NovelToon NovelToon

ABU-ABU MARNI

Doni dan Keinginannya

Doni adalah seorang remaja yang sedang menempati posisi dimana dia sudah seharusnya memiliki hubungan dengan seorang wanita. Seperti khalayak pria pada umumnya yang sudah mulai menikah pada umur 20-an. Saat ini Doni berumur 25 tahun dan lahir ditengah keluarga yang sangat berkecukupan dan Doni juga sudah mapan melintang dengan karirnya.

Pada umur 20 tahun Doni menyelesaikan pendidikannya sebagai sarjana ekonomi dan saat ini Doni sedang menjalankan bisnis ayahnya sebagai direktur utama, meskipun belum sepenuhnya menggantikan ayahnya karena memang Doni adalah anak satu-satunya.

Didalam rumah saat itu hanya ada Doni dan Ibunya yang sedang menonton televisi.

"Nak, kapan nikah". Ucap ibunya yang sedang duduk dan nyemil di depan televisi.

"Besok" sahut Doni yang sedang berdiri di sebelah kanan jendela.

"Besok katamu?"

"Iya... Ma"

"Serius?"

"Kalo gak kesiangan" Doni memalingkan kepalanya dan menatap ibunya yang sedang serius menanggapi perkataannya.

"Buruan nikah! Ibu pengen cucu"

"Baik Ma"

Seperti pada umumnya, seorang ibu akan menuntut anaknya agar lekas menikah saat anak sudah mulai berumur. Doni dikenal sebagai pria yang baik dan suka becanda, apalagi dihadapan ibunya.

Doni masih berdiri di samping jendela sedangkan ibunya larut dalam serial televisi dan nyemil makanan ringan. Doni tetap menatap keluar jendela, sebuah tatapan kosong yang mengisyaratkan sebuah pikiran yang dalam.

"Ma..." ucap Doni, dengan suara agak pelan.

"heemmm..." balas ibunya dengan mulut yang sedang mengunyah.

"Mama mau Doni menikah dengan wanita yang seperti apa?".

Ibu dengan sedikit kaget mendengar pertanyaan anaknya itu dan menghampiri Doni.

"Kamu tahu cerita tentang ayah dan ibu saat bertemu?"

"Tidak"

"Ayahmu dulu adalah seorang remaja pekerja keras saat bertemu dengan ibu". Doni menyimak dan membenarkan posisi berdirinya, menghadap ibunya yang sedang memulai sebuah cerita yang belum pernah diceritakan kepadanya.

"Ibu sangat mengingat masa-masa itu, dulu sebelum ibu bertemu dengan ayahmu, ibu adalah gadis boros yang suka belanja ini itu. Namun semua itu berubah ketika ibu bertemu dengan ayahmu". Melihat ibunya tersenyum dengan manis Doni penasaran dan bertanya.

"Dimana dan bagaimana ibu bertemu dengan ayah?"

"Ayahmu dulu adalah seorang tambal ban yang membantu ibu saat ban ibu bocor"

"Memang biasa jika hanya bertemu dengan tukang tambal ban biasa, namun kali ini berbeda."

"Saat ibu sedang duduk dan menunggu ayahmu selesai menambal ban, saat itu terjadi sebuah percakapan yang sangat ibu sukai."

"Mbak dari mana?" Dengan sedikit mengeraskan suara ibu Doni mencoba menggambarkan percakapan yang terjadi saat itu.

"Rahasia"

"Dunia memang penuh rahasia"

"Bukan urusan saya"

"Iya... Urusan mbak hanya menunggu saya menambal ban"

"He'em"

"Tidak semua ban yang bocor bisa ditambal, kadang ada yang harus diganti"

Ibu Doni berhenti bercerita dan mengajak Doni duduk. setelah duduk ibu Doni kembali berbicara "Sebenarnya saat itu ibu hanya sok cuek dan sedikit menanggapi dari perkataan ayahmu, tapi tiba-tiba dia berkata"

"Bagaimana jika kita menikah?"

"Ayah langsung mengajak mama menikah?" sahut Doni.

"Iya, mama juga kaget mendengar perkataan ayahmu"

"Terus bagaimana Ma?"

Mama Doni melanjutkan.

"Jika kita menikah mbak tidak akan bingung lagi jika ban bocor"

"Bukan seperti hal perlu ku pertimbangkan jika kau ingin menikahi-ku"

"Apa hal yang akan kau pertimbangkan jika ada yang ingin menikahi-mu?"

"Misal saja pekerjaan yang lebih baik dari tambal ban atau mungkin latar belakang pendidikan yang lebih baik atau mungkin keluarga yang berpunya"

"Jika begitu, maka kau salah"

"haahh? kenapa malah saya yang salah?"

"Menikah adalah memulai kehidupan baru, dan kehidupan baru tidak akan seru bila ada campur tangan dari masa lalu"

"Kenapa kau berpikir begitu"

"Tidak apa-apa, hanya sebuah opini yang ingin kujalani dan aku suka duduk dan berbicara denganmu"

"Bisa aja, jadi berapa?"

"Sepuluh ribu"

"Terimakasih"

Ibu Doni menghela nafas dan minum.

"Setelah kejadian itu, mama sering main ke bengkel tambal ban itu, tidak jarang juga ibu membantunya, tanpa ibu sadari setiap hal yang mama lakukan dengan ayahmu membuat mama lebih nyaman lupa tentang kehidupan mama yang suka belanja, tangan yang kotor oleh oli, keringat yang bercucuran dan wajah yang penuh dengan coretan lukisan hitam tinta tuhan, itu semua membuat ibu sangat senang"

"Terus yang tadi saat ayah ingin menikah dengan Mama?" potong Doni.

"Jauh setelah itu, ayahmu datang ke rumah, menemui kakek dan nenekmu"

"Wahhh... Keren ya ayah, berani langsung datang dan melamar mama"

"Hahahaha... ayahmu datang bukan untuk melamar"

"Terus apa yang akan dilakukan ayah?"

"Dia saat itu datang dengan wajah yang penuh dengan oli dan bertanya 'apa ada ban yang bocor?' dan itu tidak sekali tapi berkali-kali dan hampir setiap hari"

"Sampai suatu hari ada ban bocor di rumah, dan ayahmu menambalnya"

"Saat itu kakekmu sedang berdiri disampingnya mengamati dan sesekali tertawa, mama melihat mereka begitu akrab dan berbincang seperti seorang teman dan ibu penasaran apa yang sedang mereka obrolkan"

"Setelah dia selesai menambal ban dia pergi dan ibu menghampiri dan bertanya pada kakekmu."

"Pa, tadi apa yang papa bicarakan dengan tukang tambal itu?"

"Ohh.. Itu? Dia bilang namanya Salman, dan papa disuruh memberi tahumu namanya, katanya kamu itu langganan tambal ban ditempatnya tapi tidak pernah bertanya siapa namanya"

"Sebentar-sebentar, Jadi selama itu saat mama membantu ayah mama tidak tahu siapa nama ayah?". Potong Doni yang tidak percaya mereka belum saling kenal.

"Iya, bukan hanya mama yang belum tahu nama ayahmu tapi ayahmu juga belum tahu nama mama. hehehe..." jawab ibu Doni dengan sedikit cengengesan.

Dan Ibu Doni melanjutkan ceritanya, tidakk jarang mereka saling tertawa bersama. Doni semakin menikmati cerita yang semakin berlarut-larut itu, tiga jam mereka berbincang dan tertawa. Hingga jam sudah menunjukkan pukul lima sore dan Ibu Doni masih melanjutkan ceritanya.

"Kata-kata ayahmu yang paling ibu ingat, semua sudah ibu tulis di buku merah itu". Sambil menunjuk sebuah kotak.

"Apa boleh aku baca Ma?” Minta doni.

"Iya boleh, baca aja"

Doni mengambil kotak itu dan mengeluarkan buku yang ada didalamnya. Sementara ibu Doni pergi ke dapur.

...****************...

..."Paragraf pertama dari kisah cintaku adalah pertemuan yang menyenangkan denganmu"...

..."Paragraf kedua adalah tumbuhnya perasaan"...

..."Paragraf ketiga adalah ketidakmampuan saling menahan diri untuk tidak saling mencintai"...

..."Paragraf keempat adalah keseriusan"...

..."Paragraf kelima adalah sebuah lamaran"...

..."Paragraf keenam ialah syarat"...

..."Bila ku mencintaimu dan kau mencintaiku maka saling tidak percaya adalah ejaan yang tidak bisa kita baca. kau dan aku akan memulai hal baru yaitu perundungan yang tak terpecahkan, ijinkan aku meminangmu tanpa uang saku dari orang tuamu, setelah ini akulah keinginan serta kebutuhanmu"...

...****************...

"Bagaimana sudah dibaca?" Tanya ibu Doni saat keluar dari dapur.

"Iya sudah Ma, tapi mama belum menjawab pertanyaanku!"

"Yang mana?"

"Mama mau menantu yang seperti apa?"

"Hemm... Terserah kamu! Kan kamu yang mau menikah, saran mama cari yang tidak tertarik dengan uang, cari seorang wanita yang benar-benar tergila-gila dengan kemesraan dan keindahan cinta".

"Biar seperti film ya ma?”

"Hehehe, yaps! Betul" jawab Ibu Doni saat berjalan masuk ke dapur lagi.

Doni berdiri dari tempat duduknya dan kembali ke sebelah jendela. Menatap keluar mengamati girangnya merpati beradu siul di atas pohon. Tatapan Doni yang kosong namun serius seperti sedang menemukan apa yang harus dia lakukan. Setelah mendengar cerita ibunya, Doni menemukan sebuah keindahan cinta, sebuah kisah yang tidak boleh hanya ada difilm saja. Doni menginginkan kisah penutup untuk perjalanan terakhir cintanya.

Apa yang akan dilakukan Doni? Apakah dia akan mencari Sinta-nya sendiri ataukah Rudi akan pasrah?

...****************...

Seperti FTV

...****************...

...Jauh di sana mungkin aku akan bersua...

...paras yang indah di tengah belantara kisah...

...seorang putri yang yang tak pernah terjamah...

...sang pemilik kecantikan sejati yang tak pernah mati...

...elok seperti cindrawasih...

...mempesona seperti merak betina...

...****************...

Pagi yang cerah dalam lingkungan rumah sederhana yang indah. Sudah menjadi kebiasaan tiga manusia penghuni rumah itu bangun pagi. Kebetulan hari itu hari minggu Ayah Doni berada di rumah setelah empat hari berada di luar kota, Doni terlihat biasa saja di hadapan ayahnya yang sedang menyimak koran hangat dan secangkir kopi tanpa gula. Mama Doni sedang di dapur berkemas atas sajian yang telah dia buat. Dan Doni seperti biasa duduk di balkon rumah bermain handphone dan ditemani laptop dan rokok.

Sama sekali tidak ada percakapan diantara mereka sampai sang mama nyeletuk.

"Pa, Doni mau nikah tuh!!" ucap keras Mama Doni dari dapur.

"Wah.. beneran Ma? Doni mau nikah?" sahut Ayah doni setelah mendengar berita dari istrinya.

"Iya Pah, Kemarin sudah mama ceritain pertemuan kita dulu, terus Doni tanya mau menantu seperti apa".

"Doni! Kalau mau tanya tentang cewek-cewek tanya papa sini!" Ayah Doni mengeraskan suaranya sambil melihat Doni yang tetap diam dan tidak merespon sama sekali.

"Malu dia Pah, kalo cerita sama Ayahnya"

"Lahh... Gak gentle banget anak ayah ini"

Doni tetap dengan posisinya tidak ada respon ataupun ikut nimbrung dalam percakapan yang tidak jelas itu. Seperti sebuah suasana yang tidak akan dihadapi oleh sebuah keluarga yang tidak saling sungkan satu sama lain. Doni bersikap demikian bukan berarti dia tidak menyukai atau menyayangi ayahnya, justru dia sangat sayang dengan ayahnya.

Doni sebenarnya memiliki keinginan sendiri dalam menjalani karir atau membangun bisnisnya sendiri namun setelah dipikirkan secara matang Doni mendapatkan kesimpulan bahwa melanjutkan apa yang sudah dibangun ayahnya itu lebih penting. Doni mengurungkan setiap niatnya.

Tiba saatnya sarapan. Tiga penghuni rumah itu menghampiri meja makan yang sudah penuh dengan makanan khas Mama Doni, setiap pagi memang menu andalannya adalah sayur lodeh hangat, tempe goreng dan sedikit sambel kacang atau sampek pecel kesukaan Doni. Sebuah menu sederhana yang jarang ditemui di tengah keluarga kaya.

Sarapan berjalan seperti biasa hening tanpa ada suara senduk dan piring yang saling beradu, tidak ada sendawa, tidak ada suara dari mulut saat mengunyah. Mereka adalah pemegang teguh tradisi jawa saat makan. menghormati orang sekitar dengan tidak bersuara saat makan.

Setelah usai Ayah Doni beranjak duluan, Doni dan Mamanya mengemas piring dan sisa makanan dan membawanya ke dapur.

"Aku punya ide ma!" kata Doni sambil membawa piring kotor bersama ibunya.

"Ide apa Donn?" jawab ibunya.

"Bagaimana kalo Doni merantau? Doni mau mencari sosok wanita yaang akan menemani sisa hidup Doni"

"Terus, siapa yang mau menggantikan ayahmu saat kamu pergi nanti?"

"Hmm... Iya juga! Memang asisten ayah gak bisa ya Ma?"

"Ngawur! memang kamu mau ada kerugian seperti dulu lagi, pas ayahmu nyuruh asistennya untuk ngganti dia?”

"Terus gimana Ma? Doni pengen banget merantau, pura-pura jadi orang biasa terus nyari cewek diluar sana".

"Kebanyakan nonton FTV kamu iyu!"

"Hehehe... Tapi bakal seru banget Ma, kalo Doni punya kisah yang diketahui oleh banyak orang tapi tidak ada yangpernah menjalaninya".

"Ya, terserah kamu kalo begitu, yang penting ibu mau itu adalah seorang cucu. Untuk masalah siapa yang menggantikan kamu ngurus perusahaan ayah, kamu bicara aja dengan ayahmu saja"

Doni hanya mengangguk dan memikirkan apa yang akan dia katakan kepada ayahnya. Bagaimana cara memulai percakapan dengan ayahnya yang tidak pernah dia ajak bicara? Apalagi membahas suatu hal yang serius seperti ini. Karena biasanya Doni akan mengandalkan asisten ayahnya untuk menyampaikan hal-hal penting tentang perkembangan perusahaan namun saat ini situasinya tidak bisa diserahkan kepada asisten ayahnya.

Saya lupa memperkenal kedua orang tua Doni. Mereka berdua adalah sama-sama dari suku jawa yang memilih tinggal di metropolitan Jakarta untuk mengurus bisnis mereka. Nama Mama Doni adalah "Sri Ayu Ningsih" lulusan Akuntansi dari Universitas yang sudah mati sekarang dan Ayah Doni adalah "Salman Ahmad" lulusan SMK yang tidak pernah kuliah. Adapun bisnisnya adalah hasil keringat mereka berdua tanpa ada bantuan ataupun dana dari orang tua Mama Doni. Bukan tanpa alasan, memang seperti itulah yang diinginkan "Pak Salmon" (Nama panggilan yang diberikan oleh para pegawainya karena bisnisnya Pak Salman adalah ekspor masakan siap saji yang terbuat dari ikan salmon) Pak Salman saat melamar Mama Doni, dia memberikan syarat yang tidak masuk akal untuk kedua orang tua Mama Doni. Syarat pertama yang diberikan adalah, dia ingin akad pernikahan dilakukan di atas sebuah bukit dan syarat keduanya adalah tiidak ada ikut campur baik materi maupun benda dalam bentuk apapun. Karena Pak Salman akan bertanggung jawab dalam mengabulkan segala permintaan Ningsih.

Pak Salman bermaksud memenuhi setiap kebutuhan calon istrinya sendiri dan semua itu berjalan lancar dan penuh cobaan. Tidak ada keegoisan didalam syarat itu, kedua orang tua Mama Doni setuju dan Ayah Doni tidak pernah melarang setiap hal selain dua syarat itu termasuk bertamu saat kedua mertuanya itu rindu dengan anak perempuannya. Mereka sangat akrab hingga ajal menjemput kedua mertuanya.

Ayah Doni adalah anak yatim piatu yang telah ditinggal kedua orang tuanya, sebuah kejadian naas yang tidak pernah ia sangka saat itu. Sebuah hal yang paling ia sesali setiap malam. Hanya ketegaran hati dan ketangguhan yang diwariskan dari kedua orang tua Ayah Doni.

Kembali ke cerita Doni yang saat ini sedang duduk dan mengerjakan tugasnya sebagai direktur utama perusahaan. Dengan sesekali menghisap rokok dan mengetik Doni begitu tenang. Balkon yang menghadap ke barat adalah tempat yang bagus untuk bersantai karena tidak terpapar cahaya matahari. Ditambah keindahan halaman rumah yang dipenuhi rumput dan tanaman membuat pagi Doni lebih sejuk dari pagi penghuni ibu kota lainya.

Tak jarang beberapa penjual sayur keliling menyapanya.

"Sayuuuurrrrr!!!".Teriak tukang sayur yang selalu berdandan nyentrik bak artis.

"Sayur". Sahut Doni.

"Jual sayur mas," ucap tukang sayur itu menanggapi ucapan Doni

"Jual mas, tapi sayur Supreme" balas Doni.

"Hahahah, yaudah gak jadi beli, takut hedon! Terlalu hedon nanti gak makan. Hehehe"

"Hahaha, gak apa-apa ya, biar yang masak di rumah makin up to date"

"Hahaha, bisa aja. Ok saya lanjut ya, banyak ibu-ibu yang butuh suplai brokoli buat diet"

"Hahahah, Semoga laris manis yaa"

Tukang sayur itu pergi menjauhi Doni yang masih tersenyum. Entah kenapa sebuah percakapan kecil itu selalu bisa menghibur Doni setiap pagi dan membuat suasana hati Doni menjadi lebih riang.

"Ma, Ayah kemana ya" tanya Doni dari balkon.

"Paling sedang ke angkringan Pak Topa" jawab Mama Doni dari depan televisi.

Pak Topa adalah pemilik angkringan penyedia cemilan pagi khas kampung seperti klepon, ote-ote (bakwan), gimbal jagung dan gimbal tempe. Ada juga kopi dan teh anget tidak lupa juga nasi bungkusan dengan tali kuning adalah yang pedes, tali hijau agak pedes, tali merah gak ada lauknya. hehehehe...

Lima menit setelahnya Doni berkemas dan berniat menemui ayahnya yang sedang ngangkring, ngopi dan merokok.

Dari kejauhan Doni mengamati ayahnya yang sedang cengengesan bersama Pak Topa, tak jarang menyeruput kopi dan nyemil beberapa gorengan. Doni menghampiri ayahnya dan duduk disebelah ayahnya.

"Loh tumben Donn" ucap Pak Topa.

"Iya pak, Lagi pengen kopinya Pak Topa" jawab Doni.

"Onok opo Don?" ujar Ayah Doni dengan logat jawanya.

"Gak onok opo-opo yah" jawab Doni dengan menunduk malu

"Opo-opo piye ikih, aku yo ndak opo-opo!" sahut Pak Topa yang mencoba meniru logat jawa mereka berdua. Semua tertawa mendengar itu, Pak Topa memang orang yang humoris meskipun hanya tukang angkringan namun dia pandai dalam beberapa bahas seperti Bahasa Inggris, Belanda dan Arab tapi dia tidak paham bahasa jawa.

"Yah.., Doni mau merantau"

"Merantau kemana?"

"Gak tau pah, yang penting jauh dari rumah"

"Emang kamu mau ngapain merantau? kan disini udah kerja, gantiin ayah”

"Doni mau merantau, mau jadi orang biasa yang memulai semua dari nol pa, Doni juga mau nyari pasangan"

"Hmmm, aneh-aneh aja kamu ini"

"Boleh gak yah?"

"Yasudah terserah kamu"

"terus, siapa yang nanti bakal gantiin aku ngurus perusahaan"

"Rencananya mau berapa bulan atau hari atau tahun?"

"Tiga bulan mungkin yah"

"Kali begitu biar ayah yang gantiin kamu"

"Beneran yah"

"He'em"

Wajah Doni tampak berseri dan lega mendengar jawaban ayahnya.

"Don, kamu merantau mau nyari pasangan?" ucap Pak Topa.

"Hehehe... iya pak"

"Jadi kayak di televisi gitu ya? Pake acara pura-pura gak punya apa-apa gak?"

"hahahaha, iya bisa jadi begitu pak. Tapi kalo boleh sama ayah aku mau lepas semua, jadi tidak ada suplai dana dari ayah lagi. Jadi bener-bener dari nol"

"Hahaha, aneh ya anak jaman sekarang"

"Iya Top, padahal kita capek-capek keja buat mereka, eh malah mereka mau cari uang sendiri". Celetuk Ayah Doni yang sedari tadi mengamati percakapan anaknya dengan Pak Topa.

...****************...

Keesokan harinya, Doni berangkat menuju tempat yang bahkan dirinya sendiri tidak tahu. Sebuah perjalanan kosong tanpa tujuan tempat namun penuh dengan tujuan yang teguh dan kuat. Doni berangkat dengan beberapa pakaian dan uang saku yang dia bawa untuk kebutuhan satu minggu. Kemana dia akan pergi? Bagaimana cara seorang pangeran memulai hidup sebagai seorang pengembara yang sedang mencari cinta sejatinya? Akankah ini akan menjadi sebuah kisah biasa? Ataukah akan sangat luar biasa? Akankah keliaran singa dunia luar menenggelamkan tekad Doni? Saya juga tidak tahu.

...----------------...

Rudi adalah Doni

Perjalanan jauh Doni mengendarai kuda besi pelat kuning yang biasa mereka sebut dengan bus/bis/bes. Doni duduk di kursi pertama bersebelahan dengan sopir, mengamati perjalanan dari kaca besar bus. Tak jarang Doni menjumpai berbagai macam kendaraan dan sifat-sifat pengemudinya. Truck yang saling salip, pengendara motor yang ramai dengan klaksonnya saat macet, tak jarang juga para pengamen lampu merah menyanyikan lagu syair-syair cinta dan peradabannya.

Tiba sampai di tujuan, sebuah kota yang penuh dengan kerumunan dan gedung-gedung perbelanjaan. Bukan sebuah penampakan asing bagi Doni, kota itu tidak jauh berbeda dengan metropolitan tempat dia tinggal dan besar. Namun ada yang berbeda di lingkungan barunya, sebuah pemandangan kumuh dengan hiasan senyum anak-anak kecil yang berlari kesana kemari. Tak jarang terdengar teriakan lantang ibu mereka yang menyuruh mereka makan dan mandi. Doni mengamati dan sesekali tersenyum.

"Mas, mau kemana?" Sapa seorang kakek tua yang menghampirinya dengan becak engkol tuanya.

"Gak ngerti pakde, saya baru sampek disini, rencananya mau nyari kos-kosan" jawab Doni.

"Oh kos-kosan, kene tak anterin nyari kos-kosan dek, murah-murah aja"

Sebuah keadaan yang seharusnya dipikirkan terlebih dahulu oleh Doni.

"Iya, gak papa pakde". Reflek yang tidak Doni inginkan namun demikianlah dia menjawab tawaran tukang becak tersebut.

Perjalanan dengan becak tua itu dimulai, melewati gang-gang sempit dan perumahan. Sebuah pemandangan yang sangat nyaman, mengamati para sopir angkutan umum yang saling terbahak-bahak, ibu-ibu rewel yang sedang tawar-menawar dengan penjual ikan juga ada beberapa wanita tua yang disebut manula namun ini berbeda mereka lebih pantas disebut manusia super tua, menggendong dagangannya di atas kepala mereka tanpa mereka pegangi. Seimbang dan tenang, begitulah Doni mendeskripsikan pemandangan itu.

Hampir dua jam perjalanan Doni masih larut mengamati berbagai hal yang terjadi saat perjalanan hingga Doni tersadar dan bertanya kepada tukang becak tersebut.

"Masih jauh pakde?"

"Ahh... hahh?” Spontan jawaban dari pak tua itu seperti sedang selesai memikirkan sesuatudengan serius.

"Masih jauh pakde?" Doni mengulang pertanyaan.

"Ohh.. ini hampir sampai dek, itu didepan ada bangunan lantai tiga, itu kos-kosan-nya".

Sunyi tidak ada percakapan lagi diantara mereka sampai mereka berdua tiba di gedung yang ditunjuk tukang becak tadi.

"Pinten pakde?" Tanya Doni yang sedang turun dari becak dan mengeluarkan dompetnya. *(pinten:berapa)

"Enam puluh ribu dek"

Doni menyerahkan uang yang ia ambil dari dompet dan pergi ke sebuah gedung agak tua dengan pemandangan yang segar.

Sebuah tempat asing yang membuat hati Doni lebih tenang selain berada di rumahnya. Gedung yang menghadap ke selatan dengan jalan kecil dan penuh tanaman. Sunyi namun penuh aroma masakan yang tidak asing dihidung Doni.

Doni bergegas mencari pemilik kosan itu. Terlihat sebuah rumah yang terpisah dari bangunan gedung dan terlihat seorang wanita paruh baya yang sedang menyapu halaman rumah tersebut. Ia pun segera menghampiri wanita itu.

"Permisi mbak" nampak Doni kebingungan hendak dipanggil apa wanita tersebut, agak tua dan berumur namun tidak dan terlihat cantik.

"Iya mas, ada yang bisa saya bantu?" jawab wanita itu.

"Saya mau nyewa kos disini, siapa ya yang bisa saya temui?”

"Ohh... mau ngekos, sini masuk!" tampak seperti wanita yang ramah dan sopan.

Doni mengikuti wanita tersebut dan masuk ke rumahnya, sebuah ruangan yang penuh dengan lukisan abstrak dan berbagai miniatur motor dari kayu yang diplitur dan tertata rapih.

"Silahkan duduk dek" ucap wanita itu sembari berjalan menuju ruangan rumah kepada Doni yang sedang mengamati seisi ruangan. Tanpa menjawab, Doni pun duduk dan tidak lama wanita tersebut keluar dari dalam kamar membawa sebuah kertas dan pena, dan kemudian duduk disampingnya.

"Ini catatan syarat, biaya dan peraturan disini dek, bisa dibaca dulu" terang wanita itu, kemudian dia beranjak dari duduknya dan masuk lagi ke dalam.

Doni mengamati dengan teliti, membaca dan membolak-balik halaman kertas, nampak tidak ada yang mencurigakan atau merugikan Doni. Biaya 500.000 (Lima Ratus Ribu)/bulan, Tidak boleh mencuri, tidak boleh masuk ke kamar orang lain tanpa ijin, tidak boleh membuat keributan atau membuat suara bising (kecuali sudah mendapat ijin dari tetangga). Namun ada yang sedikit mengganjal hati Doni.

"Ini dek, diminum dulu" tegur wanita itu dengan membawa segelas teh yang masih terlihat jelas kebulan asap diatasnya.

"Wahh, tidak usah repot-repot mbak"

"Gak apa-apa, diminum aja dulu sambil baca-baca, kalau ada yang tidak jelas bisa ditanyakan" ucap wanita tersebut sembari menata tempat duduknya, menutup-nutupi paha putihnya dengan bantal.

"Emmm, ini tidak ada aturan 'dilarang membawa laki-laki/perempuan yang bukan muhrim' ya mbak?". Tanya Doni sambil menggaruk-garuk kepalanya.

"Tidak dek, ini kosan bebas, mbak juga tidak peduli dengan mereka, yang penting mereka membayar tepat waktu"

"Ohh begitu ya"

"Iya diminum dulu tehnya, keburu dingin"

Doni masih memegang kertas-kertas itu sambil meminum teh buatan wanita paruh baya super agak cantik itu. Tiba-tiba Doni penasaran dengan nama wanita itu.

"Oh ya, nama mbak siapa ya?”

"Saya? bisa dipanggil Mbak Kos aja, biasanya orang-orang manggil saya begitu."

"Mbak Kos?" Ucap Doni sambil mengangguk-anggukkan kepalanya lagi.

"Nama kamu siapa"

"Saya Donn..." Jawab Doni ter-batah-batah teringat tujuannya. Dia berpikir untuk mencari nama baru.

"Saya Rudi" cepat Doni mendapatkan nama yang paling umum di kepalanya.

"Oh Rudi, bagaimana? jadi ngekos disini?"

"Iya mbak, saya tanda tangan disini ya?"

"Iya"

Basa-basi serta perkenalan telah usai, Doni diantarkan ke kamarnya yang terletak paling barat lantai dua. Doni/Rudi mengamati setiap kamar yang ia lewati, terlihat penuh dan ramai namun suasananya tentram dan tidak ada suara berisik dari penghuni lain.

Rudi begitu bersemangat, FTV-nya sudah dimulai. Nama baru, lingkungan baru dan juga pasangan protagonis yang akan menemani dia akan segera dia dapati. Perasaan senang yang tidak bisa digambarkan karena memang perasaan tidak bisa digambar.

Larut dalam kesenangan dan Rudi yang sudah masuk ke kamar barunya langsung menjatuhkan badannya ke kasur empuk yang sudah wangi dan bersih. Doni terlelap dalam kesenangan ekspetasinya, matanya mulai riup dan sayup. Hendak memejamkan mata, tiba-tiba! Rudi teringat ada yang salah dengan dirinya tapi apa? Rudi mencari-cari, apa yang salah? Rudi memegangi setiap bagian dari tubuhnya, kepala masih ada, mata masih ada, mulut, tangan, kaki, pantat, perut. Dompet! Ehh tas! tasss! Rudi membawa dua tas! Satu tas slempang yang masih ada ia pakai. Dan yang ke-dua! Tas yang ada dipunggung, tas yang berisi pakaiannya, bukan hanya pakaian, ada sebuah amplop tebal didalamnya, uang saku seminggunya dia lupa dimana, tas itu mungkin! mungkin masih ada di bagasi bus yang dia naiki saat itu.

Hancur! kesenangan sesaat itu dalam sekejap menjadi kebingungan tanpa arah, kesedihan yang seakan memukul-mukul ubun-ubun. Rudi bingung, dia tidak bisa menangis tidak bisa meminta bantuan. Apa yang harus ia lakukan. Kembali ke terminal? Mencari kontak costumer servis? Melapor polisi? Apa yang harus dilakukannya.

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!