"Nona Ariana?"
Suara Profesor Mikael Abraham terbawa melintasi ruang seminar ke wanita muda berambut hitam legam dan panjang yang menarik, duduk di barisan paling belakang.
Wanita itu tenggelam dalam pikiran, atau tersesat dalam lamunan, kepalanya tertunduk, saat dia menulis dengan marah di buku catatannya.
Semua mata dalam kelas itu tertuju padanya. Pada wajahnya yang pucat dan bulu matanya yang panjang, jari-jarinya yang putih dan kurus mencengkeram pena. Kemudian, beralih kembali ke profesor, yang berdiri diam dan mulai menekuk wajahnya.
Sikap arrogantnya sangat kontras dengan keseluruhan fisik dari pria itu. Matanya yang besar dan ekspresif, dan mulutnya yang penuh. Dia sangat tampan, tetapi sekarang berbeda, wanita itu membuat wajah sang Profesor terlihat lebih memerah dari biasanya. Terlalu berani atau bodoh dalam bertindak, pikir para mahasiswa yang lain pada wanita itu. Dia akan menjadi orang keempat yang akan ditendang dalam kelas sang profesor dalam semester ini.
“Ehem.” Batuk ringan di sebelah kanan Ariana, menarik perhatian wanita itu.
Dia melirik dengan heran pada pria berbahu lebar yang duduk di sebelahnya. Dia tersenyum dan menggerakkan bola matanya ke depan ruangan, kembali ke profesor.
Dia mengikuti tatapannya perlahan, menatap sepasang mata cokelat yang marah dan menyitip. Dia menelan Salivanya berkali-kali.
"Mati gue," gumam wanita itu.
"Elo cari masalah aja," bisik temannya menatap ke arah sang profesor.
“Saya mengharapkan jawaban atas pertanyaan saya, Nona Ariana. Jika Anda ingin bergabung dengan kami." Suaranya glasial sembari menurunkan kaca mata yang bertengger apik di hidungnya yang tegak dan lurus.
Mahasiswa lainnya bergeser di tempat duduk mereka dan saling mencuri pandang. Ekspresi mereka mengatakan apa yang merayap di dalam otaknya? Tapi mereka tidak mengatakan apa-apa.
Mereka sudah tahu benar dengan sikap kasar dan mulut pedas profesor yang tidak bisa dilawan oleh siapapun. Dia adalah dosen yang baru pindah selama setahun ini ke sebuah fakultas di daerah ini. Dulunya dia mengajar di sebuah universitas ternama di Singapore dan diminta kembali lagi untuk mengabdikan diri untuk mencetak manusia berkualitas di daerahnya.
Wanita muda itu membuka mulutnya dengan cermat dan menutupnya, menatap bola mata cokelat yang tidak berkedip itu, matanya sendiri melebar seperti kelinci yang ketakutan.
“Apakah Anda tidak bisa mengerti dengan bahasa yang saya gunakan, sehingga Anda hanya terdiam saja tidak memberikan jawaban apapun?” sang Profesor mengejeknya.
Seorang wanita berambut ikal yang duduk di di depannya mencoba menahan tawa, menahannya menjadi batuk yang tidak meyakinkan.
Semua mata itu kini menatap kembali pada Ariana dengan rasa iba. Sedangkan, yang ditatap hanya bisa menundukkan wajahnya dengan warna telinga yang berubah memerah.
“Karena Ariana tidak paham dengan apa yang saya katakan, mungkin ada orang lain yang cukup baik untuk menjawab pertanyaan saya?”
Seorang wanita dengan kaca mata kecil menjawab pertanyaan profesor dengan lugas, jelas dan terperinci membuat profesor muda itu menganggukkan kepala karena puas mendapat jawaban itu. Dia lalu mengangkat kepalanya bangga setelah selesai. Sedangkan, yang lainnya hanya mencebikkan bibir di belakang wanita itu. Dia hanya ingin mengambil hati profesor itu saja. Pikir mereka wanita itu sedang cari muka.
Profesor itu mengerutkan kening hampir tanpa terlihat pada siapa pun secara khusus dan membalikkan punggungnya untuk menulis di papan tulis.
Ariana menahan air matanya saat dia terus mencoret-coret, tapi untungnya dia tidak menangis. Dia menahan beban berat di hatinya yang hanya dia saja yang tahu kebenaran dari semua hal.
Dia menghela nafas panjang dan melihat ke sekitarnya. Sesaat memandang ke arah depan di mana sang profesor mulai membicarakan tentang 'Strategi Fundamental jadi Entrepreneur Sejati Scale Up membuat bisnis semakin profitable dan auto-pilot.'
Profesor itu mulai menerangkan satu persatu langkah yang harus ditempuh. Bukannya semakin faham dan mengerti, Ariana malah masih berkutat dengan lamunannya sendiri hingga dia tidak menyadari ketika seseorang yang berada di sampingnya menyerahkan sebuah buku berjudul 'Pengantar Ekonomi' kepada Ariana.
Buku itu menyentuh kulit Raina lembut tetapi tetap saja membuatnya terkejut. Dia melihat ke arah pria berpakaian biru laut. Pria itu tersenyum lebar dan melirik kertas di antara buku yang dia berikan kepada Ariana.
Semangat Ariana bangkit kembali. Dia mulai tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Lalu melihat ke punggung belakang profesor yang sedang menuliskan sesuatu di papan tulis itu. Dengan gerakan perlahan Ariana mulai membuka buku berwarna putih dengan tulisan huruf berwarna merah. Dia mengambil secarik kertas. Menatap kembali ke arah profesor seperti seorang anak yang takut ketahuan sedang mencuri. Dia membukanya.
Mike adalah penjagal.
Ariana membuka menutup mulutnya seketika setelah dia membaca kata-kata itu. Dia menyipitkan mata dan menaikkan kedua pipinya ke atas menampilkan barisan gigi yang rapi dan kedua lobang di pipi yang biasa orang sebut dengan lesung pipit.
Dia mengangkat matanya yang besar ke pria di sebelahnya dan menatapnya dengan malu-malu. Seringai lebar dan ramah menyebar di wajahnya.
"Adakah yang lucu, Ariana?" suara profesor itu membuat senyum yang tadinya terukir indah di wajahnya menghilang seketika. Pupil mata itu bergerak cepat seperti kelinci yang sedang ketakutan dan butuh pertolongan.
Dia lalu berbalik dan melihat ke arah sang profesor. Menatap manik mata cokelat yang menatapnya tajam seperti elang seperti hendak menerkamnya. Kedua tangan pria itu berada di pinggir meja menumpu tubuh besar dan atletisnya.
Menyadari dirinya menjadi target kemarahan sang profesor lagi, Arina lebih memilih menundukkan kepalanya dan menggigit keras bibir bawahnya. Dia sudah siap jika kali ini dia akan di maki oleh sang profesor. Asal jangan dikeluarkan dari kelasnya. Tinggal dua semester lagi dan dia akan lulus dari universitas ini.
Adam merasa bersalah karena telah membuat masalah baru bagi Ariana, dia lalu berdiri dari tempatnya duduk.
“Itu salahku, Profesor. Saya hanya bertanya padanya, di halaman berapa materi yang sedang Anda bahas. Maaf jika itu menimbulkan kesalahpahaman," terang Adam mencoba untuk menyelamatkan Ariana dari masalah pelik yang akan menimpanya. Sudah tiga mahasiswa yang keluar dari kelas profesor Mikael dalam semester ini.
“Pembelaan yang kurang tepat. Tapi karena kau mengatakannya maka akan saya jawab apa yang tadi kau jelaskan. Saya percaya kau dapat menemukannya tanpa bantuan Ariana mengapa? Karena kau adalah asistenku. Aku memilihmu karena nilai akademis mu yang tinggi dan kau sudah menguasai semua materi yang ada," terang Profesor Mikael.
Wajah Adam menjadi pucat pasi seketika. Dia menundukkan wajahnya sembari melirik ke arah Arina.
Ekor kuda di kepala Arina bergetar sedikit saat dia mengangkat pandangannya menatap kembali ke arah mata cokelat yang ada di depannya.
"Temui aku di kantorku setelah kelas ini."
Enam tahun lalu di salah satu desa terpencil di salah satu provinsi di negeri ini.
"Sah... sah ... ," kata semua saksi yang hadir.
"Alhamdulillah," semua orang mengucapkan syukur.
Ariana menatap pria yang duduk di hadapannya. Dia mengambil tangan pria itu dan mencium punggung tangan. Pria itu mendekat dan mencium dahi Ariana.
Pria itu adalah Mikael Abraham, anak tertua dari dua bersaudara, cucu dari Haji Toha orang yang paling dituakan di daerah ini serta pemilik dari pertambangan batu bara di sini juga. Sedangkan Ariana adalah anak dari camat di daerahnya, Makmur Sanjaya. Orang yang dihormati dan disegani di kampung Senja.
Dia masih berumur sangat muda kala itu. Tidak tahu apa itu pernikahan, masih suka dengan sekolah. Pulang sekolah dia dirias dan pernikahan ini lantas terlaksana.
"Ini hanya tali pengikat keluarga kita. Anak-anak bisa meneruskan sekolahnya masing-masing," kata Kakek Toha.
Sang mempelai pria menundukkan wajahnya, tidak ada ekspresi senang ataupun gembira. Malah lebih terlihat tertekan.
"Malam ini biar, Nak Ariana menginap di rumah saya saja. Kebetulan saya ingin merasakan punya menantu. Apalagi menantunya Nak Ariana yang Ibu sudah kenal betul sedari kecil," kata Ibu Siti lembut. Ariana memasang wajah tersenyum canggung.
Mikael lebih banyak menunduk. Dia tidak mau melihat ke arah Ariana sama sekali.
Ariana yang melihat hanya bisa menghela nafas. Inikah pria yang akan hidup bersamanya hingga akhir hayat, seorang pria angkuh yang menatapnya pun enggan. Batin Ariana.
"Nanti Nak Ariana tetap tinggal di rumah sini bersama ayah dan ibu, pernikahan ini hanya sebagai simbolis penyatuan keluarga. Baru ketika Nak Ariana sudah sama-sama matang dan dewasa serta sudah siap mengarungi rumah tangga bersama kalian bisa tinggal satu atap," terang Haji Sofyan.
Ariana mengangguk dan memaksa bibirnya untuk tersenyum. Saat ini, dia hanya mengerti satu hal bahwa dia masih boleh sekolah dan meneruskan cita-citanya. Itu sebuah kabar baik di tengah tekanan dari hatinya yang tidak menerima pernikahan ini.
Setelah berpamitan Ariana pergi bersama keluarga Haji Sofyan. Beribu perasaan mampir dalam otaknya, bukan perasaan senang tetapi sebuah firasat tidak enak.
"Ariana," panggil Kak Elang. Ariana membalikkan tubuh, kakak ketiganya itu lantas memeluknya erat.
"Jaga diri baik-baik ya. Kau harus kuat menerima semuanya. Ini demi kebaikan seluruh keluarga." Ariana menganggukkan kepalanya. Dia mengerti telah menjadi tumbal bagi keluarganya.
"Kakak sangat sayang padamu," kata Elang lalu mencium kening Ariana.
"Ariana juga sayang Kakak," balasnya. Kemudian, Ariana masuk ke dalam mobil setelah meminta restu pada seluruh anggota keluarga yang lain.
Di dalam mobil, tidak seperti pengantin baru lainnya, dia duduk bersama dengan ibu mertua. Mike lebih memilih duduk di depan bersama Pak Sofyan, ayah Mikael.
"Mungkin Mike masih malu, lagian kalian belum saling mengenal," kilah Ibu Siti. Lagi-lagi Ariana yang masih lugu menganggukkan kepalanya.
"Kau itu sangat cantik ibu jadi gemas melihatnya. Betul tidak Mike? Ibu pintarkan memilihkan istri untukmu?" puji Ibu Siti di tengah perjalanan.
"Hmmm," hanya jawaban itu yang keluar dari bibir pria itu.
Ibu Siti banyak bercerita tentang keluarganya. Ada berapa saudara Mike dan siapa saja namanya. Ariana hanya mendengarkan dan tersenyum saja. Dia memang mengenal baik dengan keluarga haji Toha tetapi tidak terlalu paham dengan keluarga Pak Sofyan karena orang tua Mikael dan keluarganya.
"Dua adik Mike sekolah di Jogja dan satu lagi sudah bekerja di Australia, Mike sendiri meneruskan sekolah di Amerika dan bekerja di sana," terang Bu Siti.
"Seperti kataku tadi kau jangan khawatir, Mike hanya tinggal satu tahun lagi untuk mengambil gelar doktornya, jadi selama menunggu kau bisa meneruskan sekolahmu. Aku harap kau mengerti," terang Ibu Siti dengan lemah lembut.
Ariana sudah banyak mendengar tentang Mike sedari kecil. Dia juga sudah beberapa kali, melihat pria itu jika sedang kembali ke daerahnya untuk menemui Kakek Toha. Namun, dia tidak menyangka jika pria itu yang telah jadi suaminya.
Mobil memasuki rumah keluarga Toha yang seperti istana. Ariana disambut oleh seluruh anggota keluarga yang datang. Rata-rata dari mereka setuju dengan perjodohan ini.
Mereka lalu mendudukkan Ariana di ruang tengah dan bertanya tentang banyak hal kepadanya. Dalam diam Ariana mencari sosok Mikael karena sedari tadi dia duduk sendiri. Namun, dia tidak melihatnya sama sekali.
"Wah, matamu yang cantik itu pasti sedang mencari putra kami yang tampan. Sayang, dia sedang ada urusan dan pergi ke pertambangan setibanya sampai di sini, nanti juga dia akan kembali lagi, kau jangan khawatir."
Wajah Ariana memerah mendengar ledekan dari adik Ibu Mike, dia memanggilnya Bibi Saodah.
"Sudah jangan diledek, wajar jika dia mencari Mike karena dia adalah suaminya," kata Ibu Siti. Sedangkan, Haji Sofyan hanya tersenyum saja menanggapinya.
"Kau jangan dengarkan para ledekan para Bibirmu ini. Sudah hampir malam sebaiknya kau pergi ke kamar dan membersihkan diri. Ibu akan memberikanmu gaun malam yang indah untuk kau gunakan malam ini."
"Wah, Mike bisa klepek-klepek ini!" ujar Paman Dewa, suami dari Bi Saodah. Gelak tawa mulai terdengar lagi dari semua orang yang ada di sana.
Ariana lalu mengikuti semua petunjuk yang ibu mertuanya katakan. Mandi dengan dibantu oleh pelayan agar tubuhnya bersih dan cerah, memakai gaun tidur yang terbuat dari sutera lalu wajahnya yang imut di rias tipis oleh mertuanya.
"Cantik," puji mertuanya dengan wajah puas sebelum pergi meninggalkan kamar itu.
Ariana sedang duduk pinggir tempat tidur ketika pintu kamar mulai dibuka. Jantungnya berdebar kencang menanti apa yang akan terjadi nanti. Wajahnya ditundukkan. Malu, cemas, gelisah, gugup dan takut beradu menjadi satu dalam dirinya.
"Jadi namamu Ariana?" tanya Mikael melepas sepatu dengan nada ketus.
Ariana menganggukkan kepalanya. Mike melihat ke arahnya sekilas lalu membuang muka ke arah lain. Raut wajahnya mulai mengetat dengan suara nafas yang terdengar keras. Perasaan marah, benci dan jijik bercampur menjadi satu.
"Apa yang melantarimu menerima pernikahan ini? Padahal kau itu masih sangat muda," tanya Mikael. Ariana lalu mengangkat wajahnya menatap cermin yang ada di depannya untuk melihat pantulan tubuh suaminya.
"Apa kau begitu ingin menjadi bagian dari keluarga Toha sehingga merelakan masa mudamu? Akh aku tahu pasti demi mendulang kesuksesan ayahmu yang akan mencalonkan diri menjadi bupati! Licik!" tuduh Mikael menghina keluarga Ariana.
Seketika mata Ariana memanas, dia tidak masalah jika dia yang dihina tetapi bukan keluarganya. Dia bangkit dan berjalan keluar namun tangan Mikael mencegahnya. Ariana lalu menepis tangan pria itu.
Matanya yang memerah menatap Mikael tajam dan berani. Bibirnya bergetar menahan semua kemarahan yang bercokol di dada.
"Kau kira hanya kau saja korbannya di sini? Aku tidak tahu, jika akan dinikahkan denganmu tadi. Aku juga tidak setuju dengan pernikahan ini. Aku seorang putri akan melakukan apapun untuk kebahagiaan orangtuaku. Kau bisa saja menolaknya mengapa malah meneruskan pernikahan ini, lalu menyalahkan semuanya padaku?"
Mikael terpaku mendengar kata-kata Ariana ternyata bukan hanya dia saja yang tidak menyetujui dengan perjodohan ini.
"Kakekmu yang menginginkan pernikahan ini, bukan keluarga kami!" lanjut Ariana memalingkan wajah ke samping.
"Baiklah, jadi kita memang sama-sama tidak menginginkannya jadi untuk apa dilanjutkan." Mikael lalu berjalan, mengambil tas ransel di pojok lemari dan memasukkan beberapa baju.
Dia juga membuka laci dan mengambil beberapa dokumen penting. Ariana yang melihatnya hanya bisa terpaku saja. Tidak bisa mencegah atau melarang. Namun, satu hal hatinya tiba-tiba merasa hancur.
"Maaf, tapi aku harus pergi sekarang. Seseorang sudah menungguku di luar."
Ariana bagai terkena sambaran petir, dia menatap tidak percaya pada Mike. Begitu tega dia meninggalkan istrinya di malam pertama mereka.
"A-apakah se-seorang itu wanita?" tanya Ariana gagap. Dadanya terasa sesak, pandangan sudah kabur, satu kedipan saja maka akan luruh semuanya.
"Ya, dia kekasihku. Kami telah hidup bersama selama satu tahun. Setelah ini, kau bisa mengirimkan surat gugatan cerai," ucap Mikael dingin, datar, tanpa merasa bersalah.
Mikael hendak membuka pintu tetapi berbalik. Dia mendekati Ariana, istri yang baru dinikahinya kurang dari dua belas jam lalu.
"Jika kau dewasa, kau pasti akan jadi wanita yang sangat cantik. Kau akan menemukan pria yang lebih baik dariku. Kau bisa mengajukan keberatan pada pernikahan ini atau mengajukan surat perceraian. Ck, aku tidak peduli."
"Selamat tinggal dan hiduplah dengan bahagia," kata terakhir yang diucapkan Mikael sebelum meninggalkan Ariana.
Satu tetes air mata jatuh ke lantai diikuti oleh tetesan air mata lainnya. Tubuhnya lemas dan jatuh ke lantai tidak sadarkan diri.
***
Kembali ke masa kini.
"Kau akan ke ruangan Pak Mike?" tanya Adam. Ariana menganggukkan kepala. Wajah Adam terlihat sangat bersalah. Oleh karena perbuatannya tadi kini, Ariana yang akan mendapatkan masalah.
"Aku akan menemanimu," kata Adam cemas.
"Nggak perlu, aku bisa sendiri kok," jawab Ariana.
"Bagaimana jika ....?" Ariana memegang tangan Adam.
"Percaya padaku, aku bisa mengatasinya," ungkap Ariana menenangkan.
Ariana lalu berjalan pergi meninggalkan Adam menuju ke ruangan Mikael. Setelah enam tahun tidak bertemu dia dipertemukan lagi dengan pria itu. Mikael menjadi Dekan muda di universitas negeri ini.
Sejenak Ariana berdiri mematung di depan ruangan Mikael. Kakinya dan tangannya gemetar, keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitnya. Dia bahkan tidak punya daya untuk mengetuk pintu ruangan Mikael.
Alih-alih mengetuk, sayup-sayup dia mendengar suara penuh emosi dari dalam ruangan. Nampaknya, pintu itu tidak tertutup rapat. Ariana membuka sedikit agar bisa mengintip dan suara terdengar lebih jelas.
"Kau tahu jika aku tidak bisa kesana walau aku ingin!" seru Mikael tertahan ketika berbicara dengan seseorang dalam handphone yang sedang digenggamnya.
"Ya, tapi itu tidak semudah yang diucapkan. Aku terlalu malu untuk kembali kesana. Seluruh keluarga pun akan membunuhku nanti."
"Ya, bahkan untuk menemui ibuku kali ini. Bukan karena aku tidak sayang pada ibuku hanya saja, kau tahu keadaannya, mereka tidak akan mengijinkan aku menemuinya. Jadi untuk apa aku kesana." Hening sejenak.
"Aku tidak tahu ... aku hanya berharap ibu bisa kembali pulih dari sakitnya dan memberiku kesempatan untuk meminta maaf. Bukan karena aku lari setelah pernikahan, tetapi karena membuat dia bersedih."
Ariana menutup mulutnya ketika mendengar ucapan Mikael yang mengiris hati. Pria itu sama sekali tidak merasa bersalah karena telah meninggalkannya begitu saja.
"Ayah...." Tidak ada suara lagi, hanya suara dari balik handphone yang tidak bisa didengar Ariana.
Prak!
Suara benda yang jatuh dan pecah terdengar membuat Ariana terkejut. Dia lalu membalikkan tubuhnya dan hendak berlari pergi. Namun, kakinya tergelincir dan buku-bukunya jatuh berserakan.
"Sial ... sial ... sial ...," rutuknya pelan sembari menata bukunya kembali dengan cepat. Tanpa disadarinya air mata kembali menetes. "Jangan menangis lagi... jangan menangis," ucap Ariana pada diri sendiri.
"Siapa itu?" tanya Mikael dari dalam ruangan. Terdengar suara langkah kaki mendekat.
Ariana lalu bergegas membawa bukunya dan berlari pergi seperti orang kesetanan dari tempat itu.
Mike membuka pintu ruangannya dan tidak melihat satu orang pun berada di ruangan itu. Netra cokelat menangkap sehelai kartu di lantai. Lalu memungutnya.
"Ariana Maheswari," gumam Mikael membawa kartu itu masuk ke dalam.
Adam memegang tangan Ariana ketika melihat wanita itu berlari sembari melihat ke belakang.
"Ada apa?" tanya Adam. Dada Ariana naik turun. Dia lalu merapikan rambutnya.
"Tidak apa-apa, hanya saja sepertinya ada hantu di depan ruangan Pak Mike," bohong wanita itu.
"Mana ada hantu di siang bolong begini. Kau mengada-ada saja," kata Adam.
"Kau tahu jika aku paling takut dengan hal seperti itu," lanjut Ariana.
"Ya sudahlah. Bagaimana, sudah bertemu dengan Pak jagal belum?" tanya Adam.
Ariana tersenyum dan menabok lengan Adam.
"Kau ini selalu menamakan seseorang seenak perut sendiri. Dia itu dosen kita lho."
Tangan Adam dilingkarkan di bahu Ariana, membawanya berjalan keluar universitas.
"Ya, tetapi itu kenyataan. Dia suka menjagal mahasiswa. Sudah tiga mahasiswa yang jadi korbannya padahal dia belum satu tahun berada di universitas ini."
"Namun, kinerjanya bagus, dia selalu menjadi pembicara di seminar-seminar. Dia juga seorang profesor lho."
"Kenapa kau malah membelanya? Jangan bilang kau termasuk deretan mahasiswi yang jatuh cinta pada dosen itu?" ujar Adam emosi.
"Dia tampan," jawab Ariana melebarkan senyumnya melihat ekspresi dari sahabat karibnya.
"Tampan bukan berarti baik kan? Mulutnya itu yang membuat telinga mahasiswa memanas," ungkap Adam.
"Kau kira cabai mulut profesor kita," imbuh Ariana.
"Memang benar, mulutnya penuh dengan cabai bubuk rawit setan, " bisik Adam di telinga Arina, mereka lalu tertawa keras.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, apakah kau sudah menemui Pak Jagal itu?"
"Belum, sepertinya ini bukan saat yang tepat, tadi aku tidak sengaja mendengar suara benda dibanting dari dalam ruangannya."
"Sekarang aku tahu yang kau maksud setan itu adalah dia, kau parah, Babe. Tapi kau benar, sebaiknya kau menemuinya besok saja. Jika tidak maka ...." Adam menggerakkan tangan di lehernya.
"Aku bisa di DO dan itu semua karena kau," tunjuk Ariana ke dada Adam, mengangkat kedua alisnya ke atas.
"Aku tidak akan memaafkan diriku jika itu sampai terjadi," ucap Adam penuh sesal.
"Sudahlah, aku tidak akan keluar dari universitas sampai aku lulus kuliah. Aku yakin."
"Tinggal dua semester lagi," lanjut Adam. Ariana menganggukkan kepalanya.
"Setelah itu aku ingin melamarmu," ujar Adam membuat Ariana menghentikan langkahnya. Dia nampak berpikir.
"Kau cari dulu pekerjaan yang mapan, baru melamarku," ucapnya kemudian.
"Apakah itu artinya kau setuju untuk menikah denganku?" tanya Adam dengan antusias.
"Jika kau punya pekerjaan yang mapan mungkin jawaban ku adalah 'ya'," jawab Ariana. Adam lalu memeluk dan mengangkat Ariana lalu memutarnya.
"Kalian dengar jika Ariana menerima lamaranku," teriak Adam. Wajah Ariana memerah melihat kelakuan Adam. Dia menepuk bahu pria itu.
"Turunkan, malu!" ujar Ariana. Bukannya melepaskan, Adam malah memeluknya.
"Biar saja, biar semua tahu jika aku mencintaimu," kata Adam keras. Hal itu membuat mereka menjadi pusat perhatian semua orang. Tidak terkecuali Mikael. Entahlah, dia tidak suka jika Ariana didekati oleh pria. Padahal mereka sudah tidak punya hubungan apapun. Atau dia tidak ingin melihat wanita itu bahagia di atas penderitaannya. Terasa egois tetapi itulah kenyataannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!