yang sempit dan tertutup ini, suara kecil akan terdengar keras.
"Rasyid, mari ikut saya... Ada sesuatu yang harus kamu lihat saat pertama kali berkunjung di sini."
Dengan wajah serius, Erika meminta.
Dia berbalik tanpa menunggu Rasyid mengiyakan atau tidak. Dia tahu kalau Rasyid pasti akan mengikutinya karena dia bukanlah tipe orang yang banyak bicara.
Saat berjalan keluar, Rasyid melewati teras-teras kelas. Saat melihat ke arah dalam, dia melihat ruang kelas yang masih kosong.
Itu adalah hal yang normal, karena sekarang masihlah sekitar jam 5 pagi, matahari bahkan belum terlihat.
Ruang-ruang kelas di sini tertata rapi mengitari dua lapangan yang dipisahkan oleh sebuah gedung raksasa. Terdapat dua lantai di setiap baris ruang kelasnya, namun tidak terlihat seperti semuanya terpakai.
Bekerja dan belajar di sini mungkin menjadi impian semua orang, bagaimana tidak, sekolah ini adalah sekolah paling bergengsi di negara ini yang bahkan langsung dipantau oleh mereka.
Butuh ilmu dan skill yang mumpuni untuk bisa menginjakkan kaki di sini, bukan hanya untuk sang guru, namun juga sang murid.
Sedangkan itu, di sini saat ini ada orang yang bahkan tidak berusaha bisa masuk di sekolah ini hanya dengan menggunakan orang dalam.
Tidak ada rasa bersalah, itulah yanh Rasyid coba lakukan.
Rasyid terus membuntuti punggung Erika sampai di sebuah gedung raksasa yang memisahkan dua lapangan.
Firasatku buruk...
Sesuatu yang buruk akan segera terjadi.
Erika membuka pintu utama gedung itu dan masuk. Rasyid berjalan mengikutinya.
Saat berada di dalam, gedung ini sangatlah gelap, bahkan Rasyod buta oleh sekitarnya. Dia tidak bisa melihat apapun di sini.
Namun tak lama kemudian...
Dar!
Lampu-lampu menyala bersamaan, menerangi seluruh area gedung.
Rasyid menatapi sekitar dan melihati dengan seksama gedung ini.
Lapangan melingkar, dinding tinggi dan terdapat banyak bangku penonton di sekitarnya. Tidak salah lagi... Ini adalah Arena!
Tanpa buang-buang waktu, Erika yang ada di depannya dengan cepat berbalik dan mengeluarkan sebuah benda silinder dari sela-sela dadanya.
"Maaf Rasyid, tapi aku tidak bisa membiarkanmu berjalan lebih jauh!"
Sambil mengatakan itu, sebuah busur yang sering disebut 'compund bow' terbuat dari pageblug miliknya.
Busur itu diarahkan ke kepala Rasyid dan siap menembaknya kapan saja yang dia mau.
"Sekarang, semua kecemasanku terjawab..." Rasyid menatapi lantai arena itu dengan mata yang suram.
"Kau, Rasyid Londerik! Kami tahu kau menggunakan orang dalam untuk masuk menjadi guru di sekolah ini, dan terlebih lagi memakai kakakmu untuk melakukannya, sungguh aku kecewa dengan orang itu. Inilah kenapa aku benci mereka(politikus)."
Rasyid akhirnya menyadari satu hal dalam insiden ini, yaitu kakanya sadar hal ini akan terjadi, jadi dia sudah mempersiapkannya dan mengatakan pada Rasyid untuk berhati-hati secara tidak langsung.
Plok... plok... plok...
Suara tepuk tangan terdengar dari atas tempat bangku penonton.
Di sana terdapat satu pria gendut, berwajah seram, berjenggot tebal, berkumis menutipi seluruh bagian sekitar mulutnya, dan berambut kriting panjang ke belakang.
Dia duduk di salah satu bangku penonton dan menatapi Rasyid dengan tatapan ingin membunuh.
"Aku tak menyangka dia akan menggunakan cara itu untuk memasukkan adiknya." Dia berdiri dari duduknya dan berjalan mendekat ke bangku paling depan. "Aku, Saiful Baharuddin akan membersihkanmu, dan menjaga nama baik sekolah ini!"
Orang yang mengaku bernama Bahar itu mengangkat satu tangannya dan mengepalnya keras ke arah penyusup itu. Matanya melotot seperti sudah muak dan marah dengan lelucon ini.
"ERIKA! Kau tahu tugasmu, bukan?!"
Di sisi lain,
"Ya, aku tahu..." Dengan suara yang penuh konsentrasi, Erika mulai bergerak mundur dan bersiap mengambil ancang-ancang untuk bertarung.
"..."
"Kenapa kau diam saja?! Cepat keluarkan senjatamu!"
"Ini pertarungan?!"
"Tentu saja! Kau kira apa yang sedang wanita itu lakukan tepat di depanmu?!"
"Oh..."
Rasyid sepertinya terlambat untuk membaca situasi.
Dengan terpaksa dan malas, Rasyid mengeluarkan pageblug-nya dari saku dan membuat sebuah pedang karatan dari benda silinder itu.
Namun ada orang yang bereaksi saat melihat benda itu.
"Ah hahaha! Mainan itu, mau kau buat apa?!" Bahar meledek senjata yang dipakai Rasyid.
Namun Rasyid tidak memperdulikannya. Dia memulai ancang-ancangnya dan siap menebas siapapun yang ada di depannya.
Meresahkan saja, pagi-pagi buta aku sudah disuruh untuk membun- bukan, maksudku menghajar seseorang.
Tidak ada acara berdarah dan nyawa melayang saat ini. Berubah, itu yang diingankannya. Demi orang itu, aku harus bisa!
Rasyid menatap tajam lawannya, pedang yang ia cengkram tidak terlihat akan terlempar oleh tusukan anak panah sekalipun.
"Sepertinya aku tidak digubris." Bahar menghentikan hinannya dan kembali memasang wajah serius ke arah dua orang yang bersiap berhadap-hadapan itu. "Pertarungan antara Erika sang Juara dan Rasyid sang Tikus... DIMULAI!"
Bahkan sampai pertandingan dimulai, Bahar masih memberi hinaan ke pria itu.
Dengan wajah serius yang dipaksakan, Rasyid bersiap menerima setiap serangan yang akan dikeluarkan oleh Erika.
Dia tidak perlu terlalu fokus untuk menyerang, lawannya adalah tipe busur. Selagi Rasyid memasuki jarak tertentu, maka dia akan menang.
"Kau!"
Sling!
Anak panah yang ditembakkan oleh Erika melesat ke arah Rasyid.
Dengan cepat Rasyid menghindar ke samping dan membiarkan anak panah itu lewat.
Anak panah itu terus melaju dan menancap dinding arena.
Tembakan lurus ke depan?
Rasyid mulai mengevaluasi lawannya, dan dari apa yang dia dapat, lawannya bukanlah di level bawah atau menengah, bahkan melebihi level atas, wanita itu berada di level tertinggi, Champion.
"Kau... Champion sungguhan?"
Rasyid mencoba memastikan kata-kata yang dilontarkan Bahar saat sebelum pertarungan dimulai. Kata-kata tadi terus terbayang di pikirannya.
Apakah sebutan Erika sang Juara(Champion) tadi sungguhan, dan bukan hanya omong kosong?
"Fokus, bodoh!"
Namun bukannya sebuah jawaban yang ia dapat, malah sebuah hinaan yang lebih.
Erika bersiap menembakkan tiga anak panah sekaligus ke arah Rasyid, dan kali ini ada sebuah gumpalan elemen yang mengitari anak panah itu.
Dia mencoba menembakkan beberapa anak panah?
Dua anak panah berelemen api, dan satu elemen listrik berada di tengah.
Dia mau membuat sebuah ledakan dengan mengghantamkan elemen listrik dan api itu.
Jadi meskipun aku menghindar, dan kedua anak panah(listrik dan api) saling bergesekan, maka akan menyebabkan sebuah ledakan dan aku yang menghindar akan terkena efek ledakan.
Sungguh, dia mencoba sesuatu yang mengerikan.
Bahkan dia terlihat seperti menikmatinya saat bersiap melesatkan anak panah itu.
Slash!
Tiga anak panah meluncur dan berpencar.
Anak panah api itu melesat ke samping dan mencoba mengepung Rasyid dari dua arah, sedangkan anak panah listrik melesat lurus langsung ke arah pria itu.
Rasyid saat ini hanya punya dua opsi, mundur ke belakang, atau...
Opsi pertama jelas akan beresiko, ledakan saat api dan listrik bertemu bukanlah sesuatu yang bagus bila terkena.
Tubuh akan langsung hancur menjadi berkeping-keping dan menembus organ dalam.
Maka, sisanya hanyalah opsi kedua untuk Rasyid.
Rasyid mencengkram kuat pedangnya dan diayunkan ke sekitar.
Clang! Clang! Clang!
Ayunan itu menebas ketiga anak panah yang melesat ke arahnya. Ketiga anak panah itu dihentikan hanya dengan satu kali ayunana.
"A-apa?!"
Baik Erika maupun Bahar terlihat terkejut dan tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.
Menepis tiga anak panah dari tiga arah yang berbeda bukanlah sesuatu yang mudah. Bahkan jika profesional sekalipun, mereka harus setidaknya melakukan 3 kali tebasan cepat untuk itu.
Di sisi lain, Rasyid yang baru saja melakukan sesuatu yang menakjubkan tadi tidak terlihat bangga dengan apa yang baru saja dia lakukan. Matanya masih lemes seperti biasa.
"Kau kuat sekali... Bahkan aku belum melihat kekuatan elemenmu sama sekali."
Erika menyeringai melihat apa yang baru saja ia lihat, ditambah dengan lawannya yang bahkan tidak memberikan sedikitpun ekspresi takjub dengan apa yang dia lakukan. Erika menyimpulkan satu hal.
"Orang besar(Orang elit) pendosa!"
Erika memiliki prinsip, mereka(orang elit) adalah para pendosa besar. Sesuatu yang berhubungan dengan masa lalunya telah membuatnya seperti ini. Sesuatu itu pasti sesuatu yang mengerikan sehingga dia menjadi dibutakan dengan argumen itu.
Erika memegang busurnya semakin kuat, kini kemarahan menyelimuti dirinya.
"Aku akan dengan senang hati merobek-robekmu!"
Tanpa pikir panjang, Erika berlari maju dan melupakan kalau dia adalah petarung jarak jauh.
"Gyah!"
Sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Semburan api dan listrik keluar dari dua telapak tangan wanita itu, semburan itu mencoba menembus perut lawannya. Dia dengan memasang wajah tersenyum menyeringai mencoba mengakhiri pertarungan dengan cepat.
Duar!
Api dan listrik bertemu dan bergesek menyebabkan sebuah ledakam yang cukup besar.
"Yes! Aku menang! Tapi itu masih belum cukup!"
Asap tebal menyelimuti arena, tak ada satupun yang bisa melihat apa yang terjadi di sana. Bahkan Bahar yang berada di atas sekalipun tidak bisa melihatnya.
"Apakah ini berakhir?" Bahar mencoba mengecek keadaan.
Matanya mulai menelusuri ke dalam asap tebal itu namun hasilnya nihil.
Tak ada satupun yang bisa dia dapat.
Dan itu artinya, kemenangan pasti menjadi milik Erika.
"Eh-" Bahar mencoba memperingati Erika, namun sebagai juri, dia tidak boleh melakukannya. Belum lagi dia adalah orang yang menjunjung tinggi harga diri.
Bahar merasakan sebuah kejanggalan yang terjadi saat ini.
"Terlalu banyak asap..."
Asap tebal, ini bukan berasal dari efek gesekan api dan listrik, namun berasala dari-!
Bahar yang menonton dari atas akhirnya menyadari sesuatu.
"Wakil bupati itu tidak sedang bercanda..." Dengan wajah bermandikan keringat, Bahar mencengkram kuat pagar penghalang yang menjadi pembatas area penonton dan arena petarung itu.
Kembali ke pertarungan.
Asap tebal masih menyelimuti sekitar dan membutakan semua penglihatan. Erika dengan terengah-engah melihati asap tebal itu dengan senyuman kecil.
"Eh?"
Tapi dia akhirnya menyadarinya, sesuatu yang aneh ada pada asap itu.
"Asap ini... Bukan dari reaksi elemenku, melainkan sebuah badai pasir kecil!"
Dengan ketakutan dan tergesa-gesa, Erika mengarahkan busurnya ke atas dan bersiap mengeluarkan kekuatannya yang lain.
"Kau pasti ada di sekitar, bukan?! Kau pasti menggunakan momentum ini untuk menyerangku dari dekat!"
Tak ada yang menjawab, apakah Erika hanya parno, atau memang musuhnya sedang bersembunyi?
Lingkaran raksasa tiba-tiba terbentuk di sekitar Erika, lingkaran itu berputar dan memercikan listrik yang sangat kuat.
Semakin ditarik tali busur itu, semakin kuat juga percikan dari listrik itu, dan semakin deras pula keringat yang membasahi wajah wanita itu. Rambut dan pakaiannya ikut berkibas-kibas oleh efek dari percikan listrik.
Wanita itu bersiap melepas anak panah itu dan melesatkannya, namun...
"Hujan panah? Itu yang ingin kau lakukan?"
Tepat sebelum anak panah melesat ke atas dan membuat ratusan anak panah melesat ke bawah, sebuah cengkraman menahan lengan wanita itu.
"Gyeh!"
Ada sensasi lain saat pria itu berada di dekatnya. Erika merasakan sesuatu yang panas dan menembusnya.
Perlahan wanita itu mulai menurunkan arahnya melihat, sampai pada bagian perut, dia melihat sebuah pedang yang berkarat telah menusuk jantungnya.
Kesadarannya perlahan hilang dan kekuatannya untuk menopang tubuh mulai kendur.
Sampai matanya juga tidak bisa menahan untuk terus terbuka, dia akhirnya-.
Brak!
Dia pingsan.
Rasyid yang masih menancapkan pedang di perut wanita malang itu hanya bisa terdiam setelah melihat lawannya tumbang.
Perlahan dia menarik keluar pedang itu dan menatap rendah lawannya.
Tetanus tidak akan mengenai wanita itu, karena warna karat di besi pedang itu hanyalah sebuah 'skin'.
"Aku menang..." Hanya itu yang keluar dari mulut pria itu.
Tenang saja dia tidak mati, Anitya menahan kematian, apapun bentuk bahaya fisiknya.
Pertarungan berakhir dengan dimenangkan oleh Rasyid. Tidak terlihat nafas yang terengah-engah keluar dari wajahnya, namun keringat tetap membasahinya.
Dia terlihat gugup akan sesuatu.
Sejujurnya, kalau saja aku terlambat sedikit saja mungkin aku akan kalah.
Bagaimanapun Rasyid tetaplah manusia, dia juga mengalami sesuatu yang disenut gelisah.
Hujan panah, itu serangan paling mengerikan yang pernah aku lihat di televisi saat itu.
Tak ada satupun lawan yang berhasil selamat bila mereka berdiri di lingkaran listrik di saat anak panah turun.
Rasyid mengakui satu hal, wanita yang ada di depannya bukanlah wanita biasa. Dia mungkin saja orang yang sangat kuat, atau memang begitu.
Rasyid tidak pernah update soal hal-hal beginian, terlebih lagi soal selebriti dunia. Baginya mereka hanyalah uang berjalan bagi para pembisnis.
Ada juga kemungkinan dia memanglah Champion, tapi jawaban itu belum bisa dia konfirmasi.
Sepertinya aku harus update terhadap media.
Helaan nafas keluar dari mulut pria itu. Hal yang paling dibenci harus dia hadapi, yaitu media.
Point of View: Rasyid Londerik
Suara tepuk tangan terdengar dari atas podium. Saiful sang kepala sekolah melangkah ke bawah dari podium itu.
Kumis, jenggot, dan Badannya yang besar memberi perasaan menakutkan saat dia datang menghampiriku.
Saat jarakku dengannya sudah dekat, dia memberi salam hangat padaku.
Tanganku kanannya dengan ikhlas diulurkan ke arahku.
"Selamat kau lulus ujian. Aku minta maaf karena meragukan pilihan Wakil Bupati. Kau sangat hebat!"
"Terima kasih banyak Pak Saiful" Tanganku menggapai uluran tangannya.
"Panggil aku Bahar saja. Itu lebih enak didengar" Senyum Pak Bahar terlihat cerah di mukanya.
Tak lama setelah itu, pandangannya dialihkan ke Erika.
"Erika! Mulai sekarang kau benar-benar menjadi pengawasnya...hahaha" Bahar tertawa ganas sambil menepuk-nepuk pundakku.
"Apa?! Bukannya anda bi-" (Erika)
"Itukan tadi, Tapi sekarang lihatlah! Dia benar-benar orang yang cocok bukan? Dia bahkan bisa mengalahkanmu tanpa kesulitan" (Bahar)
Aku hanya bisa tersenyum kecut melihat tingkah mereka berdua. Wajah terkejut akan tak percaya yang dipasang Erika memberi kesan lucu padanya.
"Ya sudah, semuanya akan kuserahkan pada Erika! hahahahaha!" Dengan begitu kepala sekolah aneh itu meninggalkanku dan Erika yang masih menganga tak percaya.
"Ahh dasar pria sialan!" Erika menggenggam tangannya dan ditinjukan kearahkan tempat Pak Bahar pergi.
"Anu.. Sekarang apa?"
"Sekarang pergilah ke kelas 10 Fisik 1! Jika sudah melihat-lihatnya, kembali ke ruang guru!" (Erika)
Dia tidak mempedulikanku dan pergi dengan keadaan marah.
Aku mencoba pergi ke kelas yang dimaksud. Letaknya ada di lantai 2 dekat kantor hanya dipisahkan oleh jalan keluar murid dari parkiran sepeda mereka. Aku mencoba masuk dan melihat-lihat isi kelas. Layaknya kelas biasa hanya ada kursi berdempet dan 2 komputer di setiap meja. Satu meja untuk 2 murid. Papan digital yang sudah menggunakan teknologi layar sentuh tertempel di depan kelas.
Aku keluar dan melihat-lihat sekeliling sekolah. Kelas dibagi menjadi 2. Tingkat sihir dan fisik. Ada 5 kelas fisik dan 4 kelas sihir untuk setiap tahun ajarannya. Di tengah sekolah terdapat 2 lapangan. Lapangan yang pertama ada di depan kelas yang kuajar adalah untuk upacara dan kegiatan formal lainnya dan lapangan kedua berada di barat kelasku digunakan sebagai arena bertanding. Tempatku bertarung dengan Erika tadi. Ke baratnya lagi adalah taman. Tempat murid-murid menghabiskan waktu istirahat mereka. Berada di paling baratnya lagi adalah kantin sekolah. Sekolah ini bentuknya hanya persegi panjang. Aku tidak akan tersesat.
Tidak ada aktivitas lagi, aku mencoba ke ruang guru. Murid-murid sudah mulai berdatangan. Mereka membawa berbagai macam Pageblug. Tapi bisa ku nilai senjata mereka mudah rusak oleh serangan sihir tingkat tinggi. Para murid sepertinya sadar kalau aku adalah orang asing jadi mereka seperti kebingungan saat melihatku berkeluyuran di sekolah ini.
Di depan ruang guru, aku bertemu seorang pria muda yang seakan menunggu sesuatu.
Saat aku mendekatinya, dia menoleh ke arahku dengan senyum yang menjengkelkan.
"Apa kabar Pak Rasyid!" Ujar pria misterius itu.
"Baik"
"Jadi anda ya...(sambil memegang dagunya). Aku harap anda betah." Dia keluar dengan masih memasang senyum itu dan pergi meninggalkan sekolah.
Firasat buruk apa ini? Aku membuka pintu ruang guru. Aku melihat Erika sedang ngerumpi dengan dengan guru wanita lainnya. Aku melihati nama di meja-meja mencari namaku. Mejaku ada di paling depan pojok kiri dari papan digital. Apa yang akan terjadi sekarang. Sambil mengisi waktu luang aku membuka ponselku.
Suara langkah kaki mendekat ke arahku. Salah seorang guru datang menyapaku.
"Apakah anda guru baru juga disini?" Wanita pendek berambut pirang twintail menyapaku.
"Ya, apakah anda juga"
"Tepat sekali! Aku dan kau adalah orang yang terpilih menjadi guru di sini" Sambil menjentikkan jarinya dia terlihat bangga atas pencapaiannya.
"Bukankah itu hebat?! Kita terpilih dari 100 guru yang melamar," Ucapnya dengan energik.
"Ngomong-ngomong aku Tasya. Tidak enak kalau hanya aku yang tahu namamu, Rasyid"
Mukanya mendekati mukaku sambil tersenyum. Aku refleks memundurkan mukaku. Perasaan kesal dengan aneh tiba-tiba muncul dalam diriku.
"Kau tahu namaku?"
"Namamu tertulis di sini(sambil menunjuk mejaku)."
"Maaf aku lupa."
"Hahaha...mukamu datar sekali ya, Pak Rasyid. Semoga kita bisa kerasan mengajar disini!" Tasya meninggalkanku dengan senyum bahagia dan menyapa guru lainnya. Dia kebalikan dariku.
Bel sekolah berbunyi menandakan jam pelajaran dimulai. Saat aku keluar aku melihat Erika menungguku.
"Ingat aku melakukan ini hanya karena tugasku" Sambil menyilangkan tangannya dan mukanya berpaling dariku.
"Tsundere?!'
Aku lupa kalau dia menjadi pengawasku. Tapi biarkanlah, aku pergi ke ruang kelas 10 fisik 1 mendului Erika. Dia pun sontak membuka matanya dan terkejut. Apakah dia sedih?
"Hey! Kau jangan meninggalkan begitu saja!"
"Bukannya kau yang menyuruhku duluan?"
"Haaa?! Hei awas kau ya! akan kubalas nanti"
Aku berjalan tanpa menghiraukannya. Namun Erika tetap mencoba berjalan di sampingku dengan memasang wajah kesal. Perasaan nostalgia yang pernah kuingat membuatku tersenyum.
......................
Aku dan Erika menggerakkan kaki kami berjajar menuju kelas 10 fisik 1.
Gemetar di kakiku tidak dapat kulawan dalam setiap langkahnya, mungkin karena di arena pertarungan daku tidak perlu menjelaskan bagaimana cara mereka meraih kemenangan.
Tapi saat menjadi guru, semua itu harus bisa daku jelaskan di depan umum.
Diriku harus memperlihatkan kepada mereka dengan sebuah kalimat tentang apa yang telah kupelajari selama ini.
......................
Saat kedua langkah kami berhenti di depan pintu, pintu itu seperti telah berubah menjadi pintu menuju neraka.
Bahkan saat menyentuh gagang pintunya saja, sebuah kedinginan yang luar biasa menggetarkan tanganku.
'A-aku belum siap!'
Tapi tak lama setelah itu, sebuah kelembutan kulit dari telapak tangan seseorang mengelus tanganku yang dingin.
Wanita yang tadi memasang wajah cemberut kini telah mengubahnya menjadi layaknya orang yang sedang melihat anaknya tumbuh dewasa.
"Tidak apa-apa jangan khawatir. Bila anda kesulitan menjelaskan, maka aku akan membantumu"
Dinginnya api gagang pintu neraka seakan lenyap begitu saja setelah melihat senyuman itu. Kini gemuruh di tanganku telah tenang dan digantikan oleh keoptimisan.
Pintu neraka itu telah kembali berubah menjadi pintu biasa, ketakutanku pun juga lenyap bersama dengan neraka itu.
Sebuah gaya dorong kuberikan pada pintu itu dan melangkah masuk sambil memberi tatapan hangat yang palsu kepada mereka semua.
"Selamat pagi anak-anak. Bagaimana kabar kalian?!" Sambil basa-basi aku menatapi murid-muridku.
'Aku kehilangan percakapanku!'
Tatapanku yang membeku seakan memberi isyarat pada Erika untuk dengan segera membantuku.
"Anak-anak, ini adalah Pak Rasyid. Guru baru yang akan menggantikan Pak Fajri. Soal kemampuannya jangan dipertanyakan lagi"
"Tapi dia tidak terlihat seperti seorang profesional. Apakah mungkin... Dia masuk lewat orang dalam?!" Seorang murid berkacamata memamerkan giginya kepadaku dan menatapku dengan rendah.
'Dia tepat sekali kalau ngomong!'
"Hahahahha"
Seisi kelas mulai mengikuti tawa laki-laki itu yang terdengar merendahkan.
Perasaan canggung semakin mengisi kekhawatiranku.
Dan kecanggungan itu malah membuatku terkunci pada salah satu siswi yang tidak ikut tertawa dengan mereka.
Mataku seakan digembok oleh keadaan gadis itu.
Siswi itu... Terlihat habis di- lupakan saja!
Dibantu Erika, aku mencoba berbicara di depan kelas dengan kondisi tubuhku yang bergetar-getar ini.
Perasaan berat masih terasa saat ingin menunjukkan setiap gerakan pertarungan kepada mereka dengan sebuah ucapan.
Dan tidak jarang pula, terkadang aku lupa nama-nama tingkatan sihir.
Sampai bel terakhir kelas, otot-otot di dalam tubuhku masih belum mengendur karena bekas mengajar tadi.
'Perasaan gugup selalu menghantuiku!'
"Bagaimana pengalaman pertama mengajar di sekolah ini, Pak Rasyid?!"
"Kacau... Aku masih tidak bisa rileks saat menjelaskan pelajaran"
"Hahaha... Aku melihat tanganmu bergetar sepanjang pelajaran"
"Benarkah?"
Saat di tengah-tengah pembicaraan, seorang siswi berambut hijau pendek mendatangi kami berdua. Erika yang sadar kedatangannya dengan segera langsung menghentikan obrolan.
Aku menengok ke arah yang sama seperti Erika lihat.
'Dilihat dari senjatanya, dia adalah pengguna dual knife.'
"Ada apa Moka? Kau terlihat gelisah"
"Itu... Apakah ini yang terbaik?" Mendengar kata-kata itu, wajah Erika menjadi serius. "Ya, ini yang terbaik!".
Ada masalah apa? Apa yang telah terjadi pada kelas ini saat aku belum mengajar disini?
"Kalau begitu, saya pamit!" Wajah Moka terlihat murung saat meninggalkan kami berdua.
Tatapanku langsung mengarah ke Erika. "Apa yang terjadi?"
"Ada sesuatu yang terjadi pada kelas ini! Aku harus tahu itu!" Tambahku dengan mengintimidasinya.
Erika menghela nafasnya setelah mendengar intimidasiku.
Seakan jenuh, dia memutarkan badannya dariku dan menatap ke arah tempat Moka keluar.
Meja yang kugunakan untuk menyantaikan tanganku kini malah disendeni oleh punggungnya.
"Dulu saat sebelum kau mengajar ada guru yang melakukan pelecehan seksual terhadap kelas ini. Moka yang pertama kali mengetahui kejadian melapor ke aku dan Pak Bahar. Seketika kami berdua mencoba mencari bukti tersebut. Saat kami mencoba memperluas kejadian Moka menghentikan kami. Dia tidak mau masalah ini menyebar. Korban dari kasus itu masih trauma dan mungkin akan mengakhiri hidupnya. Sayangnya kami tidak bisa mendapatkan bukti dari peristiwa itu. Yang bisa kami lakukan adalah melakukan PHK terhadap guru tersebut dengan alasan perekrutan guru baru. Moka tidak memberitahu kami siapa korban tapi tanpa itu kita tahu siapa korbannya. Dan kau pasti juga langsung tahukan?" Muka siswi yang bengong saat perkenalan tadi adalah hal yang terpikirkan dariku.
"Pantas saja, Pak Fajri kulihat sangat senang saat dia keluar sekolah"
"Kau bertemu dengannya!" Erika langsung kaget mendengarnya.
"Kapan?! dimana?!" Erika langsung menarik bahuku dengan kedua tangannya. Muka melototnya memaksaku menjawab
"Tadi pagi sebelum aku masuk ruang guru"
Erika melepaskan bahuku dan mundur seakan tidak percaya. Kedua tangannya memegang kepala. "Aku terlambat...."
"Apa yang terjadi"
"Kita harus mencari Sophia!"
Erika yang masih syok langsung meneriakiku. "Cari di setiap atap atau lorong!" Erika langsung pergi dengan cepat.
Aku yang mendengarnya teriakan dari wanita yang menjauh itu, terpaksa juga ikut mencarinya.
Aku bingung... Bukankah kematian adalah hal yang tidak lumrah saat ini?
Sophia nama orang yang tak kukenal. Tapi berdasarkan cerita Erika, Sophia pasti siswi yang tadi.
Aku berlari sambil memikirkan dimana spot terbaik untuk bunuh diri. 'Atap? Jalan yang ramai? Dengan Pageblug?' Semua kemungkinan cara orang bunuh diri ada dipikiranku.
Untuk seorang pendiam dan hidupnya yang sudah hancur dia pasti lebih memilih sendirian. Tapi jika aku menyatukan semua hal yang terjadi hanya ada satu hal.
Aku akan menuju tempat itu.
Lorong pinggir sekolah. Seorang siswi berambut hitam sedang menodongkan kipas yang diselimuti kekuatan es. Di lain sisi terdapat seorang pria muda memasukkan tangannya di saku. Dia tidak melihat siswi itu bagaikan sebuah ancaman.
"Aku hanya punya satu tujuan sekarang" Dengan mata yang kosong siswi itu membuka lipatan kipasnya.
Dia siap melakukan apapun bahkan nyawanya hanya untuk melenyapkan pria di depannya.
Siswi itu melempar kipasnya yang diselimuti es. Ketika kipasnya mendekati pria itu, benda tersebut seketika meledak dan membekukan area sekitar.
Orang biasa pasti akan langsung terkena frostbite dan mati bila mengenai itu. Namun pria itu hanya tertawa dan melihat betapa lemahnya sihir siswi itu.
Dia mencoba mengeluarkan sihir yang sama seperti yang siswi itu keluarkan, dan melepaskannya di dekat siswi itu.
Kipas yang baru saja kembali langsung ditangkap dan dikepaskan bersamaan dengan sihir angin ke arah serangan pria itu.
Tidak seperti Sophia, Fajri memiliki energi lebih banyak.
Dia masih bisa mengeluarkan kekuatannya beberapa kali lagi.
Sayangnya, di tengah jalannya pertarungan. Sophia mulai mengatur nafasnya yang mulai sesak karena kehabisan energi.
Kipas yang ia pegang kini hanya menjadi satu-satunya yang ia bisa andalkan.
Pria brengsek itu terpaku dan mulai menatapi siswi itu, sampai akhirnya, tersadar kalau lawannya telah kehabisan energinya.
Siswi itu tidak mau lawannya melihat kesempatan itu. Dia seketika lari secepat mungkin dan menebas leher Fajri.
Fajri mencoba bermain defend dengan mengeluarkan barrier es namun Sophia menghindarinya dengan mudah karena itu adalah serangan dasar.
"Matilah kau bangsat!"
Dengan jarak selebar meja, Sophia menebas pria itu dengan kipasnya.
CKRASS
Namun suatu kejadian mengejutkan terjadi, kipas yang ia pakai untuk membelah semangka itu malah terhalang oleh tangan yang berubah menjadi es.
Sophia yang terkejut langsung memberi celah pada musuhnya dan membiarkan dirinya tertinju oleh tinjuan yang sangat keras sampai membuatnya terhempas.
BRAKK!
Tubuh siswi itu menghantam keras tembok di lorong itu, seketika Sophia yang mencium semen langsung pingsan dibuatnya.
"Sampai sini saja, Sophia sayang!" Fajri berjalan mendekat dan membopong tubuh ringan siswi itu.
"Kau selalu enteng seperti biasa, Sophia. Dengan begini kenikmatan tanpa akhir akan menjemputmu" Senyum mesum pria itu seakan merasakan kenikmatan tubuh Sophia tiada tara.
Tidak lama kemudian, suara kobaran api dari firebolt yang dilemparkan ke arahnya terdengar olehnya.
Dengan cekatan, dia memiringkan badannya dan membiarkan firebolt tersebut melesat melewatinya.
"Kalau mau main-main cari saja orang la-"(Tertusuk)
Orang yang sudah mengalami kemenangan akan kehilangan kewaspadaanya. Begitulah aku membaca Fajri yang daritadi bertarung dengan Sophia.
Aku langsung melompat ke dinding dan berlari di atas semen itu untuk melakukan charge attack.
SLURP!
Tubuh Fajri seketika tertembus oleh sebuah pedang.
'Aku tidak boleh membunuhnya! Aku adalah guru sekarang!'
Membuat muridku melihat ini akan tidak baik bagiku.
Tubuh Fajri langsung tumbang dengan Rusted Sword yang masih tertancap di tubuhnya.
Di saat yang sama, tubub Sophia terjatuh dari cengrakaman orang itu.
Dengan lihai, aku menangkap tubuh Sophia yang ringan dan menyendenkan ke semen yang ada di dekatnya.
Suara gema orang-orang menandakan senja. Aku mencoba menelpon Erika. Erika yang terkejut langsung jalan ke lokasi.
Aku melihat ke arah tubuh Fajri yang tergeletak. Wajahnya mengingatkanku pada seseorang. Wajah yang kubenci namun tidak mungkin kutemui lagi.
Sambil menatapi mereka berdua aku menunggu kedatangan Erika.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!