NovelToon NovelToon

Istri Yang Terabaikan

1. Seperti tahanan

PRANG 

“Kau berani membantahku? Hah!” 

Lana berteriak dan melempar gelas yang ada di tanganya. Lana merasa sangat kesal dan marah. Dia baru saja pulang dari tempatnya bekerja, saat dirinya sedang duduk, hendak meneguk air, kenyamananya terganggu. 

Lana, pria dengan nama lengkap Lana Hanggara Saputra. Laki- laki berusia 33 tahun, putra dari seorang pejabat tinggi sebuah negeri.

Dia adalah seorang direktur sebuah perusahaan anak cabang dari perusahaan otomotif besar di negaranya. Di usianya yang muda Lana sudah mengantongi gelar S3 teknik mesin dari universitas terkenal dari manca negara. 

Lana berdiri menatap bengis istri yang 2 tahun dia nikahi. Istri yang menurut dia tidak seharusnya ada di sisinya. Gadis kecil yang dekil, bodoh, dan tidak tahu apa- apa, mengurus rambutnya saja tidak bisa.  

“Maaf, aku tidak bermaksud melawanmu, tapi aku mohon! Tidak bisakah sekali ini saja, kau bersikap baik padaku? Hari ini saja!” tanya istri Lana dengan mata berkaca- kaca, menahan deguban jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya, tubuhnya gemetar.

Rangkaian kata yang dia susun dengan sangat hati- hati, responya sama saja, dibalas dengan bentakan dan cacian, bahkan pecahan gelas suaminya mengenai telapak kakinya, menorehkan luka dan memperparah pedihnya.

Dia adalah Isyana Putri Anjani,  seorang perempuan berusia 22 tahun yang terpaksa menghentikan kuliahnya. Dia terpaksa menikah dengan Lana 2 tahun lalu. 

“Apa kamu bilang? Katakan sekali lagi! Hah! Berbuat baik? Jangan mimpi kamu! Aku sudah banyak berbuat baik padamu!” jawab Lana membentak lagi. 

Lana sangat membenci Isyana, karena baginya Isyana tidak sepadan dengan dirinya. Bagi Lana Isyana tidak layak menjadi istri. 

“Ayahku meninggal, aku harus kesana, setidaknya sekali saja. Tolong ijinkan aku pulang!” tutur Isyana lagi mengutarakan niatnya, sangat berharap.  

Sebuah permintaan yang sebenarnya sangat wajar dia minta. Permintaan sebagai seorang istri pada suaminya, melayat ke orang tuanya. Akan tetapi terasa begitu berat, seperti harapan yang begitu mustahil untuk dia dapatkan. 

2 jam lalu, Isyana mendapatkan kabar, ayah kandungnya yang sudah sakit selama 2 bulan ini meninggal.

Sejak menikah dengan Lana, Isyana harus mematuhi segala aturan di rumah Lana. Isyana tidak boleh keluar rumah tanpa seijin suaminya. 

Isyana seperti tahanan yang dibelenggu di rumah besar itu.

Jika Isyana keluar tanpa ijin, Isyana akan dihukum; dikurung di dalam kamar tanpa diberi makan selama 3 hari.

Lebih dari itu dia akan menerima pelampiasan kekerasan dari Lana, terkadang pukulan, tidak jarang cambukan dari ikat pinggang panjang dan tebal milik suaminya itu. 

Hari ini, jarum yang berdetak di rumah besar dan megah itu menunjukan pukul 8 malam.

Sejak awal menjadi istri, Isyana dibawa ke rumah besar itu dengan mobil lengkap dengan pengawal.

Selama 2 tahun menikah Isyana hanya keluar rumah saat ada pertemuan keluarga Lana. Beberapa kali, bisa dihitung, itupun dengan pengawasan ketat. 

Isyana tidak tahu jalan pulang. Isyana tidak bisa kabur. Rumah orang tua Isyana ada di luar kota, butuh waktu 3 jam untuk sampai ke rumah orang tuanya.

Selama 2 bulan ayahnya sakit, tak sekalipun Isyana diijinkan menjenguk. 

Di luar rumahnya, security selalu berjaga. Cctv juga bertebaran dimana- mana. Isyana sungguh seperti budak dan tawanan.

Hari ini Isyana hanya ingin melihat orang tuanya untuk terakhir kalinya, memberikan penghormatan akhir sebagai seorang putri.

“Aku mohon!” lirih Isyana lagi sampai dia bersimpuh, memegang kaki suaminya bersujud, sangat berharap dia diijinkan pulang.

“Ijinkan aku pulang!” lirih Isyana lagi. 

Sayangnya Lana tetap dingin di tempatnya. Mulutnya masih mengatup dengan rahang kotak yang mengeras.

Baginya, mengijinkan Isyana keluar seperti sebuah ancaman dan aib. Tidak ada orang lain yang boleh berbicara atau melihat Isyana. 

Lana berfikir, esok hari saja mereka pergi, datang secukupnya mengucapkan bela sungkawa. Lain halnya dengan Isyana, sebagai putri, seharusnya mendengar kabar itu dia ada di rumahnya. Dia ingin segera berlari, tak bisa menundanya. 

“Ada apa ini, Sayangku?” 

Seorang perempuan muda dengan tubuh tinggi bak miss world berlenggok datang menghampiri Lana.

Wajahnya begitu cantik nyaris sempurna. Hidungnya mancung, alisnya sudah dia bentuk serapih dan seindah mungkin dengan tangan dokter kecantikan ternama dan biaya mahal. Rambutnya yang pirang tergerai indah sangat tertata dan wangi. 

Dia adala, Riri Mika Haliza, pacar Lana yang dia bawa ke rumahnya secara terang- terangan di hadapan Isyana.

Mika adalah, seorang mahasiswi yang menempuh pendidikan menjadi seorang sarjana hukum. Selain kuliah, bermodalkan kecantikanya, Mika juga menjadi influencer di media sosial. 

3 tahun Lana memacari Mika, sayangnya tak sekalipun orang tua Lana mau bertemu dengan Mika, apalagi memberikan restunya.

Sesempurna apapun Mika di hadapan Lana, bagi orang tua Lana, Isyana Putri adalah istri terbaik untuk Lana. 

Mendengar kedatangan kekasih hatinya Lana tersenyum, ekpresi wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat. Wajah dinginya menghangat dan mencair, rahang tegasnya melunak. 

“Hai honey, kemarilah!” jawab Lana merentangkan tanganya menyambut Mika.

Lana sama sekali tidak menghiraukan Isyana yang bersimpuh di hadapanya. 

Isyana pun hanya menunduk mengepalkan tanganya sangat geram. Sudah menjadi pemandangan sehari- seharinya, menelan pil pahit.

Sebagai seorang istri, harus melihat suaminya, bermesraan dengan perempuan lain di rumahnya sendiri.

Rumah yang seharusnya menjadi tempat berteduh nyaman dan kata orang adalah surga. Bagi Isyana seperti penjara.

Bahkan, Isyana dan suaminya mempunyai kamar terpisah. Isyana mempunyai ranjaang sendiri yang tak terjamah oleh suaminya. 

Sayangnya selama 2 tahun itu pula, Isyana hanya bisa diam membungkam segala kebejatan suaminya, baik dari orang tuanya ataupun mertuanya. Isyana hanya bisa menahan semua pedihnya sendiri, mengobatinya dengan harapan suatu saat ada keajaiban. 

“Kenapa dia bersimpuh dan ada pecahan gelas tercecer begini, Sayang? Dia melakukan kesalahan apa?” tanya Mika menatap sinis ke Isyana.

“Tuan Atmadja meninggal, dia minta pulang sekarang!” jawab Lana mengadu.  

“Sayang, kenapa kamu menahanya, pulanglah dan temani dia!” ucap Mika dengan gaya lembut dan lemah gemulainya itu. 

“Kenapa kamu baik sekali, Sayang?” jawab Lana mesra. Mika memang selalu bersikap lembut dan manis di depan Lana.

Sungguh pemandangan yang membuat Isyana ingin muntah, tapi Isyana hanya bisa menunduk dan tak ingin melihatnya. 

“Apa kata keluarganya jika kamu tak segera mengantarkanya dan tidak ada di sana. Apalagi jika ayahmu tau. Segeralah ke sana! Ini demi nama baikmu!” ucap Mika memberitahu pacarnya itu. 

Mika tahu, meski orang tua pacarnya sekarang sedang berada di luar negeri dalam tugas negaranya, tapi orang tua Lana pasti peduli dengan kepergian besanya itu. 

“Apa kau tak keberatan aku pergi bersamanya?” tany Lana dengan sangat lembut. Lana memang selalu menjaga hati dan perasaan Mika, bahkan Lana berjanji, tak akan seincipun Lana menjamah Isyana. 

“Aku percaya padamu, Sayang! Pergilah dan cepat kembali, tunjukan pada ayahmu, kalau kau bisa dipercaya!” ucap Mika lagi. 

“Kamu memang cerdas dan pintar!” jawab Lana tersenyum manja membelai rambut Mika dan mengecup keningnya. 

Meski dengan cara yang menjijikan, Isyana yang mendengar semua percakapan manusia tak punya akal di depanya itu, Isyana bernafas lega. Setidaknya malam ini dia akan segera pulang ke rumah orang tuanya. Isyana bisa memberikan penghormatan terakhir pada ayahnya. 

“Kau dengar perempuan dekil? Aku akan mengantarmu pulang, ini semua permintaan pacarku yang cantik ini! Kau harus berterimakasih padanya!” ucap Lana sinis ke Isyana. 

Mika pun tersenyum menang.

"Terima kasih!” jawab Isyana lirih. 

“Cuci mukamu! Ikat rambutmu yang rapih, dan pakai pakaianmu yang benar. Kita berangkat malam ini, selesai pemakaman kita harus kembali!” ucap Lana merasa Isyana sangat berantakan. 

“Terima kasih!” jawab Isyana bengun dan berdiri hendak ke kamar bersiap pergi.

“Segera bersiap, kau ingat kan aturan keluar dari rumah ini?” tanya Lana menghentikan langkah Isyana. 

“Aku harus selalu tersenyum, menggandeng tanganmu, dan kita adalah pasangan yang bahagia!” jawab Isyana dengan menahan sesak, melafalkan tiga aturan dasar setiap Isyana pergi dari rumah itu. 

“Bagus!” jawab Lana. 

Isyana pun segera berbalik menuju ke kamarnya. Isyana melangkah dengan mengepalkan tanganya penuh tekad. Kali ini, dalam perjalanan pulangnya Isyana harus menghafalkan jalan. 

*****

Selamat datang di nupel keempatku,

Untuk pembaca baru salam kenal yaa...

Untuk pembaca lamaku, ini event lomba, jadi genrenya akan berbeda dari nupelku sebelumnya.

Semoga tetep like ya.

Untuk bantu author agar nupel author bersinar, selalu like koment dan vote ya. Ingat juga tap love,Favorit sekali aja.

I love you

2. Harapan

Sebagai putra tunggal orang ternama di negerinya, tentu saja Lana tahu bagaimana cara bersikap dan menjaga kehormatan keluarganya. 

“Jangan pernah katakan apapun tentang rumah tangga kita! Kau harus ingat itu! Panggil aku dengan sebutan Mas!” tutur Lana selama di mobil. 

“Ya! Saya tahu!” jawab Isyana dingin. 

Sekitar pukul 12 malam, mobil mewah yang Lana kendarai sendiri memasuki halaman rumah di sebuah desa. 

Bendera kuning tertancap di gapura masuk ke gang jalan desa yang berpagarkan tanaman hijau dan terpangkas rapih. 

Sebuah rumah dengan gaya kuno, bertiangkan kayu- kayu tua dan mengkilap karena plistur, lantainya juga terlihat sangat bersih, dindingnya ukiran kayu, rumah klasik tetapi elegan.

Dari Rumahnya tergambar jelas bahwa si empunya kalangan orang menengah ke atas dan menicintai budaya.

Tuan Atmadja Subiyantoro dialah pemilik rumah itu, Bapak Isyana yang beberapa waktu lalu menghembuskan nafas terakhirnya.

Dia adalah mantan seorang saudagar tanah di wilayah itu yang menguasai perkebunan kentang dan teh. 

Sayang semenjak menikahi istri keduanya dia banyak merugi dan beberapa ladangnya terjual.

Di ruang tamu yang tampak seperti aula desa itu, warga setempat dan sanak saudara berkerumun menunggu dan melakukan banyak ritual penghormatan 

“Bapak....!” Isak Isyana sesampainya di rumah orang tuanya yang bertahun- tahun Isyana tinggalkan. 

Sejak ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi, Isyana diungsikan ke rumah neneknya di provinsi tetangga, saat itu usia Isyana masih 10 tahun. Isyana ikut neneknya dengan dalih agar menemani neneknya dan agar tidak terus bertengkar dengan saudara tirinya. 

“Nggak usah banyak drama. Bapakmu memang sudah waktunya mati!” gertak Lana menghentikan mobilnya. Lana sangat membenci Isyana menangis.

“Hiks... hiks...!” Isyana masih menahan isaknya dan menyeka air matanya.

Ucapan Lana yang menyuruhnya berhenti menangis justru menjadi ucapan yang membuat tubuh Isyana, bereflek menangis lebih keras.

Betapa tidak, setiap insan sewajarnya merasakan sakit ditinggal orang terkasih. Apalagi sosok ayah, cinta pertama bagi seorang putri. 

Seharusnya di saat Isyana rapuh seperti ini, Lana lah orang yang pertama kali mengulurkan tangan menyeka air mata Isyana dan menyediakan bahu tempat melepur sedihnya.

Nyatanya Lana justru menambahkan torehan luka Isyana. 

Isyana melepas seat beltnya dan segera turun. Semua yang ada di situ menyambut Isyana dengan anggukan ramah, begitu juga terhadap Lana, semua memberikan hormat. 

Sayangnya di setiap Isyana dan Lana berjalan, ibu- ibu atau bahkan bapak- bapak yang mempunyai mulut ember akan berkasak kusuk. 

“Nggak imbang banget ya? Suaminya tinggi putih bersih ganteng, istrinya kucel, rambutnya keriting berantakan lagi!” 

Kasak- kasuk itu sangat membuat Isyana tidak nyaman. Lebih dari Isyana kasak kusuk itu membengkakan telinga si laki- laki tampan yang menjadi objek berita. 

Lana memilih menahan amarah dan melampiaskan pada Isyana, sebab jika menanggapi warga, itu bisa menjatuhkan reputasinya. 

Lana dan Isyana bersikap layaknya anak dan menantu, melihat jenazah yang telah terbujur kaku, berdo’a bersama- sama dan memberikan penghormatan terakhir. 

Isyana tak menyiakan kesempatan untuk meriung bersama keluarganya, sampai pagi tiba dan acara pemakaman selesai.

Lana juga memerankan peranya dengan sangat apik, menjadi menantu keluarga yang terkena musibah. Lana juga menyapa para pelayat dengan ramah.  

Sesuai dengan perkiraan Mika. Orang tua Lana yang berada di luar negeri begitu mendengar besanya meninggal langsung pulang ke negaranya. Meskipun kedatangan mereka sedikit terlambat karena upacara pemakaman telah usai.

Mereka tiba, tepat saat Isyana dan Lana bersiap pulang. 

“Papi... Mami,” sapa Lana langsung menyambut orang tuanya. 

“Kalian mau kemana?” tanya Ayah Lana melihat anak dan menantunya sudah rapih. 

“Pulang Pih!” 

“Pulang gimana? keluarga istrimu sedang berkabung. Tinggalah di sini, setidaknya satu malam lagi. Sebagai menantu kau harus ikut doa bersama!” bisik Tuan Wira Hanggara ayah Lana. 

Lana pun tidak bisa berkutik, mengangguk dan menghentikan langkah, mengurungkan niat untuk pulang.  

"Ya, Pih!"

“Papa Mama ikut berbela sungkawa, Sayang!” tutur Tuan Wira menghampiri Isyana yang berdiri mematung di belakang Lana.

“Ya.. Pah!” jawab Isyana sopan.

“Malam ini Papa Mama akan ikut doa bersama, menginap di sini!” tutur Tuan Wira lagi. 

Lana dan Isyana kemudian mengurungkan niatnya untuk pulang. Mereka kembali masuk.

Tentu saja Ibu tiri Isyana dan saudaranya tak jadi bersungut- sungut. Mereka tersenyum bahagia kedatangan tamu besan kayanya.

Jika Isyana dan suaminya akan ketus dan dingin ke ibu tiri Isyana, berbeda dengan Tuan Wira dan istrinya. Mereka membawa oleh- oleh yang banyak dan sangat ramah. 

Sembari menunggu acara doa bersama. Lana bersama ayahnya di luar menyapa tamu. Isyana bergabung dengan para tetangga dan ART menyiapkan masakan. 

“Kemarilah!” seret ibu tiri Isyana. 

“Ada apa Bu?” tanya Isyana. 

Ibu tiri Isyana mengajak Isyana masuk ke kamar dan menepi dari keramaian.

“Tanda tangani ini semua!” ucap ibu tiri Isyana memberikan beberapa berkas sertifikat tanah dan surat kuasa. 

“Ibu!” pekik Isyana tidak mengira

Baru tadi siang bapaknya dimakamkan, ibunya sudah membahas warisan. Isyana menelan ludahnya tak percaya, ada apa dengan semua orang? Kenapa di sekeliling Isyana seakan semua orang jahat dan tidak punya hati. 

“Tanda tangani surat kuasa ini. Suamimu sudah kaya kan? Hidupmu sudah enak, jangan serakah! Biarkan peninggalan bapakmu jadi milik kami! Adik- adikmu masih butuh biaya kuliah!” ucap Ibu Tiri Isyana bersungut - sungut dengan tatapan sinisnya.

“Hhhhh!” Isyana hanya bisa menghela nafas menahan tangisnya.

Isyana bingung mau bilang apa.

Isyana hanya bisa mengangkat wajahnya, menatap sekilas wajah perempuan keji yang hadir di hidupnya.

Bisa- bisanya di hari kematian suaminya, ibu tiri Isyana menyempatkan membuat surat kuasa.

Sejak ibunya meninggal, kebahagiaan Isyana seakan terampas dan benar- benar hilang. 

Keluarga Isyana dan orang tua Isyana seharusnya menjadi tempatnya berharap dan berlindung saat Isyana dalam derita. Nyatanya pulang ke rumahnya semakin menambah lara. 

“Cepat! Memang kau kurang apalagi? Kau menjadi menantu tunggal di keluarga itu, tanah bapakmu tidak berarti apa- apa kan? Ayo tanda tangani sekarang!” desak Ibu Tiri Isyana memaksakan Isyana menggenggam balpoin dan menuliskanya di kertas. 

Isyana ingin melawan dan berteriak, tapi di luar kamar, para sanak saudara dan tetangga berkumpul.

Apa jadinya jika Isyana melawan dan bertengkar, belum lagi mertuanya juga ada di sini.

Entah pada siapa Isyana bisa mengadu. Bahkan kehidupan rumah tangga Isyana seperti dalam penjara.

Isyana tidak bisa banyak berfikir dan akhirnya patuh saja. Isyana tanda tangan atau tidak, toh harta ayahnya memang sudah dikuasi ibu tiri dan anak- anaknya. 

“Bagus!” tutur Ibu tiri Isyana menarik cepat surat bermaterai yang berisikan surat kuasa bahwa Isyana menyerahkan hak warisnya pada saudara tirinya. Surat itu sudah Isyana tanda tangani. 

Isyana hanya terdiam, bahkan air matanya seperti sudah kering. Isyana menjadi limbung hendak berbuat apa.

Isyana kemudian keluar dan ikut acara doa bersama. Berusaha setegar mungkin menghadapi ibu- ibu pengajian.

Saat Isyana berdekatan dengan ibu mertuanya. Isyana memang mendapatkan perlakuan yang sangat lembut. Itulah satu- satunya tempat Isyana mendapatkan perlindungan.

Sayangnya setiap pergerakan Isyana tak luput dari pengawasan Lana. Lana sangat takut jika sampai Isyana keceplosan membicarakan aib suaminya. 

Setelah beberapa waktu berlalu, acara doa bersama selesai.

Asisten rumah tangga ibu tiri Isyana pun sudah menyiapkan kamar untuk mereka. 

“Ini sudah tahun kedua pernikahan kalian, kapan ada cucu untuk Mama?” tanya ibu Lana di sela- sela obrolan menjelang masuk ke kamar masing- masing. 

Mendengar pertanyaan itu, Isyana tertunduk lesu. Lana pun hanya berdehem. 

“Minumlah ini!” ucap Ibu Lana memberikan satu butir obat ramuan. 

“Apa ini Mah?” tanya Lana curiga dan sangat tidak nyaman. 

“Sudah minum, ayo!” ucap Mama Lana lagi memaksa dan memberikan segelas air putih agar Lana segera meminumnya.  

Di depan Isyana, ayahnya dan mertuanya Lana tak berkutik dan terpaksa meminum obat itu. Entah obat apa.

Setelah semua tamu pergi, Lana dan Isyana masuk ke kamar yang telah disediakan. Kamar 4 x 4 dengan dinding kayu dan ranjang dengan kelambu. Kamar yang luas dan klasik untuk masyarakat desa tapi menjadi kamar yang sempit jika dibanding hotel tempat Lana biasa menginap. 

“Apa di sini tidak ada sofa?” bentak Lana galak lagi setelah mereka sampai di kamar. 

“Kalau kau tak bersedia tidur denganku, aku akan tidur di kamar lain!” jawab Isyana peka.

Isyana tahu kalau Lana enggan tidur denganya. 

“Kau bilang apa? Hah? Tidur di kamar lain? Kau sengaja ingin membuat ayahku jantungan? Iya! Kau tau kan aturan saat ada orang tuaku?” tanya Lana lagi dengan tatapan bengis.

Lana dan Isyana harus bersikap baik di hadapan orang tuanya.

“Ya.. aku tahu! Aku akan tidur di bawah!” jawab Isyana lemah. 

“Bagus ! Otakmu ternyata masih berfungsi!” jawab Lana.

Lana kemudian melemparkan bantal dan selimut dengan kasar, membiarkan Isyana tidur di lantai.

“Sampai kapan aku akan bertahan seperti ini?” batin Isyana meringkuk dengn selimutnya, merasakan dinginya lantai menyergap kulitnya. 

Isyana kemudian terfikir perkataan mertuanya. 

“Apa jika aku hamil dan mempunyai anak, suamiku akan sayang padaku? Bagaimana mungkin aku bisa punya anak, jika diaa saja tak sudi menyentuhku?” batin Isyana lagi, tiba- tiba hatinya merasa ngilu. 

Selama jadi istri Lana, sekaya apapun suaminya, tak sepeserpun Isyana pernah mendapatkan nafkah kecuali makanan.

Isyana tak pernah membeli make up atau alat untuk berhias. Alat mandipun adalah jatah yang sudah diatur kepala pembantu di rumah besar suaminya. Isyana benar- benar menjadi iatri yang jelek.

Memikirkan bagaimana Isyana melarikan diri dari hidup malangnya semakin membuat Isyana pusing. Isyana kemudian mencoba memejamkan matanya.

Belum Isyana terlelap. Isyana mendengar suaminya gelisah tidur kekanan dan ke kiri. Padahal beberapa menit sebelumnya Isyana sempat mendengar dengkuran halus suaminya.

“Dia kenapa?” batin Isyana melirik Lana.

Pemandangan yang sangat jarang bisa Isyana liat, melihat suaminya tidur di atas kasur. 

Isyana mencoba mengalihkan pandanganya dan berusaha cuek, tapi Lana semakin terdengar gelisah.

Isyana kemudian bangun dan memeriksa. Di saat Isyana bangun dan mendekat ke suaminya, seketika itu lampu padam.

Untung di luar, bintang dan rembulan bersinar terang, sehingga kilaunya yang masuk melalui celah jendela masih membuat bayang- bayang Isyana bisa teraba indra mata. 

Saat Isyana hendak berbalik, ada tangan besar yang menariknya. Isyana pun terhuyung jatuh dan masuk ke dalam pelukan suaminya. 

“Lana!” pekik Isyana gelagapan. 

Rupanya obat yang mertua Isyana berikan adalah obat kuat dan penyubur dengan dosis tinggi. Itu obat yang Ibu Lana biasa berikan pada Tuan Wira yang sudah memasuki waktu senja. Obat bantu agar hubungan Tuan Wira dan istrinya tetap terjaga.

Isyana berusaha melepaskan tubuhya dari cengekraman suaminya. 

“Mika...!” lirih Lana justru semakin mengencangkan pelukanya pada Isyanya.

Sungguh kata yang mengiris hati Isyana. Di dalam kamar gelap itu, meski tangan Lana memeluknya erat yang dia panggil ternyata permpuan lain. 

“Lepaskan, Lana!” ucap Isyana kembali berusaha melepaskan diri.

Sayangnya Lana justru memutar tubuh Isyana agar berada di bawah kungkunganya. 

“Temani aku malam ini, Sayang!” ucap Lana meracau tidak sadar.

Lana bahkan merapatkan tubuhnya ke Isyana sehingga mereka berhimpitan. Isyana juga merasakan benda keras yang menempel.

Itu adalah pertama kalinya Isyana berdekatan dengan suaminya.

Isyana merasakan sesak dan ingin segera melepaskan diri, sayangnya Lana justru mendaratkan bibirnya dan melahap habis bibir Isyana. 

“Ini tidak salah kan? Dia suamiku kan?” lirih Isyana dalam hati menahan pedih dan akhirnya pasrah terhadap apa yang dilakukan suaminya. 

Meski dengan sadar Isyana tahu, di bayangan dan di otak Lana dirinya orang lain, bukan Isyana. 

“Aku berharap, kau akan bisa berbuat baik dan mencintaiku setelah ini, Lana!” batin Isyana saat Lana membuka paksa pakaian bawahnya. 

Malam itu, meski di bawah pengaruh obat, Lana berhasil menggagahi Isyana. 

3. Kabur

“Menjijikan!” umpat Lana di pagi petang begitu membuka matanya. 

Ayam di desa yang berkokok bersahut- sahutan membuat Lana bangun lebih awal. Lana langsung syok menyadari tanganya memeluk tubuh istri rasa gadis yang selama ini dia siksa dan hina. 

“Lana!” pekik Isyana ikut terbangun. 

“Kau! Apa yang kau lakukan padaku? Dasar pelaccur sialan!” umpat Lana sangat marah menyadari dirinya berbuat kesalahan.

Lana menelan ludahnya sendiri, selalu menghina Isyana tapi nyatanya malam tadi mereka bergumul dalam kegiatan panas. 

“Apa maksudmu? A-aku? Kan Kamu yang.. ” jawab Isyana terbata.

Yang memperkossa kan Lana bukan Isyana, kenapa justru Lana yang berteriak dan menanyakan apa yang Isyana perbuat. 

Lana tidak menjawab dan tanganya tiba- tiba mencekik leher Isyana, Isyana kehabisan nafas dan  mengaduh kesakitan. Lana sangat kesal dan marah telah melanggar janjinya pada Mika.

Jika diteruskan Isyana akan kehilangan nyawanya karena seketika itu wajah Isyana sudah pucat. 

Untungnya dari luar kamar terdengar seseorang mengetuk pintu. Sehingga Lana melepaskan cengkeramanya.

“Uhuk...!” Isyana lolos dari ajalnya.

Isyanapun segera mengatur nafasnya dan memegang lehernya yang terasa sangat sakit.

Seketika itu pula Isyana hanya bisa meneteskan air mata. Isyana ingin berteriak tapi tidak bisa.

Bagaiaman bisa niat dia melakukan kewajiban, pengabdian sebagai istri justru dituduh memperkosaa dan malah mau dibunuh.

“Lana..., Isyana! Sudahkah kalian bangun?” tanya seorang perempuan di luar pintu.

“Shiiit...!” umpat Lana kesal mengenali suara itu. 

Saat Lana marah dan memukul kasur menyadari dirinya tak berbusana, Ibu Lana ternyata lewat depan kamar Lana.

Ibu Lana yang mendengar suara dari kamar anaknya tanpa ragu mengetuk pintu kamar. Dia tidak pernah tahu apa yang terjadi di dalamnya. 

“Ya Mih! Tunggu sebentar!” jawab Lana menetralkan suaranya. 

“Oke mami tunggu, hari sudah siang, keluarlah!” ucap Ibu Lana lagi. 

“Pakai pakaianmu dan bersikaplah baik- baik saja, dasar pelacurr!” ucap Lana memaki Isyana yang sedang tertunduk meneteskan air mata memegangi selimut dan lehernya. 

Sungguh, Isyana benar- benar merasakan sakit yang luar biasa. Harapan suaminya akan berubah sepertinya semakin jauh. Pengorbananya semua hanya berbalas kepahitan.

Lana segera bangun dengan tubuh polosnya dan mengambil pakaiannya. 

Isyana mengepalkan tangannya. Bisa- bisanya Lana menyalahkan dirinya padahal dia sendiri yang melakukan. Seharusnya Isyanalah yang marah. Bukan Lana. 

Sudah merasakan sakit dan ngilu akibat perbuatan Lana, Isyana masih dicekik hampir kehilangan nyawa, lebih dari itu, perkataan Lana pun melengkapi kesakitan Isyana. 

“Aku harus pergi!” batin Isyana sekarang berfikir tak ada gunanya mengharap kemustahilan. 

Lana pergi keluar kamar tanpa menoleh Isyana. Ibu Lana ternyata menunggu di depan pintu sudah lengkap dengan pakaian resminya. 

“Mana Isyana?” tanya Ibu Lana sedikit melirik Isyana yang tubuh bagian atasnya terlihat. 

“Sebentar lagi akan keluar Mih!” jawab Lana menutup rapat pintu kamarnya.

“Ya sudah nggak apa- apa, mamah mau pulang dulu, Papah ada rapat penting pagi ini!” tutur Ibu Lana. 

“Ya Mah!” jawab Lana. 

“Isyana... Mamah Papah pulang dulu ya!” pamit Ibu Lana dari luar pintu dengan senyum penuh arti merasa obat kesuburan untuk anaknya berhasil. Obat itu ramuan dari teman ibu Lana yang bisa berfek sampai 1 bulan, seharusnya untuk Tuan Wira. Karena bertemu anaknya, Ibu Lana berikan untuk anaknya saja.

“Ya Mah!” jawab Isyana dari dalam. 

“Kurangi kesibukanmu, kata orang, kau sangat sibuk bekerja, kapan jadi anaknya? Ambil libur dan bulan madu, periksakan kesehatan kalian berdua. Mama ingin punya cucu!” ucap Ibu Lana sebelum pergi menepuk tangan Lana.

Lana hanya mengangguk dan mengeraskan rahangnya. 

Lana sekarang ingat kalau dirinya berada di luar kendali berasal dari butiran obat dari ibunya semalam. Meski begitu tetap saja dia merasa marah pada Isyana.

Sesampainya di dalam kamar. Isyana sedang mengenakan pakaianya. 

“Pulang sekarang!” ucap Lana kembali bengis. 

“Aku tidak mau!” jawab Isyana berani melawan. 

“Kau melawanku?” tanya Lana lagi semakin emosi. Untuk pertama kalinya wajah dan mata yang selama 2 tahun terlihat sayu dan patuh, kini berani melawan.

“Kenapa?” tanya Isyana melawan lagi. 

Kerana emosi dengan cepat Lana kembali hendak menyakiti Isyana.

Kali ini Isyana pun menghindar dan minta tolong. Masih dengan menahan pedih pada selaangkanganya Isya berusaha keluar kamar. 

Sayangnya saat Isyana keluar dari kamar hendak melarikan diri, yang dia temui justru ibunya.

Ibu tiri Isyana baru saja mengantar besanya pergi. 

“Ibu....!” panggil Isyana.

“Kamu mau kemana? Ibu dengar kamu minta tolong?” tanya Ibu Isyana. 

“Ibu... tolong Isyana, Isyana tidak tahan lagi dengan suami Isyana. Dia...dia.” rengek Isyana berniat hendak mengadu pada ibu tirinya. 

Sayangnya omongan Isyana terhenti. Lana sudah berdiri di belakangnya. 

“Maafkan kami Bu, kami ada sedikit kesalah pahaman! Kami akan segera menyelesaikanya!” ucap Lana berbicara sopan lalu maju mendekat dan mencengkeram bahu Isyana. 

“Oh ya... Ibu paham itu. Dalam rumah tangga wajar ada kesalah pahaman. Isyana, sebagai istri kamu harus mengerti suamimu dan layani suamimu dengan baik!” jawab Ibu tiri Isyana berfikir tidak mau ikut campur rumah tangga anaknya. Ibu Tiri Isyana kan juga enggan mengurus Isyana.

“Ya Bu!” jawab Lana sopan, tidak membiarkan Isyana menjawab. 

“Masakan ibu sudah matang, ayo kita sarapan bersama!” tutur Ibu Isyana lagi. 

“Maaf Bu... kami harus segera pulang. Satu jam lagi saya harus ada di kantor. Kami sarapan di jalan saja!” jawab Lana lagi tidak menyiakan kesempatan untuk pamit.

“Waduh... kok pada pulang cepetan!” jawab Ibu Tiri Lana berbosa basi. 

“Maaf! Saya sudah libur dua hari. Saya harus segera ke kantor!” jawab Lana lagi.

"Ya... baiklah kalau begitu!"

“Kami pulang Bu!” tutur Lana sopan dan mengangguk. 

“Ibu... Isyana mau di sini!” lirih Isyana lagi mau minta tolong. 

“Jadi istri harus patuh pada suamimu, ibu nggak apa- apa! Suamimu sibuk, pergilah! Hati- hati di jalan ya!” jawab Ibu Tiri Isyana, justru menyuruh Isyana dan menantunya segeran melakukan niatnya, pergi.

Lana tersenyum mengangguk. Lana mencengkeram tangan Isyana dan menyeretnya berjalan sambil berbisik. 

“Cepat ikut aku, jangan mimpi kamu bisa kabur dariku?” bisik Lana lagi.

Isyana diam, langkahnya sangat berat. Rasanya ingin lari pergi, tapi sepertinya jika lari sekarang percuma, pasti akan terkejar.

Ibu dan saudara tirinya tak akan berpihak padanya. 

Masih di pagi- pagi itu, Lana dan Isyana pun meninggalkan rumah orang tua Isyana.

Isyana terus memandangi karangan bunga yang berjejer rapi di depan rumah, ucapan bela sungkawa untuk ayahnya.

Semua itu semakin menyadarkan Isyana dengan sepenuhnya, bukan hanya hati ayahnya yang mati karena direbut ibu tirinya beberapa tahun silam. Kini raganya pun sudah dikubur dalam tanah, tak akan kembali.

Semakin lama semakin jauh mobil Lana meninggalkan rumah Tuan Atmadja. 

“Ayah sudah pergi... nenek sudah pergi...ibu juga sudah pergi, tidak ada alasan lagi aku berada di dekat pria ini?” batin Isyana kemudian melirik tajam ke laki- laki kejam yang katanya, suaminya. 

Dulu Isyana mau menikah dengan Lana atas permintaan ayahnya. Satu bulan setelah nenek Isyaana meninggal, Isyana kembali ke rumah ayahnya. Isyana selalu mendapat perlakuan tidak adil juga dari ibu tirinya. 

Jika ibu dan saudara tirinya hanya sibuk menghabiskan uang. Isyana disuruh ikut bekerja di kebun.

Saat Isyana di kebun di tempat itulah Isyana bertemu dengan orang tua Lana. Isyana membantu ayah Lana yang hendak jatuh ke jurang karena terpeleset.

Saat itu Tuan Wira sedang berkeliling hendak membeli lahan Tuan Atmadja. Melihat budi baik Isyana, Tuan Wira jatuh hati ke Isyana. 

Tuan Atmadja terlilit hutang. Dia gagal panen karena bencana alam. Sementara biaya pekebun dan untuk menanam sudah dia keluarkan. Gaya hidup ibu tiri dan saudaranya juga tetap hedon. Tuan Atmadja meminta Tuan Wira menyelamatkanya agar membeli lahanya.

Di situlah, kesepakatan perjodohan dilakukan. 

Tuan Wira akan membantu Tuan Atmadja cuma- cuma asal Isyana mau menjadi menantunya. Tanah Tuan Atmadja pun tidak jadi dibeli, akan tetapi tetap menjadi milik Isyana. 

Isyana mematuhi apa kata ayahnya dan menikah denga Lana. Tanpa kenal dan tahu apapun tentang sifat dan latar belakangnya.

Ternyata suaminya mempunyai emosi yang temperamental dan suka main tangan. Lana juga sudah mempunyai pacar yang cantik. 

Isyana bertahan demi ayahnya yang meminta pertolonganya. 

Sekarang, ayahnya sudah tidak ada. Isyana pun bertekad akan pergi bagaimanapun caranya. Terserah apa yang terjadi dengan ibu tiri dan saudaranya. 

“Kenapa melihatku begitu?” bentak Lana mengetahui Isyana menatap tajam dirinya. 

Isyana kemudian memalingkan wajahnya dengan mengeratkan rahang.

Pemandagan yang membuat Lana sedikit emosi. Dua tahun ini dia selalu melihat mata sayu dan memelas dari Isyana, tapi hari ini Isyana tampak menantang dan menunjukan keberanian. 

“Kau sekarang berani melawanku? Aku harus memberi hukuman lebih rupanya!” ucap Lana lagi. 

Isyana masih diam, tapi diamnya sekarang bukan diam lemah lagi. Isyana sedang berfikir bagaimana caranya dia akan kabur. Isyana melihat sekeliling dashboard mobil. 

“Mana mungkin aku berani melawanmu!” jawab Isyana sekarang ingin bersandiwara. 

“Hah... awas saja!” 

“Tolong maafkan aku, aku tidak punya siapa- siapa lagi. Maafkan aku! Aku tidak berani melawanmu, ampuni aku!” lanjut Isyana lagi melanjutkan aktingnya. 

“Kau akan aku usir dari rumahku jika saatnya tiba. Aku hanya menunggu ayahku memberikan semua hartanya untukku. Sampai waktu itu tiba. Patuhi kataku dan jangan berani melawanku!” jawab Lana menggertak.

Itu adalah perkataan yang berulang kali Isyana dengar sejak Isyana masuk ke rumah besar suaminya. Lana menikahi Isyana karena harta.

“Aku tahu! Maafkan aku berniat melawanmu, tolong jangan hukum aku, aku akan patuhi, semua maumu!” jawab Isyana lagi. 

Lana diam dan menyunggingkan senyum, sepertinya percaya, akting Isyana berhasil. Lana percaya Isyana lemah, tidak mungkin berani melawanya.

"Jangan sentuh aku lagi, dan patuhi kataku!" ucap Lana lagi.

"Baik!" jawab Isyana, lalu mereka terdiam.

Isyana pun terus memutar otaknya agar bisa kabur.

“Pertama- tama , aku harus ambil uang dan ponsel pria ini!” batin Isyan keluar ide.

Jika Isyana sampai ke rumah besar bak neraka itu, pasti Isyana akan disiksa lagi. 

Alam dan takdir sepertinya memihak Isyana. Mobil Lana menepi ke sebuah rest area. Rupanya Lana timbul hasrat buang air besar.

Lana kemudian mengambil dompet dari tasnya dan mencari uang receh. 

Isyana langsung kegirangan dalam hatinya. Sekarang tahu dimana Lana menyimpan dompet karena celana yang Lana pakai bukan celana berkantong.

“Taruh... taruuh...!” batin Isyana berharap Lana tak membawa dompetnya.

Benar saja, Lana meletakan dompetnya di dashboard mobil. “Yes!” batin Isyana.

“Tunggu di sini!” ucap Lana galak ke Isyana membuka mobil. Lana segera berlari menuju ke toilet umum. 

Tidak menunggu lama, Isyana mengambil lembaran- lembaran uang dari dompet suaminya. Lebih dari itu, Isyana mengambil ponselnya dan segera mematikanya. 

Isyana melihat di dekat mobil Lana ada mobil pengangkut muatan sayuran dari desa. Isyana pun segera keluar dan naik ke mobil sayuran itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!