NovelToon NovelToon

Cintai Aku

Prolog

Siang itu aroma obat-obatan seketika memasuki rongga hidung Rea tanpa permisi. Kakinya terus melangkah menelusuri koridor rumah sakit tanpa henti, matanya terus melihat papan yang tergantung diatas pintu bertandakan nama ruangan.

Langkahnya terhenti saat melihat papan bertuliskan sun flower, pandangannya mulai menerobos pintu kaca di depannya.

Semua orang diruangan tersebut, nampak serius memandangi wanita yang tengah terbaring lemah habis melahirkan. Sedikitpun tak terdengar suara perbincangan diantara mereka, hanya ada bulir air mata yang mewakilkan perasaan mereka saat itu.

Diputarnya handle untuk membuka pintu ruangan tersebut, suara nyaring pintu itu menarik perhatian semua orang kearah Rea, kecuali laki-laki yang sedang duduk lemas memegangi tangan istrinya yang terbaring tidak sadarkan diri.

Salah seorang wanita menghampirinya dan membawa Rea mendekati kakak kandung beda ibu yang terbaring lemas tersebut.

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Rea, melainkan hanya air mata yang mengalir deras. Telapaknya mengusap kening kemudian rambut Amel yang tidak beraturan.

Sunyi, itulah gambaran situasi di dalam ruangan tersebut, hanya terdengar air infus yang terus menetes di tempatnya, dan dentingan bedside monitor.

Perlahan suara bedside monitor itu mulai berjarak, pertanda detak jantung Amel yang semakin lemah. Arfan selaku suami Amel segera berteriak memanggil dokter, begitupun semua orang dalam ruangan itu, yang tak lain adalah keluarga Rea dan Arfan.

Raut wajah panik dan air mata mengalir menghiasi wajah seisi ruangan itu. Doa tak henti diucapkan teruntuk Amel yang berada di antara hidup dan mati.

Sungguh benar, jika rezeki, jodoh, maut, semuanya sudah Allah atur, dan semua itu sudah ada takarannya masing-masing. Rea mencoba menenangkan ibu tirinya yang histeris melihat putrinya meregang nyawa. Kini duka kembali menyelimuti keluarga besar Kusuma dan Rahardian.

Vera sebagai ibu kandung Amel tak kuasa menahan lara akibat putrinya yang meninggal, tubuhnya seakan tak ingin lepas dari pusara putri semata wayangnya tersebut.

Sesekali telapak tangan yang mulai keriput itu, mengusap nisan bertuliskan Almarhumah Amel binti Kusuma bersama derai air mata yang tak habis-habis.

Rea kembali membujuk ibu tirinya itu untuk bangkit dari tanah pembaringan terakhir kakaknya. Dengan sedikit paksaan Rea menarik tubuh ibu tirinya itu kedalam pelukannya. Lisannya terus memberikan penenangan kepada ibu tirinya tersebut, supaya bisa menerima kenyataan.

Namun sedih yang teramat, membuat wanita berumur hampir setengah abad itu tidak sadarkan diri.

Setelah kepergian Amel, Yati sebagai ibu Arfan ikut tinggal di kediaman keluarga Kusuma guna membantu mengurus cucunya yang masih berusia empat puluh hari.

Kehidupan kedua keluarga mulai berjalan seperti sedia kala, raut wajah sedih kini berganti menjadi ceria kembali saat melihat Nathan tumbuh menjadi bayi gembul yang sehat. Kulitnya putih dan rambutnya hitam lebat, ditambah wajahnya yang mewarisi ketampanan sang ayah membuat semua orang sering memuji-muji bayi gemuk tersebut.

Hal ini tak luput dari bantuan Rea selama sebulan lebih membantu membesarkan Nathan seperti membesarkan putranya sendiri. Karena ketelatenannya ini terbesitlah dalam pikiran Yati untuk menjodohkan putranya dengan Rea, dengan alasan Nathan membutuhkan seorang ibu. Sempat ada penolakan dari Arfan, mengingat masa lalunya, namun berkat bujukan dari sang ibu mertua membuatnya mau tak mau menyetujui.

Pernikahan pun segera dilaksanakan keesokan harinya tanpa resepsi, sebab tiba-tiba dan mengingat kedua keluarga masih berkabung, pernikahan itu hanya dihadiri kedua keluarga besar, Kusuma dan Rahardian.

Malamnya di kediaman Rahardian Rea diantarkan masuk kedalam kamar Arfan oleh ibu mertuanya.

Bersambung....

Wejangan

Dua pasang kaki mulai melangkah melewati ruang demi ruang bernuansakan putih dan kelabu. Tak sedikit terpajang barang-barang indah, berbahankan kaca berbalut tembaga berwarna emas didalam etalase kaca, menambah kesan mewah pada rumah yang tak lain adalah kediaman keluarga Rahardian.

Sepasang telapak tangan yang tak lagi terlihat kencang kulitnya dengan lembut menuntun tubuh Rea menuju kamar suaminya. Tidak sepenggal kalimat pun yang keluar dari bibir Rea.

Lidahnya sungguh kelu mengingat keputusannya dahulu. Hati nuraninya terisak saat mengetahui seseorang meninggal tersebab keputusannya tersebut.

Semakin teriris, itu yang Rea rasakan saat ini, merasakan orang yang tidak sengaja ia sakiti saat ini sangat baik padanya.

Tak jarang matanya mencuri pandang wanita yang dengan lembut dan sabar menuntun menuju kamar putranya. Terbayang dibenaknya memikirkan terbuat dari apakah hati mertuanya itu.

Handle pintu segera diputar, ruangan bernuansakan biru muda dengan putih itu nampak sangat elegant.

Keduanya memasuki kamar itu, Yati mendudukan menantu barunya tepat bersebelahan dengannya.

Tak ada rasa benci, kecewa, ataupun intimidasi dalam pandangan matanya, yang ada hanya tatapan kasih sayang ibarat seorang ibu pada anaknya.

Lagi-lagi Rea merasakan nyeri didalam hati nuraninya, andai saja dan pasti saja, itulah yang terlintas difikirannya yang melaknat keputusannya dua tahun lalu.

"Rea apa yang sedang kau fikirkan nak," pertanyaan Yati berhasil membuyarkan semua andai-andaian Rea.

"Tidak ada mah ..." Yati hanya tersenyum.

"Mamah harap, Rea dan Arfan bisa berhubungan baik seperti dulu lagi, Mamah yakin masih ada cinta dihatinya untukmu." Rea hanya diam, tidak percaya dengan perkataan ibu mertuanya tersebut. Pasalnya selama ini, sama sekali tidak ada komunikasi diantara mereka setelah kejadian dua tahun lalu.

"Mamah akan selalu berdoa untuk kebahagian kalian. Apa saat ini kau masih mencintai Arfan, Rey?"

"Sangat mah ... bahkan melihatnya bahagia dengan wanita lain, tak membuat rasa itu pudar dihatiku sedikitpun." Rea hanya bisa diam dan menjawabnya dalam hati.

Sangat jelas ... dan tidak perlu penegasan kalimat, sebab Yati sudah mengerti apa yang Rea rasakan saat ini.

"Diammu itu membuat semuanya makin jelas Rey ... Mamah tau kamu masih mencintai Arfan, iya kan?" Hanya air mata yang menetes dipipi Rea, mewakilkan jawaban dari pertanyaan mertuanya.

Pertanyaan lembut penuh sabar itu sangat mengiris hati Rea, bagaimana mungkin ada orang setegar ini, disaat ia mengetahui suaminya terkena serangan jantung akibat keputusannya.

"Kenapa anda begitu baik padaku? Bukankah pak Dimas terkena serangan jantung akibat ulahku? Rasanya tidak pantas bagiku menerima kebaikan anda saat ini." Pertanyaan itu akhirnya keluar juga dari bibir Rea.

"Tidak," bantah Yati dengan cepat, telapaknya meraih wajah Rea, matanya terlihat berkaca-kaca.

"Hidup dan mati seseorang dengan cara seperti apa? Itu sudah ditakdirkan, begitupun dengan Waktu Hidup dan mati seseorang sudah ada yang mengatur, ini bukan kesalahanmu," bijak Yati.

"Tapi_"

"Mamah tau siapa dalang kejadian dibalik semua ini, Rey," tatap Yati penuh sendu mengingat nasib malang menantu barunya.

Flashback on//

Dalam ruangan dengan pencahayaan cukup redup, Rea dan Vera tengah duduk diatas ranjang yang sudah dirias cantik sedemikian rupa. Bunga bermacam warna menghiasi kamar pengantin itu, namun air mata Vera merubah suasana diruangan itu.

"Batalkanlah pernikahanmu dan biarkan Arfan menikahi Amel, Rey."

"Apa maksudnya, Bu? Aku sangat mencintai kak Arfan."

"Selama hidupku tidak pernah kumerasakan kebahagian yang sempurna." ucap Vera berinai air mata.

"Kau dan Ibumu selalu saja mengambil alasan kebahagianku, dulu Ibumu mengambil hati Ayahmu, dan sekarang kau pun akan mengambil hati orang yang putriku cintai."

"Apa maksud Ibu, bukankah aku ini putri kandungmu?"

"Kau bukan putri kandungku," pekik Vera. Kedua wanita itu tak menyadari akan kehadiran Yati yang terkejut dibalik pintu kamar.

"Aku dan Ayahmu menikah karena dijodohkan, perlahan Ayahmu mulai menganggap aku sebagai istrinya. Waktu terus berjalan, tiga tahun pernikahan kami jalani namum belum juga dikaruniai anak."

"Keluarga ayahmu tidak sabaran akan hal itu, mereka memilih menikahkan kembali ayahmu dengan mantan pacarnya, yang tak lain ibumu, Anita." Vera menghentikan sejenak ucapannya.

Seketika wajah Rea berubah pucat, air mata mengalir tanpa perintah, lidahnya kelu. Jadi ini, alasan wanita dihadapnya tidak pernah menyayangi ia sebagaimana menyayangi kakaknya, Amel.

"Setelah ayahmu menikah dengan Anita tidak lama aku hamil anak pertamaku, Amel. Sungguh cobaan yang sangat berat bagiku, aku harus rela membagi suami dengan wanita lain disaat aku hamil."

"Selang tiga bulan Anita mengandungmu. Saat melahirkan, Ibumu mengalami pendarahan yang mengakibatkan ia kehilangan nyawanya. Aku semakin sengsara saat harus mengurusi dua anak sekaligus."

"Ayahmu tidak bisa membantuku karena depresi akibat kepergian Anita. Penderitaan terus menerpa, saat melihat putriku yang selalu sakit-sakitan. Aku merasa sangat tidak diadili didunia ini, Tuhan sangat tidak adil padaku." Vera menenggelamkan wajahnya ditelapak tangannya, memperlihatkan betapa terpuruknya ia.

"Melihat putriku murung dan memilih mengalah terhadapmu, membuatku sedih. Kau tidak tahu kan? Amel diam-diam mencintai Arfan dan pura-pura bahagia dihadapnmu," Vera berhenti sejenak.

"Mengapa hanya kesedihan yang selalu aku terima, Rey?" Pekik Vera.

"Tinggalkan Arfan, maka aku akan menyayangimu sebagaimana aku menyayangi Amel."

Tatapan mata penuh cairan bening itu sangat meluluhkan hati Rea. Rea sangat mencintai Arfan, tapi ia juga sangat menyayangi ibu dan kakaknya itu.

Hati Rea berkata. "Lebih baik aku kehilangan cinta dari pada kehilangan kedua orang yang sangat aku sayangi."

Dibalik pintu kamar, Yati hanya menggelengkan kepalanya berharap Rea tidak menuruti keinginan ibu tirinya itu.

Tapi apalah daya, Rea yang tidak melihat Yati, dengan berat hati dan air mata yang bercucuran mengiyakan permintaan Vera. Seketika Vera memeluknya penuh Haru.

Flashback off//

Kilas kisah dua tahun lalu membuat keduanya menangis dalam diam, hanya dentingan jam dinding yang mengisi ruangan.

Memecah kesunyian, Yati mencoba memperkenalkan hal-hal yang disukai putra bungsunya itu.

"Arfan itu suka masakan rumah, dia tidak akan makan diluar, kau yang harus masak. Arfan alergi dengan seafood. Setiap pagi Arfan mengawali aktifitasnya dengan minum susu coklat, dia sangat menyukai minuman itu."

"Arfan terbiasa hidup dengan segala fasilitas yang telah disediakan, jadi kau harus menyiapkan setiap pagi. Arfan tidak bisa memasang dasi dan kancing kemeja pergelangannya sendiri."

"Sebenarnya masih banyak lagi, kebiasaan Arfan yang harus kamu ketahui." Sejenak terhenti dan memandang penuh kasih pada Rea.

"Mamah akan selalu dukung perjuanganmu merebut kembali cinta Arfan rey," lanjut Yati dengan tersenyum. Membangun kembali mental menantunya yang telah menciut, mengingat perilaku dingin putranya kepada Rea. Rea hanya mengangguk mengerti.

"Bagaimanapun perlakuannya padamu saat ini, tetaplah statusnya sebagai suamimu. Mintalah izin kepada suamimu jika ingin keluar, beritahu akan kemana dan bertemu siapa. Jangan pernah melanggar larangannya, atau Allah dan malaikatNya akan melaknatmu."

"Terima dengan baik setiap hajatnya, patuhi segala perintahnya selama tidak dalam jalan kemungkaran. Jaga amanahnya dengan baik, seperti harta benda dan hatinya saat ia pergi. Jangan tinggikan suara melebihi suaranya ... " jelas Yati, panjang lebar.

"Terima kasih atas nasihatnya Mah," ucap Rea yang segera merangkul Yati.

"Sudah jangan menangis lagi, ada Mamah yang akan terus membantu dan mendukungmu disni." Melepaskan pelukan seraya menghapus air mata Rea.

Rindu Rea akan kasih tulus seorang ibu kini ia Rasakan dalam diri Yati. Walau Vera sudah menerima ia sebagai putrinya, tetepi tetap saja, tidak ada rasa seperti saat-saat bersama Yati.

"Mulai hari ini aku janji akan lebih bersyukur lagi atas setiap takdir yang aku dapatkan, terimakasih ya Allah." Batin Rea.

**Berusahalah untuk menemukan kebahagian di sela kerasnya kehidupan. Cobalah untuk tetap tersenyum walau rasanya perih. Sebab bahagia itu bukan milik mereka yang punya dan bisa segalanya, tetapi milik mereka yang mensyukuri apa yang mereka punya.

@ranimutiara31**

Bersambung ...

🌷🌷🌷

Assalamualaikum ... Bellow readers ... semoga readers ngerti ya sama alurnya. Terima kasih yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca ceritaku. Ayo dukung author dg like,comen dan votenya ya😊. Semoga selembar cerita ini dapat mengisi hari libur kalian😊.

Tidak Mungkin

"Mamah akan bicarakan lagi dengan Arfan, semoga semua berjalan dengan lanca." Rea hanya menganguk mengerti maksud mertuanya.

"Ya sudah mamah tinggal, ya? Tunggu saja, Arfan akan segera masuk." Yati tersenyum, kemudian mengecup kening menantunya dan berlalu pergi meninggalkannya sendiri.

Gadis dua puluh tiga tahun itu masih duduk diatas dipan empuk berbalut seprai indah. Sesekali ia memejamkan kelopak matanya yang dipoles dengan eyeshadow berwarna biru muda berkolaborasikan putih perak.

Tak jarang jantung terdengar berdebar, mengingat sebentar lagi akan ada yang datang menghampirinya.

Gadis yang sudah dirias cantik itu sesekali menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali, mencoba menenangkan dirinya yang gugup akan malam ini.

Jantung semakin cepat memompa darahnya, saat telinganya mendengar langkah kaki mengarah kamar yang ia tempati. Tak lama terdengar suara pintu kamar terbuka, orang yang berada diluarpun segera masuk dan menghampiri gadis yang baru saja ia nikahi sore ini.

Melihat suaminya sudah datang, gadis itu segera berdiri bermaksud menyambut kedatangannya. Ia berusaha tersenyum, untuk melupakan kenangan masa lalunya dihadapan pria, yang saat ini menyandang status sebagai suaminya.

Arfan Rahardian, yang tak lain suami gadis itu segera menghampiri istrinya. Ditangkupnya wajah istri barunya itu dengan kedua tangannya. Senyum terpancar dari wajah tampannya yang tidak bisa diartikan.

Perlahan wajahnya mendekati Rea hendak mengecup. Tidak ada penolakan dari Rea mengingat nasihat sang mertua, Rea segera memejamkan kelopak matanya yang indah tersebut. Namun ...

"Wanita m**r**n, kau fikir aku akan menerimamu kembali dan menjalani sisa hidupku bersamamu?" Suaranya cukup lembut, namun menusuk hati Rea sampai yang terdalam.

Kali ini bukan telapak tangan yang menangkup wajah Rea dengan lembut, tetapi jemari keras Arfan yang mencekram pipi mulus Rea dengan kencang tanpa ampun. Seketika senyum manis yang terpancar diwajah Arfan berubah menjadi senyum kebencian.

Tatapannya tidak sehalus saat pertama kali ia datang, kini senyum itu berubah menjadi datar dan menyeramkan.

Gadis malang itu tidak bisa berkutik, tangannya hanya mampu memegang jemari suaminya, berusaha melepaskan cengkraman yang menyakitkan itu.

Air mata meluncur tanpa aba-aba, mulai membasahi pipi mulus berbalut foundation tersebut. Seketika memori masa lalunya memenuhi setiap ruang otak Rea.

"Tidak mungkin," sentak Arfan dengan suara kecil. Rea kembali memejamkan matanya, terkejut dengan sentakan Arfan didepan wajahnya.

Perih ...

Itulah yang ia rasakan, kebahagian yang selama ini ia impikan buyar seketika.

Hanyut dalam kalimat yang dilontarkan sang mertua, membuatnya lupa akan posisinya saat ini dimata Arfan.

Dilepasnya cengkraman panasnya, seraya mendorong gadis malang itu supaya menjauh darinya.

Tak ada kalimat yang terucap dibibir Rea sebagai bentuk pembelaan, ia lebih memilih diam, karena bagaimanapun ini juga kesalahannya.

"Semakin kau berusaha menjadi wanita yang baik-baik dimataku, semakin benci dan jijik pula aku melihatmu." Penuh intimidasi.

Rea menundukan wajahnya, tak kuasa memandang wajah pria yang pernah mencintainya, tetapi kini malah sangat membencinya.

Pria itu menggenggam erat kedua lengan Rea, dengan menunjukan tatapan tajam penuh kebencian. Gadis malang itu hanya menunduk, menyembunyikan air mata akibat menahan sakit lahir dan batin.

"Semakin sedikit kau berharap dari pernikahan ini, maka sedikit pula rasa sakit yang akan kau terima dari hubungan ini."

Tangan itu masih menggenggam erat kedua

lengan Rea, ia meringis kesakitan. Didorongnya kembali tubuh Rea supaya menjauh darinya, hati Arfan muak saat berdekatan dengannya.

Masih menunduk, gadis itu menyembunyikan kekecewaan, memikirkan nasibnya yang terus saja menghadapi kenyataan yang pahit.

"Kenapa kau menangis?" jemari Arfan mendangakan wajah Rea supaya menatapnya.

Dua pasang mata itu sejenak saling bertatapan, Arfan yang sadar segera melepaskan jemarinya.

"Wanita munafik, cih!" Laknat Arfan dalam hati.

Sebal melihat Rea yang masih menunduk dan menangis dengan diam, Arfan memilih meninggalkan Rea dan menutup pintu kamar mandi dengan kasar, yang membuat Rea terkejut.

Hati yang perih penuh kekecewaan ia tangisi tanpa suara, berjalan menjauhi dipan berbalut seprai indah itu menuju jendela besar kamar tersebut.

Manatap kosong dengan air mata yang mengalir, memandang gemerlap lampu kota yang berarti penuh riang. Rea iri ... lantaran lain hal dengan suasana hatinya saat ini.

Harapan yang ia dapatkan dari mertuanya kini hancur luluh lantak. Ingin rasanya ia langsung terjun dari jendela besar berbentuk separuh bulat berbahan kaca itu.

Namun Ia urungkan niatnya saat teringat janjinya malam ini pada dirinya sendiri.

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. Kalimat itulah yang selama ini ia jadikan sebagai kunci kesabarannya.

Jika saja bukan karena Nathan, Rea akan lebih memilih pergi menjauhi Arfan. Mencintainya dalam diam membuatnya jauh lebih tenang dari pada harus bertemu terus seperti ini.

Pintu kamar mandi sudah dibuka, keluarlah seorang pria dengan baju tidurnya. Rea masih sama dengan posisinya.

"Kutekankan padamu Rey, kita tidak akan berbagi apapun, ingat itu! Malam ini tidurlah di sofa." Pria itu segera membenamkan tubuhnya didalam selimut tebal.

Mengingat tak ada lagi yang perlu dikatakan, dan lagi pula tidak akan ada yang mendengarnya, Rea segera mengganti pakain dan membersihkan dirinya.

Menatap sekeliling ruangan yang berjudul kamar pengantin, menarik dan membuang nafasnya, Rea segera mengubur dalam-dalam semua keinginannya.

Berlalu meninggalkan kamar mandi, gadis itu segera menuju sofa untuk istirahat.

Tidak ada selimut, matanya beralih pada pendingin ruangan yang masih setia menghembuskan nafas sejuknya.

Ingin mengaturnya, gadis itu tidak tahu letak remotnya. Jalan lain adalah mendapatkan selimut, matanya tertuju pada sebuah almari besar berwarna putih susu. Berjalan mendekati berharap menemukan apa yang ia cari. Dan untuk kesekian kalinya ia merasa kecewa, almari itu terkunci.

Menghela nafas, mengingat kembali kunci kesabarannya. Tak ada pilihan lain untuk gadis malang itu selain tidur dengan seadanya.

Memutar tubuhnya supaya menghadap tepi senderan sofa, Rea mencoba memejamkan matanya. Melipat kedua betis, lututnya hampir mengenai perutnya yang flat.

Udara sejuk membuat kulit putihnya menggigil, sesekali gadis itu mengusap lengan yang tidak tertutup lengan bajunya supaya hangat.

Mencoba menerima semua yang terjadi dengan ikhlas, gadis malang itu sedikit menyesali keputusannya dua tahun lalu. Sangat mencerminkan dirinya yang tak punya pendirian.

Matanya mulai lelah, udara dingin itu tak lagi ia rasakan saat jiwanya sudah melayang dialam mimpi.

"**Diam adalah pilihan saat hati tersakiti, karena lisan tahu. Dengan bicara hanya akan membuat yang lain ikut tersakiti."

@ranimutiara31**

Bersambung ...

Bellow... Likenya nya dong kak😁.

Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang mengerjakan 🌝 jangan lupa tilawahnya ya kak😊🖐 sampai jumpa diepisod selanjutnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!