"Saya terima nikah dan kawinnya Rossalina Andrea dengan mahar yang disebutkan dibayar tunai!" Raihan mengucap ijab qobul itu dengan lantang dan lancar.
Saksi dari kedua belah pihak menyatakan jika pernikahan antara Rossalina dan Raihan sah. Mereka kini menjadi sepasang suami istri.
Resepsi pernikahan digelar dengan sederhana. Hanya dihadiri keluarga inti saja. Pernikahan mereka memang dadakan. Mereka menikah karena dijodohkan.
Raihan yang merupakan seorang playboy mau menerima tawaran orang tuanya yang harus menikah dengan putri dari sahabat orang tuanya itu. Bukan tanpa alasan, Raihan diiming-imingi uang lima ratus juta rupiah oleh orang tuanya agar ia mau menikahi Rosa.
Sementara Rosa hanya bisa pasrah. Ia memang gadis yang penurut. Apa lagi, dua hari sebelum hari pernikahan Rosa baru mengetahui jika dirinya bukanlah putri kandung dari orang yang sudah merawatnya.
Malam semakin larut. Rosa dan Raihan sudah berada di dalam kamar pengantin. Namun, Raihan sama sekali tidak tertarik dengan istrinya. Ia justru sibuk menghitung uang sebesar lima ratus juta rupiah pemberian orang tuanya.
Rosa hanya duduk di tepian ranjang. Ia masih mengenakan pakaian pengantin dan belum menghapus riasannya.
"Mas," panggil Rosa lirih.
"Diam! Aku tau kau menikah denganku karena terpaksa. Dan asal kau tau saja, aku pun sama denganmu. Jadi kau tidak perlu memikirkan malam pertama kita," kata Raihan tanpa memandang Rosa.
Ponsel milik Raihan terus berdering. Rupanya teman-temannya yang tidak tahu jika Raihan baru saja menikah mengajaknya untuk pergi ke klub malam.
Raihan lebih tergoda bujukan teman-temannya dari pada harus menikmati malam pertama dengan gadis asing yang baru dikenalnya beberapa hari lalu.
"Jangan katakan kepada orang tuamu jika aku pergi! Buka kan pintu saat aku kembali!" titah Raihan yang tak dijawab oleh Rosa.
Raihan berjalan mengendap sampai akhirnya ia berhasil keluar dari kediaman mertuanya dengan aman.
Di sisi lain, Rosa mengintip kepergian suaminya dari balik jendela kamar. Air matanya meluncur begitu saja. Di hari sakral ini, Rosa harus mengalami kepahitan lagi setelah ia mendapat kabar buruk mengenai statusnya di keluarga Wijaya.
Rosa teringat beberapa hari lalu, ketika orang tuanya sedang membicarakan wali hakim yang akan menikahkan Rosa. Wanita berusia dua puluh tiga tahun itu pun bertanya kepada orang tuanya, "Mengapa bukan ayah yang menjadi walinya?" tanya Rosa.
Wijaya dan istri tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Tetapi, Rasendra yang merupakan kakaknya dengan selisih delapan tahun mengatakan sebuah kejujuran yang menyakitkan.
"Tentu saja tidak bisa. Kau ini hanya anak pungut! Aku yang meminta mereka untuk segera menikahkanmu dan membuangmu keluar dari rumah ini. Kau ini siapa? Aku tidak mau nantinya berbagi warisan dengan orang asing sepertimu!" ucap Rasendra yang membuat Rosa merasa tertampar.
Kedua orang tuanya mencoba menjelaskan, tetapi Rosa tidak mempermasalahkan itu. Ia mencoba tetap tersenyum dan menerima pernikahan dadakan yang sudah direncanakan.
Tidak ada yang tahu jika Rosa menorehkan senyum palsu. Hati calon pengantin ini menangis dan teriris. Tetapi ia berusaha menyembunyikannya dan tidak menunjukkannya kepada siapa pun.
Seperti malam ini, malam pertama yang harusnya ia lewati dengan Raihan. Ia hanya bisa meringkuk memeluk bantal.
Bukan itu yang Rosa sesali. Ia masih bersyukur bisa menjaga kesuciannya dari pria yang tak pernah ia cintai, hanya saja ... ia begitu menyesali hidupnya.
"Mengapa hidupku menjadi seperti ini? Siapa orang tuaku yang tega membuangku ke panti asuhan?" batin Rosa.
Wijaya memang sempat menceritakan kepada Rosa jika mereka mengadopsi Rosa dari panti asuhan. Ia menginginkan anak perempuan yang tak mungkin bisa istrinya berikan. Tiga tahun setelah melahirkan Rasendra, istri Wijaya divonis mengidap tumor rahim dan dinyatakan tidak bisa hamil.
Rosa menangis semalam hingga ia terlelap. Suara ibunya yang terus memanggil namanya membuat Rosa terbangun.
"Ibu," panggil Rosa dengan kesadaran yang belum penuh.
Ia segera bangun dan mendapati kedua orang tuanya bersama kakaknya berada di kamarnya.
"Di mana, Raihan?" tanya Wijaya yang tentu saja tidak bisa dijawab oleh Rosa.
Sebelum Rosa menjawab, kedua orang tua Raihan masuk ke dalam kamar. Rosa terkejut dan melihat jam di dinding yang baru menunjukkan pukul tiga pagi.
"Bagaimana orang tua Raihan bisa ada di sini?" batin Rosa.
"Di mana Raihan, Rosa? Mengapa kamu sendirian dan masih mengenakan pakaian pengantin?" tanya ibu mertuanya dengan mata yang berkaca-kaca.
Rosa merasa ada yang tidak beres dan memutuskan untuk mengatakan jika Raihan pergi setelah mendapat panggilan telepon.
"Pergi ke mana?" tanya Wijaya.
"Aku tidak tau, Ayah."
Mendengar jawaban dari Rosa membuat kedua orang tua Raihan menangis histeris. Rosa semakin bingung. Apa yang sebenarnya terjadi.
"Ada apa, Ayah?" tanya Rosa. Namun, tak ada seorang pun yang menjawabnya yang membuat Rosa semakin bingung.
"Pak Wijaya, semoga dugaan kami salah. Sebaiknya kita ke rumah sakit sekarang!" ucap ayah Raihan.
Wijaya mengajak Rosa untuk pergi ke rumah sakit. Namun, Rosa masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Kak Rasen, ada apa sebenarnya?" tanya Rosa.
"Kau akan tau nanti. Dasar pembawa sial!" hardik Rasen kepada adik angkatnya.
Sejak kecil, Rasen memang tidak pernah menyukai Rosa. Apa lagi sejak dulu ia tahu jika Rosa bukanlah adik kandungnya.
Rosa tidak berani lagi bertanya kepada siapa pun. Sampai akhirnya mereka sampai di rumah sakit yang ramai dengan polisi dan beberapa wartawan dari media masa.
Rosa yang masih mengenakan pakaian pengantin pun menjadi pusat perhatian. Salah satu wartawan bahkan mendekatinya dan langsung bertanya, "Apakah Anda istri dari salah satu korban?"
Pertanyaan itu membuat Rosa tak mengerti. "Korban apa yang Anda maksudkan?"
"Korban kecelakaan beruntun dua jam lalu."
Jawaban dari wartawan itu membuat Rosa berlari dan kembali bertanya kepada ayahnya.
"Ayah, ada apa sebenarnya?"
"Orang tua Raihan melihat berita kecelakaan di televisi. Salah satu korban mirip dengan Raihan. Mereka mencoba menghubungi Raihan tapi tidak bisa."
"Jadi itu sebabnya mereka datang ke rumah dan mencari Raihan?"
"Iya."
Rosa mengikuti orang tuanya dan juga mertuanya menuju ruang IGD. Mereka ingin memastikan korban kecelakaan itu bukanlah Raihan.
Dua jenazah yang sudah tertutup rapat dan akan dimasukkan ke kamar jenazah menarik perhatian Rosa. Apa lagi ia mengingat warna sepatu yang dikenakan Raihan saat pergi.
"Tunggu, Sus. Apa saya boleh melihatnya?" tanya Rosa kepada dua perawat yang sedang mendorong jenazah itu.
"Tentu saja. Jenazah ini belum teridentifikasi. Mungkin Anda mengenalnya."
Rosa membuka penutup jenazah itu dan langsung jatuh terduduk. Ia menangis dan tak menyangka jika pria yang baru saja menjadi suaminya beberapa jam lalu telah terbujur kaku di hadapannya.
Orang tua Raihan pun histeris. Terutama ibunya. Ia benar-benar tak menyangka jika keputusannya menikahkan Raihan dengan Rosa justru membuat nyawa putra tunggalnya melayang.
"Raihan! Bangun, Nak!" teriak ibunya.
Rasen yang kesal pun memarahi Rosa. Ia menganggap kematian Raihan karena telah menikahi gadis pembawa sial itu.
"Rosa! Jika Raihan tidak menikah denganmu, pasti dia masih hidup! Kau ini istrinya. Apa tidak bisa melarang Raihan pergi malam tadi?" bentak Rasen.
"Kakakmu benar, Rosa! Kenapa kau biarkan putraku pergi? Kenapa?" Ibu Raihan sangat marah. Ia berkali-kali memukuli Rosa dan mendorongnya.
Rosa hanya bisa menangis. Ia pun merasa bersalah namun tak ada yang bisa ia lakukan lagi.
"Ayah, Ibu, aku adalah putra kandung kalian satu-satunya. Aku mohon kalian usir perempuan itu dan jangan biarkan kembali lagi ke rumah. Jika tidak, maka aku yang akan pergi dari rumah!" ancam Rasen kepada kedua orang tuanya.
Wijaya dan istrinya pun tak bisa berkutik. Ia tahu betul jika keinginan Rasen tidak dipenuhi, ia bisa benar-benar pergi dari rumah.
Dengan berat hati, Wijaya mengusir Rosa untuk menjauhi keluarganya.
"Ayah, aku harus ke mana?" rengek Rosa yang tak diindahkan siapa pun.
"Aku tak peduli! Cepat kau pergi menjauh dan jangan pernah kembali ke rumah lagi!"
Bersambung ....
Rosa menjauh dari rumah sakit itu dengan masih mengenakan pakaian pengantin. Ia menangis sepanjang jalan dan tak tahu ke mana ia akan pergi.
Riasan di wajahnya perlahan pudar terkena air mata dan juga peluh. Ia duduk di sebuah halte bus yang kosong. Seraya memikirkan tempat tujuan. Sedangkan ia tidak memiliki uang sepeser pun.
Tanpa Rosa sadari, seseorang telah memperhatikannya dari jauh. Seorang pria muda yang membawa tongkat dan mengenakan kacamata hitam. Ia adalah Andrew Wijatmoko. Pemuda yang mengalami kecelakaan lima belas tahun lalu dan kehilangan penglihatannya.
"Aku mendengar wanita itu diusir. Apakah dia masih berada di halte itu?" tanya Andrew kepada Vero, asistennya.
"Ya, Tuan. Jika Anda melihatnya, Anda akan sedih. Sepertinya dia adalah pengantin baru."
"Bagaimana kau bisa tau?"
"Dia masih mengenakan pakaian pengantin."
"Aku ingin dia bekerja dengan kita."
"Baik, Tuan."
Vero turun dari mobilnya. Ia membukakan pintu untuk Andrew dan menuntunnya mendekati Rosa yang masih menangis meratapi hidupnya yang pilu.
"Selamat pagi, Nona," sapa Vero yang membuat Rosa menoleh tanpa menjawab untuk beberapa detik.
"Anda siapa?" tanya Rosa dengan lirih.
"Kami ingin membawamu ke rumah Tuan Muda."
"Tuan Muda?"
Vero memperkenalkan Andrew yang berdiri tanpa menatap ke arah Rosa.
"Dia adalah Tuan Muda Andrew, dia ingin memperkerjakan Anda sebagai pelayannya."
"Aku tidak bisa." Rosa langsung menolak tawaran itu.
Hal itu membuat Andrew segera berbicara.
"Apa karena aku buta sehingga kau tak mau menjadi pelayanku? Aku sudah ratusan kali mengganti pelayanku. Aku ingin kau mengisi kekosongan jabatan itu," kata Andrew.
"Aku tidak bisa. Kau bisa mencari orang lain saja."
"Kau akan dibayar mahal, memiliki tempat tinggal dan aku akan membantu permasalahan yang kau hadapi."
Jawaban Andrew membuat Rosa berpikir sejenak. Lagi pula, ia tidak memiliki tempat tujuan. Akhirnya Rosa pun menerima tawaran itu.
"Baiklah, aku setuju."
Vero mempersilakan Rosa untuk masuk ke dalam mobilnya. Dalam perjalanan, Rosa yang berstatus menjadi janda kembang ini hanya diam.
Akhirnya mobil mewah itu memasuki sebuah rumah yang sangat besar dan mewah. Vero mempersilakan Rossa untuk turun dan mengikuti Tuan Andrew juga dirinya menuju sebuah ruangan di dalam rumah mewah itu.
Rosa langsung terpukau ketika memasuki ruangan yang megah. Beberapa pelayan bahkan membungkuk. Mereka terlihat sangat menghormati Andrew.
"Nona, ini adalah ruangan Tuan Muda Andrew. Anda akan menjadi pelayan khusus yang harus membersihkan ruangan ini, menyiapkan makanan dan segala keperluannya," kata Vero.
"Baik, aku akan melakukannya."
Salah seorang pelayan masuk ke dalam ruangan Andrew. Ia memberikan sebuah seragam yang harus dikenakan oleh Rossa.
"Ini adalah seragam untukmu. Segera berganti pakaian dan melakukan tugasmu mulai hari ini," kata Vero lagi.
"Di mana aku harus berganti pakaian?"
"Kamar mandi pelayan ada di lantai bawah di dekat tangga. Silakan kau berganti pakaian di sana."
"Baik."
Rossa pun pergi untuk mengganti pakaiannya. Kemudian Vero segera menutup pintu ruangan Andrew dan mendekati Tuan Mudanya itu.
"Apa Anda yakin akan memperkerjakan orang asing itu, Tuan?" Tanya Vero.
"Bukankah semua orang yang bekerja di sini mulanya adalah orang asing? Siapa nama gadis itu?"
"Aku lupa menanyakannya, Tuan."
"Aku harap gadis itu tidak sama dengan pelayan-pelayanku sebelumnya. Sekali saja aku mengetahui jika dia mengambil kesempatan dan mencuri barang-barang di kamarku, aku akan memecatnya hari itu juga."
"Baik, Tuan."
Andrew memang pemuda yang dingin. Ia sudah berkali-kali mengganti pelayannya, karena kebanyakan dari mereka pasti akan mencuri sesuatu yang berharga di ruangannya itu. Apa lagi para pelayan tahu jika Andrew tidak akan melihat apa yang mereka lakukan.
Ketika kecil Andrew adalah anak yang sangat periang. Andrew sangat dekat dengan mendiang ayahnya yang bernama Wijatmoko.
Suatu hari sang ayah mengajaknya untuk pergi berbelanja hanya dengan Andrew saja. Namun, di dalam perjalanan mereka mengalami kecelakaan hebat.
Wijatmoko harus kehilangan nyawanya dan Andrew yang mengalami luka parah harus menerima kenyataan pahit ketika ia divonis dokter tidak bisa melihat lagi. Kecuali ia mendapatkan donor mata.
Kesedihan Andrew belum sembuh. Ia belum bisa menerima kenyataan jika ayahnya sudah meninggal dunia. Akan tetapi ibunya yang bernama Fariana harus menikah lagi dengan seorang duda beranak satu yang bernama Haris Setiawan. Hal itu membuat Andrew memiliki adik tiri bernama Melisa Setiawan.
Selama ini Andrew memang tidak bisa menerima kehadiran Melisa dan Haris. Ia sama sekali tidak pernah menyetujui pernikahan ibunya, namun Andrew kecil saat itu tidak bisa melawan ibunya.
Hanya Lucky Prambana, ayah dari Vero yang saat itu menjadi asisten ayahnya yang selalu menghiburnya. Bahkan Lucky sendirilah yang berusaha mencari donor mata untuk Andrew.
Beberapa kali Andrew akan melakukan pendonoran. Entah mengapa hal itu tiba-tiba saja menjadi gagal. Lucky merasa ada yang tidak beres. Akhirnya ia menyelidiki kejadian itu dan mendapati jika Haris lah di balik semua ini.
Lucky menduga jika Haris sengaja menikahi Fariana hanya demi harta dari Wijatmoko. Lucky juga menduga jika Haris sengaja menggagalkan pendonoran mata Andrew agar ia tetap buta dan Melisa yang akan menguasai seluruh harta peninggalan Wijatmoko.
Lucky tidak bisa tinggal diam. Akhirnya ia memutuskan untuk bertindak secara diam-diam. Sampai akhirnya Andrew mendapatkan donor mata dan operasi itu berhasil dilakukan tanpa sepengetahuan siapa pun.
Andrew bisa melihat lagi. Lucky pun mengatakan jika penglihatannya itu harus dirahasiakan dan tidak boleh diketahui siapa pun termasuk ibu kandungnya.
Andrew tidak paham apa yang dimaksudkan oleh Lucky, karena saat operasi pendonoran itu usia Andrew masih 10 tahun. Namun, Andrew masih mengingat betul jika ia harus terus berpura-pura buta.
Anehnya, beberapa hari setelah operasi pendonoran mata itu selesai, Lucky mengalami kecelakaan hebat dan ia tidak bisa diselamatkan.
Setelah kejadian itu, Andrew menjadi sangat murung. Ia tidak memiliki siapa pun lagi yang ada di pihaknya. Sampai ketika usianya mencapai 18 tahun, Andrew memohon kepada ibunya untuk mencarikan seorang teman. Andrew meminta kepada ibunya agar Vero Adrian Pratama, anak dari Lucky Prambana yang harus menjadi teman dan asistennya.
Rupanya Vero dan Andrew memang sudah berteman sejak kecil. Namun setelah kematian Lucky, Andrew pun tidak bisa mengunjungi Vero lagi.
"Tuan, mengapa Anda melamun?" tanya Vero.
"Aku masih memikirkan perkataan ayahmu saat itu. Mengapa ia harus memintaku untuk berpura-pura buta di depan sama orang?"
"Aku tidak yakin, Tuan. Tapi sepertinya ini mengenai ayah tiri Anda yang menginginkan agar Anda tetap menjadi buta selamanya dan dia bisa menguasai harta peninggalan Tuan Wijatmoko."
"Iya, aku tahu. Kita memang harus menyelidiki masalah ini secara diam-diam."
"Anda juga harus berhati-hati, Tuan. Anda tidak boleh melakukan hal-hal yang membuat mereka curiga dan mengetahui jika Anda sebenarnya sudah tidak buta lagi."
Perkataan Vero dan Andrew didengar oleh Rossa yang baru saja kembali setelah berganti pakaian. Ia baru saja membuka pintu dan akan menutupnya. Akan tetapi perkataan Vero membuat dirinya terkejut dan menutup pintu itu hingga bersuara.
Vero menoleh dan mendapati Rossa sudah berada di belakang mereka.
"Apa kau mendengarnya?" tanya Vero.
"Ti-ti-tidak," jawab Rosa dengan gagap.
Andrew pun kesal. Ia meminta Vero untuk mengunci ruangannya.
Lantas Andrew membuka kacamata hitamnya dan berjalan mendekati Rossa. Ia menarik tangan janda kembang itu hingga tubuh Rosa berada begitu dekat dengan tubuhnya.
"Aku yakin kau mendengar semuanya. Lihatlah, aku memang tidak buta! Kau harus merahasiakan ini dari siapa pun atau aku akan membuangmu di jalanan!" ancam Andrew.
Bersambung...
Napas hangat Tuan Muda itu begitu terasa di wajah Rossa masih. Andrew mengancamnya, tapi justru Rossa hanya mematung melihat ketampanan pria yang ternyata pura-pura buta itu.
“Jawab aku! Apa kau mendengarnya?” teriak Andrew yang membuat Vero langsung menenangkan tuannya agar tidak menimbulkan keributan lain di luar sana.
“Tuan harus menjaga sikap. Meskipun rumah ini terpisah dengan kediaman orang tua Anda, tapi di tempat ini tidak ada yang bisa kita percaya. Karena semua pelayan di sini adalah suruhan dari Ayah tiri Anda,” jawab Vero yang langsung menenangkan Andrew.
Andrew melepaskan Rossa dan mendorongnya hingga ia terpojok di tembok. Kedua sikunya yang menghantam dinding dingin itu membuatnya merasa kesakitan. Ia hanya merintih, menunduk dan menjawab lirih apa pertanyaan dari Andrew tadi.
“Ya, Tuan. Aku mendengarnya. Aku tidak akan mengatakan rahasia ini kepada siapa pun. Bukankah Anda sudah berjanji akan membantuku?”
Andrew berdecak pinggang dan kembali mengenakan kacamata hitamnya.
“Apa yang kau inginkan?”
“Aku ingin tahu siapa orang tua kandungku sebenarnya. Kenapa mereka membuangku ke panti asuhan,” balas Rossa yang menitikkan air mata.
Mendengar jawaban sedih dari wanita asing itu, membuat Vero dan Andrew saling bertatap wajah. Vero mendekati Rossa dan mengusap punggungnya. Ia tidak tahu jika banyak kesedihan di balik ketegaran wanita yang ditemuinya di jalan.
“Aku ikut bersedih dengan kisahmu. Aku akan membantumu mencari tahu siapa orang tua kandungmu,” jawab Vero dengan lembut. Membuat Rossa sedikit tenang. Lantas wanita berusia 23 tahun itu mengangkat wajahnya dan memandang Vero. Terdapat sebuah kehangatan pada wajah asisten dari Tuan Muda yang akan dilayaninya itu.
“Terima kasih banyak, Tuan,” jawab Rossa.
“Aku bukan Tuanmu. Panggil saja aku Vero. Tuanmu ada di sana, Tuan Muda Andrew,” tunjuk Vero pada Andrew yang masih berdiri di depan Rossa.
“Iya, Vero.”
“Siapa namamu?” tanya Andrew dengan ketus.
“Rossalina Andrea. Aku dipanggil Rossa oleh keluarga angkatku. Tapi aku tidak tahu apa itu namaku yang sebenarnya atau bukan.”
“Baiklah, Rossa. Mulai hari ini kau bekerja denganku. Aku juga akan meminta Vero untuk menyelidiki tentang asaasal-usulmu. Satu hal lagi, kau tidak boleh berbicara sembarangan kepada orang asing dan juga kepada siapa pun yang bekerja di sini. Kau paham?”
“Baik, Tuan.”
“Rossa, Kau bisa ke bawah dan menemui kepala pelayan yang tadi memberimu seragam. Tanyakan kepadanya apa yang harus kau kerjakan,” kata Vero dengan menebar senyuman, membuat dua lesung pipinya pun terlihat.
“Ya, aku akan ke bawah dan menanyakan tentang pekerjaanku.”
Rossa keluar dari kamar dan menutup pintu itu rapat-rapat.
“Tuan, apa Anda yakin akan membantunya mencari tahu tentang asal-usul dari Rossa? Aku tadi hanya basa-basi saja,” ucap Vero.
“Bukankah selama ini kita seperti detektif? Mencari asal-usul seseorang bukanlah hal yang sulit. Yang sulit adalah mencari tahu penyebab kecelakaan 15 tahun lalu, mencari tahu penyebab kematian ayahmu dan mencari bukti perbuatan busuk Ayah tiriku.”
“Ya, itu memang sulit. Bertahun-tahun kita sudah mencobanya tapi tidak membuahkan hasil.”
“Cari tahu mengenai keluarga angkat dari Rossa dulu!”
“Ya, Tuan. Aku akan memerintahkan bawahanku untuk mencari tahu tentang keluarga itu.”
Andrew dan Vero memiliki anak buah rahasia. Karena semua pelayan yang ada di kediamannya adalah orang kiriman dari ayah tirinya. Bisa saja mereka adalah mata-mata yang melaporkan setiap kejadian dan gerak-gerik Andrew dan Vero kepada tuannya.
Setiap pagi Andrew duduk di sebuah kursi bermeja di taman untuk menikmati sarapan. Rossa datang membawa nampan berisi segelas susu dan sandwich kesukaan Andrew.
“Ini makan pagi Anda, Tuan,” kata Rossa seraya memberikan sandwich dan segelas susu hangat di meja di dekat Andrew.
Rossa memundurkan langkahnya dan menunggu Tuan Mudanya menghabiskan sarapan pagi. Tetapi Rossa merasakan ada hal yang aneh dengan salah satu pelayan yang sedang membersihkan rumput di taman. Tanpa sengaja Rossa melihat orang itu memutar jam tangannya. Rossa teringat dengan jam tangan yang dikenakan Rasen, kakak angkatnya, yang terdapat sebuah kamera di dalamnya.
Lantas Rossa menoleh ke kanan dan kiri namun tidak mendapati Vero ada di dekat Andrew. Rossa harus bergerak cepat dan mendekatkan segelas susu hangat dan juga sandwich ke arah Andrew. Kemudian ia memegang tangan kanan Andrew dan menempelkannya pada gelas berisi susu itu.
“Tuan, pria yang sedang memotong rumput itu memiliki kamera di jam tangannya,” ucap Rossa dengan lirih.
Andrew hanya terdiam. Dari balik kacamata hitamnya ia memperhatikan pria yang dimaksud oleh Rossa. Tangan kirinya juga berpura-pura meraba-raba meja untuk mencari piring di mana sandwich itu diletakkan oleh Rossa.
“Tolong dekatkan sandwichku,” ucap Andrew dengan keras agar pria yang sedang memotong rumput mendengarnya.
“Baik, Tuan,” jawab Rossa.
Andrew kemudian mengambil sandwich dan menggigitnya. Ia masih memperhatikan pria sedang memotong rumput itu.
Tak berselang lama Vero datang dengan Fariana, ibu kandung dari Andrew. Fariana tidak datang sendiri. Ia bersama suaminya yang bernama Haris dan juga Putri Adelina, tunangan dari Andrew.
“Tuan, Aah dan Ibu Anda datang. Nona Adelina juga datang untuk menjenguk Anda.” Mendengar jawaban Vero, Andrew langsung meletakkan sandwich yang masih ada ditangannya. Ia memang tidak suka dengan kedatangan Delina, karena gadis itu adalah gadis pilihan dari Haris.
“Untuk apa Delina datang ke sini, Ayah, Ibu?” tanya Andrew dengan ketus.
“Delina adalah gadis yang baik, dia mau menerimamu apa adanya. Dia akan membantumu mengelola bisnis mendiang Ayah kandungmu,” balas Haris.
“Membantuku mengurus bisnis untuk apa? Bukankah aku dan Melisa sudah cukup membantu mengelola bisnis itu?” sindir Andrew.
Ya, Melisa adalah anak kandung dari Haris Setiawan atau adik tiri dari Andrew. Haris memperkerjakan Melisa dengan jabatan penting di kantor ayah kandungnya. Andrew memang tidak mempermasalahkan itu, tapi bukan berarti dia diam saja karena dia juga memiliki seorang mata-mata di kantor mendiang ayahnya.
“Tidak begitu, Andrew. Kau anak kandung dari mendiang Wijatmoko. Kau juga memiliki bagian itu, tapi karena kekuranganmu yang tidak bisa melihat, jadi kau harus memiliki seseorang yang membantumu dan Ayah memilih Delina untukmu. Dia juga berasal dari keluarga baik-baik kan?”
Orang tua Delina adalah rekan kerja dari Haris yang memiliki sifat yang tamak. Sama saja seperti Harris tentunya. Itulah sebabnya Delina mau dijodohkan dengan Andrew yang buta.
“Ayah, Ibu maafkan aku. Aku baru mau mengatakannya sekarang,” kata Andrew lagi. Tapi tatapannya masih tertuju pada pria yang sedang memotong rumput itu.
“Katakan Andrew! Apa yang ingin kau katakan?” tanya Fariana.
“Aku tidak bisa melanjutkan perjodohan dengan Delina.”
Jawaban Andrew membuat Delina ke dan Harris kesal. Namun tidak dengan Fariana. Fariana adalah wanita yang baik, hanya saja ia tidak sadar telah diperalat oleh suaminya.
“Kenapa Andrew? Kenapa kamu menolak Delina?” tanya Harris dengan nada yang sedikit meninggi.
“Aku sudah mencintai wanita lain.”
“Apa? Siapa yang kau cintai itu?” tanya Fariana.
“Rossa. Rosalina Andrea. Aku Mencintainya.”
Jawaban Andrew membuat Vero dan Rossa sama-sama membulatkan mata karena terkejut.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!