Pagi itu, di sebuah rumah berlantai dua di kawasan Jakarta Pusat, sepasang suami istri tengah bergelung di bawah selimut putih tebal di atas kasur empuk berukuran king size. Kamar itu begitu luas dilengkapi berbagai fasilitas yang ada. Sentuhan mewah terlihat dari furnitur dan interior yang dipastikan terbuat dari kualitas pilihan.
Dua sejoli yang beberapa jam lalu bergulat di tengah suara gemericik air hujan kini saling berpelukan. Udara dingin selepas hujan membuat mereka semakin mengeratkan pelukan.
Arumi Salsabila atau yang biasa dipanggil Rumi, baru saja terbangun dari mimpi indah. Wanita berusia dua puluh tujuh tahun dengan paras cantik bagai Dewi Aphrodite ditunjang postur tubuh tinggi semampai, berbadan langsing bak gitar Spanyol, hidung mancung, bibir merah ranum dan bermata coklat itu sedang mengerjapkan kedua mata.
Manik coklat milik wanita itu melirik jam yang terpasang di dinding. "Tampaknya semalam aku bermimpi indah hingga tak mendengar suara alarm yang sudah kupasang pukul lima pagi," gumam Arumi. Ia melirik ke samping, melihat suami tercinta tengah terlelap dengan kedua tangan memeluk bagian pinggang sang istri.
Wanita itu memindahkan tangan kekar sang suami yang melingkar di pinggang dengan sangat hati-hati agar pria di sampingnya itu tidak terbangun. Ia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya yang polos tanpa sehelai kain pun, lalu masuk ke dalam kamar mandi guna membersihkan tubuh dari sisa peluh dan kotoran yang menempel.
"Untung saja hari ini aku mendapatkan shift siang. Jadi masih sempat menyiapkan pakaian dan sarapan untuk Mas Mahes," gumam Arumi di tengah guyuran air shower yang membasahi tubuh.
Setengah jam kemudian, Arumi keluar dari kamar mandi hanya menggunakan jubah mandi. Rambut panjang hitam milik wanita itu tertutupi oleh handuk kecil yang melilit di atas kepala. Ia berjalan ke arah meja rias, menuangkan hair tonic sebelum mengeringkan rambut.
Ketika Arumi sedang sibuk mengeringkan rambut, dari arah belakang tangan kekar seorang pria memeluk wanita itu. "Astaga, Mas. Kamu mengagetkanku saja!" cicit Arumi seraya menekan tombol off yang terdapat pada alat pengering rambut.
Pria itu menggulum senyum, kemudian mengecup puncak kepala sang istri dengan penuh cinta. Ia berdiri di belakang Arumi, memandangi kecantikan wanita itu lewat pantulan di cermin. "Memangnya kamu pikir siapa yang berani memelukmu selain aku?" tanya Mahesa.
"Tentu saja tidak akan ada yang berani memelukku selain kamu, Mas."
Mahesa membalikkan tubuh Arumi, kini posisi keduanya saling berhadapan. "Jika ada orang yang berani menyentuhmu selain aku, maka akan kuhajar dia habis-habisan karena sudah mengotori kesucian istriku tercinta."
"Kamu hanya akan menjadi milikku selamanya." Mahesa terdiam sejenak, lalu berkata, "Menikahimu adalah sebuah keberuntungan bagiku. Usahaku semakin sukses berkat do'a tulus dari istri tercinta sepertimu. Arumi Salsabila adalah berlian yang sangat berharga bagi Mahesa Putra Adiguna," timpal pria itu.
Seketika wajah Arumi merona karena mendapatkan pujian dari suami tercinta. Walaupun mereka sudah menikah selama hampir lima tahun, tetapi sikap Mahesa masih sama seperti dulu. Selalu lembut, penuh kasih sayang dan teramat mencintainya. Ia beruntung dipersunting oleh pria seperti Mahesa yang mau menerima dirinya apa adanya.
Namun, sebuah gada besar menghantam kepalanya secara tiba-tiba. Raut wajah Arumi berubah ketika sekelebat bayangan kedua orang tua Mahesa muncul dalam benaknya.
"Mas, apakah kamu akan tetap mencintaiku meski aku belum bisa memberikan keturunan untuk keluarga Adiguna?" bibir Arumi bergetar diikuti kedua mata yang mulai berkaca-kaca.
Hati wanita itu terlalu sensitif jika membahas soal keturunan sebab hingga detik ini pernikahan yang telah dibina bersama Mahesa Putra Adiguna belum juga membuahkan hasil, membuat Arumi khawatir. Bagaimana jika suatu saat Mahesa berpaling dan mencampakkannya begitu saja. Ia begitu takut apabila harus berpisah dengan pria yang amat dicintainya.
Mahesa kembali tersenyum. "Aku akan tetap mencintaimu, ada atau tanpa adanya anak dalam keluarga kecil kita. Percayalah, hanya kamu seorang yang akan menjadi istriku. Di hati ini tidak ada lagi wanita lain selain dirimu." Pria itu menarik tangan Arumi lalu mendekatkan di bagian hati, mencoba memberikan keyakinan pada sang istri untuk tidak terlalu mencemaskan soal keturunan.
Senyuman indah merekah di bibir ranum Arumi. Bibir itu manis bagaikan madu, hingga membuat sang kumbang ingin mengecap walau hanya sekejap saja.
"Eh, kamu mau apa, Mas?" tanya Arumi ketika wajah Mahesa mendekat.
"Aku ingin mengecap betapa manisnya madu yang ada di bibirmu itu."
Mahesa semakin mendekatkan bibir. Namun, dengan gerakan cepat Arumi menghindar. "Lekaslah bergegas, jangan sampai kamu telat tiba ke kantor!" Arumi beranjak dari kursi menuju walk in closet yang ada di dekat kamar mandi.
"Padahal aku hanya ingin mengecupnya sebentar saja," batin Mahesa. Namun, ia pun tetap menuruti perintah Arumi. Melangkah masuk ke dalam kamar mandi.
Lima belas menit berlalu, pria bertubuh atletis itu keluar dari kamar mandi. Ketika kedua kakinya melangkah maju, netra Mahesa menangkap sosok wanita cantik jelita tengah menyiapkan kemeja lengkap dengan dasi dan setelah jas kerja. Dalam balutan mini dress berwarna jingga tanpa lengan, sangat kontras dengan warna kulit sang istri. Wajah Arumi terlihat sangat bersinar menyerupai sinar rembulan di malam hari meski tanpa polesan make up tebal, ia tetap terlihat cantik.
Mahesa berdecak kagum, melihat betapa cantiknya wanita yang telah dipersunting olehnya selama hampir lima tahun. "Sungguh indah sekali ciptaan-Mu, Tuhan," batinnya.
"Mas Mahes, sini!" Arumi melambaikan tangan ke udara, meminta Mahesa untuk segera menghampiri.
Wanita itu begitu telaten mengurusi semua kebutuhan suami. Hingga tak heran, Mahesa semakin hari semakin mencintai dan menyayangi istrinya. Meski Arumi belum juga memberikan keturunan, tetapi Mahesa yakin suatu hari nanti akan ada keajaiban menghampiri keluarga kecil mereka.
***
Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul tujuh pagi. Cahaya matahari mulai menampakkan pesonanya. Meskipun semalam ibu kota diguyur hujan akan tetapi sang mentari tetap setia kepada penduduk di bumi ini. Memancarkan sinarnya, memberikan kehangatan bagi seluruh insan di bumi ini.
"Pukul berapa kamu ke rumah sakit?" tanya Mahesa saat duduk di meja makan untuk sarapan. Pria itu telah siap dengan setelan pakaian kerja.
"Aku akan berangkat pukul satu siang," jawab Arumi sambil menuangkan nasi goreng ke piring kosong milik suaminya. "Namun, sebelum ke rumah sakit, aku ada janji ketemuan dengan Kayla dan Rini di sebuah café."
"Oke, tak masalah. Lagipula kamu sudah lama 'kan tidak berjumpa dengan kedua sahabatmu itu!" Mahesa menyuapkan makanan ke dalam mulut.
"Benar, aku terlalu sibuk bekerja hingga tak memiliki waktu luang untuk bertemu dengan mereka."
"Ya, kamu terlalu sibuk akhir-akhir ini. Bahkan di akhir pekan pun akan pergi ke rumah sakit. Padahal akhir pekan merupakan waktu yang paling tepat untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Kita bisa gunakan untuk jalan-jalan, nonton di bioskop atau berbelanja. Pokoknya kembali ke masa ketika masih pacaran agar hubungan rumah tangga kita tetap harmonis."
Arumi menyentuh tangan Mahesa yang ada di atas meja makan. Ia sadar akhir-akhir ini telah menelantarkan suaminya dengan sibuk bekerja. Dengan penuh penyesalan, wanita itu berkata, "Saat itu aku terpaksa pergi karena ada operasi darurat. Kebetulan aku-lah dokter yang bertanggung jawab pada pasien itu."
"Mau tidak mau, aku harus bergegas ke rumah sakit. Kamu tahu 'kan, Mas, tugas seorang dokter itu adalah membantu pasien yang membutuhkan pertolongan!" Wanita itu menjeda sebentar kalimatnya. "Bagi tenaga medis, semua pasien adalah prioritas utama dibanding dengan urusan pribadi."
Mahesa tersenyum masam. "Sudahlah, jangan dibahas lagi. Aku tidak ingin masalah ini merusak hariku!"
Arumi mengangguk, kemudian menyendokkan makanan ke dalam mulut.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah selesai sarapan. Arumi membawa tas dan jas yang disematkan di lengan kanan. Arumi dan Mahesa berjalan bersisiran menuju pintu masuk rumah mewah berlantai dua di perumahan elit di kawasan Jakarta Pusat.
"Aku pergi dulu."
"Iya, Mas. Hati-hati di jalan," sahut Arumi. Kemudian dia memberikan tas dan jas kerja pada Mahesa, lalu mencium punggung tangan sang suami.
Mahesa mencium kening Arumi. Meski pria itu masih kesal atas pertengkaran kecil yang terjadi di meja makan, tetapi dia tidak mau melewatkan memberikan kecupan hangat untuk istri tercinta sebab itu merupakan tradisi yang harus dilakukan sebelum berangkat kerja.
TBC
Setelah melepas kepergian suami tercinta untuk mengais rezeki, Arumi masuk ke dalam rumah. Namun, baru menaiki anak tangga yang ketiga menuju kediamannya, kaki jenjang itu terhenti tatkala mendengar suara penjual sayur keliling berteriak menjajakan dagangannya.
"Sebaiknya aku berbelanja dulu. Selagi ada penjual sayur keliling. Kebetulan persediaan sayuran dan lauk pauk mulai menipis di lemari es," gumam Arumi. Lalu, ia menuruni kembali anak tangga itu. Berjalan keluar rumah, berbaur dengan ibu-ibu komplek yang sedang berbelanja.
"Selamat pagi semua," sapa Arumi ramah kepada para tetangganya yang kebetulan berbelanja di abang sayur.
"Selamat pagi, Bu Dokter," sahut para tetangga hampir bersamaan.
"Tumben, Bu Dokter yang belanja. Biasanya Tini yang diminta belanja. Memangnya ART Bu Dokter ke mana?" tanya Bu Ahdan.
"Mbak Tini ada di dalam rumah, Bu, sedang mengurus pekerjaan lain."
"Oh, saya kira ART Bu Dokter sedang bermalas-malasan di dalam kamar sambil main handphone. Zaman sekarang 'kan banyak ART yang bekerja tidak di bawah naungan yayasan seenaknya saja kalau bekerja. Main handphone, berselancar di sosial media, bergosip bahkan tidur di saat jam bekerja. Aduh, sungguh merepotkan sekali!" ucap Bu Sandra dengan nada menyindir.
Bu Sandra sengaja menyindir Arumi sebab ia menaruh dendam akibat salah satu pekerja terbaik di rumahnya tiba-tiba saja mengundurkan diri dan lebih memilih untuk bekerja di rumah Arumi.
Satu tahun setelah menikah, Mbak Tini memutuskan untuk berhenti bekerja di rumah Bu Sandra karena majikannya terdahulu merupakan tipe majikan yang bawel, pelit dan semena-mena. Membuat Mbak Tini yang berasal dari kampung merasa tidak betah diperlakukan tidak selayaknya pekerja pada umumnya.
Untung saja saat itu Arumi mau menerima Mbak Tini bekerja di rumahnya. Sejak saat itu, Bu Sandra dendam pada wanita yang berprofesi sebagai dokter bedah di salah satu rumah sakit terbaik di Jakarta.
Arumi tersenyum sambil menatap Bu Sandra. "Alhamdulillah, Mbak Tini bukan tipe ART seperti itu. Dia rajin dan tidak pernah bermalas-malasan di saat jam kerja." Wanita itu melirik ke arah Mbak Tini yang saat itu sedang menyapu jalanan di depan rumah Arumi. "Lihat! Saking rajinnya sampai-sampai jalanan umum saja dia sapu. Padahal itu bukan tugasnya, bukan!" jawab Arumi santai sambil memilih sayuran serta lauk pauk untuk persediaan selama beberapa hari ke depan.
Merasa kesal karena semua perkataannya ditepis oleh Arumi membuat Bu Sandra tersulut api emosi. Ia mencari celah untuk menjatuhkan lawannya. Sebuah ide cemerlang terlintas di benak wanita itu
"Oh ya, Bu Dokter. Saya sudah lama tidak melihat Bu Naila datang ke rumah ini. Apakah hubungan di antara kalian baik-baik saja?"
Seketika raut wajah Arumi berubah menjadi murung. Senyuman yang sedari tadi terlukis di bibir wanita itu hilang tergantikan oleh awan kelabu. Dengan bibir bergetar, ia berkata, "Baik-baik saja kok, Bu. Mama tidak datang ke sini karena sedang sibuk."
Pupil mata Bu Sandra melebar dengan sempurna. Ia tersenyum sinis ke arah Arumi. "Sibuk apa? Perasaan saya Bu Naila tidak pernah sibuk loh. Kemarin ketemu saya di toko kue langganan. Saya tanya, kok jarang main ke rumah Pak Mahes. Kalian tahu jawabannya apa?" tanya wanita itu sambil melirik satu persatu ibu-ibu komplek yang sedang berbelanja.
"Bu Naila bilang, untuk apa main ke rumah Mahesa. Toh di sana tidak ada yang dituju."
"Rumah Mahesa sepi seperti kuburan. Tidak ada teriakan, tangisan dan suara tawa anak-anak. Jadi, dia malas kalau harus mengunjungi anak dan menantunya." Bu Sandra tersenyum puas karena berhasil membalikan keadaan.
Ucapan Bu Sandra sontak membungkam mulut Arumi. Perkataan yang terlontar dari bibir wanita itu sukses membuat hati Arumi sakit bagaikan ditusuk oleh ratusan anak panah.
"Saya kalau jadi Bu Naila pun malas berkunjung ke rumah anak dan menantu jika di sana tidak ada cucu. Lebih baik di rumah bisa istirahat, arisan atau nongkrong bareng temen-temen geng sosialita," celetuk Bu Farida.
"Benar juga ya! Kita 'kan datang ke rumah anak-menantu ingin bertemu dengan cucu. Namun, kalau di rumah itu tidak ada cucu untuk apa jauh-jauh berkunjung," timpal Bu Karin.
Itulah sebagian kecil kalimat yang terucap dari bibir para ibu-ibu komplek. Mereka seolah bekerjasama untuk menjatuhkan mental Arumi.
Bu Ahdan selaku istri dari pak RT melirik ke arah Arumi. Timbul rasa iba dalam diri wanita paruh baya itu. "Sudah, Ibu-Ibu, hentikan! Sebaiknya kita belanja. Kasihan Abang sayur sudah menunggu kita terlalu lama."
Usai berbelanja, Arumi masuk ke dalam rumah. Rumah yang selama hampir lima tahun ini menjadi tempat wanita itu menaung dari panas terik sinar matahari dan melindunginya dari guyuran air hujan yang membasahi bumi.
Ketika kaki jenjang itu melangkah masuk ke dalam rumah, suasan hening. Tidak ada suara teriakan anak-anak yang memekikan gendang telinga. Tidak ada suara tangisan bayi yang meminta sang ibu untuk menina-bobokan. Yang ada hanya suara dentingan piring kotor yang bersumber dari dalam dapur.
Netra wanita itu memandangi sebuah frame foto yang tergantung di dinding ruang tamu. Ada foto Arumi dan Mahesa tersenyum bahagia. Dia dan suami tercinta mengenakan pakaian pengantin begitu indah dan sangat mewah.
"Benar kata Ibu-Ibu komplek, rumah ini akan terasa sepi apabila tidak ada suara anak-anak," gumam Arumi.
Kemudian, tatapan wanita dalam balutan dress tanpa lengan dengan rambut panjang hitam tergerai menerawang jauh. Seolah jiwanya tersesat ke dalam sebuah dimensi lain yang dia sendiri pun tidak menyadari itu. Tanpa sadar seulas senyum tipis tersungging di bibir mungil wanita itu. Perlahan, cairan bening kristal mengalir begitu saja tanpa meminta izin terlebih dulu kepada sang empunya.
Melihat majikannya meneteskan air mata, membuat Kartini atau yang biasa dipanggil Mbak Tini menghampiri. Wanita yang bekerja sebagai ART di rumah itu berencana membersihkan debu dan kotoran yang menempel pada jendela. Namun, niatan itu diurungkan kala melihat Arumi berdiri dengan pikiran menerawang seraya memandangi foto pernikahan.
'Kasihan sekali Bu Arumi, setiap kali memandangi foto itu air matanya pasti menetes. Entah sampai kapan penantian wanita baik itu berakhir. Aku sungguh tak tega melihat Bu Arumi selalu termenung,' batin Mbak Tini.
Dia tahu bagaimana tersiksanya batin seorang wanita yang tak kunjung diberikan keturunan. Rasanya sangat menyakitkan, lebih parah dari pada ditusuk sembilu atau pun disayat oleh sebilah pisau.
Tidak ingin Arumi terus larut dalam kesedihan, Mbak Tini berjalan dengan sangat hati-hati dan berhenti di samping majikannya itu. "Bu Arumi!"
Suara serak Mbak Tini mengembalikan kesadaran Arumi. Wanita yang berprofesi sebagai dokter bedah di salah satu rumah sakit bertaraf internasional itu mengusut sisa genangan air di sudut mata, lalu menoleh ke sumber suara. "Ada apa Mbak? Butuh sesuatu?" tanyanya dengan suara tercekat.
"Tidak Bu, saya hanya ingin membersihkan pigura itu saja," ucap Mbak Tini. Tangan wanita itu membawa kemoceng serta di bahunya tersampir lap microfiber.
"Ya sudah, kamu lanjutkan pekerjaan! Saya ke kamar dulu. Kalau butuh sesuatu, langsung ke lantai atas saja!"
Mbak Tini mengangguk. "Baik, Bu!"
Arumi berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua, letak kamar utama berada. Hati wanita itu terasa sedikit lebih membaik setelah menangis. Meskipun tidak memberikan jalan keluar tetapi setidaknya senyuman kini merekah kembali di bibir wanita itu.
"Ah ... lebih baik aku bersiap-siap untuk bertemu kedua sahabatku. Daripada terus larut dalam kesedihan yang tak kunjung usai." Arumi merentangkan tangan ke samping seraya menghirup napas dalam.
"Lagipula, bukankah tadi Mas Mahes memintaku untuk tidak terlalu memikirkan soal keturunan. Toh dia akan tetap mencintaiku selamanya."
Arumi berusaha untuk tidak memedulikan ucapan mertua dan orang lain. Dia yakin, suatu hari nanti Allah akan menitipkan seorang malaikat kecil dalam rahim wanita itu.
TBC
.
.
.
Suara dering ponsel Arumi menghentikan sejenak kegiatannya. Dia meraih benda pipih berukuran 6.5 inchi tersebut di atas meja rias. Sebuah pesan singkat tanpa nama pengirim terpampang di layar ponsel.
Kedua alis Arumi tertaut. Perlahan, dia membuka pesan tersebut.
[Jangan terlalu percaya terhadap suamimu! Meskipun dia berkata bahwa akan mencintaimu selamanya, bisa saja itu hanya kepalsuan belaka. Berhati-hatilah, selalu awasi gerak gerik suamimu!]
Singkat tapi berhasil memporak porandakan perasaan Arumi dalam seketika. Bagaimana tidak, baru saja dia menyakinkan diri bahwa Mahesa akan tetap mencintainya kini sebuah pesan singkat dari nomor asing membuat wanita itu dilema.
Tubuh Arumi gemetar. Kaki wanita itu terasa lemas. Dengan sekuat tenaga dia duduk di atas kursi rias yang jaraknya tidak terlalu jauh dari posisi Arumi berdiri.
Dada Arumi terasa sesak, hidungnya terasa masam dan mata wanita itu terasa perih. Dia menghirup napas dalam, lalu menghembuskan kemudian menghirupnya lagi sebanyak tiga kali.
"Aku yakin itu hanya orang iseng saja. Ia pasti berniat menghancurkan rumah tanggaku bersama Mas Mahes. Ya, Mas Mahes bukan pembohong. Aku harus percaya padanya!" ujar Arumi menyakinkan diri.
Setelah wanita berambut panjang tergerai itu berhasil menguasai diri, dia berusaha untuk bangkit menuju ranjang. Rasanya tubuh Arumi terasa lelah dan dia ingin beristirahat sejenak. Menghilangkan beban pikiran yang tengah hinggap dalam benak wanita itu.
Tepat pukul dua belas siang, Arumi terbangun. Dia melihat ke luar jendela, cuaca sudah mulai mendung. Awan hitam mulai menyelimuti langit yang semula cerah, pepohonan bergoyang diterpa angin.
"Masih ada waktu bagiku untuk bersiap-siap sebelum hujan turun," gumam Arumi. Kemudian dia menyingkap selimut tebal yang menutupi sebagian tubuh kecuali kepala, lalu berjalan menuju walk in closet.
Hari itu dia mengenakan blouse hijau tosca dipadu rok di bawah lutut berwarna putih serta rambut dikuncir kuda. Wanita itu membubuhkah bedak padat dan terakhir memoleskan lipstik sebagai penyempurna riasan.
Setelah memastikan penampilan Arumi sempurna tanpa cacat, wanita itu menuruni anak tangga secara perlahan. Suara ketukan yang berasal dari sepatu hak tinggi menggema memenuhi setiap sudut ruangan.
Ketika menuruni tangga, Mbak Tini sedang membersihkan karpet ruang keluarga menggunakan vacum cleaner. Kebetulan ruang keluarga itu letaknya di dekat tangga. Sehingga dari anak tangga Arumi bisa melihat jelas ART-nya itu sedang melakukan tugas rumah tangga.
"Eh, Bu Rumi. Sudah mau berangkat kerja?"
"Iya, Mbak. Saya titip rumah. Kalau ada apa-apa telepon saja. Namun, jika saya tidak mengangkat telepon, kamu bisa menghubungi Pak Mahes."
"Baik, Bu."
Arumi berjalan penuh percaya diri. Namun, siapa yang tahu bahwa hati wanita itu tengah berkecamuk. Sebuah kerikil kecil sedang menghadang, bersiap menguji rumah tangga yang sudah dibina selama hampir lima tahun.
Perlahan, kaki jenjang wanita bertubuh tinggi semampai itu telah tiba di depan garasi rumah. Langkah kaki Arumi mengalihkan perhatian sang sopir yang sedang duduk di teras sembari menikmati secangkir kopi dan pisang goreng buatan Mbak Tini.
"Dilanjutkan saja, Pak. Setelah itu tolong kamu cek dulu keadaan mobil saya. Jika tidak ada masalah, segera antar saya ke kafe Rainbow!" ucap Arumi. Sebuah senyuman tersungging di sudut wanita itu.
Dia sengaja memberikan kesempatan kepada Pak Burhan untuk beristirahat lebih lama. Arumi memang tidak pernah memaksakan pekerjanya untuk segera melakukan perintah yang diminta. Karena menurut wanita itu, mereka semua bukan robot yang bisa diperintah sesuka hati tanpa butuh istirahat. Arumi berprinsip ketika semua pekerja setia, maka dia akan memperlakukan mereka layaknya saudara.
Kini Arumi sudah berada di dalam mobil. Tangan wanita itu merogoh headset bluetooth dari dalam tas. "Halo, Kay! Aku masih di rumah menunggu Pak Burhan menghabiskan cemilannya dulu," ucap Arumi kala suara cempreng Kayla terdengar di seberang sana.
"Cih! Kamu jadi majikan terlalu baik pada bawahan. Hati-hati, nanti kamu malah dimanfaatkan oleh mereka!" Kayla coba memperingatkan sahabatnya itu. "Ya sudah, cepat ke sini! Jangan sampai telat. Pokoknya aku tidak mau menunggu terlalu lama. Pukul tiga sore nanti aku masih ada sesi pemotretan!"
"Oke, dalam waktu kurang dari satu jam aku sudah tiba di sana. Ya sudah, aku matikan dulu sambungan telepon ini. Pak Rahmat sudah berjalan ke sini," ujar Arumi.
"Kita berangkat sekarang?"
Arumi menganggukan kepala sebagai tanda setuju. "Jangan ngebut-ngebut, Pak. Alon-alon asal kelakon!" (Pelan-pelan asal tercapai). pintanya pada sang sopir.
Kemudian Pak Burhan menginjak pedal gas. Namun, sebelum itu dia sudah memastikan keadaan mobil dalam kondisi baik-baik saja dan siap digunakan.
Tiga puluh menit kemudian, mobil yang ditumpangi Arumi sudah memasuki area cafe Rainbow. Pak Rahmat yang duduk di balik kemudi memarkirkan kendaraan roda empat milik majikannya tak jauh dari pintu masuk.
"Silakan, Bu." Pria yang bekerja selama hampir lima tahun di kediaman Mahesa memayungi majikannya itu agar tidak basah terkena air hujan.
Siang itu, kota Jakarta diguyur hujan menyebabkan jalanan macet dan Arumi terpaksa datang terlambat lebih dari lima belas menit dari jam yang ditentukan.
"Terima kasih," ucap Arumi ramah. Kemudian dia melangkah kaki masuk ke dalam cafe tersebut.
Suasana di dalam cafe sudah mulai ramai, meski sedang diguyur hujan tak menyurutkan minat para pengunjung bertandang ke cafe yang sedang viral di berbagai media sosial. Terkenal akan cita rasa aroma kopi dan menu lezat yang menjadi ciri khas cafe tersebut.
Cafe dengan desain minimalis serta memiliki nilai estetika yang tinggi dibangun di tengah pusat ibu kota. Meski didominasi kayu, tetapi tidak membuat cafe ini terlihat ketinggalan zaman melainkan memberikan kesan natural karena para pengunjung bisa menyatu dengan alam sambil menikmati secangkir kopi bersama sahabat, teman maupun orang terkasih. Penambahan lampu gantung unik serta beberapa tanaman hias dalam ruangan memberikan kesan hangat dan super nyaman bagi para pengunjung.
Di kursi paling ujung berjarak empat meter dari pintu masuk, seorang wanita berambut pendek sebahu melambaikan tangan ke arah Arumi.
Dengan sedikit berlari, Arumi menghampiri wanita itu. "Maaf, Rin, aku datang terlambat."
"Alah, tidak perlu minta maaf. Lagipula aku dan Kayla juga baru tiba di sini," balas Rini, sahabat Arumi.
Kemudian Arumi dan Rini berpelukan serta mencium pipi kanan dan kiri secara bergantian.
Rini dan Kayla merupakan kedua sahabat Arumi. Dulu, mereka sama-sama dibesarkan di sebuah panti asuhan yang lokasinya berada di daerah Bandung. Menginjak usia empat belas tahun, Arumi remaja diadopsi oleh sepasang suami istri yang tak lain merupakan donatur tetap panti asuhan tersebut. Kebetulan mereka baru saja ditinggal pergi oleh putri semata wayang akibat kanker menyebabkan nyawanya tidak tertolong.
Berkat kebaikan, kepintaran dan sikap polos Arumi membuat Nyimas dan Zidan jatuh hati dan memutuskan mengadopsi gadis belia itu.
"Oh ya, Kayla mana?" tanya Arumi sambil meletakkan shoulder bag di kursi kosong di samping wanita itu.
"Dia sedang ke toilet. Maklum saja, sahabat kita satu itu tidak bisa membiarkan riasan di wajahnya luntur. Jadi harus sering di retouch up," jawab Rini terkekeh.
Seulas senyum tersungging di bibir Arumi. "Ya, dia 'kan seorang model harus pandai menjaga penampilan. Jangan sampai wartawan memotret Kayla dalam keadaan pucat."
"Benar sekali. Itu pasti akan membuat sahabat kita malu karena semua orang melihat wajah asli Kayla tanpa make up." Rini kembali terkekeh.
Rini menatap ke arah Arumi yang duduk di hadapannya. Melihat raut wajah wanita itu sedikit murung, dia menduga telah terjadi sesuatu pada sahabatnya itu.
"Rumi, apakah kamu baik-baik saja?" tanya Rini.
Rini bisa membaca hanya dengan melihat raut wajah, gerak gerik serta sorot mata seseorang hanya dalam sekali lirik. Sebab, dia sudah terbiasa bergaul dengan banyak orang yang berbeda setiap hari. Berprofesi sebagai psikiater membuat wanita beranak satu itu tahu betul bagaimana sikap seseorang ketika dirundung masalah.
"A-apa? A-aku? Tentu saja aku baik-baik saja." Arumi memaksakan tersenyum. Hampir saja dia lupa bahwa wanita yang duduk di hadapannya itu merupakan seorang psikiater. Dia tidak akan mampu berbohong karena Rini bisa membaca karakter seseorang lewat gestur tubuh lawan bicaranya itu.
"Arumi ... jawab pertanyaanku. Apakah ada hal yang disembunyikan olehmu?" tanya Rini sekali lagi. Dia ingin memastikan bahwa kondisi sahabatnya itu baik-baik saja.
TBC
Jangan lupa tinggalkan jejak cinta untuk otor remahan rengginang ini ya guys. 🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!