NovelToon NovelToon

OPEN MARRIAGE

Part 1

Seragam SMA lusuh penuh coretan. Aroma cat semprot menyesakkan pernafasan.

Anak anak kelas tiga SMA Favorit sedang merayakan kelulusan.

Diantaranya, ada seorang siswi yang termenung. Dia duduk menghadap jendela kelas dari kaca. Dia sedang bersedih.

"Dimana anak bodoh itu?" Dinda kesal menunggu Billy yang belum juga datang. Padahal dia sudah berjanji, akan menjadi yang pertama menandatangani kemeja sekolah Dinda.

Billy anak pindahan dari sekolah lain saat mereka masih kelas satu, sejak itu Dinda jatuh hati pada pemuda itu.

Tak disangka cintanya berbalas. Dia akhirnya berpacaran dengan Billy, ketika mereka sudah duduk dibangku kelas dua SMA sampai sekarang.

"Kamu tidak mencoret bajumu? Kenapa? Mau donasi?" kata Mita menggoda Dinda yang hanya bengong melihatnya mengambil tempat duduk tepat didepannya.

"Aah... Kamu ini. Aku menunggu Billy!" wajah Dinda masam.

"Ciee... cieee, emang cuma dia yang bisa, yang lain ni, nggak ada yang tau caranya mencoret baju!" goda Mita lagi.

"Aah kamu, cerewet amat!" jawab Dinda judes.

Mita yang sudah tahu sifat sahabatnya itu, hanya tertawa.

"Awas orang ganteng mau lewat!" suara Billy menggema diruang kelas.

Billy bule, begitu biasa dia dipanggil. Pemuda blasteran, dengan orang tua campuran, ayah Australia dan ibu Manado, Billy memiliki tubuh tinggi, kulitnya putih bersih dan berwajah tampan.

Pemuda itu menjadi salah satu diantara siswa populer di sekolah.

Dinda langsung menoleh kearah pintu. Ketika dilihatnya Billy melangkah masuk, Dinda langsung berdiri tapi dia tidak mau mendatangi Billy.

Dia yang harus mendatangiku, pikir ego Dinda.

Billy celingak-celinguk mencari sesuatu. Matanya melihat Dinda yang berdiri di pojok belakang kelas. Pemuda itu melangkahkan kakinya kearah Dinda.

Sambil tersenyum, Billy berkata, "Maaf, aku telat! Tadi Mama minta aku mengantarnya ke supermarket,"

Pemuda itu menyentuh kepala Dinda. Gadis itu langsung luluh, namun tetap mempertahankan raut wajahnya yang masam.

"Kenapa chat ku gak dibalas? Mestinya 'kan kamu kasih tahu aku," kata Dinda gemas. Memang dia kesal dengan Billy, tapi kalau sudah berhadapan seperti itu, rasanya gadis itu tidak sanggup marah padanya.

"Sini!" Billy tidak menanggapi perkataan Dinda, melainkan langsung menarik pelan bahu gadis itu. Dia lalu mulai mencoret-coret bagian belakang kemeja Dinda.

Dinda hanya bisa menurut.

Pakaian seragam mereka semua sudah berwarna warni.

Para siswa lalu keluar dari ruang kelas dan berkumpul di lapangan basket.

Tidak kalah heboh, disitu sudah dimulai acara yang disiapkan panitia kelulusan.

Para siswa berkumpul disana, mulai dari kelas satu sampai kelas tiga.

Anak-anak kelas tiga yang merayakan kelulusan turun ke lapangan, sedangkan adik-adik kelas, duduk di tribun.

Acara berlangsung meriah, sampai hari menjelang sore.

"Kita ngumpul di cafe nanti malam ya?!" kata Billy.

"Okey!" jawab Dinda dan Mita serempak.

Mereka lalu menikmati acaranya sampai kelar, sebelum akhirnya mereka pulang kerumah masing-masing.

Malam itu, Billy sudah duduk di salah satu sudut cafe, yang biasanya dia dan teman-temannya datangi.

Cafe dengan live music, disitu menyediakan berbagai macam minuman, dan camilan.

Billy sudah memesan empat gelas kopi racikkan, dengan semangkuk cemilan. Dia mengunyah cemilan, sambil menunggu teman-temannya datang.

Tak lama, Dinda dan Mita tiba berbarengan.

"Woooyyy! Sudah pada makan aja, ngak nunggu kita nih!" Kata Mita setengah berteriak.

"Aku baru pesan satu," kata Billy menunjuk mangkuk cemilan didepannya,

"Kalian pesan aja lagi sendiri ya?!" lanjutnya.

Mita bergegas ke meja bartender. Sedangkan Dinda duduk bersebelahan dengan Billy.

"Mana Dovi?" Billy bertanya sambil matanya melihat kearah jalan, mencari keberadaan Dovi temannya, yang juga menjadi pacar Mita.

"Pacarnya aja nggak tau, apalagi aku..." kata Dinda enteng, sambil menyeruput minuman disalah satu gelas, yang sudah tersedia diatas meja.

Billy mencubit gemas pipi Dinda. Gadis itu mengeluh kesakitan. Tapi Billy hanya tertawa, meskipun pahanya mendapat balas cubitan dari Dinda.

Mita kembali ke meja. Tangannya sibuk mengutak atik layar ponselnya.

"Mana pesananku?" tanya Dinda.

Mita mengangkat wajahnya,

"Hah? Oh, sebentar nanti dibawakan mereka kesini!" Jawab Mita sekedarnya, pikirannya sibuk dengan chat yang masuk di handphonenya.

"Ada apa?" tanya Billy.

"Ini... Kata Dovi dia bertengkar lagi dengan papanya. Tapi dia sudah dijalan kesini," kata Mita. Tersirat rasa khawatir di wajah gadis itu.

Mita orang yang ceria, namun kalau Dovi sedang ada masalah, maka sikap gadis itu akan berubah seratus delapan puluh derajat.

Mita sudah mengenal Dovi sejak mereka masih di sekolah dasar, mereka lalu berpacaran saat mereka masih SMP. Ketika Dovi bermasalah, Mita ikut merasakannya. Begitupun sebaliknya.

Mereka bertiga terdiam beberapa saat. Mengingat Dovi yang memang sering bertengkar dengan Papanya. Papa Dovi suka mabuk mabukkan setelah bercerai dengan Mamanya Dovi.

Mama Dovi sudah menikah lagi, dan pindah bersama adik perempuan Dovi, ke negara asalnya Australia. Sedangkan Dovi memilih tinggal, karena masih tidak tega meninggalkan Papanya sendirian.

Dan diantara semua itu, alasan terbesar Dovi, yaitu dia tidak ingin berpisah dengan Mita.

Dovi ingin menyelesaikan SMA, agar saat akan kuliah, Mita bisa ikut dengannya ke Australia.

***

Mereka makan dan minum, tanpa bicara apa-apa dalam beberapa menit selanjutnya. Mereka semua, larut dalam pikiran mereka masing-masing.

Tiba-tiba ponsel Mita berbunyi. Ada panggilan masuk dari Dovi.

"Halo...! Dov!" sapa Mita.

"Halo! Anda kenal dengan pemilik handphone ini? Nomor anda ada dipanggilan cepat," terdengar suara dari seberang.

"Iya! Siapa ini?" kata Mita. Tangan Gadis itu gemetar.

Mita mulai menangis histeris. Billy dan Dinda kebingungan melihat Mita.

"Kenapa, Mit?" tanya Dinda.

"Dov- Dovi kecelakaan"

Part 2

Ketiga anak muda itu bergegas ke rumah sakit dimana Dovi dibawa.

"Korban kecelakaan atas nama Dovi Pramudya dirawat di kamar mana, Sus?" Hanya Billy yang masih bicara, lalu bertanya pada perawat di meja depan.

Kedua gadis yang bersamanya menangis tanpa henti hingga tidak bisa mengeluarkan kata apa apa.

"Sebentar," Suster itu mengetikkan sesuatu dikomputernya.

"Kalian keluarganya?" Tanya perawat itu yang mungkin merasa heran, kenapa hanya anak-anak seperti mereka itu yang datang.

"Orang tuanya mana?" tanya perawat Itu lagi.

"Mamanya diluar negeri, sedangkan Papanya lagi sakit. Kalau sudah mendingan kata papanya, nanti dia menyusul kesini," Billy terpaksa berbohong.

Berkali-kali Billy menelpon papanya Dovi, tapi tidak disambutnya. Awalnya dia mengira papa Dovi sudah berada di rumah sakit, ternyata... orang tua tidak berguna, pikirnya.

"Pasien kondisinya kritis. Dia masih didalam ruang operasi. Kalian bisa menunggu didepan ruang operasi," Kata suster itu.

Billy dan kedua teman perempuannya itu lalu berlari mencari ruang operasi yang dikatakan suster tadi.

"Itu, disitu!" kata Billy.

Mereka bertiga lalu duduk di kursi yang ada disitu.

Tidak merasa tenang, Billy mencoba untuk menelpon papa Dovi lagi sambil berjalan mondar mandir.

"Tidak diangkatnya!" kata Billy yang sudah kesal.

Dia kembali memencet tombol panggilan di handphonenya.

Dinda yang memeluk Mita sudah berhenti menangis. Dia berusaha tegar agar bisa menenangkan Mita. Gadis itu mengelus punggung sahabatnya yang masih terisak-isak.

"Sabar... Kita harus sabar... kita berharap Dovi akan baik-baik saja," kata Dinda. Gadis itu tidak berhenti mengelus punggung Mita.

Beberapa waktu berlalu, lampu emergency dipintu ruang operasi sudah dimatikan. Tak lama kemudian, beberapa orang perawat terlihat mendorong ranjang pasien.

Dovi terbaring disitu masih tidak sadarkan diri. Ketiga sahabat itu menyusul dari belakang sampai akhirnya tiba disalah satu kamar perawatan.

"Biarkan pasien istirahat dulu, ya?! Jangan berisik! Kondisinya mulai stabil tapi masih dalam efek bius, makanya pasien belum sadar" kata salah seorang perawat yang kemudian berlalu keluar kamar.

Ketiga muda mudi itu, melihat Dovi dari dekat. Mita masih menangis, tapi dia berusaha sekuat tenaga tidak mengeluarkan suaranya. Hanya air mata yang tidak berhenti mengalir diwajahnya.

Dinda dan Billy lalu berbisik bisik di sofa, membiarkan Mita duduk disamping Dovi.

"Papa Dovi sudah bisa dihubungi?" tanya Dinda.

"Belum, aku sudah chat lewat WA juga belum dibaca," Billy terlihat sangat kesal "Mungkin masih mabuk," pemuda itu mengerutkan alisnya.

"Aku sudah chat Mamanya. Mamanya memintaku untuk menemani Dovi. Dia lagi mencari penerbangan tercepat ke sini," kata Billy.

Pemuda itu lalu melihat kearah sahabatnya yang terbaring dan masih belum sadar.

Kaki Dovi diperban sampai paha. Bagian kepalanya juga berbalutkan perban. Disana sini kulit Dovi banyak sekali luka lecet. Kedua matanya terlihat bengkak dan membiru.

Tidak tega rasanya dia melihat kondisi sahabatnya itu.

Hampir tengah malam, mereka semua masih disitu.

"Kalian pulang saja istirahat dirumah, biar aku menjaganya," kata Billy. Dia kasihan melihat dua gadis itu yang terlihat kelelahan namun tetap memaksakan diri untuk terjaga.

"Nggak apa-apa. Kami akan tetap disini. Aku tadi sudah memberitahu orangtua ku dan Mita, kalau kami menemani Dovi dirumah sakit denganmu," kata Dinda.

"Kalau begitu, aku mau keluar mencari minum, ada yang kalian inginkan?" Billy sudah berdiri dari kursinya bersiap pergi.

"Americanonya dua, sama camilannya terserah aja," jawab Dinda.

Billy pun mengangguk dan berlalu pergi.

"Kenapa dia masih belum bangun?" Mita tidak sabar, dia sangat gelisah melihat kondisi Dovi.

"Aku juga nggak tau. Kita tunggu aja dulu," kata Dinda.

Tapi akhirnya gadis itu lalu melangkah keluar

"Aku panggil perawat dulu untuk memeriksanya,"

Mita tertinggal berdua dengan Dovi. Gadis itu memegang tangan pacarnya itu erat, sambil mengusap usap lengan pemuda itu.

"Kamu harus kuat ya sayang...! Kita 'kan sudah janji mau ke Australia bersama," Mita berbisik pelan ditelinga Dovi.

Perawat memeriksa Dovi.

"Tidak apa-apa, semua stabil. Dia masih ingin tidur saja,"

Setelah perawat itu pergi, Billy sudah kembali sambil membawa tiga gelas kopi dan sekantong camilan.

"Ini minumnya. Disitu juga ada egg roll kalau kalau kalian lapar," kata Billy sambil menunjuk kantong plastik diatas meja.

Mita dan Dinda mengambil segelas kopi dan menyeruputnya sedikit. Kopi nya masih sangat panas.

Tak lama terdengar suara erangan pelan. Dovi sudah mulai sadar.

"Dov-Dovi... Ini kami!" kata Billy, Dinda dan Mita hampir serentak.

Dovi membuka matanya. Matanya melihat kearah datangnya suara. Dia melihat Billy dan Dinda. Dia lalu melirik kesisi sebelahnya dan melihat Mita yang mulai menangis lagi.

"Kenapa kamu nangis? kalo gitu aku tidur aja deh!" kata Dovi menggoda Mita pacarnya. Meskipun badannya sakit nggak karu-karuan, dia tidak mau Mita bersedih.

Mita tersenyum. Dia menyandarkan kepalanya ditangan Dovi. Gadis itu sangat senang melihat Dovi yang sudah sadar dan masih bisa menggodanya lagi.

Mereka lalu mengobrol santai seperti biasa saat mereka berkumpul, seolah tidak ada yang merasa sakit.

Sudah hampir subuh, semuanya tidak mampu lagi menahan kantuknya. Mereka lalu tertidur di kamar rumah sakit itu.

Part 3

Billy tiba tiba terbangun. Dijendela kaca tampak cahaya matahari sudah bersinar memaksa masuk dari sela sela gorden.

Dilihatnya Dovi sedang memandangi Mita yang tertidur dengan posisi duduk di sampingnya.

Dovi merasa diperhatikan, lalu menoleh kearah Billy.

Dengan suara berbisik Dovi kemudian berkata,

"Aku mencintainya..."

Billy tersenyum mendengar perkataan Dovi.

"Iya, aku tahu" kata Billy.

"Apa Mamaku sudah tahu kalau aku begini?" tanya Dovi.

"Sudah! Mungkin siang nanti dia sudah disini. chat-nya semalam dia sudah dapat tiket penerbangan paling awal," jawab Billy menjelaskan.

Billy ingin memberitahu Dovi tentang papanya tapi dia ragu, dia memilih menunggu kalau ada Dovi bertanya saja.

"Ooh..." kata Dovi singkat.

"Aku akan membawa Mita pergi bersama Mama nanti, saat Mamaku bersiap kembali ke Australia. Aku tidak mau menunggu. Aku capek tinggal disini dengan Papaku."

Raut wajah Dovi berubah masam. Dia teringat kelakuan Papanya yang tidak mau berubah. Mamanya sampai minta bercerai karena tingkah papanya itu, tapi tidak membuat lelaki itu sadar.

Billy hanya mendengarkan perkataan Dovi tanpa bisa berkata apa apa. Dia mengerti keadaan Dovi selama tinggal dengan Papanya. Billy pun merasa itu yang terbaik kalau Dovi ikut Mamanya saja.

Kepala Mita bergerak. Gadis itu terbangun dari tidurnya.

"Iiiih... Tuh ada ilernya!" goda Dovi saat Mita mengangkat wajahnya dari kasur.

Dengan cepat Mita mengelap pinggir mulutnya dengan tangan.

"Aaiiss... Jorok!" goda Dovi lagi.

Mita merengut, dia mencubit manja tangan pemuda itu. Gemas.

Dovi hanya meringis kesakitan.

"Bagaimana perasaanmu? Ada perubahan? atau ada yang bertambah sakit?" tanya Mita.

"Ada yang sakit," kata Dovi "Tanganku!" pemuda itu tersenyum nakal, sambil menunjukkan bekas cubitan Mita ditangannya.

"Ah, kamu ini. Aku cubitnya pelan aja kok!" Mita mengelus tangan Dovi.

"Di suun lah, nggak mempan kalau cuma di elus," kata Dovi tetap saja menggoda Mita.

Mita mencium tangan pemuda itu.

"Sini juga sakit," pemuda itu menunjuk pipinya sambil menahan senyum.

Mita semakin gemas melihat tingkah Dovi. Tapi dia menurut saja. Gadis itu mencium pipi Dovi.

Pemandangan itu cukup menggelitik Billy.

"Aku keluar bentar ya?! Cari sarapan... Ada pesanan?" kata Billy.

Mita menggeleng.

Billy melangkah keluar. Dia tiba tiba berbalik, langsung menuju toilet diruangan itu. Tak lama, dia lalu berjalan keluar kamar, meninggalkan teman temannya.

Di kafetaria, Billy mengingat perkataan Dovi kalau dia dan Mita akan ke Australia bersama. Mita sudah sejak lama diijinkan orang tuanya untuk melanjutkan sekolah disana.

Dia membandingkan dengan Dinda yang belum mendapat persetujuan dari orangtuanya. Bagaimana nanti? LDR-an? Itu sulit. Dalam hatinya ada rasa iri ketika melihat Dovi bisa bersama Mita.

Orang tua Dinda sudah saling mengenal dengan orang tua Billy. Tapi dengan alasan Mama Dinda sering sakit-sakitan, mereka masih ragu untuk melepaskan anak semata wayangnya pergi jauh.

Sebenarnya Mama Dinda mengijinkan anak gadisnya pergi, Papanya saja yang masih merasa khawatir.

"Takut Mamanya kenapa-kenapa..." begitu kata-kata Papa Dinda waktu itu.

Billy membeli makanan dibungkus sterofoam, tidak lupa dengan beberapa botol air mineral. Dia bergegas kembali ke kamar Dovi.

Dinda baru saja keluar dari toilet ketika Billy tiba.

"Pas saja, kamu sudah bangun! Ini sudah ku belikan sarapan. Kita sarapan sama-sama dulu sebelum pulang. Aku mau mengganti baju dulu dirumah," kata Billy kepada Dinda.

Mereka bertiga lalu memakan makanan yang dibawa Billy. Disela-sela, Mita menyuapi Dovi dengan makanan pasien yang diantar petugas katering rumah sakit.

"Aku mau kerupuk itu," kata Dovi.

Mita lalu mengambilkan kerupuk yang dibawa Billy dan menyuapi Dovi.

"Kami nanti pulang dulu ya?! Mau mandi dulu," kata Billy sambil mengunyah makanannya.

Dovi mengangguk.

"Mita ikut? Atau masih mau menunggu disini?" tanya Billy.

Mita melihat kearah Dovi.

"Kenapa melihatku? Pulang mandi aja dulu sana. Bau, tuh! " ejek Dovi.

"Kamu pasti gitu. Sudah sakit aja masih bisa menggodaku," kata Mita. " Kalau gitu aku ikut balik dulu ya?! Nanti aku kesini lagi."

"Kami juga kesini lagi kok, bisa barengan aja nanti," kata Dinda yang diikuti anggukan Billy setuju.

Mereka menghabiskan makannya sebelum berpamitan pulang. Meninggalkan Dovi sendiri di kamar.

"Nanti tunggu aja aku jemput ya?! Aku nanti pinjam mobil Mama. Kita sama sama aja," kata Billy yang sudah menstarter motornya.

"Okey!" Jawab dua gadis itu bersamaan.

"Hati-hati!"

Dinda dan Mita berboncengan di motor Mita. Mereka berjalan terlebih dahulu yang kemudian disusul Billy.

Mereka berpisah jalan karena tempat tinggal mereka berlawanan arah.

Dinda masih sempat melambaikan tangannya kearah Billy

"Hati-hati, ya!" teriak Dinda.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!