NovelToon NovelToon

Zena: The Last Fight

Kedatangan Keluarga Chendrik

Seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun, ia berperawakan tinggi kecil, dengan paras yang cantik dan kekanakan berlarian di halaman sebuah mansion besar milik petinggi markas tim mata-mata, Mata Elang. Rambutnya yang panjang ia ikat ekor kuda berantakan karena tertiup angin dengan bebas. Matanya sipit dan kecil dibingkai bulu yang sederhana. Alis yang tak lebat, tapi memiliki garis lengkung yang sempurna bagai bulan sabit. Hidung kecil yang mancung, dilengkapi bibir tipis merah alami.

Kulitnya yang putih semakin bersinar kala sinar mentari menerpa permukaannya. Senyumnya mempesona, suaranya yang lembut menggetarkan hati para lelaki yang mendengarnya. Kaki jenjangnya tak lelah berlari kian kemari menarik seutas tali kecil yang mengikat sebuah layang-layang. Ia mencoba menerbangkan benda tersebut, diikuti seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tak henti meneriakinya. Memberi dukungan dan semangat, kaki mungilnya ikut berlarian, berkejaran dengan gadis itu.

"Ayo, Kak! Tarik terus, sebentar lagi terbang. Kakak pasti bisa!" seru bocah itu sambil tertawa terpingkal melihat sang Kakak yang tak dapat menerbangkan layang-layang di tangan.

Tawa keduanya terdengar lugu, wajah mereka juga nampak polos tanpa dosa. Di balik sebuah jendela kaca, sepasang mata memandang tanpa berkedip. Tajam dan penuh misteri, hatinya sedang bergelut sendiri tentang gadis yang berlarian dengan putranya itu.

Dia terlihat polos dan lugu, rasanya tak mungkin gadis yang terlihat lemah seperti itu memiliki kemampuan yang luar biasa. Chendrik, pemimpin markas besar, tiga puluh lima tahun.

Hatinya bergumam, mata elang itu masih berfokus pada sosok cantik nan lugu di halaman mansionnya. Chendrik berbalik kembali ke ruang kerjanya sendiri. Akhir-akhir ini terlalu banyak kasus terjadi. Yang paling mencolok adalah kasus penculikan gadis muda seperti gadis cantik di halaman mansion itu.

Ia membuka lembar demi lembar laporan dari markas, para mafia kembali berulah. Itu adalah tugasnya sebagai pemimpin menyelesaikan semua masalah satu demi satu. Chendrik menekan-nekan pelipisnya yang terasa berdenyut. Menutup kembali semua laporan dan menjatuhkan punggung pada sandaran kursi.

"Kakak lelah, Cheo. Coba kau terbangkan," ucap Zena sambil memberikan tali layangan itu pada bocah yang menertawakan dirinya. Ia menjatuhkan diri di atas rumput, bertumpu pada kedua tangan. Peluh membanjiri wajahnya yang cantik jelita, kulitnya yang putih nampak berkilap karena keringat.

Sebuah mobil menderu, menghentikan keasikan mereka berdua. Cheo yang bersiap menerbangkan layangan itu, melangkah pelan menghampiri Zena yang telah duduk tegak.

"Siapa, Kak?" Zena menggelengkan kepala dengan dahi yang berkerut. Ia sama sekali tak tahu siapa yang datang itu. Seorang wanita hampir tua, lelaki muda mungkin tak jauh beda usianya dengan Zena, juga seorang gadis cantik nan seksi dengan dandanan yang membuat iri setiap wanita yang melihatnya.

Mereka bertiga melangkah menghampiri tempat Zena dan Cheo. Gadis itu tak acuh, kembali menengadah ke langit membiarkan wajahnya diterpa terik sinar mentari. Tak dinyana, ketiga orang itu mendatangi Cheo.

"Hallo, apa kau anak Chendrik? Tampan sekali," tanya wanita hampir tua itu sambil mengusap pipi Cheo.

"Maaf, Anda siapa? Bagaimana Anda bisa mengenal saya?" Cheo balik bertanya. Dahi sempitnya mengernyit, ia sedikit menjauh dari wanita itu. Zena yang duduk tak jauh, melirik sekilas dan membiarkan mereka berbincang dengan bocah itu.

"Aku Nenekmu. Wajahmu mirip sekali dengannya, di mana Ayahmu? Nenek ingin bertemu dengannya," sahut wanita itu dengan lembut.

"Dia di dalam," jawab Cheo singkat sambil menggerakkan kepala menunjuk ke dalam rumah.

Wanita yang mengaku sebagai neneknya Cheo itu mengernyitkan dahi saat matanya melihat Zena yang tampak bersantai. Pandangannya menyalang, tak suka sekali melihat Zena yang asik duduk sendiri. Ia menegakkan tubuh dan berjalan menghampiri gadis yang bersikap tak sopan itu.

"Hei, kau digaji anakku bukan untuk bersantai. Bagaimana jika sesuatu terjadi pada cucuku? Aku akan meminta Chendrik memecatmu saja karena kau tidak becus menjadi pengasuh!" hardik wanita paruh baya itu sambil menendang kecil lengan Zena yang ia gunakan untuk menopang tubuh.

Mulut gadis itu menganga, ia melirik dengan mata yang berkedip-kedip antara tangannya dan kaki wanita itu. Berani sekali dia menendang tanganku!

Detik kemudian, Zena menyadari sesuatu. Ia melirik dua orang yang lain, rupanya mereka ingin bermain-main. Baiklah, ikuti saja alur yang mereka buat.

"Coba saja kau adukan padanya. Kau pikir aku takut? Hah!" Zena mendengus, memalingkan wajah dari mereka seraya beranjak sambil menepuk-nepuk bokongnya yang ditempeli rumput.

Rahang ketiga orang itu terjatuh, mereka terkejut melihat sikap kurang ajar dari seorang gadis yang mereka anggap pengasuh itu.

"Kau ...!" geramnya tertahan. Kedua tangan mengepal hingga urat-urat tuanya bermunculan ke permukaan.

Zena mengibaskan tangan tak acuh terus melangkah ke belakang mansion, menuju kamarnya sendiri. Terpisah dari mansion utama, ia menyendiri berbaur dengan para pekerja meski disegani.

"Sial!" Cheo terkekeh kecil melihat kekesalan di wajah tua itu.

"Sudah, Bu. Sebaiknya kita pergi menemui Kakak," ucap pemuda yang datang bersama mereka menyudahi emosi si wanita hampir tua itu. Ia mengangguk, berjalan masuk dengan arahan dari Cheo. Pertemuan yang tak diharapkan Chendrik.

"Hai, putra Ibu! Putra kebanggaan Ibu! Bagaimana kabarmu, Nak?" seru wanita paruh baya itu saat melihat Chendrik di ruang tengah, ia memeluk putranya tanpa segan. Ia juga menciumi wajah laki-laki itu membuatnya meringis jengah.

"Aku baik, Bu. Kenapa Ibu ikut serta ke sini? Aku mengundang Sebastian untuk membantu mengatasi masalah yang terjadi," tanya Chendrik tak senang. Pasalnya, wanita berpenampilan glamor itu selalu menyusahkannya.

Sejak kapan wanita ini bersikap baik padaku? Apakah karena sekarang aku kaya? Hah ....

Chendrik mendesah tanpa suara, menatap malas wanita paling berjasa dalam hidupnya itu.

"Tentu saja untuk memberi dukungan pada kalian. Ibu tidak bisa berdiam diri saja di rumah, hanya duduk menunggu kalian yang sedang berjuang menciptakan kedamaian. Seorang Ibu harus menjadi kekuatan untuk anak-anaknya. Ibu ingin menjadi kekuatan untuk kalian. Ibu akan mendoakan keselamatan juga kejayaan untuk kalian berdua. Hhmm ...."

"Di mana kamar Ibu? Ibu ingin istirahat, jangan lupa bawakan Ibu pelayan. Tiga!" ungkapnya yang sempat terjeda sejenak dan tanpa tahu malu meminta pada Chendrik.

Laki-laki yang menjabat sebagai pemimpin markas besar itu menahan napas melihat sikap sang Ibu yang tak pernah berubah. Ia menjentikkan jari, dua orang pelayan datang menghampiri.

"Antar Ibuku ke kamarnya, siapkan tiga orang pelayan untuk melayaninya!" titahnya yang segera dipatuhi oleh pelayan tersebut. Keduanya sigap membawakan koper Ibu menuju kamarnya.

"Saya akan memanggil pelayan wanita untuk melayani Anda, Nyonya," katanya sambil membungkuk seraya keluar kamar dan menutup pintu perlahan.

"Wah ... ternyata anak pembawa sial itu sekarang sudah sukses. Dia memiliki rumah sebesar ini dan aku tidak tahu apa-apa. Dasar sial!" umpatnya dengan ekspresi senang sambil berputar mengelilingi ruang kamar yang cukup besar itu.

"Aku akan menetap di sini dan menguasai hartanya. Lagi pula dia duda, tidak ada yang mengatur keuangannya, bukan? Biarkan Ibu yang mengurusnya, sayang." Ia tertawa senang. Merebahkan dirinya di atas ranjang menunggu pelayan datang.

"Kalian bisa memilih kamar yang kalian inginkan!" perintah Chendrik pada kedua orang yang masih berdiri di sana. Chendrik berbalik pergi dan masuk kembali ke ruang kerjanya bersama Cheo.

Mencari Masalah

Di sore hari, Zena tengah menikmati sepoi angin di depan kamarnya. Tak ada yang dilakukan gadis itu selain duduk memperhatikan seekor elang yang terbang di langit.

Arabella yang tak sengaja melihat, mendekat ke mansion belakang untuk sekedar mengingatkan gadis berwajah polos itu.

"Kau memang pantas berdiam di sini. Pekerja tetaplah rendahan meskipun sikapmu terlalu arogan untuk seorang pelayan," sindir gadis dengan pakaian seksi itu. Ia mencibirkan bibir menatap Zena sambil bersandar di sebuah pilar dengan kedua tangan terlipat di dada.

Zena mendengus, tak berniat mengacuhkannya. Wajahnya tetap mendongak menatap elang yang terbang bebas di langit.

"Seperti halnya elang yang menyukai kebebasan ... berburu di dunia luar dan bertingkah liar, tapi tetap waspada pada ancaman di sekitarnya. Terus terbang mengelilingi langit tanpa peduli pada mereka menatapnya dari permukaan bumi." Zena tersenyum.

Decakan lidah Arabella tak digubrisnya, ia mentulikan telinga enggan mendengar sindiran juga cibiran.

"Kau terlalu tinggi menilai dirimu sendiri. Asap selalu ingin membumbung tinggi ke langit, padahal hakikatnya dia berada di bawah menapak bumi. Ingat batasanmu! Siapa kau di sini, maka janganlah bersikap seolah-olah kau Nyonya di mansion ini!" ucap Arabella sebelum berbalik pergi meninggalkan mansion belakang. Kesal karena tak berhasil memprovokasi Zena. Gadis itu tetap tenang dan angkuh.

Siapa peduli!

Zena menghendikan bahu tak acuh. Ia menjatuhkan punggung pada sandaran kursi, bersiul memanggil sang elang legenda. Senyum mengembang tatkala hewan itu melesat turun ke arahnya. Lalu, hinggap dengan cantik di atas lengan Zena yang menekuk.

"Bagaimana kabarmu? Pasti senang karena kau bebas terbang. Ah ... aku pun ingin terbang bebas sepertimu. Bebas sebebas-bebasnya ... pergi ke mana pun aku ingin." Zena menyentuh bawah paruh burung gagah itu dan bermain dengannya.

Beberapa hari berlalu, sikap gadis itu masih sama kurang ajarnya kepada mereka. Tak jarang Zena mengalah hanya karena tak ingin memperpanjang masalah. Pagi itu, ia berjalan seorang diri menuju dapur rumah utama. Mengenakan kaos longgar berlengan panjang, dengan bawahan celana pendek di atas lutut. Nampak seksi dan menggoda ditambah rambut panjangnya yang ia ikat secara asal.

Zena menuangkan secangkir air dan menenggaknya.

"Zena?" tegur Chendrik yang secara kebetulan melihat Zena saat melintasi dapur. Gadis itu berbalik, sikapnya yang tak acuh semakin membuat Chendrik penasaran.

"Kudengar kau menyiram Arabella dengan air kemarin. Apa benar?" selidik Chendrik. Tadi malam gadis itu mengadu padanya sambil berderai air mata.

"Kakak, dia menyiram air padaku. Kenapa Kakak membiarkan gadis bar-bar seperti dia tetap tinggal di sini?" adunya tadi malam. Mengingat itu Chendrik memijit kepalanya yang kembali berdenyut.

Zena mengangkat bahu tak acuh. Ia meletakan cangkir di atas meja, sedikit menimbulkan suara karena tekanan yang ia berikan. Ia mendekat, kedua tangan terlipat di perut. Seperti biasa, sorot matanya tetap tajam tak seperti saat ia menatap Cheo atau para pekerja Chendrik di mansion.

"Kau pikir aku sudi melakukannya?" Ia berbalik, sedikit mendengus sebelum melanjutkan kata-katanya, "katakan padanya, jangan menggangguku lagi!" Ia membawa kakinya meninggalkan dapur. Membuat Chendrik geleng-geleng kepala tak mengerti dengan sikapnya.

Di balik sebuah pilar, sepasang mata mengintai. Dia Sebastian, adik kandung Chendrik, usianya tak jauh dari Zena hanya terpaut tiga tahun. Diam-diam laki-laki dua puluh delapan tahun itu sering memperhatikan Zena dan kerap mengganggunya. Ada hasrat yang menggebu dalam jiwa ingin melahap gadis cantik dan terlihat polos itu. Ia membentuk seringai di bibir, otak liciknya berencana untuk dapat menikmati tubuh semampai milik Zena itu.

"Tunggulah, kau gadis nakal. Aku pasti akan mendapatkanmu," ancamnya sambil menatap punggung Zena yang menjauh.

Chendrik berbalik setelah sosok gadis itu menghilang di balik sebuah pintu. Dengan mengenakan seragamnya sebagai pimpinan, ia pergi ke markas guna menghadiri rapat membahas soal para mafia yang kembali berulah. Dan tak pernah terselesaikan.

Di malam hari, Sebastian mengendap mendatangi mansion belakang tempat di mana Zena tinggal bersama para pekerja. Ia tersenyum melihat gadis itu yang sedang mengajari Cheo belajar.

"Kenapa kau cantik sekali? Sebagai pengasuh, kau terlalu cantik, Zena. Sebaiknya kau jadi kekasihku. Hidupmu akan terjamin tentu saja," gumamnya pelan menatap penuh nafsu pada sosok gadis bercahaya di bawah sorotan lampu teras.

Ia bersembunyi di balik pilar disaat Cheo melintasinya, tapi Zena yang memiliki kepekaan luar biasa telah menyadari kehadirannya. Ia hanya sedang berpura-pura, seolah-olah tak ada siapa pun yang sedang mengintai.

Zena beranjak, ia pula bergerak meninggalkan tempat persembunyian. Berjalan cepat tanpa suara, seperti kertas yang terbang terbawa angin. Lumayan. Zena bergumam mengomentari keahlian adik Chendrik itu.

Baru saja Zena membuka pintu hendak memasuki kamar, tangan kekar milik sang jenderal itu mencekal tangannya. Sedikit kuat, mungkin akan terasa sakit jika itu gadis biasa, tapi dia Zena. Hanya seperti itu saja, baginya bukan apa-apa.

Di kegelapan, seseorang merekam keduanya. Ia tersenyum licik sambil bergumam, "Ini adalah hari kekalahanmu, Zena. Lihat saja! Aku akan menyebarkan video ini dan kau ... tamat sudah riwayatmu, ******!" Ia menggeram, bersiap merekam yang akan terjadi di kamar gadis itu.

Tanpa ada yang menyadari, Zena melakukan gerakan tangan. Melempar sebuah kerikil ke arah seseorang yang bersembunyi di balik sebuah tumbuhan bunga.

"Aw! Sial, apa ini? Siapa yang melemparku? Sakit sekali!" keluhnya meringis sambil mengusap lengan yang terasa berdenyut. Ponsel di tangannya terjatuh, ia berjongkok dan mendapati pemandangan luar biasa yang tak sengaja ditangkap netranya.

Zena tersenyum samar saat mendengar suara pekikan dari balik tumbuhan bunga. Ia menyembunyikan wajah dengan menundukkan kepala menatap lantai yang mereka pijak. Melihat ada kesempatan, Sebastian menggunakannya untuk mendorong tubuh Zena ke tembok.

Ia menyeringai saat Zena terpejam dengan bibir sedikit terbuka dan meringis.

"Kau terlalu cantik untuk menjadi pengasuh anak laki-laki itu. Jadilah kekasihku, puaskan aku, maka hidupmu akan terjamin. Bagaimana, sayang?" Tangan Sebastian membelai pipi Zena dengan lancang. Gadis itu menggeram dalam hati, detik kemudian ia membuka mata, menatap tajam manik coklat milik laki-laki yang sedang bernafsu padanya itu.

"Kau yakin akan kata-katamu itu, Jenderal? Sementara itu terdengar seperti bualan di telingaku. Chendrik lebih berkuasa dari pada dirimu, dia memiliki segala yang aku butuhkan. Aku hanya perlu meluluhkan hatinya jika saja aku ingin. Sayang, aku tidak tertarik padanya ataupun ... padamu!" Zena mendorong dada bidang laki-laki itu, sekali hentakan ia langsung mundur beberapa langkah.

"Kau pikir aku sama seperti wanita yang sedang bersembunyi itu? Kau salah, Jenderal. Salah besar!" tegas Zena terkekeh kecil. Ia mendorong tubuh tegap sang Jenderal keluar rumahnya, "selamat malam! Semoga kau mimpi indah malam ini, Tuan Jenderal!" ucapnya seraya menutup pintu dengan sedikit kuat menyentak tubuh laki-laki yang baru saja kalah telak.

Terinjak harga dirinya sebagai lelaki, ia menggeram kesal menahan segala emosi yang meluap-luap. Wanita yang bersembunyi di balik tumbuhan, berdiri tegak menampakan dirinya. Ia tersenyum mencibir melihat kekesalan di wajah sang Jenderal. Gagal sudah rencana mereka malam itu.

Menunjukkan Diri

Beberapa hari usai kejadian malam itu, Sebastian jarang terlihat berkeliaran di mansion besar Chendrik tepatnya di bangunan belakang tempat Zena berada. Begitu juga wanita yang bersembunyi di balik semak itu, tak terlihat batang hidungnya.

Zena berjalan santai mengenakan kaos berlengan panjang yang kelonggaran seperti biasanya. Riasan rambut yang sama, kuncir ekor kuda yang ia sukai. Bibirnya yang merah alami menambah seri di wajah.

"Cheo!" panggilnya dengan suara manja khas seorang gadis lugu nan polos. Ia berdiri di bawah tangga mansion utama sembari memainkan jemari, dan sesekali akan menggigit kukunya yang dirasa panjang mencuat.

Arabella nampak tak senang melihat kehadiran Zena di mansion utama itu. Ia tengah berjalan bersama Chendrik mengenakan seragam markas Mata Elang.

"Kau! Sedang apa kau di sini?" ketusnya menuding Zena dengan jari telunjuk.

Zena bertolak pinggang, seketika mengernyit melihat Chendrik berpakaian resmi sebagai pemimpin markas. Laki-laki itu terdiam memandangi Zena yang terlihat seksi di matanya. Ia meneguk ludah basi, betapa Zena cantik dengan tampil apa adanya.

"Kenapa kau berseragam resmi? Apa ada hal genting terjadi?" tanya Zena tanpa peduli pertanyaan Arabella yang belum ia jawab. Gadis itu mendelik tak suka, kedua bibirnya terbuka ingin menghardik Zena, tapi Chendrik menghentikannya dengan melangkah mendekati gadis polos itu.

"Markas sedang genting, mereka berulah lagi dan semua petinggi akan ikut rapat pagi ini membahas masalah yang akhir-akhir ini terjadi tanpa solusi," jawab Chendrik memandang penuh hasrat pada wajah cantik Zena. Berbeda sekali dengan Arabella yang setiap hari harus dipoles make-up untuk terlihat cantik. Ditambah Zena yang mandiri dan tak pernah mengandalkan orang lain, itu menjadi nilai plus untuk dirinya.

"Aku ikut!" putus Zena.

"Untuk apa? Kau bukan siapa-siapa di sini, kau tidak akan mengerti apa yang akan kami bahas!" seru Arabella dengan cepat menyambar ucapan Zena.

"Siapa yang peduli! Aku akan pergi lebih dulu!" ucap Zena tak acuh seraya meninggalkan mansion Chendrik. Gadis itu tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ingin protes, tapi Chendrik mengibaskan tangan dan langsung berlalu mendahului.

"Aku ikut! Kau perlu strategiku, Kak!" Sebastian ikut menimpali, ia telah rapi dengan seragam kebanggaannya sebagai seorang Jenderal.

"Untuk itulah aku memintamu datang," sahut Chendrik seraya melanjutkan langkah diikuti dua orang di belakangnya. Ia tampak gagah dan berkarisma. Mobil anti peluru yang dikendarainya membuktikan bahwa Chendrik bukanlah orang biasa.

Wanita paruh baya menyeringai dari balik jendela melihat kepergian semua orang. Termasuk Zena yang hanya mengendarai sepeda motor pemberian Chendrik.

Zena sampai lebih dulu, ia telah duduk di kursi rapat bersama para petinggi markas tanpa mengganti pakaiannya. Ketujuh orang itu tertunduk saat harus berhadapan dengan sang Master Legenda mereka. Untuk bernapas saja mereka harus lakukan secara pelan. Tak ingin menyinggung singa betina yang sedang tertidur pulas. Padahal, Zena biasa saja hanya sesekali akan melirik satu per satu dari mereka.

"Zena! Kau tidak mengenakan seragam-mu?" tegur Adhikari saat mata tuanya menangkap sesosok gadis lugu duduk tak mau diam.

"Paman, aku tidak mau mengenakan seragam itu. Aku tidak suka, panas!" katanya asal. Ia mendengus saat laki-laki tua itu tersenyum menggeleng. Adhikari duduk di samping Zena, mengusap kepala gadis itu dengan lembut. Zena seperti anaknya sendiri.

Berselang, Chendrik dan kawanannya memasuki ruangan, Arabella menganga tak percaya saat melihat Zena duduk santai di samping Adhikari.

"Kau! Tidak sopan sekali datang ke tempat rapat dengan mengenakan pakaian seperti itu. Dasar wanita tak tahu malu, di sini bukan tempatmu. Sadari posisimu, wanita ja-"

"Jaga mulutmu, Arabella!" tukas Adhikari sambil berdiri menahan geram di dada, "kau tidak pantas berbicara seperti itu padanya. Kau tahu siapa dia?" lanjut Adhikari membentak wanita bermulut lancang itu.

Ia masih ingin bicara, tapi sentuhan tangan Zena menghentikannya. Gadis itu menarik tubuh Adhikari untuk duduk kembali. Membisikan sesuatu di telinganya supaya ia terdiam dan tenang.

"Kenapa master membelanya?" protes Arabella tampak tak senang dari guratan di wajahnya.

"Diam, Arabella! Jika kau masih ingin di sini, maka tutup mulutmu dan jangan ucapkan kata-kata tidak pantas untuk Zena. Duduk! Rapat akan segera dimulai!" hardik Chendrik tidak main-main. Ia duduk di kursi kepemimpinan, memimpin jalannya rapat. Mencari solusi atas semua masalah yang masuk ke dalam laporan markas.

"Mereka juga tidak kembali?" Chendrik mendesah lelah. Sudah dua puluh orang lebih prajurit dikirimnya, tapi tak satu pun dari mereka yang kembali.

Zena menatap remeh Arabella yang seolah berpikir mencari solusi.

"Kenapa kau tidak mencoba mengirimkan prajurit perempuan sebagai umpan?" usul Zena enteng. Ia tersenyum dikala Chendrik memandangnya.

Sial! Senyumnya manis sekali! Chendrik mengumpat.

Dia memang sangat cantik. Sebastian menimpali dalam hati.

"Itu sangat berbahaya untuk dilakukan seorang perempuan?" sahut Chendrik tak setuju.

Zena menghendik. "Hanya sebagai umpan, tentu saja ada prajurit laki-laki yang mengawasi." Ia melirik Arabella dengan bibir mencibir.

"Kau ... apa maksud tatapanmu, itu? Apa kau ingin aku pergi ke tempat berbahaya itu?" hardik Arabella yang membuat semua mata para petinggi melotot ke arahnya.

Zena melipat tangan di dada, pandangannya tetap sama. "Tentu saja. Jika bukan untuk itu, untuk apa kau datang ke markas?" sarkas Zena masih dengan senyum meremehkan.

Arabella membuka mulutnya, tapi tak ada kata yang terucap. Ia tertawa jengah saat tak satu pun dari mereka yang menolak usul Zena.

"Apa kau tidak dengar itu sangat berbahaya untuk perempuan. Lagi pula siapa kau dan apa jabatanmu di sini?" Arabella meradang.

"Aku khawatir kau akan muntah darah saat tahu siapa aku, tapi aku yakin kau sangat berpengalaman. Aku kira kau mampu melakukannya," timpal Zena lagi tak mau mengalah. Semua orang memperhatikan dengan saksama.

"Chendrik, kau tahu aku sudah lama tidak melakukan tugas mata-mata. Kau juga tak mungkin membiarkan aku melakukan tugas berbahaya ini, bukan?" protesnya pada Chendrik.

Zena mendengus, semua petinggi meremehkan. Adhikari tersenyum sinis.

"Kokoh di luar, bobrok di dalam." Zena melengos.

"Apa maksudmu?" Kedua mata Arabella menjegil.

"Markas yang kau miliki ini tampak kokoh dari luar, Chendrik. Semua orang mengandalkan pasukanmu, tapi sayang, isi di dalamnya tak sekokoh wajahnya. Rapuh dan bobrok, aku pastikan perlahan markas ini akan hancur bila diisi para pengecut sepertinya," ungkap Zena menohok jantung Arabella tepat di bagian tengahnya.

Mata wanita itu mendelik lebar, seluruh wajahnya berkedut. Bibirnya bergerak, tapi tak ada kata yang terucap. Chendrik mendesah. Apa yang dikatakan Zena benar adanya. Termasuk semua petinggi yang seketika menundukkan wajah mereka. Adhikari menatap nanar sang pemimpin markas.

"Aku mengajukan diri untuk menyelidiki kasus ini sendiri. Aku yakin, aku akan dapat berbaur dengan semua anak di sana!" seru Zena setelah melihat sendiri bagaimana sesungguhnya tim markas Mata Elang itu.

Chendrik mengangkat wajah cepat, matanya yang melebar menatap Zena tak rela. Termasuk, Sebastian yang seketika jantungnya berdegup kencang. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba keduanya mencemaskan Zena.

"Cih! Cari muka, padahal kau tak memiliki kemampuan apa pun," cibir Arabella hampir seperti bisikan, tapi Zena tetap bisa mendengarnya dengan jelas.

"Aku mendengarnya!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!