Seorang wanita paruh baya berjalan dengan langkah tergopoh-gopoh, menuju ke salah satu kamar yang berada di rumah yang lumayan megah itu. Suasana rumah terasa sepi, karena waktu sudah larut penghuni rumah itu pastinya sudah berada di alam mimpinya.
Saat sampai di depan pintu kamar yang ditujunya, dia segera mengetuk pintu dengan perlahan karena takut mengagetkan pemilik kamar itu.
"Non Ami," panggilnya sambil mengetuk pintu kamar itu dengan hati-hati agar tidak membuat kaget penghuni kamar itu.
Setelah menunggu beberapa saat, pintu kamar itu pun terbuka dan keluarlah si pemilik kamar dengan tatapan kosong ke sembarang arah.
"Ada apa Bi?" tanya seorang wanita berdiri di pintu kamar dengan sebuah tongkat yang selalu menjadi alat bantunya saat berjalan.
"Maaf ganggu Non, barusan Bibi dapat telpon dari rumah sakit kalau, Den Daffin masuk rumah sakit. Karena kecelakaan saat perjalanan dari luar kota," ucap Tini. Yang merupakan asisten rumah tangga di rumah itu.
"APA! Mas Daffin kecelakaan?" Raut khawatir tergambar jelas di wajah ayu, nan manis dari wanita yang kini masih mematung di pintu kamarnya itu.
"Iya Non," jawab Tini mengangguk, meskipun dia tahu majikannya itu tidak melihat anggukkannya.
"Ayo kita ke rumah sakit, Bi. Terus hubungi keluarga Mas Daffin." Wanita yang kerap disapa Ami itu mulai mengayunkan kakinya dengan bantuan tongkat yang menjadi alat bantunya, berjalan dengan langkah agak tergesa-gesa.
"Tunggu, Non. Biar bibi ambilkan dulu jaket, udara malam kurang baik untuk kesehatan." Tini menahan langkah Ami itu dan bergegas masuk ke kamarnya, mengambil jaket untuk Ami.
"Pelan-pelan aja jalannya, Non. Biar bibi bantu."
Tini langsung memegang lengan Ami, karena khawatir akan keselamatan nona-nya yang berjalan dengan langkah tak beraturan seperti itu. Mengingat kondisinya yang tidak dapat melihat.
"Apa pihak rumah sakit mengatakan sesuatu lagi, Bi?" tanya Ami ditengah perjalanan menuju ke luar rumah.
"Tidak, Non. Tadi pihak rumah sakit hanya mengatakan, jika mereka tidak tau harus menghubungi siapa. Akhirnya menghubungi nomor terakhir yang dihubungi oleh, Den Daffin," terang Tini yang dijawab anggukan oleh Ami.
Tini mengunci pintu rumah itu terlebih dahulu, karena tidak ada siapa pun lagi di rumah selain mereka. Setelah pintu terkunci, dia kembali menuntun Ami menuju ke mobil.
Mereka memasuki mobil yang sudah menunggu di depan rumah, karena tadi sebelum membangunkan Ami, Tini sudah membangunkan sopir terlebih dahulu.
Selama di perjalanan, Ami tidak berhenti memainkan jemari tangannya. Kebiasaan yang selalu dia lakukan ketika khawatir, takut, atau gugup.
"Den Daffin pasti Baik-baik saja, Non tenang saja," ucap Tini menenangkan Ami dengan menggenggam tangannya yang terasa dingin itu.
"Iya, semoga saja Mas Daffin gak kenapa-kenapa Bi. Apakah masih lama sampainya Bi?" tanya Ami memalingkan kepalanya ke arah Tini.
"Lumayan lama, karena rumah sakit tempat Den Daffin tidak jauh dari lokasi kecelakaan," jawab Tini.
Ami menghela napas dalam, untuk menenangkan hatinya, dia meyakinkan dirinya, jika tunangannya itu pasti akan baik-baik saja.
Tidak ada lagi percakapan yang terjadi antara mereka, bibir Ami terus begumam dengan lirih. Memohon untuk keselamatan pria yang menjadi pengisi hatinya, pria yang selalu terucap dalam setiap doanya.
Entah kenapa, waktu berlalu terasa lama baginya. Meskipun dia dapat merasakan jika laju mobil yang ditumpanginya itu berjalan dengan lumayan cepat, tapi kenapa mereka masih belum juga sampai, sejauh apa sebenarnya rumah sakit itu, atau itu hanyalah perasaannya saja yang sudah tidak tenang.
"Masih lama Pak?" tanya Ami menatap lurus ke depan.
"Sebentar lagi Non," jawab Sopirnya dengan ramah.
"Baiklah," sahutnya dengan pasrah.
...******...
Mobil berwarna hitam itu terparkir tepat, di pelataran rumah sakit yang lumayan besar. Ami turun dari mobil dengan dibantu oleh Tini, tanpa menunggu lama lagi, mereka pun segera memasuki rumah sakit yang lumayan besar itu dan menanyakan tentang Daffin pada suster yang berjaga di meja resepsionis.
Setelah tahu tempat di mana, ruangan Daffin berada. Mereka pun melanjutkan langkah mereka menuju ke tempat yang suster sebutkan tadi.
Saat sampai di depan ruangan yang suster sebutkan, mereka berpapasan dengan dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu. Tini menuntun Ami untuk mendekati dokter itu dan menanyakan tentang keadaan Daffin.
"Dokter, apa ini ruangan atas nama Daffin yang baru saja mengalami kecelakaan?" tanya Tini.
"Kalian keluarganya?" tanya Dokter pria dengan membenarkan kaca matanya yang berada di hidungnya.
"Iya, Dok. Bagaimana keadaan pasien? Apa ada yang serius? Apa dia terluka parah?" Ami mencerca dokter itu dengan runtutan pertanyaan.
"Alhamdulillah luka pasien tidak terlalu parah, saat ini mereka sedang istirahat karena pengaruh obat," jawaban dari dokter itu membuat sebuah kerutan di kening Ami dan Tini.
"Mereka?" tanya mereka barengan, Tini menatap dokter dengan bingung.
"Iya, pasien atas nama Daffin dan istrinya baik-baik saja, bahkan kandungannya juga tidak bermasalah. Mereka hanya mengalami syok saja."
"Apa? Istri, kandungan?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Ami yang kini telah berdiri dengan kaku.
Apakah dokter itu salah memberikan informasi, atau telinganya yang salah dengar.
"Maksud anda apa Dokter, apa Den Daffin tidak sendiri?" tanya Tini yang masih menatap dokter itu dengan bingung.
Dokter itu pun menatap mereka dengan bingung. "Iya, pasien atas nama Daffin di temukan kecelakaan bersama dengan istrinya."
Ami yang mendengar hal itu, tiba-tiba saja merasa telinganya berdengung. Hatinya terasa sesak seolah ada benda berat yang menghantamnya, bahkan napasnya serasa tertahan di kerongkongannya.
Perlahan dia memundurkan tubuhnya, kakinya tiba-tiba saja terasa lemas. Tidak sanggup sanggup menahan beban tubuhnya, jika saja Tini tidak memeganginya, pasti saat ini dia sudah terduduk di lantai.
"Kalau tidak ada hal apa pun lagi, saya akan kembali ke ruangan saya dulu. Jika ada hal yang ingin kalian tanyakan atau ada masalah dengan pasien, kalian bisa menemui saya. Ruangan saya berada di ujung lorong sana, kalian bisa melihat pasien saat mereka sudah sadar," terang Dokter itu panjang lebar. Yang tidak dapat Ami dengarkan.
"Iya Dok, terima kasih," ucap Tini mengangguk.
Setelah dokter itu pergi, Tini menuntun Ami untuk duduk di kursi besi yang ada di sana, dia mendudukkan Ami dengan perlahan.
"Bi, apa yang Ami dengar barusan gak salah?" lirih Ami dengan air mata yang mulai merembes membasahi pipinya.
"Ini salah 'kan? Bi, mas Daffin, bilang dia mencintai Ami dan menerima Ami apadaya," racaunya dengan suara bergetar.
"Tidak, mungkin saja dokter tadi salah 'kan, Bi. Pasti wanita itu hanya menumpang di mobil Mas Daffin dan dokter itu salah paham." Ami berusaha menyangkal apa yang menjadi ketakutan dalam hatinya. Sedangkan Tini tidak menyahutinya, dia hanya memeluk Ami, membenamkan kepala Ami di dadanya.
"Bi, tolong lihat, wanita itu. Siapa wanita itu," ucap Ami menghapus air matanya dan melepaskan dirinya dari pelukan Tini.
"Baik Non," jawab Tini dengan ragu. Jujur saja dia berharap apa yang menjadi ketakutanya tidak jadi kenyataan.
"Non tunggu di sini ya," ucap Tini mulai berdiri.
"Iya Bi," sahut Ami dengan anggukan samar, saat ini perasaannya tidak tenang. Dia berharap jika apa yang dokter katakan tadi salah, wanita itu tidak memiliki hubungan apa pun dengan tunangannya.
Namun, jika ternyata wanita itu benar-benar memiliki hubungan dengan Daffin apa yang akan dia lakukan nantinya, memikirkan hal itu membuat Ami memegang dadanya dengan erat.
Dengan langkah berat, Tini mulai mendekati pintu ruangan tempat Daffin dirawat. Dalam hati, dia berdoa semoga apa yang ada dalam pikirannya itu, tidak terjadi, semoga kecurigaan dirinya tentang Daffin tidak benar-benar nyata.
Dia membuka pintu dengan perlahan, saat pintu terbuka, ritme detakkan di jantungnya kian meningkat, tatkala matanya melihat wanita yang kini tengah terbaring dengan mata terpejam, di ranjang rumah sakit itu.
Bagaimana bisa semua itu nyata, apa yang harus dia katakan pada Ami. Bagaimana hancurnya Ami, jika dia mendengar kabar yang akan dia dapatkan darinya sebentar lagi.
Tini rasanya tidak sanggup untuk mengatakan kenyataan yang ada di depannya itu, dia tidak sanggup melihat Ami, lagi dan lagi bersedih karena orang yang sama untuk kesekian kalinya.
"Bi, kenapa diam? Bagaimana wanita itu?" tanya Ami masih di posisinya, dia menunggu dengan rasa penasaran yang teramat di hatinya.
Dia menatap ke arah depannya dengan tatapan kosong, di sisi lain dia sangat penasaran dengan seperti apa wanita yang dokter anggap sebagai istri tunangannya itu. Namun, di sisi lain hatinya merasa sakit meskipun dia belum tahu kenyataan yang sebenarnya.
"I-iya Non, maaf bibi kaget lihat wanita itu," jawab Tini dengan gugup.
Dia kemudian berjalan mendekati kursi tempat Ami duduk, diusapnya pundak Ami dengan perlahan, untuk memberikan ketenangan pada nona-nya yang sudah dia rawat sejak kecil itu.
"Kenapa kaget Bi, Bibi kenal sama wanita itu?" tanya Ami mendongakkan wajahnya karena tahu, jika Tini sedang berdiri di sampingnya.
"I-iya, Bi-Bibi kenal wanita itu ... sangat kenal," sahut Tini mengangguk meskipun Ami tidak akan melihat anggukkannya itu.
"Apa Ami juga mengenalnya? Siapa dia, Bi?" tanya Ami dengan wajah polosnya.
"Di- dia—" Suara Tini seolah tertahan di kerongkongannya, lidahnya terasa kelu untuk mengatakan apa yang dilihatnya.
"Kenapa, Bi? Kenapa Bibi tidak melanjutkan perkataannya," ucap Ami yang masih menunggunya untuk berbicara.
"Wanita itu adalah non Zoya," lirih Tini menatap nanar Ami yang tubuhnya kini telah berubah menegang, raut wajah yang semula sedih, kini semakin terlihat sedih dan tak percaya.
Mendengar apa yang Tini ucapkan itu, membuat waktu seolah terhenti untuk beberapa saat, bahkan tongkat yang digenggamnya pun terlepas begitu saja dari tangannya, apakah ini benar-benar mimpi. Bagaimana bisa dia mendapatkan dua kabar yang menyesakkan dada secara bersamaan, dia ingin bangun, tidak ingin berada di mimpi itu lagi.
"A-apa Bi? Apa Bibi tidak salah lihat?" tanya Ami menggenggam dengan erat tangan Tini yang masih berada di pundaknya.
"Itu kenyataannya, Non. Wanita itu adalah non Zoya," sahut Tini dengan nada yang nyaris seperti bisikan.
"Jadi, wanita yang dokter kira istri Mas Daffin itu, kak Zoya?" tanya Ami lagi, memastikan jika pendengarannya baik-baik saja.
"Kak Zoya, Mas Daffin, mereka." Ami menggeleng tak percaya dengan kesimpulan yang ada dipikirannya.
Bisakah dia menyanggah kabar itu saat ini, apakah ini hanyalah mimpi buruknya saja. Sunnguh wanita itu tidak ingin percaya dengan apa yang baru saja didengarnya itu.
Namun, rasanya semakin dia menolak percaya, hatinya semakin bertambah sesak dan sakit, seolah ada tangan tak kasat mata meremas hatinya itu.
"Kak Zoya tidak munkin sejahat itu 'kan, Bi?" tanyanya dengan air mata sudah menganak sungai di pipinya.
"Bukankah beberapa jam yang lalu, Mas Daffin juga masih bilang dia mencintaiku dan hubungan kita baik-baik saja, tapi kenapa sekarang jadi seperti ini?" tanya Ami semakin menggenggam erat tangan Tini.
"Apa karena Ami memiliki kekurangan, jadi mas Daffin berpaling," lirihnya lagi dengan suara yang sudah mulai serak.
Melihat kerapuhan dari nona-nya itu, Tini langsung merengkuh tubuh yang kini bergetar karena tangis itu, diusapnya dengan lembut punggung Ami, berusaha untuk memberikan ketenangan.
"Nona tenanglah dulu ya, mungkin saja itu hanya kebetulan, mereka bertemu saat di perjalanan, jadi mereka bersama saat ini." Tini berusaha menghibur Ami, meskipun dia sendiri ragu dengan ucapannya itu.
Sebenarnya sudah beberapa kali, dia memergoki Zoya dan Daffin sedang berinteraksi, tidak seperti calon ipar, saat Daffin berkunjung ke rumah. Semula dia mengira bahwa itu hanyalah perasaannya saja yang berlebihan, tapi kini dia mengerti, jika kecurigaannya itu bukan hanya kecurigaan semata.
Ami tidak bicara lagi, dia hanya sibuk dengan pikirannya, hingga dia merasakan sebuah tarikan di tangannya dan sebuah tamparan mendarat di pipinya yang mulus, hingga membuatnya meringis.
"Kamu ... ngapain kamu di sini hah! belum cukup kamu buat anakku celaka. Aku sudah menduganya, jika kamu hanya akan jadi sumber masalah bagi anakku!" hardik seorang wanita paruh baya yang tidak lain adalah mamanya Daffin.
"Ma ...,'' ucapan Ami langsung dipotong oleh Ratna.
"Jangan panggil aku mama, sampai kapan pun aku tidak akan sudi kamu menjadi menantuku," tegas Ratna.
"Ma, sudah jangan ribut, sebaiknya kita lihat dulu kakak di dalam," ucap adik Daffin lalu menarik mamanya pergi dari hadapan Ami dan Tini.
Setelah kepergian mama dan adiknya Daffin, Tini menuntun Ami untuk kembali duduk di kursi semula, Ami hanya menurut dengan pikiran kosong, dia mendudukkan dirinya bersama dengan Tini.
"Non, kita obati dulu pipinya yuk," ajak Tini.
"Tidak Bi, Ami baik-baik saja, ini hanya luka kecil," sahut Ami menggeleng pelan.
"Atau sebaiknya kita pulang dulu," ajak Tini yang masih dijawab gelengan keala oleh Ami.
"Ami, mau di sini dulu Bi, setelah memastikan Kak Zoya dan Mas Daffin baik-baik saja, Ami baru akan pulang," lirih Ami.
"Tapi, Non—"
"Ami, baik-baik saja, Bi. Ami akan merelakan apa pun kebenarannya nanti," ucap Ami tersenyum dengan hati yang terasa kebas.
Meskipun dia berkata seperti itu, tidak dapat dipungkiri rasa sakit yang dirasa sulit untuk dijabarkan, ingin rasanya dia menghilang dari situasi ini, bahka jika bisa dia ingin hilang ingatan, agar dia tidak dapat lagi mengingat apa yang terjadi saat ini.
Sulit ... sangat sulit, orang yang kita percayai dan orang yang sangat dekat dengan kita, ternyata menghianati kita di belakang. Apalagi yang lebih menyakitkan, selain dari penghianatan yang dilakukan oleh orang yang merupakan saudara kita sendiri.
Tak lama kemudian, dokter kembali mendekati ruangan itu, Ami hanya diam, dia saat ini seolah raga yang kosong. Tidak ada lagi senyum yang terpatri di bibir tipis itu, hanya ada tatapan kosong, binar hidupnya seolah ikut pergi seiring dengan lenyapnya angan yang selama ini menemani kekosongan dalam dirinya.
"Non, kita pulang saja dulu yuk. Non lupa ya, pagi ini tuan pulang. Nanti tuan khawatir jika tidak siapa pun di rumah," bujuk Tini pada Ami.
Ami tersadar dari lamunannya, benar saja. Papanya akan pulang dari perjalanan bisnisnya, papanya pasti akan khawatir.
"Baiklah, Bi. Kita pulang, kita harus menyambut Papa nanti." ucap Ami setelah berpikir beberapa saat.
"Ami mau bertemu dengan Kakak sama Mas Daffin dulu, siapa tau mereka sudah siuman," ucap Ami lagi, lalu dia berdiri dan langsung diikuti oleh Tini.
"Baiklah, ayo bibi antar." Tini mengabil tongkat Ami dan memberikannya pada Ami.
Mereka berjalan menuju ke ruang rawat Daffin dan Zoya dengan langkah pelan, bertepatan dengan dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu, dokter tersenyum pada Tini dan melanjutkan langkahnya pergi dari sana.
Saat sampai di depan pintu Zoya , Ami mendengar percakapan antara Daffin dan mamanya itu.
"Baguslah, kalau kalian sudah memutuskan untuk menikah, mama bisa tenang. Nanti kita menemui papanya Zoya untuk membahas masalah pernikahan kalian."
"Iya, Ma. Kita memang baru berencana akan membicarakan masalah ini saat kita pulang, tapi kita malah mengalami kecelakaan."
Mendengar obrolan di dalam ruangan itu, membuat langkah Ami yang akan memasuki ruangan itu pun terhenti. Dia mematung di depan pintu dengan rasa ngilu di hantinya, secara perlahan dia memundurkan langkahnya dan berbalik tidak menlanjutkan lagi niatnya untuk bertemu dengan Zoya dan Daffin.
"Bi, ayo kita pulang sepertinya mereka baik-baik saja," ucapnya dengan berat.
Tini hanya mengagguk dan kembali melangkah, mengikuti langkah Ami yang sudah lebih dulu berjalan, nona-nya melangkah dengan bantuan tongkat di tangannya, dia menolak untuk dibantu olehnya.
Ami berjalan dengan langkah sembarangan, seluruh tubuhnya terasa mati rasa, bahkan saat menabarak orang-orang yang berada di dekatnya, tidak dihiraukannya.
Tadi dia bertekad akan menemui mereka dan menanyakan semuanya secara jelas, tapi setelah mendengar percakapan antara tunangannya ... ah ralat, mantan tunangannya.
Apakah masih pantas dia menyebut pria yang menjadi, ayah dari anak yang dikandung kakaknya itu sebagai tunangannya lagi, tentu saja tidak! Hubungan antara mereka kini sudah berakhir.
"Hati-hati dong, Mbak," ucap seorang wanita yang baru saja ditabraknya, hingga terdengar suara benda terjatuh ke lantai.
"Maafkan saya, saya tidak sengaja," ucap Ami yang baru sadar, jika dia telah merugikan orang lain.
"Non, baik-baik saja?" tanya Tini dengan khawatir dan memegang lengan Ami.
"Aku baik-baik saja."
"Maafkan majikan saya, Nona," ucap Tini sedikit membungkukkan tubuhnya, pada wanita yang baru saja Ami tabrak.
"Gak pa-pa, lain kali jangan biarkan dia jalan-jalan sendiri," sahut wanita itu dengan nada menyindir pada Ami dan pergi dari sana.
Ami menunduk saat mendengar sindiran dari wanita itu, meskipun dia tidak dapat melihat bagaimana ekspresi wanita itu, tapi dia sadar jika wanita itu menyindirnya, karena kekurangan yang dimilikinya.
"Non, ayo pulang. Ini sudah hampir subuh," ajak Tini, berusaha mengalihkan suasana hati Ami.
Ami hanya mengangguk dan mengikuti langkah Tini dengan pasrah, dia dituntun untuk memasuki mobil, tapi sebelum itu dia melipat tongkatnya terlebih dahulu, barulah mendudukkan dirinya dengan tenang di kursi mobil bersama dengan Tini.
Aku merindukanmu, nanti stelah slesai pertemuan terakhir dengan klien aku akan langsung pulang, biar besok pagi bisa segera bertemu denganmu. Masih terdengar dengan jelas di telinganya saat, Daffin mengucapkan kata rindu itu padanya.
Ya allah, ikhlaskan hatiku menerima semua ini, batinnya denga lirih.
Tak lama kemudian, mobil yang ditumpanginya berhenti. Dia yakin jika saat ini mereka telah sampai di rumah.
"Ayo, Non. Kita turun," ajak Tini.
"Iya, Bi." Ami mulai turun dari mobilnya dan melangkah, menuju ke ruamahnya.
"Bibi bantu ya, jalannya," tawar Tini yang masih khawatir dengan nona-nya itu.
"Tidak perlu, Bi. Ami bisa sendiri kok, Bibi bukakan saja pintunya ya," tolak Ami dengan halus, dia berusaha tetap tersenyum agar tidak terlihat menyedihkan di hadapan art-nya itu.
Tini segera melakuan apa yang Ami katakan, dia mengambil kunci yang ada di tasnya dan langsung membuka pintu utama rumah itu.
"Bi, Ami langsung ke kamar dulu ya," pamit Ami, setelah mereka memasuki rumah itu.
"Iya, Non. Sebaiknya istirahat dulu aja," sahut Tini.
Ami mengangguk dan pergi ke kamarnya, dia sudah hapal benar setiap sudut rumah itu, jadi saat di rumah dia tidak memerlukan bantuan untuk berjalan.
Berbeda jika dia, sedang berada di luar, dia membutuhkan orang lain untuk membantunya karena dia tidak akrab dengan dunia luar.
Setelah sampai di kamarnya, Ami langsung menjatuhkan dirinya di kasur empuknya dengan air mata yang kembali berjatuhan, hingga membasahi seprai berwarna biru muda itu.
Dia meringkuk dengan tubuh mulai bergetar karena tangisan yang berusaha dia tahan, agar tidak sampai mengeluarkan suara.
Ternyata dia tidaklah sekuat apa yang dia harapkan, meskipun dia belum pernah melihat, bagaimana penampakan pria yang beberapa waktu mengisi hatinya, tapi tetap saja, kini hatinya terasa kosong kembali.
Dia ingin berteriak sekeras yang dia bisa, ingin marah. Namun, suaranya seolah tidak ingin keluar dari kerongkongannya, kini yang bisa dilakukannya hanya menangis tanpa suara, meredam suara isakkan tangis itu sekuat tenaga.
"Kenapa ... kenapa, aku diberikan mimpi yang indah itu. Seharusnya aku sadar dan bangun dari awal, jangan terlalu lama terbuai dengan mimpi indah itu, sehingga aku tidak akan pernah merasakan sakitnya, jatuh seperti ini. Benar-benar sakit," lirihnya.
Dia menggigit bibirnya dengan sekuat tenaga, hingga rasa asin mulai terasa di indera perasannya, darah segar mulai mengalir di bibir ranum itu.
Aku mencintaimu Zamira Azliana dan selamanya akan tetap seperti itu, ucapan Daffin yang lagi-lagi terngiang dengan jelas di telinganya, seolah lantunan lagu yang selalu membuatnya merasa jadi wanita yang paling beruntung, kala itu.
Namun, ternyata semua itu hanyalah angan kosongnya, ucapan yang membuatnya serasa berada di atas awan kini seperti sebuah pisau yang menyayat hatinya, secara perlahan.
Entah berapa lama Ami larut dalam kesedihannya itu, tiba-tiba saja dia mendengar suara di luar kamarnya, suara yang sangat di kenalnya.
"Mi, kamu masih tidur?"
Ami tidak menyahuti suara panggilan di luar kamarnya itu, dia tidak ingin papanya melihat penampilan dirinya yang tidak baik-baik saja itu.
Dia tidak ingin papanya khawatir, jika dia memperlihatkan keadaannya sekarang. Terdengar papanya berbicara dengan Tini, hingga suaranya semakin menjauh dari kamar itu.
"Maafkan Ami, Pa. Ami tidak ingin Papa lihat kondisiku sekarang, Ami belum siap berhadapan dengan Papa. Nanti aku akan menemui papa saat aku sudah lebih siap," lirih Ami, menutup mulutnya dengan dengan ke-dua tangannya.
Setelah dirasa puas, menumpahkan air matanya, Ami beberapa kali menarik napas dan mengeluarkannya secara perlahan, setelah merasa sedikit tenang, dia pun bangun dan turun dari ranjang.
Dia melangkah dengan perlahan menuju ke kamar mandi, untuk membasuh wajahnya dengan air dan mengelap wajahnya dengan handuk kecil yang berada tidak jauh dari wastafel.
Setelah itu, Ami kembali melangkah menuju ke ranjang. Dia merebahkan tubuhnya, menutupinya dengan selimut, lalu mulai memejamkan mata.
Dia berusaha keras untuk menjemput ketenangan tubuh, hati dan pikirannya. Setelah matahari mulai menggantikan rembulan nanti, dia sudah harus siap dengan masalah yang harus dihadapi dengan tenang, meskipun dia yakin itu tidaklah mudah.
Ami berdoa dalm hati agar dia, diberikan ketegaran nantinya, cukup sekarang saja dia terus nangis sampai seperti itu, hari esok harus kembali, jadi Ami yang sebelumnya.
...----------------...
Makasih buat kakak-kakak yang udah mampir ke cerita ini, di bab-bab awal aku mau ceritain tentang Ami dulu ya.
Karena buat yang udah baca cerita Ingin Cinta Suamiku, pasti sudah tau sebagian, tentang kehidupan Faris sebelumnya, semoga gak bosan sama ceritanya ya🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!