NovelToon NovelToon

Marrie Me, Olin

Masa lalu Olin

Di sebuah pesta meriah, seorang gadis tengah membantu mendekorasi panggung dan semua ruangan.

Carolina Hermawan. Nama yang cantik, sesuai parasnya yang menawan. Gadis yatim piatu yang kini tinggal bersama Om dan Tantenya itu, bahkan harus rela membanting tulang untuk menafkahi dirinya sendiri.

"Kerja yang rajin, katanya mau kuliah? Makanya, cita-cita jangan ketinggian. Babu aja sok mau kuliah."

Itulah hinaan yang selalu Ia dapat. Bukan dari orang lain, melainkan dari Tantenya sendiri. Orang yang seharunya memberinya semangat bahkan tanggung jawab atas dirinya.

"Tante?" panggil Olin, ketika semua sedang makan malam dengan nikmat."

" Apa?"

" Uang Asuransi Ibu sama Ayah, apakah masih ada? "

" Mau buat apa?"

" Mau, buat daftar kuliah. Kan katanya, uang yang cair ada Dua ratus juta, karena meninggal kecelakaan. Olin minta, Spuluh juta aja. Olin, mau daftar kuliah."

"Kamu kira, kuliah itu ngga mahal? Belum lagi ngekost dan yang lain. Emang kuliah, menjamin kamu dapet kerjaan bagus?" omel Sang Tante.

"Engga... Tapi setidaknya itu pesan Ayah Ibu sebelum meninggal. Makanya, mereka daftar asuransi."

"Ngga ada." jawab Tante Linanya.

"Lah, kok ngga ada? Dua ratus juta itu banyak banget. Dan Olin ngga minta sampai seperempatnya loh."

"Udah ku bilang ngga ada. Udah buat modal salon, sama beli motor Baim." jawabnya singkat.

Olin hanya tertunduk dengan hati yang teramat perih. Uang yang didapat dari kematian orang tuanya, justru mereka pakai untuk berfoya-foya tanpa menyisakan sedikitpun untuk ahli waris sahnya.

"Itu, harusnya hak Olin. Bukan hak kalian." ucap Olin, dengan lirih.

Praaaanggg! Sebuah kuali berisi sup, mendarat ke wajah mulus Olin. Untung saja sudah tak terlalu panas, meski begitu sakit Ia rasakan.

"Hak apa? Hak kamu yang kami urus selama Sepuluh tahun ini? Lalu, apa Hak kami yang telah memberi makan kamu? Menyekolahkan, dan sebagainya?"

"Bahkan Olin sekolah gratis, dan mendapatkan Beasiswa ketika SMA." sergah Olin.

Tukkk! Kali ini sebuah sendok mendarat di dahinya. Hingga tampak merah, bahkan benjol karena kerasnya lemparan itu.

"Melawan terus! Mengganggu mood orang makan saja kau." bentak Om Dodi, adik kandung Ayah Olin.

Beliau mengambil Olin, karena memang berlaku sebagai wali sahnya. Ia juga, yang dapat mencairkan dana asuransi, dan menjaga Olin hingga usia nya yang ke 17 tahun. Tapi, ternyata uang itu telah habis ketika Olin berhak menerimanya.

"Ngga usahlah kau kuliah. Buat apa? Perempuan itu kodratnya menikah, melayani suami dengan baik. Pinter ngga guna, ngga ada duitnya." ucap om Dodi lagi.

Ada alasan, kenapa Om Dodi berkata seperti itu. Semua karen Ia ingin menjodohkan Olin dengan anak temannya, seorang juragan empang disana. Karena jika Olin menikah dengannya, semua hutang pemancingan Om Dodi akan lunas dan Ia dapat menyalurkan hoby nya memancing seumur hidup dengan gratis.

"Olin ngga mau, nikah sama Akbar. Olin ngga cinta dia."

"Heleh, ngga usah sok. Nanti, kalau kamu udah di buntingin dia, ya lama-lama cinta. Apaalagi hidupmu berkecukupan ketika bersama dia."

"Pokoknya ngga mau. Olin mau kuliah, bagaimana pun caranya."

"Pergi kau dari sini, biar tau kau rasanya hidup tanpa keluarga di luaran sana. Ngga tahu terimakasih." ucap Tante Lina padanya.

"Dan kalau kau pergi, jangan harap membawa apapun dari rumah ini. Apalagi minta ongkos. Sepeserpun, tak akan aku berikan." ucap Om Dodi, yang masih lahap menyantap kepala ikan kesukaannya.

Awal pertemuan itu.

Olin masuk ke dalam kamar. Ia membersihkan dirinya dari kuah sop dan memasang plaster pada keningnya. Ia bahkan tak mampu menangis lagi kali ini. Air matanya, serasa sudah mengering karena perbuatan mereka semua. Belum lagi, Kakak sepupunya yang sering mencuri uang tabungannya untuk berfoya-foya.

"Udah ngga tahan rasanya. Pergi lebih baik. Terserah, mereka mau cap sebagai keponakan durhaka, atau apalah itu." ucapnya.

Ia pun bergerak. Melipat beberapa pakaian yang akan Ia bawa. Tak banyak, karena Ia ingin pergi dengan segera. Olin pun meraih tabungannya, yang Ia wadahkan ke sebuah kaleng biskuit bekas. Itu pun, Ia taruh di bawah lemari agar lolos dari Baim.

"Ada Satu juta. Ongkos ke kotanya, Dua ratus ribu dari angkot hingga bus. Dan disana cari kost murah. Jadilah. Cari kerja seadanya, kumpulin uang buat kuliah." ucap Olin, dengan harapan yang begitu besar.

Hari semakin larut. Terdengar suara motor Baim, masuk ke halaman rumah. Hanya tinggal menunggu Baim tidur, lalu Ia akan pergi dari rumah itu.

Kleeekkk! Lampu kamar Baim telah dimatikan. Olin masih diam menahan rasa kantuk di dalam kamarnya. Hanya bebrerapa menit, untuk mendengar dengkuran keras keluar dari mulut Baim.

"Aman..." ucap Olin.

Kamarnya ada di lantai atas, sebuah ruangan kecil yang dibagi dua dengan Baim. Ia pun mengeluarkan seprai yang telah Ia gabung dan di ikat dengan kain lain di jendelanya. Ia pun turun perlahan, lalu loncat ketika telah sampai di bawah

" Aman..." ucapnya lagi, dengan senyum kali ini.

Ia pun berlari, meninggalkan rumah penuh derita itu. Tanpa satu orang pun yang melihat, karena semua telah lelap dengan mimpinya masing-masing.

Dipasar, Ia menumpang dengan sebuah mobil sayuran yang kebetulan akan berangkat ke kota. Tak apa, meski sempit dan kotor, setidaknya menghemat pengeluarannya untuk naik bus.

"Pak, jangan bilang Om kalau Olin kesini. Bilang aja ngga tahu." pinta nya.

"Iya deh, iya. Neng Olin hati-hati tapi, jaga diri baik-baik. Kalau ada sesuatu, datengin Bapak disini."

"Iya Pak Bakri. Aman deh." ucap Olin. Lalu Ia pergi, mengikuti arah angin yang membawanya entah kemana.

Olin mencari sebuah kost kecil, yang hanya cukup untuk dirinya sendiri. Ia bekerja dimanapun, asalkan Ia menadapat gaji dan dapat menabung untuk kuliahnya.

Hampir Dua tahun Ia terkatung-katung di kota. Ingin kembali tak mungkin, dan bertahan sulit. Dan Ia memilih bertahan meski sangat menyakitkan. Hingga cita-citanya untuk kuliah terkabul. Meski tertatih mengmpulkan uang dan mengatur waktu belajarnya.

Ia bahkan bekerja di sebuah kedai pecel lele, tempat dimana Ia dan Reza bertemu. Kala itu, Ia memergoki beberapa anak berusaha mencopet dompet Reza dan menegurnya.

"Cowoknya ganteng. Tapi, berpakaian seperti itu. Pasti orang kaya. Sadar Olin, sadar." ucapnya, ketika pertama kali bertatap muka dengan Reza.

Sejak saat itu, Ia pun tahu jika Reza selalu mencarinya. Tapi memang Ia selalu menghindar. Demi apa? Demi menjaga hatinya sendiri. Mengingat kasta mereka yang begitu berbeda.

Hingga suatu hari, sebuah tawaran menjadi OB di perusahaan itu. Dengan gaji yang lumayan besar, hingga Ia dapat diterima disana. Ia tak tahu, jika ada campur tangan Reza di dalamnya.

Hingga kejadian itu, ketika Ia bekerja dengan begitu riang gembira dengan lagu kesukaannya. Mendendangkan, sembari memperagakan gerakan nya. Ketika, terlalu semangat hingga mengenai tubuh Reza hingga pingsan.

"Aku sendiri, bahkan nyaris pingsan kala itu. Melihatnya yang selalu aku hindari, tapi ternyata bertemu di satu tempat kerja. Dan ketika itu, aku tahu siapa dia."

Sadar diri itu penting

"Olin, katanya kamu jadi saksi penculikan kemarin. Gimana ceritanya?" tanya seorang sahabat, ketika tengah makan siang bersama.

"Ya, kebetulan lagi dapet tugas di ruang Pak Bagas. Aku, disuruh bersihkan kamar mandinya. Dan, ketika itu Pak Bagas meminta saya diam ditempat. Yasudah, Aku diam." ucap Olin.

"Kenapa kamu hubungin Pak Reza? Kenapa ngga hubungin Ali, atau satpam? Mau cari perhatian?" tanya Bu Rena.

"Sumpah, saya ngga pernah cari perhatian dengan siapapun. Tapi, karena mepet, dan melihat daftar panggilan terakhir. Maka, Pak Reza yang langsung saya hubungi, Bu." terang Olin, yang mulai tampak gugup.

"Nah, itu. Nyatanya kamu sempet teleponan. Kamu duluan pasti? Udah deh, Olin. Sadar diri aja, jika kalian itu bagaikna Bumi dan langit." tukas Bu Rena.

Olin pun seketika diam. Apapun penjelasan yang Ia berikan, mereka akan menganggapnya lain. Begitu tinggi, kesenjangan yang ada dalam fikiran mereka saat ini.

Olin pun semakin sadar diri. Dan memilih menjaga hati agar tak semakin sakit di kemudian hari.

Sore ini, Olin kembali membersihkan ruangan Bagas. Ia masuk, dan mengerjakan pekerjaan seperti biasa. Tapi, sebuah memo Ia temukan di meja.

"Datanglah kerumah. Ada yang menantimu disana. Syifa." tulisnya dengan jelas.

"Kenapa, aku harus kesana? Pantaskah? Apa alasan yang harus ku buat nantinya? Karena jika hanya ingi menjenguk, sepertinya aneh ketika wanita menghampiri pria di rumahnya." ucap Olin.

Ia pun kembali  bekerja sembari terus berfikir keras. Untung saja, Ia begitu profesional dengan apa yang Ia lakukan. Nyatanya, Ia bisa menahan perasaan hingga saat ini.

"Lin, pulang." ajak seorang sahabat.

"Ya, sebentar." ucap Olin yang tengah membereskan tasnya.

Olin berjalan santai keluar, Ia masih bingung untuk memberi sebuah keputusan. Hingga di jalan, Ia bertemu dengan Ali. Asisten Bagas dan Reza.

"Kamu kenapa?" tanya Ali padanya.

"Pak Ali? Saya tadi dapat Memo dari Ibu. Ini." ucap Olin, memberikan secarik kertas padanya.

"Kamu penasaran ngga, bagaimana dengan keadaannya?"

Olin pun mengangguk, Ia memang penasaran. Apalagi, katanya Reza sudah membaik dan pulang dari Rumah Sakit.

"Kau sudah dapat undangan. Itu sesuatu yang langka, maka datanglah. Mereka itu orang, yang tak pernah melihat orang lain dari status sosialnya. Ibu Syifa pun, dulunya perawat yang merawat Bapak. Tapi, karena semua ketulusannya, Bapak pun begitu mencintai dia."

"Ya, saya tahu, Pak. Hanya sedikit kaget dan sungkan.".jawab Olin.

"Kalau saran saya, ya pergi saja. Apa masalahnya. Kamu kan saksi, jadi wajar kalau kamu datang menjenguk." ucap Ali.

Ia pun bergegas pergi, karena banyak tugas harus Ia kerjakan secepatnya.

"Dateng engga? Dateng, engga? Fikiran Olin yang masih dalam kebingungannya.

Dan setelah memantapkan hati, Ia segera mandi dan berdandan rapi. Olin naik ojek, agar segera sampai kesana.

"Assalamualaikum..." ucap Olin, yang datang ketika mereka tengah santai makan malam.

Wajah Reza langsung tampak sumringah. Yang awalnya pucat, menjadi merona dan berseri bagai anak kecil yang baru saja menadapat hadiah mainan baru dari kedua orang tuanya.

"Olin?" tatapnya takjub.

"Eh, Olin? Masuk sini, kita udah nunggu daritadi." ajak Syifa, menghampirinya dengan ramah.

Olin perlahan masuk meski malu-malu. Ia ikut bergabung bersama yang lain di meja makan. Tak lupa menyapa Reza, yang mengembangkan senyum seluas samudera untuknya.

"Pak Reza, apa kabar?" tanya Olin.

"B-baik, Olin. makasih, udah datang kemari untuk jenguk saya." jawab Reza.

"Iya, Ibu yang undang tadi sore. Katanya, suruh kesini."jawab Olin, dengan jujur.

Reza menunduk, rupanya Olin datang bukan karena dirinya melainkan undangan. Seketika, semangatnya memudar. Ia pun memajukan bibir, dan kembali memainkan makanannya.

" Maaf, terlalu sungkan untuk jujur." batin Olin.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!