NovelToon NovelToon

The Devil Husband

BAB 1. PERNIKAHAN TAK DIINGINKAN

Related dengan novel 👉 PENGANTINKU, LUAR BIASA. Semua Tokoh, Tempat, Alamat berhubungan dengan novel tersebut.

Dan semua Bangunan merupakan kehaluan author. Jadi jangan disangkutin ke dunia nyata yaa.. Just for fun, bestie. Happy enjoy 🥰

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Karpet putih membentang sepanjang pintu utama hingga podium depan di sebuah gereja kota Palembang. Sebentar lagi tempat tersebut menjadi tempat bersejarah bagi Tiger dan Jihan untuk menempuh hidup baru.

Tepat satu bulan setelah pengakuan Tiger ingin menikahi Jihan, acara pun akhirnya digelar dengan sederhana saja. Hanya dihadiri beberapa kerabat saja. Jihan sebenarnya menolak keras permintaan pria itu, namun mengingat aib yang akan ditanggung keluarga Isvara membuatnya terpaksa menyetujuinya.

Pagi yang begitu cerah, namun begitu kelam bagi Jihan. Di kediaman Isvara, Jihan terus menitikkan air mata di kamarnya. Bibi Fida yang menemaninya, hanya bisa membelai punggung perempuan itu dengan lembut.

Khansa -- adik tiri Jihan yang memaksanya pulang ke Kediaman Isvara sejak tahu kehamilan Jihan, sudah mendengar kabar tersebut. Namun ia tidak bisa datang karena bertepatan dengan hari pertama masuk kuliah di luar negeri. Ditambah kesibukan Leon, suaminya yang tidak bisa ditinggalkan.

"Non, sudah ya. Jangan menangis terus. Bibi yakin ini jalan terbaik untuk Non Jihan dan keluarga," ucapnya pelan berusaha menenangkan.

Jihan mengangguk sembari menyeka air matanya. Meski isakannya masih terdengar. Bukannya bahagia di hari pernikahan, Jihan justru merasa tertekan.

Ketakutan melingkupi hatinya mengingat sikap frontal dan kasar calon suaminya. Hatinya berdenyut nyeri tatkala mengingat pelecehan seksual yang dialaminya hingga saat ini tertanam benih di rahimnya.

Jika bukan karena Khansa, Jihan mungkin sudah mengakhiri hidupnya karena tak kuasa menanggung aib yang hanya membuat malu dirinya dan keluarga.

"Iya, Bi. Semua demi ayah dan Khansa. Aku sudah banyak berhutang budi pada mereka. Aku nggak mau membuat keluarga ini malu," aku Jihan memejamkan mata sembari menghela napas panjang. Menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk menghilangkan sesak di dadanya.

"Yang sabar ya, Non. Semoga setelah ini Non Jihan mendapat kebahagiaan," sambung Bibi Fida membelai rambut panjangnya. Jihan mengangguk pelan.

Setelah beberapa saat, Jihan mulai tenang. Ia bergegas mencuci mukanya lalu segera dimake over oleh MUA yang menunggu sedari tadi. Mereka segera melaksanakan tugasnya masing-masing. Ada yang merias wajah, menyiapkan gaun, lalu ada yang bertugas menata rambut Jihan. Wajah sembabnya mampu tersamarkan dengan make up yang mengukir wajah cantiknya.

"Tok! Tok!"

"Jihan, sudah siap belum? Kita harus segera berangkat," ucap Fauzan--sang ayah tiri setelah mengetuk pintu.

"Sudah, Yah!" sahut Jihan yang memang sudah siap, ia duduk dengan tegang di depan cermin yang memperlihatkan keanggunannya dalam pantulan cermin tersebut. Gaun indah tanpa lengan berwarna putih bersih, dengan veil transparan menutup wajahnya.

Fauzan membuka pintu kamar tersebut, lalu mengajaknya segera berangkat karena acara akan segera dimulai.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Tepat pukul 10 pagi, rombongan pengantin pria sudah datang terlebih dahulu. Tiger didampingi Milano Sebastian, sang ayah angkat kini berdiri gagah di pintu masuk. Napasnya dibuang dengan kasar saat melihat rangkaian bunga yang ditata sedemikian rupa di ruangan tersebut.

Tubuh kekarnya berbalut tuxedo berwarna putih, dengan celana bahan berwarna senada. Tidak ada senyum sedikitpun yang tersungging dari bibirnya. Tatapannya dingin hingga bisa membekukan orang-orang di sekelilingnya.

Acara yang diselenggarakan hanya dihadiri beberapa kerabat dekat saja. Tidak mengundang orang luar sekalipun para karyawan mereka.

"Bersikaplah apa yang seharusnya kamu lakukan!" bisik Milano di telinga Tiger.

"Iya, Yah!" jawabnya singkat, menoleh sekilas pada pria paruh baya yang mendampinginya.

Pembawa acara kini mempersilakan pengantin naik pelaminan. Dengan langkah pelan namun tegas, pria itu berjalan di atas karpet putih hingga berdiri di depan pendeta.

Tak berapa lama, terdengar derit pintu terbuka. Semua pandangan tertuju pada sesosok wanita yang menundukkan pandangan. Gaun putih dan indah membalut tubuh rampingnya. Buket bunga mawar putih digenggam erat dengan kedua tangannya.

"Ayo, Ji! Tegakkan kepalamu," ajak Fauzan melingkarkan lengan sembari menatap anak tirinya itu.

Jihan menahan air matanya agar tidak tumpah. Dadanya teramat sesak, tenggorokannya tercekat. Perlahan ia mengangkat kepala dan menyusupkan tangan pada lingkaran lengan sang ayah.

Kakinya melangkah dengan sangat berat. Manik mata sendunya bersirobok dengan mata tajam Tiger. Keduanya sama-sama meluncurkan kebencian dari sorot mata keduanya.

Jihan berdebar kasar, ingin rasanya ia melarikan diri dari jeratan acara sakral tersebut. Tapi tubuhnya terasa terkunci dan seperti robot yang tidak bisa menolak setiap perintah yang ia terima.

Jemari lentiknya yang terbalut kain burkat berwarna putih menggenggam erat lengan Fauzan. Bahkan hingga mereka berhenti di depan Tiger.

"Saya serahkan Jihan padamu. Tolong jaga dia, cintai dia. Kalau kamu tidak menginginkannya, kembalikan padaku!" ujar Fauzan melepas cengkeraman tangan Jihan, namun justru Jihan semakin mengeratkannya. Tiger hanya mengangguk sedikit tanpa berucap sepatah kata pun.

Bulir keringat mulai bermunculan di keningnya. Ketakutan masih melingkupi hati dan jiwanya. Jihan masih trauma melihat sosok Tiger.

Fauzan menoleh pada wajah putrinya yang memucat. Ia menepuk-nepuk punggung tangan Jihan sembari berkata, "Tidak apa-apa, tenanglah," bisik Fauzan meyakinkan.

Beberapa sanak saudara yang hadir turut tegang melihat pasangan di depannya. Setelah beberapa kali menghela napas panjang, Jihan sedikit tenang. Meski gemetar, lengannya dituntun dan ditautkan dengan telapak tangan Tiger.

Fauzan mundur lalu duduk di tempat yang sudah disediakan untuknya. Dada Jihan berdegub hebat saat bersentuhan lagi dengan Tiger sejak satu bulan terakhir mereka bertemu.

Acara demi acara pun berjalan dengan semestinya secara runtut. Pemberkatan, pengucapan janji pernikahan telah diikrarkan dari bibir keduanya secara bergantian, kemudian memasuki sesi tukar cincin.

Mereka menyematkannya tanpa perasaan. Hanya sekedarnya saja dengan ekspresi datar. Seluruh tamu yang hadir bertepuk tangan lalu berteriak agar mempelai pria mencium pengantin wanita.

'Tidak! Jangan!' teriak Jihan dalam hati.

Kedua bola matanya menatap nanar manik hitam Tiger. Pria itu semakin mendekatkan kepalanya, membuka veil yang menutup wajah Jihan lalu mencium kening perempuan itu.

Lelehan air mata kembali mengalir di kedua pipinya. Sekujur tubuhnya gemetar hebat merasakan sentuhan bibir Tiger di keningnya. Gemuruh tepuk tangan para tamu pun menggema di ruangan tersebut. Mereka mengira Jihan menangis haru.

"Hapus air mata nggak berguna itu! Jangan perlihatkan pada orang-orang! Memalukan!" desis Tiger dengan geram yang masih dalam posisi sangat dekat. Kedua tangannya masih menggenggam lengan Jihan.

"Aku tidak menginginkan pernikahan ini!" lirih Jihan memberanikan diri menatap pria di hadapannya.

"Kamu pikir aku juga menginginkannya? Tidak! Sama sekali tidak! Aku bahkan ragu jika anak itu adalah darah dagingku!" lanjutnya bersuara lirih namun menghujam jantung Jihan.

Jihan membuang mukanya, sakit sekali mendengar ungkapan pria itu. Hatinya hancur tak berbentuk. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya terasa semakin melemah. Setelah mereka dinyatakan resmi menjadi pasangan suami istri, Jihan meluruh ke lantai dan tidak sadarkan diri.

...🔥🔥🔥🔥🔥...

...Flashback~...

Sekitar dua bulan yang lalu, Tiger meminta salah satu pelayan wanita yang bekerja di tempatnya itu datang ke ruangannya usai membuat keributan dengan pengunjung lain.

Kilat tajam terpancar dari kedua mata elang Tiger. Pria berperawakan tinggi dan berparas tampan itu, menyeringai dingin. Tatapannya memindai tubuh sexy Jihan. Satu tangannya memainkan rahang tegas yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Lidahnya menjulur membasahi bibir yang sedikit berisi.

Seruan ludah yang ditelan Jihan bahkan terdengar di penjuru ruangan yang cukup besar itu. Manik sayunya memancarkan ketakutan. Ia mengerjap dengan cepat. Dadanya mulai berdetak tidak karuan.

"Tu ... Tuan," lirih Jihan terbata-bata. Ia memberanikan diri untuk menyapa pria itu, setelah beberapa lama mereka terdiam dalam keheningan. Hanya saling melempar pandang dengan tatapan berbeda.

Pria itu menegakkan tubuh, menggerakkan kepalanya hingga lehernya terdengar bergemeletuk. Satu sudut bibirnya terangkat, ekor matanya masih menatap sinis. Kaki panjangnya terayun hingga posisinya semakin dekat dengan Jihan.

Jihan refleks memundurkan langkahnya, kedua kakinya diseret semakin menjauh dari pria di hadapannya. Panik semakin mendera, saat Tiger semakin merapat dengan tatapan lapar. Seolah hendak melahapnya hidup-hidup.

"Tuan mau apa?" Tubuh Jihan mulai gemeteran. Jantungnya bertalu kuat, dadanya seperti dipukul-pukul dari dalam.

"Aku mau ... kamu!" desis Tiger tepat di telinga Jihan. Tubuh wanita itu memang sangat menggoda, hanya dengan melihatnya saja, jiwa lelakinya bangkit seketika.

"Tidak, Tuan! Tolong jangan!" elak Jihan semakin ketakutan. Sekujur tubuhnya bergetar hebat. Ibunya dipenjara dan dia kabur dari rumah ayah tirinya.

Jihan masih trauma, ia pernah memberikan segalanya, termasuk mahkota terindah pada lelaki yang sangat dicintainya. Namun, perjalanan cintanya harus berakhir tragis. Beruntung dia tidak sampai mengandung benih Hendra--mantan kekasihnya.

Belahan dada Jihan yang basah usai bertengkar dengan pengunjung bar, memperlihatkan lekukan yang memukau di mata Tiger. Debaran kasar dada perempuan itu semakin membuat hasratnya menanjak.

Rok span yang dipakai, berjarak satu jengkal saja dari pinggang. Ia memang tidak punya pakaian layak pakai. Sejak dulu penampilannya selalu sexy dan menggoda.

Punggung Jihan terbentur dinding ruangan itu. Kepalanya terus menggeleng, air matanya mulai menyeruak dari kedua manik kelamnya saat pria itu menghimpit dan mengurungnya.

"Dengar! Aku selalu bisa mendapatkan apa yang aku inginkan! Apa pun itu!" tandasnya terdengar seperti nada ancaman. Tangannya langsung mencengkeram benda kenyal di dada Jihan dengan kasar.

Jihan tersentak, matanya membelalak dan menahan napas untuk sesaat. "Tolong lepaskan saya, Tuan!" Jihan masih mencoba mempertahankan diri. Meski sekujur tubuhnya melemas karena getaran hebat.

"Ya! Tapi nanti setelah kamu melayani aku!" tegas Tiger tidak menerima penolakan.

"Enggak, Tuan. Tolong jangan lakukan itu!" pekik Jihan menahan lengan kekar Tiger.

Tiger mendengkus saat menerima penolakan dari perempuan itu. Darahnya mendidih dengan rahang mulai mengeras. Tangannya mencengekeram kuat dagu runcing Jihan, mengarahkan matanya tepat pada tatapan tajamnya.

"Beraninya kamu menolakku!" berang Tiger dengan nada tinggi tepat di wajah

Jihan memejamkan matanya kuat, napasnya tercekat dan jantungnya seolah tertancap ribuan jarum.

Tiger semakin merapatkan tubuhnya hingga tak berjarak. Pria itu dengan rakus dan ganas melahap bibir Jihan. Tidak ada belas kasih meski Jihan meronta dan lelehan air mata mengalir begitu derasnya, membasahi pipi wanita itu.

Jarinya menjulur pada kepemilikan Jihan, memainkannya dengan sedikit kasar. Jihan mengernyit, merasakan sakit tak berperi. Tubuhnya melemas karena sedari tadi terus meronta. Ia tidak bisa mengelak kekuatan Tiger yang sudah terbakar gairah. Penolakan Jihan, membuat Tiger semakin ingin menerjangnya.

"Kau terus meronta, tapi tubuhmu tidak bisa menolaknya!" cibir Tiger saat gadis itu mengejang dan mengeluarkan cairan dari kepemilikannya.

Pria kejam itu menyeringai dingin. Dengan sekali tangkap, dia menggendong Jihan dan melemparkannya di sofa. Tidak ada yang bisa dilakukan perempuan itu selain menangis pasrah. Segala rasa berkecamuk dalam hatinya. Takut, marah, sakit bercampur aduk jadi satu.

Dengan kasar Tiger membabi buta merobek pakaian yang dikenakan Jihan. Melihat kemolekan gadis itu, Tiger semakin bersemangat. Tangannya mencengkeram kedua lengan Jihan, menguncinya di atas kepala. Kaki Jihan terus menendang-nendang namun Tiger segera menguncinya. Dan dalam sekali hentakan, ia pun mengoyak milik wanita itu.

"Cih! Sok nolak tapi ternyata ...." cebik Tiger saat mengetahui kondisi Jihan yang sudah tidak perawan sambil terus memacu di atas perempuan itu, menuntaskan hasratnya.

'Tuhan! Apa belum cukup semua penderitaan yang kau berikan untukku?' jerit Jihan dalam hati memejamkan matanya, lelehan air matanya semakin deras. Dadanya teramat sesak, seperti ada beban berat yang menghantamnya.

Seperti binatang buas yang berhasil menangkap mangsa, Tiger terus bergerak mencari kepuasannya. Tanpa perasaan, mengabaikan jeritan dan air mata Jihan. Hingga menghentak sekuat tenaga, saat meledakkan benih di dalam rahim perempuan itu.

Pikiran Jihan sudah berhamburan kemana-mana. Hancur tak berbentuk lagi. Hatinya terasa teremas tangan-tangan tak terlihat.

Bersambung~

BAB 2. INI ANAKMU!

Tiger menatapnya jengah. Ekspresinya sangat dingin. Semua orang yang hadir berdiri dan melongokkan kepala ke depan, tentu saja dilanda kepanikan saat melihat Jihan tergeletak di lantai. Tiger menggeram dalam hati, kebenciannya semakin merambat dalam aliran darahnya. Ia mengira perempuan yang sudah menjadi istrinya itu hanya drama saja.

"Tiger! Apa yang terjadi?" pekik Milano berlari ke depan bersama Fauzan dan Bibi Fida. Sedangkan Tiger hanya mengedikkan kedua bahunya acuh. Sama sekali tidak ada rasa iba sedikit pun.

Mereka berjongkok untuk melihat kondisi Jihan. Fauzan membalikkan tubuh Jihan, meletakkan kepala pengantin itu pada pangkuannya. Rona wajahnya berubah pucat seputih kapas. Ujung tangan dan kakinya terasa begitu dingin. Bibi Fida menggosoknya bergantian.

"Jihan! Jihan!" ucap Fauzan menepuk-nepuk pipinya.

"Tiger! Jangan diam saja! Bawa istrimu ke mobil. Dia pasti kelelahan," titah Milano memekik melihat putranya diam saja.

Dengan malas Tiger meraih tubuh Jihan, lalu melangkah tegas meninggalkan tempat tersebut. Matanya menatap tajam ke depan seiring dengan langkah kakinya yang panjang.

Sampai di pelataran, salah satu anak buah Tiger membukakan pintu penumpang belakang. Pria itu melempar Jihan di kursi tanpa membenarkan posisinya lalu menutup pintu dengan kasar.

Bibi Fida yang menyusul di belakangnya terkejut sambil menutup mulutnya, ketika melihat perlakuan kasar dari Tiger. Ia menghadang langkah pria itu saat hendak duduk di kursi kemudi.

"Tuan, maaf. Tuan akan membawanya ke mana? Saya harus ikut karena ini perintah dari Non Sasa!" ucapnya memberanikan diri.

"Dia sudah menjadi istriku! Terserah aku mau bawa dia ke mana. Jangan lagi ikut campur dengan urusan kami!" tegasnya melayangkan tatapan tajam yang seketika membuat Bibi Fida bergidik.

Tiger masuk dan menghempaskan pintu mobil dengan keras hingga membuat Bibi Fida terjingkat. Fauzan baru tiba dan berdiri di sebelah Bibi Fida yang masih meremat dadanya.

"Ke mana dia akan membawanya?" tanya Fauzan menatap mobil yang dikendarai sang menantu, melaju dengan kecepatan tinggi.

"Tidak tahu, Tuan. Tuan Tiger melarang untuk ikut campur urusan beliau," jawabnya dengan perasaan takut dan khawatir.

Selama satu bulan penuh, Jihan semakin dekat dengan Bibi Fida. Bahkan ia sering tidur di kamar Bibi Fida yang tidak begitu luas, karena ingin ditemani. Hormon kehamilannya sering membuatnya merasa sedih, kesepian dan selalu ingin disayang. Hanya pada Bibi Fidalah, Jihan mengadu segala keluh kesahnya. Karenanya, ia merasa sangat khawatir pada Jihan.

"Emm ... kita tunggu di rumah!" tandas Fauzan berbalik dan melenggang pergi menuju mobilnya.

Bibi Fida mengangguk. Ia beralih menuju mobil iring-iringan kerabat untuk pulang ke kediaman Isvara. Hatinya berdenyut nyeri memikirkan nasib Jihan. Melihat dari raut wajahnya saja, ia bisa menilai bagaimana gelagat pria itu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Mobil pengantin yang ditumpangi Tiger dan Jihan melaju dengan kecepatan tinggi. Sesekali pandangan Tiger mengarah pada pantulan tubuh Jihan melalui spion yang menggantung di langit-langit mobil.

Perempuan itu masih memejamkan matanya rapat. Bahkan posisinya masih sama, terlihat sangat tidak nyaman. Namun Tiger sama sekali tidak peduli.

Hingga satu jam kemudian, mereka sampai di salah satu villa yang terletak tak jauh dari resort yang ia miliki. Sengaja ia menjauh dari semua keluarga, agar bebas dari segala tuntutan yang memaksanya berbuat baik pada wanita yang sudah resmi menyandang gelar istri itu. Tiger juga ingin membebaskan diri dari pengawasan Leon.

"Heh, bangun!" ucap Tiger menepuk-nepuk pipi Jihan, setelah membuka pintu penumpang.

Tidak ada pergerakan sama sekali dari Jihan. Wajahnya semakin pucat, bahkan seluruh permukaan kulitnya terasa dingin.

Ekor mata Tiger menangkap sebuah mobil yang berhenti di depan gerbang villa. Ia mengembuskan napas berat. Lalu meraih tubuh Jihan yang terasa cukup berat itu dan membawanya masuk.

Ekspresi dingin dan seringai kejam masih tergambar jelas pada raut wajah Tiger. Giginya terus bergemeletuk menahan amarah. Langkah kakinya panjang dan tegas, sorot matanya seperti belati yang siap menhujam apa pun di depannya.

"Bukakan kamar!" tegas Tiger pada penjaga Villa.

Ada seorang wanita paruh baya yang bertugas membersihkan villa itu, dan dua laki-laki untuk berjaga di luar. Setidaknya, dia bebas melakukan apa pun di tempat ini.

Sebuah bangunan minimalis berlantai dua dengan suasana asri dan tenang. Tiger menaiki tangga dengan perlahan. Dan setelah pintu kamar terbuka, ia menghempaskan tubuh Jihan dengan kasar hingga tubuhnya terpantul di ranjang empuk itu.

Bi Sari, sang pelayan melebarkan matanya di ambang pintu kala melihat perlakuan bosnya itu. Tiger berbalik lalu menutup pintu dengan keras membuat Bi Sari terkejut lalu mundur seketika.

Deru napasnya terdengar kasar. Tangannya mengepal dengan kuat, berbalik dan melangkah panjang pada ranjang. "Heh, bangun! Nggak usah pura-pura!" geramnya menepuk-nepuk pipi Jihan. Masih tidak ada gerakan apapaun. "Bangun, perempuan sialan!" teriaknya disertai sebuah tamparan keras hingga membekas di salah satu pipi Jihan.

Entah setan apa yang merajai hatinya. Kini Tiger meraih air putih di atas nakas lalu menuangkannya tepat di wajah Jihan dan melemparkan gelas kosong itu hingga membentur dinding. Serpihannya berhamburan kemana-mana.

"Uhuk! Uhuk!" Jihan terbatuk dan tersadar dari pingsannya. Matanya mengerjap dengan pelan.

"Aww, sshhh!" desis Jihan. Tangannya yang lemah perlahan terangkat menyentuh kening yang terasa berat. Kepalanya serasa berputar-putar. Ditambah pipinya terasa perih, panas dan nyeri yang menjalar.

"Hngh! Nggak usah pura-pura. Kamu bisa bohongin semua orang tapi tidak denganku!" tegas Tiger membelakangi wanita itu.

Jihan beranjak dari tidurnya, meski tubuhnya terasa remuk dan lemah, ia berusaha duduk dan menyandarkan punggungnya.

"Apa maksud kamu?" tanya Jihan menautkan alis.

"Kamu sengaja 'kan mohon-mohon sama Khansa dan keluarganya supaya mereka memaksaku untuk menikahimu?" ucap Tiger bernada geram. Seluruh tubuhnya menegang, kedua bahunya naik turun dengan cepat seiring dengan deru napas kasarnya.

Jihan menarik napas panjang, meraup oksigen sebanyak-banyaknya sembari menahan air matanya agar tidak menyembur menghujani pipinya.

"Aku tidak pernah melakukan itu semua!" tegasnya dengan suara bergetar. Namun ekor matanya menajam menatap lelaki yang sudah berstatus menjadi suaminya.

Tiger berbalik, ia melipat kedua lengannya di dada. Tatapannya menyeringai dingin. "Kau pikir aku tidak tahu rencana busukmu? Kau hamil dengan lelaki lain lalu meminta pertanggung jawabanku dengan mengatasnamakan keluarga, iya kan?" sentaknya merunduk tepat di depan wajah Jihan.

"Ini anakmu! Darah dagingmu!" jelas Jihan yang tenggorokannya mulai tercekat. Ia mulai kesulitan bernapas.

Dengan kasar, Tiger menarik rambut Jihan yang masih tergelung indah hingga perempuan itu mendongak. Lelehan air mata mulai mengalir dari kedua sudut matanya.

"Hei! Kau bahkan sudah tidak suci ketika aku melakukannya padamu! Masih mau mengelak?" ucapnya menggertakkan gigi dengan mata melotot tajam.

Bersambung~

BAB 3. AKU BUKAN PELACUR

Senyum getir tampak terulas di bibir tipis Jihan. Hatinya terkoyak, lagi-lagi kalimat itu kembali menikam jantungnya. Jihan memejamkan matanya yang sudah terasa perih. Tangannya menyeka air mata yang tiada henti mengalir, perlahan manik kecoklatannya kembali terbuka, pandangannya memburam.

"Ya! Aku memang sudah tidak suci lagi. Tapi itu sudah lama terjadi. Aku berani bersumpah jika ini benar-benar anak kamu!" ungkap Jihan.

Tangan Tiger menjulur, menjapit dagu istrinya dengan kasar. "Heh, emang aku bego dan nggak tahu pekerjaan kamu? Kau lupa bekerja di mana?" sentaknya lalu membanting tubuh Jihan hingga terpelanting di kasur lalu ia pergi begitu saja meninggalkan wanita itu. Tiger membuka pintu lalu membantingnya dengan kasar hingga tertutup rapat.

"Hanya pelayan bar, apa yang salah? Aku bukan pelacur," gumamnya menekan dadanya yang terasa sangat sesak juga nyeri.

Ya, kehidupannya sempat berada pada titik terbawah. Ia harus bekerja keras untuk bertahan hidup bersama ibunya di sebuah bar pingguran kota. Sialnya, Jihan harus dilecehkan sang pemilik bar tersebut. Yang tak lain dan tak bukan adalah Tiger hingga hamil.

Tidak sampai disitu juga, ibunya juga dipenjara akibat perbuatannya di masa lalu yang harus dipertanggungjawabkan, pembunuhan berencana, kasus prostitusi, penipuan dan masih banyak lagi.

Sempat ingin mengakhiri hidupnya, Khansa berhasil menemukannya dan marah besar. Ia lalu membawa Jihan pulang ke rumahnya dan Leon, suami Khansa berhasil membuat Tiger bertanggung jawab.

Kedua tangan Jihan melingkari perutnya, ia menejamkan mata seolah mengajak calon anaknya berkomunikasi. 'Nak, kamu harus kuat ya. Cuma kamu yang ibu punya. Setidaknya sampai ibu bisa mendapat uang untuk kita hidup berdua saja,' gumamnya dengan isakan memilukan.

Lelah usai menguras air matanya, Jihan kembali tertidur. Apalagi kepalanya masih terasa berat dan berputar-putar. Tubuhnya masih lemah, ia juga tidak memiliki modal apapun untuk melarikan diri. Bahkan ponselnya saat ini pun ketinggalan di rumah ayah tirinya.

Satu jam kemudian, Bi Sari berdiri di depan kamar membawa nampan berisi makanan dan juga teh hangat. Perlahan satu tangannya mengayun untuk mengetuk pintu tersebut.

"Nyonya!" panggilnya pelan.

Beberapa kali ketukan Jihan baru mendengarnya. Ia terjingkat dari tidurnya yang meringkuk masih melindungi bayinya. Terdiam sejenak untuk menyadarkan diri sepenuhnya.

"Nyonya, permisi!" panggil sang pelayan lagi.

Jihan beranjak dari ranjang king size juga empuk, meski tak menemukan kenyamanan sedikitpun di sana. "Iya, Bi!" sahutnya, sedikit kesulitan karena gaun pengantin yang panjang dan lumayan besar masih membalut tubuhnya yang ramping.

Pintu terbuka, ia langsung menatap senyuman tulus dari sang asisten rumah tangga. "Permisi, Nyonya. Ini makanan Anda," ucapnya menunjukkan nampan yang dibawanya.

Jihan memberinya jalan agar Bi Sari bisa masuk dan meletakkan yang dibawanya ke atas nakas. Ia menggulung ekor gaun berwarna putih itu lalu kembali duduk di ranjang.

"Bibi, boleh saya tahu ini ada di mana?" tanya Jihan.

"Ini adalah rumah Tuan, Nyonya," sahut Bi Sari.

"Eee ... alamatnya di mana, Bi? Apakah dia tinggal sendiri?" Jihan mulai menggali informasi yang sekiranya ia butuhkan.

Rumah tersebut terletak di belakang bar dan resort milik Tiger yang terletak di kaki gunung pinggiran kota Palembang. Bibi menjelaskan secara detail.

'Oh, berarti dekat dari bar. Aku masih bisa bekerja di sana,' gumamnya dalam hati.

"Nyonya, pakaian Anda ada di lemari sana. Tuan sudah menyiapkannya," tunjuk Bi Sari pada sebuah ruangan tak jauh dari toilet.

"Baiklah, Bi. Terima kasih banyak," ucap Jihan mengulas senyum. "Bisa minta tolong bantu lepaskan veil ini, Bi," pintanya dengan nada pelan.

"Tentu, Nyonya. Permisi," sahut Bi Sari dengan senang hati karena ternyata nyonya barunya itu sangat ramah.

Jihan memutar tubuh membelakangi Bi Sari yang dengan sigap segera membantu Jihan melepaskan seluruh perhiasan di kepala yang membuatnya semakin pusing.

"Apa Bibi menginap di sini?" tanya Jihan.

"Tidak, Nyonya. Rumah saya kebetulan tidak jauh dari sini. Anak saya kasihan sendirian di rumah," jawab Bi Sari sopan, Jihan hanya mengangguk sembari menggigit bibir bawahnya.

"Anaknya berapa, Bi? Umurnya?" Jihan antusias mendengarnya.

"Dua, Nyonya. Masih SD kelas dua, yang satunya sudah sekolah menengah. Maklum, sudah nggak punya bapak jadi saya harus kerja keras menghidupi mereka. Karenanya saya pulang setiap sore, Nyonya," papar Bibi Sari membuat Jihan tersentil.

Wanita paruh baya itu terlihat sekali sangat menyayangi anak-anaknya. Bekerja keras demi buah hatinya tanpa pendamping. Sedangkan dia? Hampir saja menyerah.

Setelahnya Jihan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Sedangkan Bibi Sari kembali melanjutkan pekerjaannya.

Rasa penatnya seketika menghilang usai berendam air hangat selama beberapa saat. Pikirannya pun mulai jernih. Ia membulatkan tekad untuk berjuang demi buah hatinya. Bibirnya terulas senyum tipis dengan hati berdebar saat membayangkan perutnya nanti membesar lalu melahirkan anak yang lucu.

"Baiklah, semangat Jihan. Kamu harus kuat demi dia!" gumamnya bersemangat.

Jihan keluar dari kamar mandi dengan bathrobe berwarna putih. Ia beralih ke walk in closet memilih pakaian. Keningnya mengernyit ketika semua pakaian yang tersedia, hampir seluruhnya tampak terbuka.

Ia menyomot salah satu gaun bermotif full bunga yang berwarna cerah lalu mengenakannya. Ia tak ambil pusing, kemudian segera melahap makananya karena perutnya sudah meronta ingin diisi.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Tiger kembali seorang diri ke kediaman Isvara. Ia duduk di ruang tamu berhadapan dengan sang pemilik rumah. Bibi Fida mengintipnya di balik dinding yang sekiranya tidak terlihat.

"Maaf, Tuan. Mulai sekarang Jihan adalah tanggung jawab saya. Jadi, dia akan tinggal bersama saya," ucap Tiger dengan serius.

"Di mana alamat kamu? Apa Jihan baik-baik saja?" Fauzan nampak khawatir. Meskipun hanya anak tiri dan ia pernah kabur membawa harta gono gini bersama ibunya, Fauzan masih menyayangi perempuan itu.

Raut wajah Tiger sama sekali tak bersahabat. Ia merasa tidak nyaman ketika privasinya digali. Meskipun ayah mertuanya sendiri.

"Maaf, Tuan. Tapi, saya ingin hidup berdua saja dengan Jihan. Jihan baik-baik saja. Sewaktu-waktu, saya akan mengajaknya pulang ke sini jika Anda merindukannya," elak Tiger.

"Baiklah jika itu maumu. Tapi tolong jaga dia," Fauzan pasrah dengan keinginan menantunya itu.

Tiger juga meminta ponsel Jihan dan menyimpannya. Dia tidak ingin mengambil resiko jika suatu hari nanti Jihan kembali pulang dan mengambil ponselnya untuk mengadu pada Khansa, yang suaminya bisa menghancurkannya dalam sekejap mata.

"Saya permisi, Tuan!" Tiger beranjak dari duduknya sedikit mengangguk. Ia memutar tubuhnya dan mulai melenggang pergi.

"Tunggu!" cegah Fauzan membuat Tiger terpaku dan menghentikan langkahnya.

Fauzan turut berdiri lalu menyusul menantunya itu. Ia menepuk bahu kekar Tiger yang membuat detak jantungnya berlarian.

Bersambung~

Haii... makasih banyak yang mampir dan ninggalin like komennya yaa... makasi hadiahnya 😍😘

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!