Hay semua 😁
Kali ini Author membawa cerita baru yang akan menghibur hari-hari bulan suci Ramadhan kali ini.
Cerita ini spesial untuk kalian semua.
...⚜️Selamat membaca⚜️...
Pria kecil berumur 7 tahun melangkah pelan-pelan seperti pencuri setelah berlari melewati beberapa rumah yang kini telah sunyi. Pria dengan tampan paras itu kini berdiri mematung menatap Uminya yang kini sedang menjahit baju. Dengan rasa lelahnya itu kini ia mendekati wanita dengan jilbab besar berwarna hitam itu, Mawar yah itu lah namanya.
"Umi," panggilnya.
Mawar menoleh dan tersenyum. Sepertinya ia terlihat bahagia menatap putra satu-satunya itu yang kini sedang menatapnya. Hari ini adalah puasa pertama bagi putranya di bulan Ramadhan kali ini.
"Ada apa?" tanyanya dengan penuh perhatian sambil mengusap rambut pria kecil itu.
"Islam lapar," ungkapnya tanpa ada rasa yang ia tutupi.
Seketika senyum itu lenyap dari bibir mawar setelah mendengar suara itu.
"Lapar?"
Islam mengangguk.
"Tapi-" Mawar menoleh menatap jam yang masih menunjukkan pukul 10 pagi.
"Umi, Islam lapar dan sepertinya Islam tidak kuat hari ini untuk puasa. Apa Islam boleh makan?"
Mawar tersenyum hangat lalu menggeleng pelan. Seketika juga Islam memasang wajah sedihnya dan percayalah ini manfaat memiliki wajah lucu seperti wajah Islam Ramadhan yang berhasil membuat hati Mawar tersentuh.
Jangan heran teman-teman! Selain wajah tampan Islam, Islam pun merupakan anak satu-satunya dan juga cucu satu-satunya dari keluarga besar ini jadi jangan heran jika semua yang diinginkan Islam akan terpenuhi dengan modal air mata, senyuman dan rayuan.
Mawar adalah menantu dari Abdul Habib yang merupakan kiai dan pendiri pesantren disebuah Desa bernama Desa Sugana yang memanglah terkenal dengan nilai keagamaannya. Abdul Habib mempunyai dua anak laki-laki yakni Abdul Al Akbar dan Abdul Al Akbir dan salah satu dari anak dari kiai Habib menikah dengan Mawar.
"Apa Islam boleh makan, Umi?"
Mawar menarik nafas panjang dan tersenyum dengan raut wajah gelisah lebih tepatnya senyum kekhwatiran yah sebenarnya suaminya, Abdul Al Akbar berpesan untuk mengajari Islam berpuasa di bulan suci kali ini dan tak mungkin membiarkan Islam makan sementara Mawar telah berjanji.
"Umi, Islam lapar. Islam sudah tidak tahan hari ini. Umi, tadi Islam melihat Kristian makan dan membeli minuman dingin di kedai. Islam juga mau, Islam juga haus."
"Tapi Islam hari ini bulan puasa, bulan ramadhan jadi Islam tidak boleh makan dan minum."
"Umi, kalau hari ini bulan puasa lalu mengapa Kristian makan dan minum?"
Mawar tersenyum dan menyentuh lembut pipi chubby Islam. Bagaimana bisa ia menjelaskan kepada putranya jika anak bermana Kristian yang tinggal di dekat rumah adalah anak beragama Kristen.
"Islam, nanti Islam juga mengerti."
"Tapi Islam lapar."
Mawar terdiam, ia tak lagi mengelus pipi putranya setelah menatap air mata yang mengalir dari mata indah Islam.
15 menit kemudian
Mawar meletakkan sepiring nasi dengan lauk ayam goreng dan sayur kangkung tumis kecap di atas meja membuat Islam tersenyum.
"Terimakasih, Umi."
"Makan cepat! Nanti Abi marah jika melihat kamu makan seperti ini!" bisik Mawar sambil sesekali menoleh ke arah pintu. Jujur saja ia sangat takut jika suaminya pulang dan melihat Islam makan.
Islam mengangguk lalu segera melahap makanan itu dan hal ini membuat Mawar tersenyum. Mawar sangat tak tega melihat putra kesayangannya itu kelaparan apalagi ketika Islam merengek meminta sesuatu.
Setelah makan Islam kini bermain di ruangan keluarga dengan sepeda kecilnya dengan semangat. Bagaimana tidak semangat ia sudah makan dua piring nasi dan satu mangkuk es buah dingin. Suara mobil terdengar dari luar dan memasuk pekarangan rumah membuat Mawar terkejut bukan main. Mawar bangkit dari kursi lalu berlari untuk melihat siapa yang datang.
"Abi," bisik Mawar dengan panik setelah melihat mobil hitam yang kini berada di garasi.
Yah kini sudah jam 4 sore yang berarti Akbar telah pulang dari tempat kuliah. Akbar memanglah berprofesi sebagai dosen di salah satu universitas keagamaan.
"Islam!" panggil Mawar lalu berlari menghampiri Islam yang kini terlihat menghentikan gayungan di sepedanya.
"Islam, jangan beritahu Abi kalau Islam tadi makan!" ujar Mawar sambil mengusap bibir mungil Islam. Mawar tak mau jika ada sisa makan di mulut Islam yang akan dilihat oleh Akbar.
"Iya, Umi," jawab Islam.
Mawar tersenyum menyambut kedatangan Akbar. Menjawab salam, meraih tas hitam yang berada di genggaman Akbar dan mengecup punggung tangan Akbar dengan mesra.
"Dimana Islam?" tanya Akbar yang kini melangkah masuk ke dalam rumah.
"Di...di...dia."
"Bagaimana puasa pertamanya? Apakah baik?"
Mawar terdiam, berbohong bukanlah keahliannya.
"Islam...."
"Ada apa?"
"Baik, hanya sedikit lemas," jawabnya sambil tertunduk.
Akbar tertawa, rasanya ia sudah tak sabar melihat putra jagoannya itu. Bagaimana dia sekarang?
"Tidak apa, ini sudah biasa bagi Islam yang baru pertama belajar puasa nanti dia juga terbiasa. Puasa itu menahan lapar dan dahaga sudah sebaiknya kita mengajarkan kepada Islam sejak dini."
Mawar hanya mengangguk seperti burung beo di atas pohon. Oh Tuhan kali ini ia berbohong pada suaminya.
"Abi!!!" teriak Islam yang kini berlari menghampiri Akbar yang disambut dengan pelukan dan gendongan dari Akbar yang tersenyum bahagia.
"Wah putra ku, terlihat sangat baik-baik saja," ujar Akbar membuat Mawar gemetar bukan main.
Bagaimana bisa ia tak gemetar melihat Akbar yang menggendong Islam. Islam sudah makan banyak dan ia takut jika Akbar mencium bau makanan dari mulut Islam. Islam adalah anak kecil yang jujur, ia takut jika Islam memberitahu Abinya jika ia sudah makan atas izin darinya. Jika sampai itu terjadi maka sudah jelas jika Akbar akan marah besar kepadanya.
Akbar menatap putranya itu dengan serius dan kemudian ia tersenyum.
"Bagaimana puasa hari ini? Apa Islam lapar?"
"Tidak, Islam tidak lapar" jawab Islam membuat Mawar terkejut bukan main dan dengan cepat meraih Islam dari gendongan Akbar.
"Islam, Abi sangat lelah setelah bekerja jadi kemari dan bantu Umi memasak," ujar Mawar dan menurungkan Islam membuat Islam kini berlari menuju dapur.
Mawar menghembuskan nafas sesaknya ketika ia melangkah menuju dapur membelakangi Akbar yang kini masih tersenyum.
"Mawar," panggil Akbar membuat langkah Mawar terhenti dengan tiba-tiba dengan kedua mata yang melotot karena terkujut. Apa suaminya curiga dan telah sadar jika Islam telah makan dan tak puasa hari ini.
"Iya," jawab Mawar lalu menoleh dengan wajah gugup.
"Kamu bilang Islam sedikit lemas puasa hari ini tapi Islam terlihat baik-baik saja."
Mawar tersenyum gugup, rasanya ia ingin menyumbat mulut suaminya agar berhenti bicara.
"Aku tahu, Islam anak yang kuat sehingga ia bisa sekuat itu menahan lapar dan berlari seperti anak yang sudah makan dua piring saja," Akbar tertawa membuat Mawar ikut tertawa.
Oh Tuhan, bukan seperti tapi memanglah ini kenyataan Islam sudah makan nasi dua piring tadi.
14 Tahun kemudian
Suara knalpot yang berbunyi keras dan nyaring terdengar membuat siapa saja yang mendengarnya akan menutup kedua telinganya, berbeda dengan pria berambut panjang sebahu yang ikat dengan karet hitam serta pakaian serba hitam yang terlihat tersenyum diiringi suara tawa dan kagum dari beberapa pria yang ada di sekitar motor.
Pria berwajah tampan itu adalah tokoh utama dalam kisah ini, siapa lagi jika bukan Islam, bocah yang dibiarkan membatalkan puasanya itu karena kasih sayang dari sang Umi yang tak mau melihat Islam kelaparan.
Yah, teman-teman lihatlah Islam telah besar sekarang. Kini umurnya telah berusia 21 tahun dan masih menempuh pendidikannya di bangku kuliah jurusan yang tak jelas. Begini lah jika ia kuliah dengan niat hanya ikut-ikutan dengan teman-temannya.
Sebelum lebih jauh mengenal Islam maka kenalkan tiga sahabatnya yang telah menjadi ekor dan kadang-kadang menjadi kepala bagi Islam selama 21 tahun di masa-masa suka dan ...dan apa lagi? Duka? Tolonglah tak ada duka bagi Islam yang selalu merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Semua kehidupan Islam berjalan seperti apa yang Islam inginkan.
Kristian putra, yah panggil dia Kristian. Pria berparas tampan kebule-bulean dan berkulit putih ini merupakan sahabat Islam sejak kecil. Pria beragama kristen ini adalah pria yang lucu, baik dan taat dalam beragama. Ayahnya adalah pria berdarah jerman dan ibunya yang berdarah sunda asli, jadi jangan heran jika Kristian kadang-kadang berlogat Sunda. Kristian adalah anak pertama dari dua bersaudara dan adik perempuannya beragama Islam karena ia menjadi penerus agama dari ibunya yang beragama islam. Kristian beragama Kristen karena mendapat agama dari Ayahnya, bagi mereka ini yang namanya adil dalam keagamaan.
Abirama Putra Hindu, dari namanya saja kita sudah tahu agama apa yang ia anut. Sudah jelas jika Abirama Putra Hindu adalah pria yang berasal dari Bali dan menganut agama Hindu. Pria berparas tampan dengan kulit kuning langsat itu adalah sahabat Islam yang sudah cukup lama, yah Islam sudah mengenal Abirama sejak mereka masih menempuh pendidikan SD.
Ali Firdaus, pria dengan gigi gingsul itu adalah sahabat Islam yang selanjutnya. Ali adalah pria asli Jakarta yang juga akrab dengan Islam. Jika kamu mengira sifat Ali adalah pria yang alim ataupun soleh seperti namanya maka jangan salah, Ali adalah pria Islam KTP yang jarang dalam beribadah. Jangan dicontoh!
Jika keempat mereka sedang asik tertawa gembira maka berbeda dengan beberapa gadis mahasiswi yang nampak terlihat tak senang dengan suara kenalpot yang bunyikan oleh Islam.
"Cewek," goda Ali yang kini menatap dari atas sampai bawah tubuh molek dua gadis itu.
"Uy, empuk banget tuh yang di bawah," tambah Abirama lalu tertawa.
Kristian yang sibuk menatap motornya kini langsung terbelalak menatap Ali dan Abirama setelah ia mendengar ujaran keduanya.
"Oh Tuhan, ampuni teman-teman ku," bisik Kristian sambil menggenggam kedua tangannya dengan kedua mata yang tertutup, Yap Kristian sedang berdoa.
Gadis itu langsung berlari menjauh sambil tersenyum malu-malu, bagaimana tidak jika mereka baru saja disapa oleh anggota geng motor Mogeren yang terkenal tampan. Siapa yang tak kenal dengan mereka berempat, semua mahasiswa di universitas ini sudah tak asing lagi dengan Islam dan ketiga sahabat berbeda agamanya itu.
"Udah bener nggak sih ini?" tanya Islam yang kini melangkah turun dari motor milik Kristian.
"Udah nih. Puji Tuhan akhirnya bagus juga," jawab Kristian yang kini tersenyum bangga begitupula dengan Islam. Tak sia-sia Islam pernah sekolah di kelas mekanik saat SMA.
"Eh ada penjual cendol tuh," ujar Abirama gembira.
Abirama bangkit membuat semua sahabatnya bangkit dengan cepat sambil menoleh menatap pria yang kini mendorong gerobak berwana hijau.
"Wih, enak nih," sahut Islam.
"Udah-udah panggil! Panggil!" pintah Ali.
"Mang! Mang cendol!" teriak Kristian diiringi Ali yang juga ikut berteriak seperti orang yang kelaparan tingkat akut.
"Mang, cendol empat yah!" pesan Kristian sambil mengangkat empat jari tangannya setibanya pria penjual es cendol gerobak itu.
Pria itu hanya mengangguk lalu meraih gelas plastik sekali pakai dan mengisinya dengan cendol sementara keempatnya kini terlihat serius menatap apa yang sedang dilakukan oleh penjual cendol itu.
"Tumben Mas jualnya kok agak sore?" tanya Islam yang kini sedang menopang pinggang.
"Kan ini bulan ramdhan jadi jualnya yah agak sore. Emang siapa yang mau beli kalau jualnya pagi?" jelasnya lalu tertawa sementara empat pria muda yang menanti es cendol itu kini terdiam dengan wajah datar.
"Naon Ramadhan?" tanya Kristian yang kini menatap Islam dengan serius.
Islam diam melongo dengan otaknya yang kini berpikir keras memikirkan jawabannya.
"Ah nggak tau," jawab Islam lalu meraih gelas plastik cendol itu dan melangkah pergi.
"Ram," panggil Kristian membuat Abirama yang sedang merogoh uang di saku celananya kini menyahut, "Em."
"Ramadhan apaan sih?" tanya Kristian dengan logat sundanya.
"Lah kok nanya gue? Mana gue tau," jawabnya lalu melangkah duduk di samping Islam yang sedang asik menyantap cendol yang dingin dan menyegarkan itu.
"Mamang, Naon ramadhan? Kasi tau saya!" Pintah Kristian yang kini sesekali menyuapi mulutnya dengan cendol.
Pria itu menarik nafas dan bersiap untuk menjelaskan semuanya namun belum sempat ia menjelaskannya kedua mata pria itu mengarah ke arah kalung salib yang terpasang di leher Kristian.
"Pantas kamu tidak tau, kamu kan bukan Islam," ujar pria itu membuat Kristian mengernyit heran.
Di satu sisi lain Islam yang sedang asik dengan cendolnya itu kini mendongak menatap pria yang baru saja menyebut namanya.
"Lah, memang saya bukan Islam Mang. Nah itu si Islam." Tunjuk Kristian ke arah Islam yang kini sedang melongo begitupula dengan Ali dan Abirama yang terdiam menatap Islam.
"Bapak cari saya?" tanya Islam sambil menunjuk wajahnya.
"Waduh, bukan Islam nama tapi Islam agama," jelas pria itu dan sebut saja namanya Mang Jupri.
"Loh jadi nama lo agama, Lam?" tanya Abirama sementara Islam terdiam tak mengerti.
"Waduh, Islam ini agama apa?" tanya Mang Jupri.
Islam menoleh kiri dan kanan menatap kedua sahabatnya Abirama dan Ali.
"Agama itu apa?" tanya Islam membuat Abirama dan Ali menggeleng tak tau.
"Astagfirullah," ujar Mang Jupri lalu menggeleng tak menyangka.
"Sudah besar seperti kerbau tapi tidak tau apa itu agama. Hem neraka jahanam terbuka untuk mu," ujar pria itu lalu melangkah pergi dengan gerobaknya.
"Lah, Mang!!! Ramadhan apa atuh?!!" teriak Kristian yang tak kunjung mendapat jawaban.
Sementara di satu sisi ketiga orang yang kini sedang duduk di kursi halte saling bertatapan dengan wajah bingungnya.
"Jahanam di daerah mana?" tanya Abirama.
Islam melangkah masuk ke dalam kamar dan melempar tasnya ke sembarangan arah. Ini sudah jadi kebiasaan bagi Islam jika masuk ke dalam kamarnya. Islam membaringkan tubuhnya ke kasur dan menatap langit-langit kamarnya. Rasanya Islam sangat lelah hari ini setelah ia berpura-pura lemas dan lapar di hadapan Uminya, lagipula dia juga terlihat tidak terlalu peduli apakah Islam puasa atau tidak di bulan puasa ini.
Rasanya Islam juga lelah dengan setiap pertanyaan yang di lontarkan oleh sahabat-sahabatnya yang menanyakan tentang agama kepadanya. Islam bingung harus jawab apa, semua pertanyaan yang dilontarkan terlalu sulit baginya.
"Kalau saya ke gereja nah kamu kemana, Lam?" ini pertanyaan yang dilontarkan oleh Kristian tadi dan Islam sendiri bingung harus menjawab apa.
"Kamu kan Islam tapi kok kamu tidak tau?" Ini salah satu pertanyaan yang sangat menyebalkan bagi Islam.
Apa yang harus Islam jawab dari pertanyaan yang dilontarkan oleh Abirama. Islam yah memanglah beragama islam tapi bukan berarti Islam tau semuanya tentang Islam. Abinya memanglah seorang ustad dan dosen agama tapi bukan berarti ia tau semuanya. Abinya itu jarang ada di rumah dan lebih sering berada di kampung tempat kelahirannya di desa karena ia juga mengajar di pesantren yang didirikan oleh Ayah dari Abinya sendiri.
"Islam!"
Islam menoleh menatap Mawar yang kini sudah berada di dalam kamar sambil memegang ganggang pintu.
Islam diam tanpa ekspresi di meja makan sementara Mawar kini sedang sibuk meletakkan nasi di atas piring putih dan beberapa lauk buatannya. Hari ini buka puasa terakhir dan ini membuat Mawar senang, ia bisa menghabiskan waktu bulan puasanya bersama dengan putra kesayangannya.
Keduanya kini makan bersama dengan suasana diam dan hening. Setelah kecupan yang diberikan oleh Mawar di dahi Islam setelah acara buka bersama selesai kini Mawar sibuk mencuci piring di wastafel tanpa bertanya apakah Islam puasa hari ini atau tidak.
Islam duduk di kursi ruangan tv dengan kaki yang berada di atas meja sambil menyantap kue coklat yang Mawar buat dua hari yang lalu. Islam tak mengerti mengapa Umi nya membuat kue sebanyak ini. Bahkan sekarang Uminya sedang sibuk memasak di dapur.
"Islam!" teriak Mawar yang kini berlari keluar dari dapur sambil membawa ponsel di tangan kanannya dengan raut wajah panik dan hal itu membuat Islam mengernyit heran.
"Kenapa sih? Kok panik gitu?" tanya Islam.
"Islam, cepat Nak!" panik Mawar membuat Islam berhasil bangkit dari kursinya.
Mawar meraih kedua pipi Islam dan tersenyum bahagia.
"Ikat rambut mu, Nak!" Pintah Mawar.
Islam yang mengernyit heran itu kini mulai berangsur paham. Ponsel yang ada di genggaman tangan Mawar kini membuat Islam mengerti jika Abinya akan pulang ke rumah. Jika hari ini Abinya pulang dan sampai di rumah sekarang juga berarti ini adalah pertemuan pertama bagi Islam setelah 10 tahun berpisah. Akbar memang pulang dua kali dalam satu bulan namun tak pernah bertemu dengan Islam karena Islam yang jarang ada di rumah.
"Abi akan pulang?" tanya Islam membuat Mawar mengangguk.
"Tumben pulang?" tanya Islam.
"Besok lebaran idul fitri jadi Abi pulang dari kampung," jawab Mawar.
Islam mengangguk dalam hati, pantas saja Mawar membuat kue sebanyak ini dan memasak makanan yang begitu wangi, itu semua karena esok adalah hari lebaran dimana hari puasa akan berakhir.
"Abi sudah ada di jalan?" tanya Islam.
"Katanya seperti itu, Abi bilang katanya dia sudah berangkat dari kampung," jelas Mawar.
Islam hanya bisa tersenyum, tak ada lagi yang bisa ia katakan. Senyum indah dari bibir Mawar membuat Islam percaya jika salah satu kebahagiaan Umi nya adalah kepulangan sang suami tercinta.
Islam tersenyum menatap Uminya yang sedang menyiapkan berbagai makan sedap dengan aroma menggoda di atas meja. Ada banyak makanan ciri khas lebaran di sana.
"Islam, mandi yah Nak! Nanti Abi datang terus peluk Islam, Islamnya bau," ujarnya bercanda membuat Islam tersenyum.
Tanpa ekspresi ia melangkah menaiki anakan tangga membuat Mawar menghela nafas dan melanjutkan sajiannya setelah tak melihat Islam yang sudah menaiki anakan tangga.
Setelah mandi dan memakai pakaian yang rapi serta rambut Islam yang gondrong itu diikat, Islam kemudian melangkah turun menatap Mawar yang kini sibuk mengatur kue lebaran yang seharusnya di besok pagi. Islam menatap dari ujung kaki sampai ujung kepala Umi nya, yah ada yang berbeda.
Islam menggeleng pelan, Islam sadar jika Mawar telah menukar pakaiannya dengan pakaian yang lebih indah. Kerudung panjang yang semula berbau rempah daging, keringat dan asap itu kini telah berbau parfum yang jarang Islam cium baunya. Islam sadar jika Uminya telah mandi yah di jam 10 malam untuk menyambut kedatangan Abi.
"Ada yang cantik nih," goda Islam lalu melanjutkan langkahnya dan duduk di kursi sofa.
Mawar menoleh dan tersenyum malu hingga aktifitas tangannya yang mengatur toples kue itu terhenti.
"Abi sudah ada dimana?" tanya Islam membuat gerakan tangan yang masih ingin mengatur toples itu kembali terhenti.
"Biar Umi telpon dulu," ujar Mawar lalu melangkah ke dapur untuk mengambil ponselnya.
Kini suasana ruangan tamu menjadi sunyi yang menyisakan Islam sendiri. Islam meraih ponsel dan menatapnya serius ketika pesan para sahabatnya itu bermunculan.
Islam tersenyum sinis dan menggeleng menatap setiap pesan yang masuk. Bagaimana tidak jika isi pesan yang di kirim oleh para sahabatnya tak lain hanya Vidio adegan dewasa.
Islam meletakkan ponselnya ke sisi kanannya dan menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sembari menatap lampu putih yang terang. Islam memejamkan kedua matanya dan tersenyum. Islam bahagia kali ini, Abi nya akan pulang ke rumah dan Islam tak sabar melihat bagaimana ekspresi Abi nya setelah melihat Islam yang telah besar. Terakhir kali Akbar melihat Islam disaat Islam berusia 12 tahun.
Islam sangat bahagia dan mungkin ini akan menjadi lebaran yang membahagiakan untuk Umi tersayangnya.
Kedua mata Islam terbelalak dengan tiba-tiba membuatnya kemudian duduk tegak. Islam menoleh ke kiri dan kanan menatap ruangan tamu. Islam baru saja ketiduran yah Islam baru sadar setelah menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 7 pagi.
Islam dengan buru-buru bangkit dari kursi sofa dan melangkah berniat untuk mencari sosok Mawar. Suara kebisingan dan tawa terdengar dari luar membuat Islam dengan cepat mengintip di balik jendela hingga para tetangga terlihat saling bersalaman. Sepertinya mereka baru saja pulang setelah melaksanakan sholat idul fitri di masjid. Islam tersenyum gembira, sudah pasti Abi nya juga sudah sampai.
Dengan buru-buru ia berlari masuk menulusuri ruangan keluarga dan ruangan dapur, tak ada Mawar di sana.
"Umi!" teriak Islam.
Islam diam sejenak, tak mungkin Mawar pergi bersama Abi nya tanpa anak kesayangannya ini.
"Umi!" teriak Islam.
Islam terpatung, baru saja ia berniat untuk berteriak memanggil Mawar kini suara itu seakan tertahan di tenggorokannya mendapati Mawar yang sedang tertidur lelap di atas kasur dengan kedua mata bengkak.
Islam kini tersenyum pasrah, ia yakin jika Abinya tak pulang lagi hingga membuat Mawar sedih dan menangis seperti ini.
Islam duduk di kursi meja makan menatap hidangan lebaran yang masih segar ini. Entah berapa kali ini semua terjadi. Abinya selalu mengatakan akan pulang tapi ia tak pernah sampai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!