Marseille merupakan kota kedua terbesar di Perancis dan memiliki perpaduan penghuni dan budaya yang beragam. Secara historis, ekonomi Marseille didominasi oleh pelabuhan milik Kekaisaran Perancis yang menghubungkan koloni Afrika Utara di Aljazair, Maroko dan Tunisia dengan Metropolitan Perancis.
Old Port sebagai pelabuhan lama digantikan oleh Port de la Joliette selama Kekaisaran Kedua dan sekarang berisi restoran, kantor, bar, serta hotel dan sebagian besar berfungsi sebagai marina pribadi. Kawasan tertua, Le Panier. Begitu pula katedral Notre Dame de Major yang memukau dan menghadap ke laut. Menjadi kota terindah yang dimiliki Prancis hingga masa sekarang.
Seorang pria muda bertubuh atletis terbaring lemah, setelah pertempuran hebat melawan sekutu membantu negara tercinta sebagai seorang militer terbaik di Prancis. Putra kesayangan Pierre Boulanger dari keluarga pembuat roti di kota terindah itu, masih dalam kondisi setengah sadar.
"Bagaimana keadaan putra ku Dokter?" Pierre menatap kearah dokter yang menangani putra kesayangannya.
Dokter Patrick menarik nafas panjang, "Do'akan saja yang terbaik Tuan, saya harap putramu akan baik baik saja."
Patrick meninggalkan Pierre dilorong rumah sakit. Laki laki paruh baya yang berprofesi sebagai pembuat roti terlezat dikotanya, hanya bisa melihat pasrah dari balik pintu melalui kaca kecil.
"Bangunlah nak, aku tidak ingin kamu terluka separah ini," tunduk Pierre mendekati kursi tidak jauh dari tempat dia berdiri.
Tampak dari kejauhan suara Nyonya Pierre tergesa gesa, melewati lorong seorang diri, "bagaimana keadaan putra ku Pierre?"
Pierre hanya bisa menahan rasa kesedihan dari raut wajahnya, "Dia masih belum sadarkan diri, sayang. Sudah kukatakan sejak awal, aku tidak menyetujui dia berangkat menuju daerah konflik, tapi kamu masih mengizinkannya. Bagaimana jika dia meninggalkan kita, aku tidak akan sanggup Anelle."
Anelle hanya bisa menarik nafas dalam, "Kembalilah ketoko, aku akan menjaganya disini. Aku tidak ingin dia mendengar penyesalanmu, seakan akan menyalahkan ku."
Wanita cantik nan lembut itu, duduk disamping Pierre. Terlihat jelas wajah penuh kecemasan, setelah mendengar dari komandan militer, tentang kondisi putranya terbaring lemah saat dibawa kerumah sakit.
"Bagaimana keadaan pasukan militer yang lain, apakah mereka mengalami kondisi yang sama dengan putraku?" Anelle melirik kearah Pierre.
"Ntahlah, semoga saja mereka tidak apa apa. Sepertinya ada dua orang yang mengalami penembakan, tapi mereka dibawa kerumah sakit yang berbeda. Apa kamu melihat penjagaan ketat dilantai bawah?" Pierre meyakinkan dirinya.
"Hmmm, ya. Aku melihat rumah sakit ini dijaga ketat oleh pasukan khusus," Anelle memberikan sebungkus roti dan segelas cup coffe untuk suaminya.
Cekreeek,
Pintu ruang perawatan terbuka lebar, "Nyonya, apakah anda keluarga dari Tuan yang terbaring koma didalam?" Seorang perawat muda menghampiri Anelle dan Pierre.
Anelle bergegas berdiri, "Ya, dia putra ku. Bagaimana, apakah sudah sadar?"
Perawat bertuliskan nama Solenne membawa Anelle untuk menemui putranya, "Silahkan Nyonya. Putra anda sudah mulai menggerakkan tangannya. Sesekali dia menyebut nama Frithestan. Apakah itu nama ayahnya?"
Anelle menautkan kedua alisnya, "Suamiku Pierre Boulanger, kami tidak mengenal Frithestan." tegasnya.
"Ya-ya-ya, mungkin putra anda tengah bermimpi. Nyonya, boleh saya meminta data beliau?" Solenne meraih sehelai kertas dan pulpen dari saku bajunya.
Anelle melirik kearah Pierre, "Bukankah kalian sudah mengetahui tentang putra kami?"
Solenne terkejut tidak mengerti, "Maksud anda Nyonya?"
Anelle mendengus kesal, "Putraku ini militer yang diselamatkan negara. Apa kamu tidak melihat luka tembak yang bersarang di tubuhnya?"
Solenne enggan untuk melanjutkan pertanyaannya. Dia memilih meninggalkan ruang perawatan, agar tidak menggangu kondisi pasien, "Aneh, aku kan baru masuk. Baru kali ini ada orang yang tidak mau memberikan data diri seperti biasa," gerutunya saat meninggalkan ruangan.
Anelle mendekati putra kesayangan, menggenggam erat jemari sang putra terbaik abdi negara, "Bangun nak, jangan begini. Mami khawatir."
Pierre mendekati Anelle, "Aku disini saja dulu, menunggu anak kita sadar. Menurut dokter, sudah dua minggu dia koma. Aku takut, terjadi sesuatu."
Dua insan paruh baya itu saling berpelukan, "Bagaimana dengan biaya operasinya kemarin, sayang. Apakah uangnya cukup?"
Pierre mengangguk, "Setidaknya asuransi akan cair dan putra kita dijamin oleh negara. Makanya dikawal ketat oleh militer pusat."
Anelle mengangguk mengerti, "Pierre, bagaimana jika putra kita tidak berhasil diselamatkan. Lihatlah ini, wajahnya lebam, bahkan membuka mata saja dia tidak mampu," tangisnya pecah saat melihat wajah tampan putra tercinta penuh dengan luka memar.
Pierre berdiri, menatap lekat setiap luka yang membekas pada tubuh sang putra.
Tok tok tok,
Seorang Jenderal bintang dua menerobos memasuki ruang perawatan bersama seorang dokter terbaik di rumah sakit tersebut. Mereka menghampiri Pierre dan Anelle yang duduk disamping tubuh pria tampan yang terbaring lemah.
"Selamat siang Tuan, kenalkan ini Jenderal Herald Tribune. Dia yang membawa putramu kesini," jelas Dokter Patrick.
Pierre mendekati Herald, menjabat erat tangan Jenderal yang menyelamatkan putra satu-satunya, "Terimakasih Tuan, anda telah menyelamatkan putra saya," tunduknya hormat.
Herald menyentuh lembut lengan Pierre, "Tolong rahasiakan identitas putra anda, karena dia menjadi incaran sekutu. Saya berharap anda bisa bekerja sama dengan kami."
Anelle mendengar, langsung berdiri disamping suaminya, "Jangan jadikan anak kami sebagai umpan Tuan, kami hanya rakyat biasa, kami tidak tahu apa apa."
Pierre mendekap erat tubuh Anelle, "Tenang sayang, anak kita dilindungi mereka. Aku yakin, putramu akan baik baik saja, jika kita selalu menjaganya."
Jenderal Herald mengangguk, "Dokter Patrick adalah dokter terbaik dan dia akan mengabari kami tentang kondisi putra anda. Saya berharap kalian mau bekerja sama dengan kesatuan untuk melakukan sesuai perintah negara kita."
Pierre dan Anelle mengangguk mengerti, mereka kembali menatap kearah tubuh putra tercinta, entah apa yang berkecamuk dikepala keduanya.
"Apa yang disembunyikannya, hingga dia menjadi incaran sekutu dimedan perang. Aku takut sayang, aku takut anak kita terancam," Anelle menangis dipelukan Pierre.
Dokter Patrick tersenyum, menenangkan kedua orang tua pasien, baginya keselamatan dan rahasia data diri harus tetap terjaga, demi keselamatan pasien terbaik yang dilindungi secara resmi oleh kesatuan militer negara.
"Baiklah, saya permisi. Pengawalan akan tetap berjalan ditiap tiap lantai. Saya harap kalian tidak meninggalkan putra kesayangan anda disini sendiri. Jika ada apa apa, silahkan hubungi saya," Herald Tribune menjabat tangan Pierre, memberikan secarik kertas dan black card ditangan Anelle.
"Apa ini Jenderal?" Anelle tersontak kaget menerima black card.
Terlihat jelas nama Bank ternama, tertera nomor password delapan digit dan nomor telepon pribadi Jenderal Herald Tribune.
Herald tersenyum tipis, "Ini adalah card untuk memenuhi kebutuhan putra anda selama disini. Kami telah menyediakan semua fasilitas terbaik, karena putra anda adalah militer terbaik yang kami miliki. Mohon bantuan dan kerjasamanya."
Herald berlalu meninggalkan kamar perawatan, tanpa mau berbasa-basi. Sementara Pierre dan Anelle saling bertatapan bingung.
"Aku takut Pierre, jangan jangan putra kita melakukan sesuatu yang tidak kita ketahui," Anelle kembali memeluk suaminya, saat melihat Herald dan Patrick meninggalkan ruangan.
Pierre sedikit penasaran, bergumam dalam hati, "Ada apa ini, kenapa mereka seperti memohon padaku?"
__________
Pengawalan ketat terhadap salah satu prajurit militer Prancis, sangatlah sulit untuk ditembus pihak lawan. Terlihat dari atas gedung sebelah rumah sakit seorang mata mata dari pasukan sekutu tengah mencari keberadaan pria yang terbaring lemah diranjang rumah sakit. Suara mesin pendeteksi jantung, masih menempel didada pria yang masih dilindungi statusnya.
"Sayang, aku pulang dulu. Hari sudah pagi, kamu disini saja. Roti kita akan diproduksi beberapa menit lagi, toko juga harus dibuka," Pierre merangkul Anelle.
Anelle mengusap lembut wajah suaminya, "ya, pulanglah. Hati hati, jangan sampai kita terlena disini. Bagaimanapun aku akan menjaga anak kita sampai dia siuman sesuai perintah Jenderal Herald Tribune."
Pierre mengangguk, dia meninggalkan ruang perawatan. Sebelumnya, mata sendu itu menatap kearah putra kesayangan, "sadarlah nak, aku sangat mencintaimu."
Anelle hanya merangkul mesra suaminya, tidak ingin terlarut dalam kesedihan, "I love you Pierre."
Pierre berbalik badan, mengecup mesra kening Anelle, "I love you too."
Pierre meninggalkan rumah sakit dengan langkah cepat. Tanpa mau berbasa-basi dengan pihak rumah sakit yang menunduk hormat kepadanya. Wajah tegas, namun tampan menunjukkan bahwa dia adalah sosok ayah yang tenang.
Tidak memakan waktu lama, Pierre tiba di toko roti miliknya. Semua karyawan bekerja sesuai perosedur yang telah mereka sepakati. Wajah lelah tampak terlihat jelas karena matanya hanya menatap satu arah.
"Tuan, apakah anda baik baik saja?" Leonal orang kepercayaan Pierre mendekati majikannya.
Pierre mengangguk, "ya, saya baik baik saja. Sepertinya hanya kurang tidur, lelah menjaga putraku."
Leonal mengerti, dia membantu Pierre mempersiapkan semua bahan produksi untuk toko roti mereka.
Beberapa jam mereka melakukan kegiatan seperti biasa, seorang pemuda dewasa memasuki toko roti milik Pierre. Menunjuk semua pesanannya, tanpa banyak bicara. Matanya tertuju pada Pierre yang terduduk lemas disudut ruangan.
"Berapa semuanya?" tanya pria dewasa itu pada Leonal.
"Semua 85 euro, Tuan," Leonal menjawab dengan sopan.
Pria dewasa yang berbalut pakaian seragam militer berlambang negara asing memberikan uang pas, tanpa berharap menunggu kembaliannya.
"Terimakasih Tuan, atas kunjungan anda," Leonal memberikan pesanannya.
Pria dewasa itu menerima pesanan dari toko roti milik Pierre, dengan perasaan penasaran. Wajah dingin itu seketika berbincang sedikit akrab dengan Leonal.
"Bagaimana kalian mengembangkan toko roti ini, bukankah toko ini terlihat sepi?" Pria itu membuka kemasan paper bag yang diberikan Leonal padanya.
Leonal hanya tersenyum tipis, "kami sudah memiliki langganan khusus Tuan, beberapa hotel memesan roti kepada kami dan mereka menjadi langganan terbaik selama ini."
Mendengar penjelasan Leonal, pria itu semakin antusias mendengarkan cerita karyawan Pierre.
"Apakah pak tua itu memiliki seorang putra?" Pria itu bertanya penuh selidik.
Leonal hanya tersenyum, "kamilah putranya Tuan," jawaban Leonal membuat pria dihadapannya enggan untuk bertanya lagi.
"Baiklah, saya permisi. Roti kalian sangat enak. Saya harap bisa menjadi langganan terbaik disini," dia berlalu meninggalkan toko roti milik Pierre.
Toko roti terlezat dikota Marseille yang merupakan kota kedua terbesar di Perancis dan memiliki perpaduan penghuni dan budaya yang beragam, sangat memukau bagi mereka yang memilih menetap disana. Pierre memilih meninggalkan Leonal, untuk beristirahat dilantai atas tempat ternyaman bagi pria paruh baya itu bersama keluarga.
***
Sementara diruang perawatan VIP rumah sakit ternama dan terbaik dikota Marseille putra kesayangan Pierre dan Anelle mulai menggerakkan tangannya kembali.
Terdengar suara berat putra satu-satunya Anelle memanggil namanya, "Ma-ma-Mami," rintihnya dengan terbata dan sangat pelan.
Anelle sebagai ibu kandung sang putra, mendekatinya, "Mami disini sayang, bangunlah nak, Mami merindukanmu."
"Hmmmm," putranya berusaha membuka mata.
Anelle menatap wajah tampan putra kesayangan, "bertahan sayang, Mami disini. Mami panggilkan dokter yah. Kamu harus bertahan," dia mengecup punggung tangan anak satu satunya.
Anelle meraih tombol utama, yang letaknya tidak begitu jauh dari kepala putra yang berstatus militer negara Prancis, "Dokter, putraku sadar. Tolong kesini segera."
Anelle terus menatap lekat dan mengusap lembut air mata yang mengalir dari sudut mata putra kesayangan, "pelan pelan, buka matamu. Dokter Patrick akan memeriksa kondisimu, sayang."
Air mata kebahagiaan Anelle mengalir tanpa dia sadari, melihat putra satu-satunya harus berjuang membuka mata walau dalam keadaan memar dan tidak memungkinkan.
Dokter Patrick dan salah seorang perawat wanita memasuki ruangan dengan tergesa-gesa, "bagaimana Nyonya, apakah putra anda sudah siuman?"
Patrick meminta perawat pendampingnya untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut, berusaha menyelamatkan pemilik rahasia terbesar dalam dunia militer untuk melindungi negara mereka.
"Nyonya, kami akan melakukan tindakan sedikit, mungkin akan sedikit menyakitkan putra anda, saya mohon, anda duduk disofa saja," Patrick meminta Anelle agar tidak melihat tindakan yang akan mereka lakukan.
Anelle mundur, sedikit khawatir, mendengar tindakan yang akan mereka lakukan pada putranya, "Jesus, selamatkan putra ku. Aku mohon padamu."
Benar saja, Patrick mengeluarkan banyak darah yang membeku dibagian dada agar pria tampan itu dapat bernafas dengan lega, "berikan transfusi darah O negatif dua kantong, segera!"
Solenne melakukan perintah Patrick dengan sigap, menghangatkan darah yang sudah dipersiapkan, mengambil jarum suntik untuk menembus nadi milik pria tampan dihadapannya. Perlahan perawat cantik itu menusuk jarum suntik pada lengan kekar milik pasukan militer internasional, tanpa rasa takut.
"Aaaaaaaagh," seketika mata lebam pria itu terbuka dan menatap tajam kearah gadis yang menusukkan jarum suntik pada nadinya.
Solenne masih melakukan tugasnya untuk melakukan tindakan cepat, agar pria itu bisa bernafas normal, "tahan Tuan, tahan."
Seketika tangan lembut Solenne ditepis dari sentuhan tangan kekarnya, "jangan sentuh aku," gerutunya dengan bibir masih mengatup.
Patrick segera memberikan suntik penenang agar pasukan militer tidak melakukan perlawanan, karena perasaan sakit.
Tanpa perlawanan yang berarti, putra Anelle dan Pierre kembali melayang, bibirnya meracau menyebut semua nama yang tidak begitu jelas.
"Daniel, Da-Da-Daniel, dimana Solenne!" bibirnya semakin kelu untuk bersuara.
Patrick menatap kearah Solenne, "apakah kamu mengenalnya Nona?"
Solenne dengan cepat menggeleng, melanjutkan pekerjaannya, sesuai perintah Dokter Patrick, "saya baru melihatnya hari dua hari. Saya tidak tahu siapa dia dan kenapa kondisinya bisa separah ini."
Patrick mengangguk mengerti, "apakah dia mengalami shock yang luar biasa, dengan hantaman bertubi-tubi yang diberi lawannya. Lihat saja, lima butir peluru bersarang pada tubuhnya, tapi dia mampu bertahan menahan timah panas itu. Jika saya jadi dia, mungkin sudah mati ditempat."
Solenne hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Patrick, disela sela memompakan darah kental pada tubuh pria bertubuh atletis itu, "semoga setelah ini, dia bisa sadar dan dapat berinteraksi dengan kedua orang tuanya."
Anelle mendengar suara dari balik tirai ruangan putranya, hanya mengamini semua ucapan perawat dan dokter yang menangani putranya.
"Semoga saja putraku baik baik saja, setelah ini," Anelle berdoa dalam hati.
____________
Siang menjelang sore, suasana sejuk dikota Marseille, Anelle masih menunggu putra kesayangan kembali siuman, dari pengaruh obat penenang yang di berikan Dokter Patrick padanya, "apakah putraku akan siuman suster?"
Solenne tersenyum tipis, "berdoa saja Nyonya, semoga putramu segera siuman. Biasanya setelah transfusi darah, kondisinya segera pulih."
Anelle mengangguk mengerti, "terimakasih atas perhatianmu. Oya, siapa namamu, sudah berapa lama kamu menjadi asisten pribadi Dokter Patrick?"
"Hmm, saya baru disini Nyonya. Saya permisi," Solenne menunduk dan berlalu meninggalkan ruang perawatan.
Anelle sedikit penasaran dengan suster yang merawat putranya, "kenapa dia sangat tertutup dan tidak begitu suka dengan pertanyaan?" dia kembali menatap wajah putranya, mengusap lembut punggung tangan laki laki tampan yang masih tertidur pulas.
Beberapa jam kemudian, Pierre hadir diruang rumah sakit. Pria paruh baya itu masuk tanpa mengetuk pintu ruangan, melihat istrinya tengah duduk menatap putra kesayangan mereka.
"Bagaimana keadaannya, sayang?" Pierre mengusap lembut punggung istrinya, memberikan paper bag berisikan makan siang.
Anelle menjelaskan semua kondisi putranya, menerima bingkisan yang dibawa suami tercinta, "kita makan bersama?"
Pierre mengangguk, saat mereka akan kembali kesofa, terdengar suara lembut dari bibir tipis putranya.
"Mi," suara berat penuh dengan rintihan kesakitan itu kembali terdengar.
Anelle menghampiri putranya, kembali menekan tombol panggilan memberi kabar bahwa anaknya telah siuman.
Pierre mendekati Anelle, menatap lekat wajah pria tampan itu, "semoga dia segera sadar," mereka saling berpelukkan melihat kedatangan Dokter Patrick yang segera menangani putra mereka.
Solenne membantu Patrick, menyediakan semua kebutuhan yang diminta dokter pribadi militer itu, sedikit berbisik, "bagaimana Dokter?"
Patrick tersenyum lega menatap kearah kedua orang tua prajurit yang masih terbaring lemah diranjang rumah sakit, "putra anda sudah melewati masa kritisnya. Saya harap semakin membaik dan segera siuman seperti harapan kita bersama."
Dua minggu lebih prajurit militer Prancis itu, hilang kesadaran, karena penyerangan negara sekutu padanya. Dia berhasil menyembunyikan sesuatu ditubuhnya, hingga dihabisi oleh orang asing dari negara berbeda. Penculikan beberapa waktu lalu, berhasil dilumpuhkan atas perintah Herald Tribune dan prajurit militer lainnya.
Anelle dan Pierre bernafas lega, mendengar penjelasan dari dokter. Seketika mereka mendekati putranya, untuk memberikan kekuatan melalui sentuhan tangan.
"Buka matamu nak, Mami disini," kembali terdengar tangis Anelle yang sangat mengiris hati.
Solenne mengusap lembut punggung Anelle, membisikkan sesuatu ditelinga wanita cantik paruh baya itu, "kesadarannya akan kembali Nyonya, semoga ini menjadi awal yang baik."
Saat gadis tinggi semampai itu akan membalikkan tubuhnya, tangannya seketika diraih oleh pria itu dengan genggaman sangat kencang.
Sheeeer,
Solenne merasa ketakutan luar biasa, genggaman itu mengalirkan getaran yang berbeda, "Dok," tatapan gadis bermata sayu itu menatap Patrick memohon pertolongan.
Patrick meminta Solenne agar tetap tenang, berbisik ketelinga prajurit negara, "Tuan, buka mata anda. Orang tua anda sangat berharap, ingin melihat anda siuman."
Mata elang nan tajam itu terbuka, wajah lebam sedikit menghambat pemandangannya, "jangan pergi. Saya tidak akan pernah melepaskan tangan kamu," suara berat milik pria militer itu terdengar memohon.
Tentu Solenne sedikit bingung, dia tidak mengenal pria yang terbaring lemah diranjang rumah sakit, tapi meminta untuk tetap tinggal disana tanpa melepaskan genggamannya.
Anelle mundur memberi ruang pada Solenne untuk duduk dibangku yang iya duduki, "duduklah Sus, mungkin putraku masih ingin berbincang denganmu."
Deg,
Solenne semakin ketakutan, wajah cantik itu seketika menjadi memerah, karena perasaan berbeda menyelimuti relung jiwanya, "ada apa ini?" dia bergumam dalam hati.
Mata elang berwarna kecokelatan itu melihat kearah Solenne tanpa berkedip, "jangan pergi!" pintanya kembali terdengar.
Dengan susah payah Solenne menelan salivanya, berharap pria galak itu tidak akan menyakitinya, "baik Tuan, saya akan menunggu anda disini," tunduknya patuh.
Dokter Patrick tersenyum lega, menatap kearah Solenne, mengacungkan jempol kearah asisten pribadinya, "kamu temani dulu yah, jika terjadi sesuatu, segera panggil saya. Saya akan visit diruangan lain. Ada beberapa pasien yang membutuhkan penanganan khusus."
Solenne mengangguk patuh, dia masih duduk dikursi, tanpa melepaskan tangannya dari genggaman prajurit, yang masih kuat menggenggam. Pelan dia menatap kearah prajurit militer yang dilindungi negara Perancis, "apakah anda merasa lebih baik Tuan?"
Pria itu masih enggan mengalihkan pandangannya, dia terus menatap Solenne, bahkan saat ini dia melepas selang pernapasan yang menempel diwajahnya.
"Tuan, apakah kondisi anda sudah stabil?" Solenne sedikit cemas saat pria semakin berusaha duduk untuk mendekatinya.
Anelle dan Pierre mendekati putranya, "tenang nak, gadis ini akan selalu menjagamu disini. Jangan terlalu dipaksakan, kondisi kamu masih lemah," dia menahan bahu putranya agar tetap tenang.
"Aku melihatnya Mi, dia meninggalkan aku," terdengar suara berat itu kembali seperti meratapi sebuah kejadian.
Anelle menautkan kedua alisnya, "apa maksudmu, apa kalian saling mengenal?"
Tubuh kekar itu kembali merintih kesakitan, tanpa mau melepaskan genggaman tangannya, "aaagh, badan ku terasa kaku," rintihannya terdengar sangat memilukan.
Solenne membantu prajurit militer Prancis itu untuk melakukan semua permintaannya, "bisa lepaskan tangan saya, Tuan. Saya akan membantu untuk memperbaiki posisi tempat tidur anda."
Pria itu melakukan saran Solenne, melepas genggamannya pelan.
Solenne bergegas menekan tombol, untuk mengatur posisi duduk pria yang masih merintih kesakitan, "apa sudah cukup Tuan?"
Pria kaku itu hanya mengangguk pelan, menahan rasa sakit yang teramat sangat.
Anelle mengusap lembut wajah putranya, tersenyum lega, menatap penuh cinta kearah Pierre, "putra kita selamat sayang."
Pierre mengangguk, menghampiri Anelle merangkul tubuh indah istrinya, "syukurlah, kita akan memberi kabar pada Herald Tribune."
Anelle mengangguk setuju, perlahan mereka memberi ruang untuk Solenne dan putranya dengan penuh tanda tanya bersemayam dibenak mereka.
"Apakah putra kita mengetahui tentang suster itu, sayang?" Anelle menatap lekat wajah Pierre.
Pierre menggelengkan kepalanya, "entahlah, namanya anak muda. Aku rasa mereka saling mengenal, tapi gadis itu seperti ketakutan saat berhadapan dengan putra kita."
Anelle membenarkan semua apa yang mereka lihat, "apakah kita akan memberi tahu padanya, siapa putra kita? Aku takut, jika salah bicara kan mengancam keselamatan kita semua, sesuai perjanjian kita dengan Jenderal Herald Tribune."
Pierre menarik nafas panjang, dia coba mengingat kejadian aneh yang terjadi pagi tadi ditoko roti miliknya, "tadi juga ada pria asing membeli beberapa roti dan dia banyak tanya dengan Leonal, tapi hari ini aku sangat kelelahan hingga malas untuk berbasa-basi dengan pelanggan baru kita."
Anelle menyimak semua penjelasan Pierre, "apakah pria itu seorang militer dan menanyakan tentang putra kita?"
Pierre kembali memikirkan pembicaraan Leonal dan pria militer asing itu, "mereka hanya berbincang seperti biasa. Aku tidak begitu mendengar, karena kamu tahu kondisiku sangat kelelahan."
Anelle memijat pelipisnya, sesekali mata indah itu melirik kearah putranya dan Solenne, "aku jadi penasaran dengan asisten pribadi Dokter Patrick ini. Kulitnya sangat berbeda dari rakyat biasa."
Pierre kembali membenarkan ucapan istrinya, hanya mengusap lembut punggung Anelle, enggan untuk membahas tentang Suster pribadi putranya.
_______
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!