NovelToon NovelToon

Penakluk Sang Casanova

Bab.01 Diandra Amandita

...Happy Reading ...

...💖...

Seorang perempuan bergaya sederhana, tetapi, tetap terlihat modis, berjalan menyusuri sepanjang garis bibir pantai, semilir angin menerbangkan sebagian rambutnya yang terurai.

Hari masih terlalu pagi, bahkan sang surya belum mau menampakkan sinarnya, bersembunyi di balik lautan dengan semburat merah di sekitarnya.

Pemandangan yang sangat indah, juga memanjakan mata, ditambah dengan harum khas lautan yang terasa menambah sempurna suasana pagi hari ini.

Belum terlalu banyak orang, pengunjung seakan masih senang menikmati waktu di dalam kamar masing-masing. Hanya ada segelintir orang yang sedang berjalan juga berlari kecil, yang bisa ia lihat di sana.

Mata indah itu terpejam, hidungnya menghirup napas dalam, menahannya sebentar hingga paru-paru di dadanya terasa penuh, lalu membuangnya perlahan, sambil membuka matanya kembali.

Tak ada yang lebih indah dan menyenangkan dari semua yang bisa ia nikmati saat ini. Tinggal di pantai yang sangat indah, hingga menjadi tujuan banyak wisatawan dari dalam maupun luar negeri. Dia sangat bersyukur untuk semua itu.

“Dian!” Panggilan dari seseorang membuat perempuan itu menolehkan pandangannya, sekilas, lalu kembali melihat ke arah laut lepas.

Seorang lelaki muda terlihat menghampirinya, dengan wajah sumringah . “Aku cari kamu dari tadi, ternyata kamu sedang asik sendiri di di sini!” ujarnya, setelah berdiri di samping Dian.

“Siapa yang menyuruhmu mencariku?” acuh Dian.

Dia tak pernah peduli dengan lelaki di sampingnya itu. Menurutnya, hidup sendiri lebih menyenangkan, tanpa ada peraturan yang mengekang dan drama cemburu yang begitu menggelikan.

“Gak ada sih,” jawab lelaki itu, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Dian, kamu mau ke mana?” tanya lelaki itu lagi, saat melihat Dian melangkah menjauhinya.

“Balik ke hotel, mau apa lagi?” jawabnya sambil terus berjalan.

“Kita jalan bareng aja, aku juga mau balik ke hotel.” Menyejajarkan langkah, dia terus berusaha mendekati perempuan yang sejak dua tahun ini dia sukai.

Dian tak menjawab,  dia hanya terus berjalan tanpa menganggap keberadaan lelaki itu. Lelaki yang sudah beberapa kali menyatakan cinta padanya, hingga membuatnya merasa bosan dan jengah.

Jonas, lelaki berumur tiga puluh tahun yang sudah menyukai Diandra sejak dua tahun lalu. Lelaki yang berprofesi sebagai manajer di hotel tak jauh dari tempat Diandra bekerja itu, seakan tak pernah bosan untuk mengganggu kehidupan seorang Diandra.

Perempuan yang terkenal dengan wajah cantik dan  bentuk tubuh sempurna, tetapi, bersikap dingin dan sombong bila berhadapan dengan sosok yang bernama lelaki. Sikapnya itu bahkan sudah banyak menimbulkan kontroversi dan rumor yang tidak jelas di sekitarnya. Mulai penyuka sesama jenis, hingga kemarahan para pelanggan hotel hidung belang yang mencoba merayunya.

Namun, semua itu tak membuatnya terganggu, dia tetap dengan pendiriannya dan sikapnya. Hingga tanpa sadar itu juga yang menjadikan dirinya begitu memesona di mata para lelaki lainnya.

Keirian dari para perempuan lainnya juga ikut mewarnai hari-harinya. Itu tentu hanya sebuah hiburan bagi perempuan seperti Diandra, dia lebih suka mengacuhkan para pembuat onar lalu bergerak di belakang tanpa terlihat, kemudian mengejutkan di akhirnya.

Sampai di persimpangan jalan, Diandra sedikit menghentikan langkahnya.

“Ngapain kamu mengikutiku? Bukannya hotelmu ada di sana?” tanya Diandra pada Jonas. Dia menunjuk hotel tempat Jonas bekerja dengan dagunya.

“Aku mau mengantarkanmu lebih dulu,” jawab Jonas.

Diandra mendengus kesal. “Aku bukan anak kecil yang harus di antar ke mana-mana,” ujarnya tidak suka, lalu berjalan kembali.

Melangkah lebih cepat menuju hotel tempatnya bekerja, dia memang tinggal di belakang hotel itu, di sana ada sebuah rumah sederhana yang sengaja dia beli beberapa tahun yang lalu.

“Dari mana, Kak?” seorang lelaki yang tampak lebih muda menyapanya, begitu ia masuk ke dalam rumah.

“Biasa, pantai,” jawab Dian, menghentikan langkahnya sebentar sambil memperhatikan penampilan sang adik.

“Kamu mau balik ke resto?” tanya Dian.

“Iya, Kak. Ada kerjaan di sana,” ujar Ares, sambil memakai sepatutnya.

Dia bekerja di salah satu restoran yang ada di sana beberapa bulan lalu, maka dari itu mereka tinggal bersama. Usia Ares berbeda lima tahun dari Diandra.

“Hem, kamu sudah sarapan?” tanya Diandra.

“Sudah, tadi aku masakin nasi goreng spesial untuk Kakak,” jawab Ares.

Dian mengangguk. “Terima kasih,” ucapnya singkat, lalu berlalu menuju kamarnya, untuk membersihkan diri dan bersiap, karena sebentar lagi waktunya masuk kerja.

Masuk ke dalam kamar mandi, dia membiarkan tubuhnya terguyur air dingin dari shower, helaan napas berat terdengar berulang kali, entah apa yang ia pikirkan saat ini, hingga pandangan matanya terlihat sedikit bergetar.

Ya, di balik sosok kuat itu, begitu banyak beban yang ia harus tanggung sendiri. Tanpa ada orang yang tahu, rasa sakit di hatinya.

Selesai dengan acara membersihkan diri, Dian berjalan menuju kamarnya, mengambil baju kerja yang tergantung di lemari, lalu memakainya.

Duduk di depan meja rias, untuk memoles wajah cantiknya, dengan berbagai jenis mekap yang tertata rapi.

“Sempurna,” ucapnya, saat berdiri di depan kaca besar, satu tas berukuran medium sudah ia sampaikan di salah satu pundaknya, sepatu hils dengan tinggi lima centimeter menunjang penampilannya hari ini.

Sebagai seorang sekretaris dia harus selalu terlihat cantik, rapi, dan siap siaga di mana pun dan kapan pun sang bos meminta bantuannya. Walau pada kenyataannya, dialah bos sesungguhnya.

Beranjak menuju meja makan, di mana ada sepiring nasi goreng spesial yang telah sang adik siapkan. Dia tersenyum sambil duduk di kursi, menatap hasil karya sang adik, setelah bertahun-tahun bersekolah dalam bidang tata boga.

Meminum air putih sebagai awal dari sarapan paginya. Perlahan tangannya menyuapkan satu sendok nasi goreng itu, Dian menutup matanya, menikmati rasa yang terasa sangat ia rindukan.

Masakan sang ibu. Ya, ini sangat mirip dengan masakan wanita yang telah melahirkannya dua puluh tujuh tahun lalu. Dian membuka mata yang sudah tertutup oleh air di pelupuk, dia rindu ... sangat rindu.

Menarik napas pelan lalu menghembuskannya cepat, lalu kembali mengunyah makanannya, dia melakukan hal itu berkali-kali sampai nasi goreng itu habis.

Sarapan yang begitu terasa berat dan menyesakkan dada. Dia beranjak mencuci piring bekasnya, lalu menyambar tas yang ia taruh di salah satu kursi lainnya, kemudian berjalan ke luar untuk pergi ke hotel tempatnya bekerja.

Beberapa saat kemudian, Dian sudah melangkah masuk ke dalam bangunan hotel tempatnya bekerja, langkah tegas, dengan dagu di angkat penuh percaya diri membuatnya selalu menjadi pusat perhatian sekitarnya.

Penampilan yang modis disempurnakan dengan bentuk tubuh yang bagus, membuatnya selalu tampak sempurna, ditambah riasan tipis yang menghias wajahnya, membuat para lelaki tak bisa memalingkan wajah begitu saja.

Berjalan menuju sisi hotel lainnya, yang diperuntukkan sebagai area khusus kantor, dia melangkah menuju ruang manajer, duduk di bagian depan, sebagai seorang sekretaris. Menaruh tas yang dibawanya, lalu langsung masuk ke dalam ruangan manajer itu, untuk melaksanakan pekerjaannya sebelum orang yang mempunyai ruangan datang.

Memastikan semuanya sudah berada di posisi yang benar, menyiapkan kopi dan memastikan semua berkas sudah ada pada tempatnya, dia baru keluar setelah semua pekerjaannya di dalam selesai.

“Selamat pagi, Dian.”

 

... 🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹...

 

...Bersambung...

 

 

 

 

Bab.02 Giovano

...Happy Reading ...

...💖...

“Selamat pagi, Dian.”

Sapaan yang tiba-tiba terdengar dari arah pintu, membuat perempuan cantik itu membalik badannya, tersenyum tipis kepada seseorang yang baru saja datang.

“Pagi juga,” ucapnya singkat. Dia kemudian mengambil buku catatan miliknya dan menyebutkan jadwal untuk hari ini.

“Tidak usah seperti itu, Dian. Seharusnya di sini aku yang mengerjakan semua ini untukmu, bukan malah terbalik seperti ini,” ujar lelaki berumur tiga puluh lima tahun yang merupakan sepupunya sendiri.

“Sudahlah Romi, kamu ini jangan banyak protes. Semua orang tahu kalau aku ini sekretaris kamu, jadi kerjakan saja tugasmu sekarang,” bantah Dian.

“Ya, aku tau. Tapi, disini hanya ada kita berdua, jadi bersikaplah selayaknya pemilik hotel ini,” debat lelaki yang disebut Romi itu.

“Ya, baiklah. Kalau begitu aku ke luar dulu ... siapkan berkas pengajuan para kontraktor, untuk membangun hotel baru kita di Bandung,” putus Dian, kemudian keluar dari ruangan itu.

Begitulah semua drama antara bos dan kepercayaannya yang berperan sebagai sekretaris dan bosnya, di hadapan banyak orang. Karena wasiat dari sang nenek yang meminta agar Dian tak memberi tahu siapa pun tentang hotel yang ia wariskan. Membuat Dian terpaksa menutupi semua itu dari orang lain, kecuali Romi dan ayahnya yang merupakan pengacara keluarga dari sang nenek.

Semua itu bukanlah tanpa alasan, perseteruan antara ayah dan para saudaranya yang masih berjalan sampai sekarang, membuat neneknya takut kenyataan ini, akan membuat hubungan mereka bertambah renggang.

Dian sebenarnya sudah sempat menolak hotel ini, dia merasa tidak berhak menerima semua itu. Akan tetapi, melihat sang  nenek yang memohon dan terus membujuknya, membuat dirinya luluh juga, dan mau menerima semua ini.

Walau akhirnya semua ini harus ia lakukan sambil mencoba mencari solusi atas semua permasalahan antara ayah dan para pamannya.

Walau akhirnya dia juga terkena imbasnya, sekarang hubungan antara dia dan ayahnya yang menjadi renggang, setelah meninggalnya sang nenek.

Dian menghembuskan napas berat, saat mengingat permasalahan keluarga yang membuatnya kini terjebak dalam situasi rumit. Hidup sendiri dengan berbagai rumor miring di sekitarnya yang membuat hubungannya dan sang ayah semakin jauh.

Dering telepon di meja kerjanya mengalihkan perhatiannya, segera ia ambil dan temperatur di telinga, sudah tahu pasti, siapa yang menghubunginya.

“Melamun saja terus, sampai ayam tetangga mati!” gerutu orang di ujung sambungan yang tak lain adalah Romi.

“Apa hubungannya melamun dengan ayam tetangga yang mati?” cebik Dian. Saudaranya yang satu ini memang sedikit ajaib kalau sedang berbicara.

“Ah, sudahlah. Kenapa kita jadi membicarakan ayam? Ada apa kamu menghubungiku?” sambung Dian lagi.

Romi terdengar tertawa mendengar kekesalannya. “Semua berkas sudah siap, kamu tinggal mengambilnya,” ujarnya kemudian.

“Baiklah, aku akan segera ke sana,” jawab Dian, sambil menyambar berkas yang tergeletak di depannya lalu melangkah ke ruangan di depannya. Dia bahkan menutup teleponnya tanpa ucapan terlebih dahulu.

Begitu melihat Dian masuk, Romi langsung berdiri dan membiarkan Dian mengambil alih pekerjaannya. Keduanya tampak larut dengan pekerjaannya masing-masing.

.

Di Bandara internasional Soekarno Hata, seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, terlihat baru saja keluar dari terminal tiga kedatangan.

Berjalan dengan penuh gaya sambil menebar seribu pesonanya pada setiap perempuan yang berasa di sekitarnya.

“Gio!” seruan dari seseorang yang tak lain adalah asisten sekaligus sahabatnya sendiri, mengambil perhatiannya, dia melambaikan tangan sambil mempercepat langkahnya.

“Randi, apa kabar kamu?” tanya Gio, sambil memeluk kilas lelaki di depannya.

“Aku baik, kamu bagaimana? Sepertinya betah sekali di luar negeri sampai tak ingat pulang,” sendiri Randi.

“Ya, kamu tau sendiri kan, kalau di sini ibu ratu akan selalu mengawasiku, aku tidak bisa lagu bermain dengan para wanitaku,” jawabnya santai.

Kini mereka sedang berjalan menuju tempat mobil Randi terparkir.

“Hahaha  ... ternyata kamu belum berubah juga? Astaga ... mau sampai kapan, Gio?” Randi menatap Gio dengan alis bertaut dalam.

Gio hanya mengangkat kedua bahunya, tanpa mau menjawab pasti pertanyaan temannya. Sesekali dia tampak mengedipkan sebelah matanya, pada perempuan yang terlihat memperhatikannya.

“Aku mau mengendarai sendiri, berikan kuncinya,” ucapnya, membuat terkejut Randi.

“Lalu aku pulang naik apa? Lagi pula kamu mau ke mana? Nanti aku jawab apa kalau di tanya sama tante Hana?” bingung Randi.

“Kamu bisa apalagi menggunakan taksi, aku mau jalan-jalan sebentar. Terserah kamu saja,” acuh Gio langsung menyambar kunci mobil di tangan Randi lalu masuk dan melesat pergi, meninggalkan bandara.

Randi hanya menggelengkan kepala sambil menghembuskan napas pasrah, melihat mobilnya telah menjauh dari pandangan. Beginilah nasib bawahan yang selalu saja tak bisa melawan oleh titah tuannya. Walaupun sebenarnya dia sudah dianggap keluarga sendiri oleh keluarga Purnomo.

Entah dia harus senang atau menyesali kedatangan bos sekaligus saudaranya itu, yang pasti akan banyak drama lagi di rumah setelah kedatangan Gio.

Memilih memanggil taksi dan berlalu menuju rumah kediaman keluarga Purnomo untuk menaruh koper Gio, setelah itu baru dia akan kembali ke kantor.

Di tempat lain, Gio sedang mengendarai mobilnya pada suatu tempat, menepi sebentar di halaman sebuah toko bunga lalu kembali melanjutkan perjalanannya.

Setelah menempuh perjalanan selama hampir dua jam, akhirnya dia berada di sebuah pemakaman eksklusif di luar kota. Melangkah menuju ke dalam kawasan yang terlihat lebih seperti sebuah padang rumput hijau dibandingkan dengan sebuah pemakaman itu.

Sebuah buket bunga berada di tangannya, mengayun mengikuti langkah kakinya. Beberapa saat kemudian, dia sudah berdiri di salah satu makam yang berada di sana.

“Hai, Pah. Apa kabar?” ucapnya, sambil meletakkan buket bunga di dekat batu nisan bertuliskan Yoga Haris Purnomo.

Gio menundukkan kepala, memanjakan doa untuk ayah yang telah mengorbankan nyawa hanya untuk menyelamatkannya.

Ingatan tentang kejadian beberapa tahun lalu, di saat dia harus melihat ayahnya sendiri meregang nyawa di pangkuannya, karena ulah seorang gadis yang ia cintai.

“Jaga, ibu dan adikmu dengan baik ... Papah percaya padamu.”

Ucapan terakhir mendiang ayahnya, selalu terngiang di telinganya, membuat luka yang teras masih basah itu seakan tak pernah sembuh.

“Maafkan aku, Pah. Aku akan berusaha membalas setiap sakit yang telah aku dan dia berikan padamu dulu, dengan caraku sendiri. Aku sudah membuat dia menyesal, karena telah bermain-main dengan kita.” Gio berbicara sambil menerawang jauh pada sesuatu yang ia lakukan pada gadis yang telah membuat sang ayah pergi untuk selamanya.

Matanya mulai memerah, dengan detak jantung yang berpacu semakin cepat. Tangannya mengepal menahan amarah dan penyesalan yang bertarung di drama dirinya.

‘Andai saja, dulu aku tak bodoh hingga begitu mudah terkena buruk rayu gadis ular itu, mungkin sang ayah masih tetap ada di sisi keluarganya sampai saat ini.’ hatinya terus menyalahkan dirinya sendiri, untuk kejadian di masa lalu.

Tak ada yang tahu rasa sakitnya, tak ada yang tahu kesedihannya, doa menutupinya dengan semua ulah nakal yang diperbuat, hingga tak ada yang bisa melihat luka yang masih menganga.

“Tenang saja, Mama dan Gita tidak tau apa pun dengan apa yang aku lakukan,” ucapnya, seakan sedang berbicara dengan orang yang masih hidup.

Cukup lama Gio termenung, hingga akhirnya dia bangkit dan berjalan kembali menuju mobilnya. Setiap langkahnya dia seakan mengingatkan sebuah penyesalan yang tak berujung untuk dirinya.

 

...🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹...

 

...Bersambung ...

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab.03 Awal Mula

 

 

...Happy Reading ...

...💖...

Hari sudah hampir malam saat Gio sampai di kediaman keluarga Purnomo. Menghentikan mobil milik Romi tepat di depan pintu masuk, dia keluar dengan pandangan mengedar, menatap suasana di rumah, tempatnya terlahir dan bertumbuh.

Masih sama, semenjak dia meninggalkannya terakhir kali beberapa tahun lalu. Senyum tipis terukir di bibirnya, mengingat masa-masa saat dirinya masih kecil hingga remaja.

“Uncle Gio!” teriakan seorang anak lelaki kecil berusia lima tahun, mengalihkan perhatian Gio.

Senyumnya semakin melebar, melihat kedatangan sosok kecil yang kini tengah berlari menghampirinya.

“Hei, jagoan! Kamu sudah besar sekali sekarang,” sambutnya, langsung menggendong anak kecil yang tak lain adalah keponakannya.

“Ya, aku sekarang sudah sekolah,” bangga anak kecil itu.

“Hem, baru pulang gak langsung pulang ke rumah! Ke mana saja kamu, hah?”

Seorang wanita paruh baya dengan raut wajah ditekuk ikut berjalan di belakang anak kecil itu, dengan bersidekap dada.

Gio menggaruk belakang kepalanya, sambil menunjukan gigi putihnya, tersenyum kikuk melihat kemarahan sang ratunya. Menurunkan anak kecil tadi lalu beralih menghampiri Hana–ibu Gio.

“Ibu Ratu yang baik hati, jangan marah dulu dong ... Akh minta maaf ya.”

Gio mengambil kedua tangan Hana lalu mencium kedua sisinya berulang, lalu kembali menegakkan tubuhnya dan merangkul tubuh kecil milik wanita yang telah melahirkannya itu.

“Dasar anak nakal! Kamu gak tau kalau Mama menunggumu sejak tadi, hah?”

Pukulan kecik terasa di punggung tegap milik Gio, walau kemudian usapan halus menyusul kemudian. Lelaki itu tersenyum dengan tingkah merajuk ibunya. Semenjak ayahnya meninggal, ibunya kini terlihat lebih perasa.

“Maaf,” kembali Gio mengulang ucapannya.

“Kakak! Apa kakak sudah lupa sama aku, kenapa lama sekali baru pulang?!” seorang gadis berumur sekitar dua puluh lima tahun yang baru saja sampai langsung bergabung dengan semua orang di sana.

Gio melepas pelukannya pada Hana, matanya kini melihat gadis di belakangnya, terlihat sangat cantik dengan pakaian kerjanya.

“Gita! Mana mungkin kakak lupa dengan gadis cengeng sepertimu hah! Kamu sudah besar sekarang ya, dan sedikit lebih cantik,” ujar Gio, dia hampir menyatukan jari telunjuk dan ibu jarinya sebagai tanda, jangan lupa ekspresi wajah meremehkannya yang membuat Gita langsung mencebik kesal.

“Kakak! Aku kira lama di luar negeri, nyebelinnya berkurang, ternyata masih sama saja,” cebik Gita.

“Hissh, ternyata kamu masih saja gampang marah ya. Hahaha!” Gio langsung memeluk adik bungsunya itu.

“Heem, aku kangen Kak Gio,” ujarnya Gita sambil membalas pelukan kakak kesayangannya itu.

Setelah beberapa lama menikmati pelukan bersama sang adik bungsu, kini matanya beralih pada sepasang suami istri yang baru saja masuk, dengan memegang jas dokter di lengannya.

“Wah, akhirnya anak nakal ini pulang juga, setelah begitu lama lupa arah jalan ke rumah!” ejek Erika–kakak pertama Gio.

“Hai, Kak Rika, Bang Deri, bagaimana kabarnya?” sapa Gio, sambil melepaskan pelukannya dari Gita.

“Ya, seperti yang kamu lihat sekarang. Kita baik-baik saja,” jawab Rika, yang diangguki oleh Deri yang merupakan suami Rika.

Acara pertemuan akhirnya berakhir, semuanya masuk ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri, sebelum nanti akan bertemu kembali di acara makan malam.

Cklek

Perlahan Gio membuka pintu kamarnya, mengedarkan mata meneliti setiap isi kamar, bernuansa maskulin dengan dominan warna abu-abu dan putih.

Semuanya masih tampak sama, tidak ada yang berubah, bahkan semua letak barang-barangnya masih sama dengan sebelum ia tinggalkan dulu.

Matanya berhenti di sebuah bingkai foto yang tergantung di salah satu dinding. Di sana adalah foto dirinya dan sang ayah sebelum mereka terlibat masalah, karena sebuah kebodohan dirinya sendiri.

“Pah, aku kembali. Kali ini aku sudah siap untun melakukan apa yang Papah inginkan,” ujar Gio, menatap gambar sang ayah.

Setelah puas, menatap foto sang ayah, kini dirinya beranjak menuju kamar mandi, untuk membersihkan diri.

.

Dian baru saja pulang dari hotel, setelah jam menunjukkan pukul sembilan malam. Begitu banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan bersama dengan Romi siang tadi, hingga keduanya lupa waktu.

“Iya, Bun. Kak Dian di sini baik-baik saja kok, kan ada Ares yang jagain di sini. Bunda, jangan khawatir ya.”

Tubuh yang sudah terlihat sangat lelah itu memating di depan pintu, saat mendengar percakapan sang adik dengan ibunya melewati telepon.

Dian terdiam, dia menunggu sampai percakapan  Ares dan ibunya selesai.

Cklek.

Pintu terbuka, Dian bisa melihat dengan jelas raut wajah terkejut sang adik, dia hanya pura-pura tidak tahu yang baru saja terjadi, duduk di samping adiknya sambil menyunggingkan senyum tipis, tangannya bergerak membuka sepatu yang dipakainya.

“Kakak lembur lagi?” tanya Ares, dengan suara yang terdengar sedikit bergetar.

Dian melirik Ares sekilas lalu kembali membuka sepatu satunya lagi.

“Iya, banyak sekali pekerjaan hari ini. Apa lagi dengan rencana pembangunan hotel baru di Bandung, bikin pekerjaan kakak makin banyak saja,” jawab Dian.

Mengambil sebelah sepatunya yang tadi sudah terlepas, lalu memegangnya dengan satu tangan, kemudian berdiri kembali.

“Aku sudah siapkan makan malam, mau aku penasaran dulu?” tanya Ares, saat melihat kakaknya bangkit.

“Tidak usah, Kakak mau bersih-bersih dulu, baru nanti makan malam. Kamu istirahat dulu saja,” jawab Dian, mengelus sekilas puncak kepala Ares, sebelum melangkah ke kamarnya.

Ares menatap punggung Dian yang kini mulai menjauh darinya, hatinya sakit bila mengingat perselisihan yang terjadi di antara Kakak dan juga ayahnya.

Sudah hampir dua tahun, semua itu berlalu. Kejadian yang membuat perselisihan di antara kedua anak dan ayah itu.

Semua ini berawal karena sang ayah yang ingin menjodohkan Dian pada anak salah satu teman lamanya. Namun, Dian menolak, hingga terjadi pertengkaran yang lumayan panjang, hingga akhirnya Dian memutuskan pergi dari rumah, dan memilih hidup sendiri.

Itu juga yang menjadi alasan Ares untuk kerja di tempat yang dekat dengan kakaknya, agar dia bisa mendapat alasan untuk meminta tinggal bersama.

Flash back

“Ayah akan menjodohkan kamu dengan anak taman Ayah yang ada di Jakarta,” ujar Eros–ayah dari Diandar.

Diandra yang sedang duduk di hadapan sang ayah, setelah mereka baru saja pulang, mengantarkan jenazah sanga nenek ke peristirahatan terakhirnya.

Dian menatap tajam dengan alis bertaut, terkejut dengan apa yang dikatakan oleh ayahnya itu.

Makam neneknya bahkan belum kering, dan sekarang dia malah membicarakan masalah perjodohan untuk dirinya. Apa sebenarnya yang dipikirkan oleh ayahnya saat ini, bahkan Dian tidak bisa mengerti.

Menggeleng keras. “Tidak, aku tidak mau dijodohkan,” ucapnya kemudian.

Eros terlihat menyorot lebih tajam tubuh anak perempuannya itu, dia tidak suka dengan penolakan, juga tidak bisa menerima semua itu. Dia mempunyai alasan yang begitu kuat, sebelum memutuskan semua itu.

“Ayah tidak mau tau, pokoknya kamu harus menerima perjodohan ini, Ayah tidak mau tau!” tekan Eros, tak mau dibantah.

Dian mengepalkan tangannya, berusaha menahan amarah yang mulai mencuat.

“Ayah, selama ini aku tidak pernah menolak apa yang Ayah mau, dari mulai pendidikan sampai semua larangan Ayah yang berlebihan, aku selaku turuti. Tapi untuk hal satu itu, aku mohon biarkan aku memutuskannya sendiri,” ujar Dian, suaranya masih pelan, bahkan kepalanya menunduk dalam, menghormati orang tuanya.

“Jangan jadi anak pembangkang! Aku paling tidak suka anak yang bersikap melawan sepertimu!”

Suasana semakin tegang, dengan suara kepala keluarga yang mulai meninggi.

“Ayah sudah cukup mengatur hidup aku! Sekarang aku sudah besar, tolong belasan aku untuk satu pilihan saja, Ayah!” mata berkaca-kaca itu mulai terlihat di wajah Dian, sambil mengatakan kata pembantahan itu.

Bagaimana bisa dia akan menjalani hidup dengan seseorang yang bahkan belum pernah dia temui sebelumnya. Dia tidak bisa membayangkan semua itu. Tidak lagi dan tidak akan, dia terjerumus dengan hubungan antara lelaki dan perempuan.

"Tidak bisa, aku sudah menyetujuinya, jadi dengan pernah membantah atau lebih baik kamu pergi saja dari rumah ini!"

Amarah di dalam tubuh Eros, menutupi rasa sayangnya, hingga yang tersisa hanyalah obsesi untuk menjalankan amanah yang telah lama terlupakan.

"Baiklah kalau itu yang Ayah mau, aku akan pergi dari rumah ini!"

Flash back off

...🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹...

...Bersambung...

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!