"Kau saya pecat!"
"Apa salah saya? Kenapa saya dipecat?"
Hana meminta alasan kepada bosnya mengapa ia bisa dipecat dari pekerjaannya. Padahal ia selalu berusaha mengerjakan semuanya dengan sebaik mungkin.
"Karenamu pelanggan setia kafe ini tidak mau datang lagi!"
"Bukan salah saya jika dia tidak mau datang lagi. Saya hanya berusaha membela diri saya. Dia sudah keterlaluan dengan mencoba melecehkan saya."
"Halah, alasan! Cepat kau bereskan semua barang-barangmu. Pokoknya kau dipecat!"
"Baiklah." Hana menerima dengan lapang dada. Ia juga sudah muak dengan amarah bosnya yang selalu membela yang salah. Ia kemudian pergi ke ruang pegawai untuk berganti pakaian. Ia menaruh seragam kerja tersebut di laci beserta dengan aksesoris yang lainnya. Secepat kilat, Hana pergi meninggalkan tempat kerjanya dengan wajah yang lesu.
Hana berjalan bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. Ia tak tahu kemana arah yang harus ia tuju. Pekerjaan tersebut adalah pekerjaan terakhirnya. Sekarang ia hanyalah seorang pengangguran.
"Bagaimana hidupku setelah ini?" tanya Hana sambil menatap awan di langit.
Setelah beberapa menit berjalan, Hana akhirnya sampai di depan rumahnya. Ia duduk di kursi yang berada di teras rumah.
"Kenapa nasibku seperti ini? Sudah kesekian kalinya aku dipecat. Kalau seperti ini terus, bagaimana mungkin aku bisa menyusun masa depanku?"
Ya, sudah kesekian kalinya nasib buruk selalu menimpa Hana. Namun Hana tetap kuat menjalaninya meskipun harus bercucuran air mata dan keringat darah setiap harinya. Meski terkadang rasa lelah selalu dideritanya.
Hana meletakkan tas selempangnya ke kursi dan menjadikan itu sebagai bantal untuknya bersandar.
"Usiaku sudah 25 tahun dan aku masih belum jadi apa-apa." Hana merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia belum bisa membahagiakan dirinya sendiri. Lalu? Bagaimana ia bisa membahagiakan orang lain?
****
Suara bising dari rumah tetangga mulai terdengar ke pendengaran Hana. Di mulai dari suara seorang ibu yang yang membangunkan anaknya untuk sekolah, suara ibu yang memarahi anaknya ketika meminta uang jajan dan suara-suara bising lainnya. Sudah tidak asing lagi bagi Hana. Karena ia memang tinggal di kompleks yang berjarak sangat dekat dengan para tetangga.
"Haaah ... Pagi-pagi sudah ribut sekali," ucap Hana sambil menutup mulutnya yang menguap.
Hana turun dari ranjangnya dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
"Setidaknya meskipun aku sekarang pengangguran. Aku harus mencari pekerjaan untuk biaya hidup sehari-hari. Apapun itu akan aku lakukan."
Semua kain yang menutupi tubuh Hana mulai terlepas dan berakhir di keranjang pakaian kotor. Ritual mandi pun Hana jalankan hingga selesai.
Setengah jam kemudian, Hana sudah siap dengan setelah baju kemeja berwarna putih dan celana panjang berwarna hitam. Tak lupa ia memakai tas selempang yang senada dengan pakaian yang ia gunakan.
"Hana, kamu pasti bisa! Semangat Hana!"
Dengan semangat yang membara itu, Hana berharap ia mendapatkan peruntungan yang bagus.
Di sepanjang jalan, Hana melihat lowongan pekerjaan yang tertempel baik di dinding maupun kaca. Hanya saja kualifikasi yang dibutuhkan tidak sesuai dengan dirinya. Sekalinya ada yang sesuai, pasti usia menjadi kendala utama.
Hana sadar, di usianya yang sekarang akan sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Apalagi, para perusahaan ataupun restoran menginginkan pegawai dengan lulusan fresh graduate.
Sudah tiga jam Hana berluntang-lantung mencari pekerjaan, rupanya nasib baik belum datang padanya. Hana berhenti sejenak di pinggir jalan. Ia memegang lututnya, seolah memberikan kekuatan lebih untuk melanjutkan perjalanan.
Siapa sangka di saat Hana sudah menyerah mencari pekerjaan di hari itu dan ingin segera pulang ke rumahnya, Ia melihat sebuah lowongan pekerjaan. Meskipun hanya sebagai OG alias Office Girl, Hana sangat mengharapkan itu. Ternyata nasib baik akhirnya berpihak padanya. Hana diterima bekerja di perusahaan tersebut. Hana pun pulang dengan raut wajah yang berseri.
Sorenya, Hana pergi ke mal untuk membeli sepatu. Tentunya Hana memilih sepatu dengan harga yang sesuai dengan uang yang ia punya. Setelah menemukan sepatu yang cocok harga dan ukurannya, Hana segera membayar sepatu tersebut.
Selain itu, Hana pergi ke mal juga untuk sekedar cuci mata. Ia sadar, ia tidak bisa membeli barang-barang mewah yang ia inginkan. Maka dari itu, ia hanya bisa melihat, menyentuh tanpa bisa memiliki.
"Suatu saat, aku pasti bisa membeli barang ini, dan ini." Hana menunjuk barang-barang yang sangat diinginkannya.
Setelah puas berkeliling, Hana juga pergi ke Timezone. Terakhir kali ia bermain di Timezone adalah ketika ia berusia 10 tahun dan saat itu ia pergi bersama ibunya. Dengan penuh keberanian akhirnya Hana bisa mengunjungi Timezone lagi. Beberapa permainan berhasil Hana taklukkan. Hingga lelah mulai menyapa tubuhnya, Hana bersandar ke dinding dan merosot sampai ia terduduk.
"Capeknya," ucap Hana sambil mengusap keringat dengan tangannya.
Sampai rasa lelah itu hilang, Hana masih terduduk di lantai. Mungkin sebagian orang akan menganggap Hana orang yang aneh. Atau bahkan bisa saja menganggap Hana adalah orang kampungan. Karena ia duduk lesehan di mal besar. Namun bagi Hana ia takkan pernah terintimidasi dengan hal tersebut. Sudah hal biasa baginya, kehidupannya sudah begitu pahit sejak dulu. Jadi, jika ada banyak orang yang selalu membicarakannya, Hana akan bersikap bodo amat.
"Tatapan mata mereka, aku tahu apa artinya." Setelah mengatakan itu, Hana segera berdiri dan meninggalkan Timezone.
Hana berjalan menelusuri mal sambil melihat-lihat barang yang mungkin akan menjadi miliknya suatu saat nanti. Karena saking antusiasnya, Hana tidak melihat bahwa ada orang yang berjalan di depannya.
"Aduh." Suara rintihan kesakitan Hana saat ia menabrak sesuatu yang keras di hadapannya. Ia mengusap kepalanya dengan pelan seolah bisa menyembuhkan rasa sakitnya.
"Bisa minggir?"
Mendengar suara bariton yang berada tepat di hadapannya, Hana yakin bahwa ia menabrak seorang laki-laki. Hana pun segera mundur beberapa langkah.
"Punya mata itu dipakai untuk melihat jalan. Bukan untuk melihat barang murahan."
Jleb
Dua kalimat itu mampu membuat Hana merasa direndahkan. Seketika Hana pun mendongakkan kepalanya untuk melihat bagaimana wajah dari si suara bariton tersebut.
Betapa terkejutnya Hana, rupanya yang ia tabrak adalah seorang laki-laki tampan berdasi. Penglihatan Hana masih terfokus pada satu titik ciptaan Tuhan yang begitu sempurna. Hidung mancung, kulit sawo matang, bola mata berwarna cokelat dan tahi lalat yang berada di pelipis kiri matanya.
"Kenapa terdiam? Terpesona?" tanya si bariton.
Belum ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Hana. Ia masih menikmati paras tampan laki-laki yang ada di hadapannya. Sepertinya Hana merasakan aliran darahnya menaik dan berdebar-debar. Apakah ia sedang jatuh cinta? Tapi bagaimana bisa semudah itu?
"Kau sama saja seperti wanita pada umumnya."
Setelah mengucapkan itu, si bariton pergi menjauh dari Hana begitu juga beberapa orang yang berjalan di belakangnya.
Beberapa detik kemudian, Hana tersadar dan mengingat perkataan si bariton.
"Hah? Maksudnya? Dia bicara apa sebenarnya?"
Hana mempertanyakan arah pembicaraan si bariton tadi. Namun semuanya pupus sudah dengan ketampanan yang dimilikinya.
"Ternyata hari ini nasib baik menimpaku dua kali. Pertama, ketika aku mendapatkan pekerjaan. Kedua, ketika aku bertemu denganmu."
Hana mengucapkan itu sambil tersenyum malu. Ia memutar-mutar tas selempangnya ke samping. Jatuh cintanya mengalahkan kesadarannya bahwa ia sedang berada di tempat umum.
***
Beberapa jam sebelumnya ...
"Candra, tolong kamu periksa laporan keuangan di Mal AH sekalian periksa semua mitra kita," perintah Abraham.
"Baik Pa," jawab Candra mengiyakan.
Setelah mendapatkan tugas dari Abraham, Candra pun segera bergegas pergi ke mal. Sudah bisa ditebak bukan? Siapa itu Abraham?
Candra mengemudikan mobilnya sendiri tanpa menggunakan supir pribadi. Karena Candra adalah tipe orang yang tidak suka barangnya disentuh oleh orang lain termasuk perempuan.
Tidak usah menunggu waktu lama, lima belas menit pun cukup untuk sampai ke Mal AH. Candra keluar dari mobilnya. Siapa sangka banyak sekali orang-orang sekitar yang fokus melihatnya. Tentu itu karena parasnya yang rupawan di kalangan para wanita.
"Wahh, CEO muda datang."
"Memang wajahnya tidak perlu diragukan lagi."
"Calon masa depanku."
"Perempuan yang bisa mendapatkannya adalah perempuan paling beruntung."
Itulah ucapan-ucapan dari mulut para wanita yang sering ia jumpai. Namun Candra tak pernah menggubris ucapan mereka. Ia akan terus berjalan dengan wajah datarnya yang karismatik. Meskipun begitu, Candra masih tetap diidolakan oleh para wanita.
Candra berjalan masuk ke dalam mal diikuti dengan beberapa pegawai mal di belakangnya. Karena ia tidak suka membuang waktunya, waktu berjalan pun ia gunakan untuk menanyakan perkembangan penjualan.
"Bagaimana penjualan kita di bulan ini?" tanya Candra.
"Total penjualan kita di bulan ini sedikit menurun. Tapi penjualan tas dan sepatu sangat berkembang pesat," jawab salah satu pegawai.
"Hm, begitu rupanya. Baiklah."
Candra terus berjalan sambil melihat ke sekelilingnya. Tanpa diduga seorang perempuan berjalan tanpa melihat ke arah depan. Dan ...
"Aduh." Suara rintihan kesakitan si perempuan saat ia menabrak dada bidang Candra. Candra merasa kesal dan ia langsung mengeluarkan suaranya.
"Bisa minggir?"
Itulah kalimat Candra yang keluar dari mulutnya. Si perempuan tersebut pun mundur beberapa langkah. Candra langsung berkata lagi.
"Punya mata itu dipakai untuk melihat jalan. Bukan untuk melihat barang murahan."
Kata-kata tajam dan menusuk dari Candra seharusnya membuat perempuan tersebut membalas dengan kata-kata atau sanggahan dari si perempuan. Namun ternyata, dugaan Candra salah. Si perempuan hanya terdiam.
"Kenapa terdiam? Terpesona?" tanya Candra.
Sudah bukan hal aneh lagi bagi Candra jika para perempuan akan terpikat tiap kali melihat wajahnya.
"Kau sama saja seperti wanita pada umumnya."
Setelah mengucapkan itu, Candra pergi menuju ke ruangan manajer mal. Ia tidak terlalu memusingkan tentang permohonan maaf yang seharusnya perempuan itu lakukan.
****
Sehari setelah kejadian tersebut, munculah sebuah skandal yang melibatkan Candra dan Hana di dalamnya.
'CEO muda, Candra Abraham tertangkap basah berpelukan dengan seorang wanita di Mal AH tepat pukul 14.00. Siapakah dia? Mungkinkan dia adalah pacarnya?'
Selain itu, muncul juga artikel lain yang membahas tentang rencana pernikahan Candra.
'Candra Abraham akan menikah dalam waktu dua minggu. Hal yang disembunyikan akhirnya terkuak di mal.'
Brakk!
Candra memukul meja kerjanya sekeras mungkin. Ia sangat membenci para wartawan yang seenaknya memberitakan tentang kehidupan pribadinya kepada khalayak umum. Ia hanya berharap kesuksesan dan kerja kerasnya lah yang diekspos di dalam berita.
Raka, sekretaris dari Candra yang melihat kemarahan dari Candra pun terkejut dan merasakan takut.
"Cepat! Urus berita ini. Jangan sampai tersebar lebih jauh lagi!" perintah Candra.
"Baik bos," ucap Raka.
Raka pun pergi keluar dari ruangan Candra.
"Sialan! Seenaknya saja mereka menjadikan aku objek untuk menaikan rating acara tv mereka!"
Rupanya berita tersebut sudah menyebar sampai ke telinga Presdir AH Group yaitu papanya Candra.
"Hhhh ...." Candra menghela napas sejenak saat melihat nama Abraham berada di layar depan ponselnya.
"Halo pa ...." Belum juga selesai bicara, Abraham sudah memotong sapaan Candra.
"Bagaimana bisa kamu punya skandal seperti itu? Pokoknya papa tidak mau tahu! Kamu harus cari perempuan itu! Dan bawa ke hadapan papa!"
"Tapi pa ...." Lagi-lagi ucapan Candra terpotong.
"Tidak ada kata tapi. Biar papa yang urus semuanya."
Panggilan tersebut dimatikan secara sepihak oleh Abraham. Candra hanya bisa menghela napas dan membanting ponselnya ke lantai. Jika Abraham sudah bertindak, Candra tidak bisa melawan ataupun membantah semua perintah Abraham. Itulah yang membuat Candra semakin kesal.
Beberapa jam kemudian, Raka kembali ke ruangan Candra dan memberikan informasi.
"Lapor bos! Berita tersebut sudah di-take down, sayangnya para orang yang tidak bertanggung jawab sudah lebih dulu menyebarkan berita tersebut dan sekarang malah semakin menjadi."
"Ya, saya tahu. Berita tersebut sudah diketahui oleh papa saya. Itu artinya berita tersebut sudah viral di internet. Tugas kau sekarang adalah cari perempuan yang menabrak saya waktu itu."
"Baik bos." Raka keluar ruangan dan kembali ke tempat semula.
Candra duduk di sofa sambil memijat pelipis matanya. Skandal seperti ini bagi mereka yang memiliki kekuasaan, jika salah dalam mengambil keputusan akan berakibat fatal setelahnya.
"Bagaikan hidup di dalam jeruji besi, haha," ucap Candra kemudian tertawa mengingat tentang kehidupan dirinya yang masih diatur oleh Abraham.
Tidak pernah sekalipun Candra bisa melakukan apapun yang ia inginkan. Segala yang ia inginkan selalu ditentang oleh Abraham. Hanya satu yang disetujui oleh Abraham yaitu perempuan yang sekarang sudah menjadi mantan tunangannya.
"Andai saja kau tidak pergi dari sisiku. Mungkin saat ini, aku memiliki tempat untuk bersandar." Tanpa sadar Candra mengambil sebuah foto yang berada di dalam dompetnya. Kenangan terakhir bersama mantan tunangannya.
Ketika sedang asik memandang foto tersebut, pintu ruangan Candra terbuka dengan kerasnya.
"Kau sudah punya pengganti dia? Apa benar kau sudah melupakannya? Kenapa tidak cerita? Aku mendukungmu Can. Perempuan ular itu pantas untuk dilupakan!"
Laki-laki ini tiba-tiba datang dan langsung berbicara layaknya seorang rapper profesional.
"Tidak bosan kah kau menyuruhku untuk melupakan dia? Aku sampai hafal semua perkataan jelekku tentangnya."
"Kau tidak percaya pada sahabatmu sendiri, Can?" Alvin menanyakan perihal kepercayaan Candra padanya.
"Bagaimana bisa aku percaya? Kau sendiri tidak memiliki bukti apapun. Itu semua hanya omong kosong mu, Vin."
"Ya ya ya, lalu siapa perempuan yang diberitakan denganmu?" tanya Alvin.
Alvin Jonathan, dia adalah sahabat satu-satunya yang dimiliki Candra. Mereka sudah bersama hampir seumur hidup mereka. Orang tua Candra dan Alvin adalah mitra bisnis. Di saat itulah pertemuan awal mereka hingga sampai sekarang masih bersahabat.
"Entahlah, aku juga tidak tahu," jawab Candra dengan jujur.
"Hm, seperti itu rupanya. Awalnya aku kira kau mengenalnya. Ternyata tidak. Bersiaplah untuk menghadapi skandal besar ini."
"Kau itu! ... ah sudahlah. Aku hanya tidak tahu kemana jalan pikiran papaku. Sulit sekali untuk menebaknya."
"Percayalah, apapun yang jadi keputusan om Abraham. Itulah yang terbaik."
"Aish! Percuma aku berbagi cerita dengan kau! Kau selalu membela keputusan papaku sejak dulu!"
"Oh tidak, kecuali satu hal. Perempuan ular itu."
"Terserah!"
Candra cape sendiri bila harus meladeni Alvin untuk berdebat. Karena Alvin lebih banyak bicara daripada Candra kecuali dalam urusan bisnis Candra lah jagoannya.
"Daripada suntuk disini. Lebih baik kita bersenang-senang. Akan aku tunjukkan tempat yang indah."
"Cari pacar sana! Kau selalu mengganggu waktuku!"
"Halah, ayo cepat!" Alvin menarik tubuh Candra yang bersandar pada Sofa. Candra pun hanya bisa pasrah saja.
***
Mentari pagi mulai menyapa Hana dengan sinar yang masuk dari celah-celah jendela kamarnya.
"Hoam." Hana menguap kemudian menutup mulutnya.
"Sudah pagi rupanya. Waktunya untuk bersiap-siap sebelum bekerja."
Hana turun dari ranjangnya dan mengambil handuk yang tergantung di belakang pintunya. Butuh waktu 15 menit bagi Hana untuk membersihkan tubuhnya. Sebelum berangkat kerja, tak lupa Hana selalu memakai riasan wajah yang natural.
"Sudah cantik, hihi. Waktunya bekerja."
Hana berangkat bekerja menaiki bus, karena harganya terbilang lebih murah. Sesampainya di tempat bekerja, Hana mengganti pakaian yang ia pakai dari rumah dengan seragam kerjanya.
Sudah beberapa hari Hana bekerja di perusahaan AH Group. Namun ia belum tahu tentang berita yang tersebar di dunia maya tentang dirinya. Bukannya Hana tidak memiliki ponsel, hanya saja ia terlalu fokus mencari pekerjaan dan pekerjaan.
Saat Hana sedang mengepel lantai di ruang tunggu, ada seseorang yang mengajak Hana berbicara.
"Kau yang di mal waktu itu, kan?" tanya laki-laki yang mendekatinya.
"Em? Siapa ya?" Bukannya menjawab Hana malah balik bertanya.
"Perkenalkan saya Raka Kusuma, sekretaris dari CEO perusahaan ini," ucap Raka memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya kemudian dibalas uluran oleh Hana.
"Saya Hana Lorensia."
"Baiklah Hana, bisa kita bicara sebentar?" Raka meminta waktu untuk berbicara mengenai berita skandal yang tersebar.
"Tapi saya harus bekerja, saya tidak mau dipecat karena mengabaikan perintah," jawab Hana dengan sopan.
"Tenang, saya akan bertanggungjawab untuk itu."
"Baiklah."
Alhasil Raka membawa Hana ke kantin perusahaan untuk bicara. Raka memesan beberapa makanan untuk disantap. Raka dan Hana duduk saling berhadapan.
"Sebenarnya apa yang mau kau bicarakan? Sampai mau repot-repot mengajak saya kemari."
"Sebelumnya, kau tidak perlu terlalu formal denganku. Sepertinya usia kita tidak terlalu jauh."
"Ah, baiklah."
"Jadi begini, kau perempuan yang waktu itu menabrak pak bos di mal, kan? Aku masih mengingat bagaimana wajahmu," jelas Raka.
"Pak Bos?"
"Iya, laki-laki yang kau tabrak waktu itu CEO di perusahaan ini. Namanya Candra Abraham. Kau pasti masih mengingatnya. Laki-laki tampan yang membuatmu terdiam di tempat." Raka mencoba memberi sedikit penjelasan jika Hana lupa dengan kejadian waktu itu.
"Oh, yang itu. Ah, iya aku mengingatnya sekarang. Saking terpesonanya aku, aku sampai lupa untuk meminta maaf." Hana merasa tidak enak hati karena kecerobohannya.
"Nanti kau bisa meminta maaf langsung padanya."
"Maksudnya apa? Apa aku dipecat?" tanya Hana takut jika kehilangan pekerjaan lagi.
"Bukan, bukan untuk itu. Karena kejadian di mal waktu itu, banyak berita tentang pak bos dan salah satunya berita tentang kau dan dia."
Raka menunjukkan berita-berita yang tersebar di internet kepada Hana. Hana terkejut, ia tak menyangka bahwa ia akan menjadi pusat perhatian banyak orang. Tapi, ia juga bersyukur karena wajahnya hanya terekspos dari bagian samping.
"Skandal seperti ini memang biasa bagi para artis, atau pengusaha. Tapi tidak bagi Presdir perusahaan. Beliau sangat membenci berita yang hanya membuat perusahaan yang telah dirintisnya menjadi pusat perhatian bukan karena pencapaian atau penghargaan melainkan karena skandal."
Kalimat demi kalimat Hana pahami maksudnya. Ia mendengarkan dengan serius. Tiba-tiba makanan dan minuman yang dipesan Raka datang. Pelayan pun menaruh makanan dan minuman tersebut.
"Silakan dinikmati hidangannya," ucap pelayan wanita sambil tersenyum.
"Terima kasih," balas Hana sambil tersenyum juga.
"Selagi mendengarkan aku bicara, silakan dinikmati." Hana mengangguk.
Raka mulai menjelaskan lagi inti pembahasan dari yang ia ceritakan.
"Intinya presdir memintamu untuk bertemu. Tapi sebelum itu, kau harus menghadap pak bos lebih dulu."
"Aku tidak mengerti. Kenapa hanya karena foto dari samping saja bisa membuat dunia maya gempar?"
"Yang membuat gempar dunia maya itu, bukan karena fotomu melainkan karena pak bos berpelukan dengan wanita. Bagi para pengusaha lain, skandal seperti ini sangat menguntungkan mereka. Karena sejauh ini, AH Group selalu mendapatkan berita yang baik."
"Tapi, apa yang mereka lihat bukan yang sebenarnya terjadi," sanggah Hana.
"Hal tersebut tidaklah penting bagi mereka, yang mereka pikirkan hanya bagaimana cara supaya AH Group bangkrut dan memiliki citra yang buruk di masyarakat."
"Ini sungguh tidak adil! Mereka mengesampingkan fakta dan mengutamakan opini!" kesal Hana sambil memukul meja pelan.
"Mau bagaimana lagi, seperti ini lah dunia kerja. Aku akan ceritakan sedikit tentang bos kita. Dia memiliki banyak sekali penghargaan dan pencapaian baik di dalam maupun luar negeri. Namanya sudah terkenal di kancah dunia apalagi ia memiliki wajah yang rupawan. Itu membuatnya semakin dikenal meskipun ia bukan seorang artis. Selain itu, ia orang yang sangat cerdas dan cekatan. Hanya saja ia memiliki sifat yang dingin dan kejam pada karyawannya. Di balik semua itu, ia memiliki hati yang lembut."
Itulah sifat dari Candra yang dilihat oleh Raka setelah beberapa tahun bekerja dengan Candra.
"Wow ...." Hana takjub mendengar segala tentang Candra. Mendengar penjelasan tersebut, Candra menjadi begitu menarik bagi Hana.
"Jadi, bisakah kau temui pak bos besok pukul 10.00?"
"Bisa, tentu saja aku bisa."
"Syukurlah, cukup siapkan mental yang kuat. Karena emosi pak bos sedang tidak terkendali." Hana mengangguk.
"Terima kasih Hana atas waktunya. Kalau begitu, silakan bawa saja beberapa makanan ini. Selamat bekerja kembali."
"Baik, terima kasih kembali Raka. Aku permisi dulu ya," ucap Hana sambil membawa beberapa makanan di tangannya.
Kini hanya Raka yang duduk di kursi kantin. Ia meminum kopi yang dipesan kemudian kembali ke ruangan CEO.
****
Tumpukkan dokumen dan beberapa proposal kegiatan sudah tersusun rapi di meja kerja Candra. Namun belum tersentuh sedikit pun oleh Candra. Yang sedang dipikirkan oleh Candra adalah keputusan yang akan diambil Abraham setelah bertemu dengan perempuan yang ditabraknya.
"Aishhh ...." Candra mengacak-acak rambutnya karena kesal.
Tiba-tiba pintu diketuk oleh seseorang. Candra pun mengizinkan seseorang tersebut untuk masuk.
"Masuk."
Rupanya Raka lah yang mengetuk pintu tersebut. Ia memberikan informasi tentang yang ia dapatkan hari ini.
"Lapor pak bos! Wanita yang waktu itu di mal bernama Hana Lorensia. Dia bekerja di perusahaan ini sebagai office girl."
"Office girl ya?" Candra berpikir sambil menaruh tangannya di dagu.
"Ya bos. Saya juga sudah mengatur waktu pertemuan dengan pak bos. Besok pukul 10.00."
"Baiklah, kau boleh kembali." Raka pun keluar dari ruangan Candra.
Candra memikirkan kembali informasi tentang Hana yang hanya seorang office girl. Ia tak menyangka profesi Hana seperti itu. Di sisi lain, Candra juga bersyukur sepertinya Hana bukan berasal dari keluarga terpandang. Sehingga apa yang sebelumnya sempat terlintas di pikiran Candra tidak akan pernah terjadi.
Candra segera mengambil ponsel di meja kerjanya dan mencari kontak Abraham. Candra menekan tombol panggil.
"Bagaimana? Kapan kau bisa mempertemukan papa dengan wanita itu?"
Memang buah jatuh tidak akan pernah jauh dari pohonnya. Sifat dan karakter Candra turun dari Abraham yang tidak suka berbasa-basi.
"Besok setelah makan siang, apa papa bisa?"
"Oke, siapa namanya?" tanya Abraham.
"Hana Lorensia," jawab Candra.
"Siapa tadi kamu bilang? Lorensia?" tanya Abraham ketika tidak asing mendengar nama Lorensia.
"Iya pa, Hana Lorensia namanya."
Candra menyebut nama Hana kedua kalinya. Namun Abraham malah terdiam. Candra menjadi bingung. Apa ada yang salah dengan nama tersebut?
"Pa, halo?" Candra memanggil papanya.
"Ah, iya iya. sudah dulu ya papa sibuk."
Seperti biasa, Abraham selalu mematikan ponsel secara sepihak. Namun kali ini menimbulkan pertanyaan bagi Candra. Kenapa Abraham terdiam? Apa benar Abraham sibuk? Atau hanya sekedar alasan? Candra hanya bisa menebaknya saja tanpa tau alasan dan penjelasan yang pasti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!