NovelToon NovelToon

Kembali Ke Masa SMA

1. Perceraian

Pengadilan

Hakim baru saja memutuskan putusan cerai dua insan yang dulunya saling mencintai. Sidang perceraian baru saja menemui titik akhir atau lebih dikenal dengan istilah 'ketok palu'.

Hakim dengan senang hati mengumumkan putusan cerai itu meski kedua belah pihak tidak ada yang datang sama sekali. Beberapa orang yang datang adalah saksi dari pihak suami.

~

Rumah Usman Heriawan

"Akhirnya ... lega rasanya bisa lepas dari istri yang nggak nurut itu."

"Dari dulu Ibu emang udah nggak setuju kamu nikah sama dia."

"Iya, Bu. Maaf. Aku nggak akan gitu lagi."

"Lagian, dia lebih tua dari kamu. Udah Ibu bilang kan cari istri itu yang lebih muda." Bu Ning, ibu Usman, sudah lama memendang ketidaksukaan kepada Madya.

"Iya iya, Bu. Berikutnya, aku akan nurut kata Ibu. Calon istri pokoknya pake standar dari Ibu."

"Nah, bagus itu. Orang tua itu punya pengalaman. Dan udah pasti tahu mana yang baik buat kamu mana yang enggak."

"Siap, Bu."

~

Rumah Madya Dui Brata (mantan istri Usman)

Dengan deraian air mata, Madya memegangi benda pipih, gepeng dan tipis di telinganya. Kuasa hukum menelpon bahwa putusan cerai telah diumumkan.

"Mama, kok nangis? Mama sedih?" tanya Nadila, sang anak yang berumur 5 tahun.

Madya mengangguk. "Mama sedih, tapi kalau Nadya senyum, Mama nggak sedih lagi."

"Asik, kalau gitu Nadya senyum terus biar Mama nggak sedih ya," ucap sang anak sembari berjingkrak.

Madya memeluk putri satu-satunya itu dengan perasaan perih.

Malam harinya ....

Madya yang tadinya tinggal bersama dengan Usman kini tinggal di sebuah kos harian bersama Nadya. Dia menerawang ke beberapa waktu lalu saat Usman dengan tiba-tiba meminta cerai.

Selama 6 tahun menikah, Madya selalu berpikir bahwa dia dan sang suami bahagia. Bahkan sebelum Usman menyatakan keinginan cerainya, mereka baru saja melakukan liburan bersama di sebuah pulau yang terkenal dengan pantai indah.

Aku nggak tahu kalau selama ini kamu nggak bahagia hidup sama aku, Mas. Kayaknya kita damai-damai aja, jarang bertengkar. Kita ngurus Nadnya bersama. Terus tiba-tiba aja kamu minta cerai. (Madya).

Madya memandangi foto mereka saat berlibur. Dalam foto itu, Madya, Nadila, Usman dan Mbak Aryati (baby sitter yang mengurus Nadila) terlihat sangat ceria dan bahagia.

"Akh, Mbak Aryati. Jadi inget lagu lawas yang judulnya 'Aryati'," gumam Madya.

Aryati juga turut serta membuat Madya patah hati. Pasalnya, sebulan sebelum dia bercerai, baby sitter kepercayaannya itu mengundurkan diri. Padahal, dia digadang-gadang bisa naik jabatan menjadi asisten pribadi atau sekretaris jika Nadila sedikit lebih besar dan tak membutuhkan pengasuh lagi.

"Mungkin iming-iming gajiku kurang gede kali ya? Kalau misal dia nggak resign, mungkin aku punya temen buat cerita-cerita, nggak sepi kayak gini. Dan pasti dia kuajak tinggal di sini. Karena aku yang dulu pekerjain dia, bukan si Usman."

Dia dan Aryati telah lama saling mengenal. Madya bahkan menganggap wanita itu sahabatnya sendiri. Terhitung sejak Nadila dibrojolkan, Aryati mulai bekerja membantu.

Kini semua terasa diambil darinya dalam satu jentikan jari saja. Aryati resign, kemudian bercerai dari suami. Dia memandangi Nadila yang sedang tertidur pulas di kamar kos kecil itu.

Hak asuh dia harus ada di tanganku. Aku nggak mau kehilangan orang yang kusayangi lagi. (Madya)

Entah bagaimana jika hak asuh Nadila jatuh pada Usman. Hidup Madya pasti akan lebih nelangsa. Tidak! Dia mengangkat dagunya tinggi-tinggi hingga tengkuknya kesleo.

Sembari meringis merasakan nyeri, dia bersumpah pada diri sendiri untuk bisa memenangkan hak asuh Nadila yang masih bisa dia perjuangkan.[]

Bersambung ....

2. Terkejut

Beberapa bulan kemudian

Dengan mobil bekas pakai yang belum lama dibelinya, Madya mengunjungi sebuah rumah singgah. Rumah singgah itu diperuntukkan bagi ibu-ibu muda yang hamil tanpa rencana yang ingin menyelamatkan anaknya.

Tak sulit ditebak, di dalam rumah singgah itu terdapat banyak wanita muda yang perutnya sedang melendung. Namun, dia tidak mengunjungi para ibu muda itu karena tidak kenal.

Dia mengunjungi sahabat sekaligus saudara iparnya yang mendirikan rumah singgah mulia tersebut.

"Asa ... kangen." Madya memeluk sahabatnya itu sembari mengumbar kalimat kerinduan.

"Hayah, kangen apaan, kita kan ketemu kalau ada acara keluarga besar."

"Tapi ketemu kayak gini kan jarang."

"Eh, mobil baru nih ye. Jendes semakin di depan. Nadila nggak diajak?"

"Enggak, aku lagi pengen me time aja."

Mereka duduk di teras kamar Asa. Rumah singgah itu merupakan bekas vila sehingga tatanan dan suasananya estetik.

"Radisa mana?" Madya menanyakan anak Asa yang berusia 9 bulan.

"Tidur."

Asa menyuguhkan teh SariMambu, teh bermerk paling terkenal di negeri anonim ini. Madya menghirup aroma teh itu seraya memejamkan mata.

"Hidup emang kadang nggak ketebak ya, As."

Asa melirik jengah ke arah Madya mendengar panggilan khasnya disebutkan. Hanya Madya satu-satunya orang yang memanggilnya 'As'. Tidak mengapa sebenarnya karena itu adalah bagian depan namanya.

Dia hanya takut jika orang lain mendengar, mereka akan salah kaprah mengira namanya Asbak, Asbun atau malah Asu.

"Iya, aku masih inget waktu SMA kamu itu cupu hihihi." Asa tertawa kecil mengingat wajah culun Madya saat SMA.

"Sekarang aku cakep, kan?"

"Banget. Apalagi sekarang menyandang status jendes. Tahu sendiri kalau janda semakin di depan."

"Ini berkat kamu juga, As. Kan kamu yang ngajarin make up."

"Aku kan cuma mengawali. Selanjutnya, kamu udah banyak belajar dari tutorial di Kowetube."

Tiba-tiba Madya berdiri.

"As, aku kok kebelet gini. Padahal baru nyeruput dikit teh buatanmu. Jangan-jangan kadaluarsa ya?"

"Heh, ngarang aja! Ini teh SariMambu, teh nomer wahid seantero negara ini!"

"Iya, tapi tanggalnya kamu lihat enggak?"

"Lihat, lah! Udah sana masuk ke kamarku, ngelewatin tempat tidur, nah pojokkan situ toilet kamarku. Tapi jangan berisik, awas kalau sampai Radisa bangun!"

"Anterin dong!"

"Nggak akh, mau ngeteh."

Madya memasuki kamar Asa yang baru pertama kali dimasukinya. Sudah beberapa kali dia datang ke rumah singgah ini. Terakhir kali adalah saat Radisa, anak Asa, lahir.

Namun, baru sekali ini dia blusukan hingga ke dalam kamar pribadi Asa. Sebelumnya, acara perayaan kelahiran anak sahabat sekaligus saudara iparnya itu diselenggarakan di aula utama.

Dengan mengendap-endap dia menggunakan toilet. Sebisa mungkin dia meminimalisir suara kucuran pembuangan alami makhluk hidup yang akan membuat badan lebih enteng itu.

Selesai membuang air dalam dari dalam raganya, dia keluar dari toilet. Matanya menangkap bayangan seorang bayi berumur 9 bulan sedang tertidur dengan posisi tangan dan kaki terbuka maksimal.

"Akh, bayi ... lucu banget tidurnya," batinnya gemas.

Madya melihat ke sekeliling ruangan kecil itu.

Sungguh seperti kamar vila, karena memang bekas vila. Kecil. Namun, jika para penghuni ingin berkumpul, mereka bisa menggunakan aula.

Kayaknya damai banget hidup di sini. Bisa bantu banyak orang. (Madya).

Pandangan matanya kini beralih ke atas meja yang terdapat foto pernikahan Asa dengan Dion suaminya.

"Beruntung banget kamu dapet Dion. Dan nggak nyangka akhirnya kamu nikah sama Dion meski untuk dapet anak, kamu musti nunggu 9 tahun."

Madya mengingat bagaimana dirinya berperan serta dalam pertemuan Asa dengan suaminya. Madya Dui Brata mempunyai kakak laki-laki bernama Arsa Eka Brata atau biasa dia panggil Mas Eka.

Eka menikah dengan istrinya yang bernama Deolinda. Deolinda merupakan kakak dari Dion. Jadi, Madya dengan Dion adalah saudara ipar.

Asa masuk ke dalam kamar.

"Oh ... kirain pingsan atau kenapa. Pipis aja lama," kata Asa sembari mengelus dadanya.

"Kamu beruntung banget dapat suami kayak Mas Dion."

"Ini juga berkat jasa kamu, Mad. Karena kamu minta aku ngerias di nikahan kakakmu dengan kakak mas Dion, aku sama dia bisa ketemu."

Ya, berkat Madya yang merekomendasikan sahabatnya itu sebagai MUA, Asa dan Dion bertemu untuk pertama kali kemudian menjalin hubungan.

Ringkasan kekerabatan mereka adalah kakak Madya yang bernama Arsa Eka Brata menikah dengan Deolinda (kakak Dion), kemudian Dion menikah dengan Asa, sahabatnya. Maka kini Madya dan Asa adalah saudara ipar agak jauh. Ruwet, bukan?

Madya meletakkan foto pernikahan Asa dan Dion kemudian mengambil sebuah undangan pernikahan berwarna ungu di sebelahnya. Matanya terbelalak membaca nama yang tertera di sana.

'Usman Heriawan', mantan suaminya.[]

Bersambung ...

3. Aku Kenal Wanita Itu

Tangannya gemetaran sembari memegangi undangan itu. Lebih terkejut lagi membaca nama mempelai wanita yang berjajar dengan nama mantan suaminya yang sangat familiar.

Foto pra-pernikahan juga terpampang nyata di sana. Tidak salah lagi! Wanita dalam foto itu sangat dikenal olehnya.

Asa buru-buru merebut undangan itu. Sedangkan Madya menutup mulutnya, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihat.

"Aryati? Mbak Aryati baby sitter Nadila?" pekiknya.

"Ehm ... errr ...."

Madya jatuh terduduk persis seperti adegan film televisi kala istri sah tersadar suaminya main gila dengan wanita lain. Mencengangkan, bukan?

Asa hanya mengelus pundaknya tanpa bisa berkata apa-apa. Ucapan apa pun tak akan bisa menenangkan sahabatnya sekaligus saudara iparnya itu.

Mak, aku harus gimana? Masak aku musti ngomong ikhlasin suami demi mantan babu? Atau aku bilang kalau keren banget babunya bisa rebut dari majikan sesyantik ini. (Asa).

Batin Asa malah berperang sendiri menimbang apa yang harus dikatakan. Dia gagal menemukan kalimat yang pas.

Radisa, putri Asa, mulai bereaksi mendengar tangisan Madya. Rupanya, bayi 9 bulan itu merasa tersaingi ada yang menangis lebih keras.

Aduh, anakku yang semalam udah ngajak begadang malah sekarang bangun. (Asa).

Asa menggigit jarinya karena bingung mendiamkan 'bayi' yang mana terlebih dahulu.

"Madya, aku tenangin Radisa dulu ya."

Madya mengangguk lemas.

Tak sulit bagi Asa untuk menenangkan bayi yang memang masih mengantuk itu. Baginya, tinggal mengeluarkan bola ajaib dari balik kemejanya, sodorkan di depan mulut Radisa, dan ta-dam, mata bayi itu kembali sayu untuk menuju alam tidur kembali.

***

Teras kamar Asa

Asa tak berani bicara. Dilihatnya Madya telah sedikit tenang. Namun, matanya masih sembab karena tangisan. Mungkin hari berikutnya mata itu akan membesar sedikit. Sejatinya, mata manusia yang baru saja menangis memang begitu.

Jadi, jika ada yang mengira matanya disengat lebah, itu salah besar.

Madya bersiap akan marah kepada orang yang duduk sejajar dengannya. Beruntung di antara kursi mereka terdapat meja. Agak susah meraih Asa jika Madya ingin menjambak.

"Kamu tahu kenapa nggak ngasih tahu aku, As?"

Pertanyaan Madya sesuai prediksi.

Alih-alih menjawab, Asa balik bertanya, "Menurutmu, kalau kamu jadi aku, kamu bakal gimana?"

Madya memejamkan mata seraya meng-iya-kan dalam hati. Tak pantas rasanya menumpahkan kemarahan kepada Asa.

Madya tersenyum perih sekaligus sarkas.

"Mbak Aryati. Disuruh jaga anak, eh malah momong bapaknya sekalian."

Madya memegangi kepalanya dan berusaha menjernihkan pikiran.

"Oke oke, aku harus fair. Nggak adil buat Aryati kalau aku nyalahin dia. Belum tentu mereka selingkuh di belakangku. Udah 3 bulan sejak kami cerai. Bisa aja mereka mulai jatuh cinta setelah kami cerai," cerocos Madya.

Mendengar itu, Asa malah bergidik ngeri, ditambah bumbu tidak rela. "Jangan terlalu positive thinking juga!"

"Kamu ini gimana sih? Temennya ikhlas dan tabah malah nggak boleh!"

"Hold that thought! [tahan pikiran itu]," kata Asa sembari berdiri untuk mengambil undangan dari dalam kamar.

Beberapa detik kemudian, dia muncul lagi. Istri dokter kandungan itu membuka undangan dan memperlihatkan bagian tanggal pengucapan janji pernikahan yang ternyata sudah dilakukan 2 bulan yang lalu.

Tulisan itu dicetak kecil. Yang ingin menyipitkan mata. Sepertinya sengaja dicetak mungil agar tidak terlalu mencuri perhatian.

"Apa! Jadi sebulan setelah cerai, mereka langsung nikah?"

"Iyap, betul!"

"Akh, mungkin aja mereka jatuh cinta kilat kemudian langsung nikah untuk menghindari dosa."

Asa gemas-gemas kesal kepada sahabat baiknya itu.

"Kamu itu! Hih! Terus kenapa istrinya yang sekarang itu mantan baby sitter anakmu? Kamu pikir semuanya kebetulan, gitu? Terlalu naif kalau kamu anggep ini semua kebetulan!"

"Hey, Dulgiyem! Kamu pikir aku positive thinking beneran? Dari tadi itu aku cuma menghibur diri, tahu!" tegas Madya sembari matanya menggelontorkan air asinnya kembali.[]

Bersambung ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!