Di sebuah Desa terpencil, seorang Ibu muda yang sedang mengandung sembilan bulan, menjajakan kue buatannya sendiri. Walaupun berat perjalanan hidupnya yang ia lakoni. Tika tetap semangat berjalan tertatih-tatih, mencari biaya untuk kelahiran buah hatinya yang tinggal menghitung hari.
Belum lagi, Kartika harus bangun jam tiga pagi membuat gorengan dibantu Ibunya. Setelah matang menyusunya ke dalam tampah dan menjualnya berkeliling kampung sebelum jam 7 pagi.
Setelah kepergian Angga suaminya sejak enam bulan yang lalu, bahkan tidak ada kabar beritanya. Tika terpaksa harus menghidupi dirinya dan bayi yang masih di dalam kandungan.
Ibu Tini, yang pekerjaannya sebagai tukang urut, dan buruh tani, sebenarnya melarang anaknya yang sudah hamil tua berjualan. Namun, tidak ada pilihan bagi Kartika selain berjuang untuk bayi yang dikandung.
Dengan menyusut peluh di dahi, Tika masuk ke dalam rumah setelah mengucap sallam dan dijawab oleh Ibu Tini.
"Kamu sudah pulang nak?" tanya bu Tini, Ibu kandung Tika.
"Iya bu" sahutnya saat menurunkan tampah yang ia junjung di kepala, lalu meletakkan ke atas meja dapur. Tika ambil gelas mengisi air dari teko, meneguk nya setelah duduk menghilangkan rasa dahaga.
"Suami kamu itu kurang ajar bener kok Tik! Pergi sudah enam bulan boro-boro memberi nafkah, memberi kabar saja tidak!" omel bu Tini, sudah yang kesekian kalinya, tidak tega melihat anaknya berjuang dengan perut besarnya.
"Sudahlah bu, tidak ada yang bisa kita lakukan selain pasrah. Kita doakan saja ya bu, semoga Angga baik-baik saja, dan pulang ketika bayiku lahir nanti." Kata Tika penuh harap.
"Aamiin..."
"Kamu makan ya nak, ibu mau pergi ke rumah bu rt sebelah, minta tolong diurut katanya." sambung bu Tini bersemangat.
"Hati-hati ya bu"
Kartika berjalan keluar membuntuti ibunya, lalu mendudukan bokongnya di kursi teras rumah perlahan. Mengelus perut buncitnya, mendesah kasar. Pikiranya kemana-mana, apakah yang dilakukan Angga di kota? Hingga tidak pernah memberi kabar. Tika hanya bisa berdoa semoga suaminya baik-baik saja dan benar mencari rezeki untuk anak yang di kandung dan dirinya.
Flashback on.
"Mas Angga, aku hamil" kata Tika berbinar ketika baru pulang periksa ditukang urut bayi.
"Alhamdulillah... tapi maaf ya, aku belum bisa membawa kamu periksa ke bidan" kata Angga menatap istrinya merasa bersalah.
"Nggak apa-apa Mas, tukang urutnya sudah pengalaman kok" sahut Tika kemudian duduk di samping suaminya.
"Tik"
"Apa?"
"Sebaiknya aku mencari kerja dikota ya" kata Angga.
"Terus... Mas mau meninggalkan aku, gitu?" Kartika bersedih.
"Tidak ada jalan lain Tik, jika aku tidak pergi bagaimana bisa membiayai kamu dan anak kita, banyak biaya yang kita butuhkan nanti, untuk periksa setiap bulan, biaya lahiran, dan masih banyak lagi." tutur Angga.
Hidup di Desa tidak ada yang bisa Angga lakukan, mau kerja, harus kerja apa? selama ini hanya menunggu orang yang butuh jasanya membetulkan barang-barang elektronik rusak ketika ada yang menyuruh.
"Iya Mas" tidak ada pilihan bagi Tika kecuali mengiyakan. "Tapi jangan lupa memberi kabar ya Mas, jika sudah dapat uang terus pulang ya"
"Iya, doakan ya"
Angga pun Akhirnya berangakat ke Kota, berbekal Ijazah STM.
Flashback off.
Sebulan, dua bulan, hingga Kartika melahirkan, Angga tidak ada kabarnya. Kartika membesarkan anaknya seorang diri, hingga anak perempuannya kini sudah berusia lima tahun, dan sering menanyakan Ayahnya. Jika dibilang janda Kartika masih berstatus istri. Namun, jika mempunyai suami dimana suaminya kini berada, masih hidup atau sudah mati.
Setelah Jeni berumur enam tahun. Kartika pergi bersama Jeni sang anak mencari ke Kota besar. Tetapi, ketika menemukan Angga Kartika harus menerima kenyataan bahwa suaminya telah menikah lagi.
Akankah Kartika sanggup dimadu?
"Eh, anak bunda, sudah pulang? Kok cemberut sih... kenapa?" Tanya Tika ketika Jenita pulang sekolah TK, dalam keadaan manyun. Tika berjongkok di depan anaknya mengusap pucuk kepadanya, penuh kasih sayang.
"Bunda... Jenita mau ketemu Ayah, kata bunda, Ayah masih ada kan? Jeni malu bun, di katain temen-temen, katanya Jeni anak haram." Jenita pun menangis. Pertanyaan seperti ini sudah sering Kartika dengar. Namun sebisa mungkin Tika beralasan.
"Sudah berapa kali bunda bilang sayang... Ayah sedang mencari uang untuk kita, jangan dengarkan omongan orang" terang Tika.
"Bunda bohong! Teman-teman Jeni Ayahnya pada kerja, tapi berangkat pagi pulang sore" Jenita rupanya sudah mulai bisa berpikir.
"Iya, iya... besok kita cari ke Kota, sekarang Jeni ganti baju, terus makan ya nak" Tika mengalah.
"Yee yeee... Jeni senang, terimakasih Bun" Jeni memeluk Kartika erat.
"Iya... nanti kita cari Ayah sama-sama, tapi jangan terlalu berharap ya nak, soalnya bunda belum tahu alamatnya." Kartika menatap anaknya sendu.
"Iya Bun" sahut Jenita lalu kekamar mengganti pakaianya, setelah meletakkan baju kotor di keranjang. Jenita tiduran sambil menatap photo Ayah dan bundanya. Fhoto ketika menikah dulu. "Ayah... kita akan segera bertemu" gumam Jeni.
Lalu, Kartika duduk di lantai, bersandar tembok, berpikir keras. Tidak ada pilihan lain demi Jeni, dia ingin mencari suaminya, walupun tidak berhasil yang penting sudah berusaha daripada terus mengharapkan yang tidak pasti.
Malam harinya Jeni sudah tidur sementara Tika ngobrol dengan Ibu Tini di depan televisi.
"Bu, kayaknya aku harus pergi ke Kota" lirih Tika.
"Ke kota? Mau main ke rumah kakakmu?" Tanya Ibu Tini.
"Iya Bu, itu salah satunya, Tika juga ingin mencari info, barangkali Kak Aldi tahu keberadaan Angga" Kata Tika. Aldi adalah kakak Iparnya, suami Arum kakak kandung Tika satu-satunya.
"Buat apa kamu mencari Angga lagi, laki-laki seperti itu tidak usah dicari, kenapa sih? Kamu nggak mencari surat cerai, banyak kok laki-laki baik yang bersedia menikahimu!" tutur bu Tini kesal, jika mengingat menantunya yang tidak bertanggungjawab itu.
"Iya bu, tapi masalahnya, bukan diriku yang aku pikir. Ibu kan tahu, bagaimana Jeni berkeras ingin bertemu Ayahnya"
"Biar bagaimana, Angga itu Ayah biologis Jeni, jika memang Angga sudah tiada kita bisa memberi penjelasan kepada Jeni."
"Lagian... kita kan nggak tahu, apa yang terjadi dengan Angga, mungkin ada masalah lain, yang membuatnya tidak bisa pulang." Kartika berpikir positif.
"Iya sudah... terus kapan kamu mau berangkat?" tanya bu Tini mengalah.
"Minggu depan bu, menunggu Jeni libur" jawab Tika.
"Sebaiknya kamu telepon Mbakmu dulu ya, jangan langsung datang" titah bu Tini.
"Baik bu"
Malam ini juga Kartika menghubungi Mbak Arumi yang tinggal bersama anak dan suaminya di kota.
Derrrttt... deerrrttt.
Arumi. "Hallo dek"
Tika. "Hallo Mbak, maaf mengganggu, sudah tidur ya?"
Rumi. "Belum Dek, ada apa? Tumben, Ibu baik-baik saja kan?"
Tika. "Ibu baik Mbak, alhamdulillah... minggu depan, aku mau berkunjung ke rumah Mbak Rum bolehlah nggak?"
Rumi. "Kamu ini? Bicara apa sih... ya jelas boleh lah Tik" sahut Arumi.
Kakak beradik itupun saling berbincang Kartika mengutarakan niatnya, dan Arumi menyetujui.
*******
Seminggu kemudian. "Kamu hati-hati ya nak, sampai kota segera kabari Ibu ya" Bu Tini memeluk anak dan cucunya bergantian, air matanya membasahi pipi keriputnya.
"Iya bu, Ibu juga baik-baik dirumah, doakan Tika cepat menemukan Mas Angga ya, supaya kita bisa cepat berkumpul lagi dengan Ibu" kata Tika.
Tika mengeratkan pelukan, anak dan ibu itupun menumpahkan air mata. Tika sebenarnya tidak tega meninggalkan ibu Tini seorang diri dirumah. Tetapi, apa boleh buat, selama ini Kartika belum pernah berpisah dengan Bu Tini, jika sedang mengunjungi Arumi ke kota pun, pasti jalan berdua.
"Bunda... Nini... jangan pada nangis, ayo berangkat" Jeni memisah pelukan Nini dan bundanya.
"Hati-hati ya sayang... kalau sudah ketemu Ayah, segera pulang ya" Nini bergantian memeluk cucu keduanya dengan sayang.
"Pasti Ni, Nini jangan menangis, bukankah Nini sering bilang, Jeni nggak boleh cengeng, kok malah Nini sama Bunda yang cengeng" kata Jeni menirukan nasehat Nini kepadanya. Nini melepas pelukanya terkekeh menatap cucunya yang tampak lucu.
Dengan bekal seadanya, Kartika meninggalkan rumah, lalu berangakat ke kota.
*******
"Assalamualaikum..." Kartika sudah sampai dirumah Mbak Rumi.
"Waalaikumsalam"
Ceklek" pintu pun dibuka keluarlah wanita cantik yang mirip Kartika.
"Alhamdulillah... kalian sudah sampai" sapa Arumi lalu memeluk Kartika, dan Jeni bergantian. Kemudian mengajak masuk kedalam dan duduk diruang tamu. Rumah sederhana tipe 80 milik Mbak Rumi, lumayan besar, untuk ukuran dikota besar seperti Jakarta.
"Kak Anisa mana Bude?" tanya Jenita.
"Dia dikamarnya, sana, masuk gih" titah Arumi kepada Jenita. Jenita pun bergegas menemui kakak sepupunya.
"Kak Anis"
"Jenita?"
Anis dan Jenita saling melepas kangen, sudah setahun yang lalu, mereka tidak bertemu.
"Kata Mama, kamu mau tinggal disini ya? aku senang, kita nanti sekolah sama-sama ya, kamu tahun ini, masuk SD kan?" tanya Anis panjang lebar.
"Iya, tapi aku malu kak, kalau sekolah nanti seperti dikampung, aku selalu di katain teman-teman, anak buangan lah, anak haram lah" adu Jeni sedih.
"Sudah Jen, disini kan kamu ada aku, jadi ada yang membela" mereka ngobrol seperti orang dewasa. Anisa kini sudah kelas dua SD.
Kartika dan Arumi juga sedang ngobrol "Bang Aldi belum pulang ya Mbak?" tanya Tika sambil mengeluarkan oleh-oleh titipan Ibu Tini, saat ini mereka berada didapur.
"Belum, biasanya maghrib baru sampai" jawab Arumi.
"Waah... kamu membawa apa Tik? banyak banget" Arumi menelisik bawaan adiknya. Ada pete, sayuran, kacang-kacangan, dan bumbu-bumbu.
"Biasa Ibu Mbak, apa-apa suruh dibawa, biar mencicipi katanya, habis mau membawa oleh-oleh jajanan disini juga banyak."
"Nggak apa-apa sih Tik, aku malah senang, cuma kasihan, kamu bawanya pasti berat"
"Nggak apa-apa Mbak, toh aku sudah sampai, oh iya, aku numpang kamar mandi ya Mbak"
"Silahkan"
Kartika pun ke kamar mandi yang terletak di dekat dapur, membersihkan badanya yang sudah terasa lengket. Selesai mandi, Kartika kembali ke ruang tamu, melihat kakaknya sudah ngobrol dengan Renaldi suaminya. Ternyata, Renaldi sudah pulang.
"Kakak sudah pulang" sapa Tika.
"Sudah, kamu apakabar Tik?" Aldi menoleh Tika yang berjalan disampingnya.
"Baik kak" sahutnya singkat kemudian duduk di depan Rumi. Mereka ngobrol tentang kabar, setelah itu, Tika membicarakan tujuan awal, yaitu mengenai Angga.
"Kamu mau cari kemana Tik? sudah hampir 6 tahun loh, suamimu pergi" kata Aldi pesimis.
"Ya... siapa tahu kak, namanya juga usaha, besok saya mau mencari kerja, sekaligus mencari info, semoga Angga bisa segera di ketemukan" jawab Kartika penuh harap. "Selama aku belum mendapat kontrakan dan pekerjaan, boleh nggak kak, saya titip Jeni?"
"Kamu nggak boleh mencari kontrakan dulu, sebelum menemukan Angga Tik, di sini tuh rawan, kamu pikir kami tenang, memikirkan kalian hanya tinggal sendirian"
"Apa lagi, kalau Jeni kamu tinggal kerja nanti, masa mau dirumah sendiri" Arumi memberi gambaran yang terburuk.
"Iya Tik, biar Jeni tinggal disini, lagian kan ada kamar tamu kosong" Aldi menambahkan.
"Sudah... kita pikirkan besok, sekarang kita makan dulu" pungkas Rumi. Setelah makan mereka tidur.
Keesokan harinya, Tika menyiapkan sarapan membantu Rumi. "Kamu masak apa Tik?"
"Membuat nasi goreng pete Mbak" sahut Tika singkat sambil tersenyum ke arah Rumi.
"Kamu jadi mau mencari kerja hari ini?" tanya Rumi sambil membawa masakan, dari dapur ke meja makan.
"Jadi Mbak, titip Jeni ya"
"Tenang... Tik, insyaallah Jeni aman bersama aku"
Mereka pun sarapan bersama, selesai sarapan Aldi berangkat mengendarai motor.
Jeni juga ingin berangkat, sudah berpakaian rapi. "Kamu jangan nakal ya nak, bunda mau cari kerja juga, doakan bunda cepat mendapat perkerjaan ya nak" Tika mencium pipi anaknya.
"Cari Ayah juga ya bun" kata Jeni memelas.
"Inyaalah ya nak, tapi seperti yang bunda bilang kemarin, jangan terlalu berharap"
"Iya bunda" Jeni menatap kepergian bundanya hingga masuk kedalam angkutan umum.
"Bismillahhirahmanirahim... lancarkanlah ya Allah..." Kartika melangkah pergi, dengan membawa tas kecil yang diselempangkan di pundak, membawa map, dan identitas diri lengkap. Kartika menyetop angkutan umum lalu masuk kedalam.
Sampai di tempat pusat Industri, Kartika turun dari angkot berjalan kaki menyusuri jalanan, netranya tidak lepas dari plang-plang di pinggiran jalan dan membaca tulisan barang kali ada lowongan pekerjaan.
*****
Tiga hari sudah, dia berkeliling. Namun, Kartika belum mendapat pekerjaan, tetapi dia tak pernah menyerah, di pusat Industri tidak ada lowongan, Kartika mencari lagi di tempat lain keesokan harinya.
Hingga tengah hari, kakinya terasa pegal, ia berhenti sejenak, netranya tertuju ke sebuah plang yang bertuliskan. Dibutuhkan tenaga kerja wanita. (DIANA BAKERY.) Kartika menghentikan langkahnya. Toko roti yang sangat besar sepertinya bukan hanya sekedar toko, mungkin sekaligus produksi.
Kartika tersenyum mengembang, ia masuk kedalam lalu menemui resepsionis.
"Selamat siang Pak" sapa Kartika menganggukkan kepala.
"Siang, ada yang bisa saya bantu, Mbak?"
"Saya tadi membaca tulisan di depan, di toko ini membutuhkan karyawan ya Pak"
"Oh iya, boleh saya melihat lamaran kerja anda" kata resepsionis kemudian membaca lamaran kerja setelah diserahkan oleh Kartika. "Silahkan masuk ke ruangan HRD" kata resepsionis.
Kartika membulatkan mata terkejut. Pasalnya, baru menyerahkan lamaran sudah di suruh menemui HRD. "Baik Pak, terimakasih" Kartika menuju ruangan yang di singkat HRD. Setelah mengetuk lalu dipersilahkan masuk, Kartika tidak buang waktu lagi menemui pria yang sedang sibuk di depan komputer.
"Selamat siang Pak" Kartika berdiri didepan orang tersebut, masih belum menyadari kehadirannya.
"Siang" Pria itu mengangkat kepala, hingga terlihat wajah tampannya yang kira-kira berumur 30 tahun.
"Silahkan duduk" titah pria itu dingin.
Kartika mengangguk, kemudian duduk didepan pria yang berperawakan atletis itu.
HRD mengajukan beberapa pertanyaan, mewancarai Kartika. "Anda yakin? ingin bekerja disini nona?"
"Yakin Pak"
"Tetapi, pekerjaan ini sebagai produksi roti, tidak dimiliki oleh kebanyakan orang, harus teliti dan mempunyai keahlian"
"Insyaallah, saya bisa Pak" jawab Kartika semangat. Pekerjaan apapun bagi Kartika tidak masalah. Toh dia memang sering membuat kue dan roti untuk dijual dirumah.
"Baiklah, mulai besok, anda bisa langsung training selama tujuh hari, jika memenuhi syarat anda bisa langsung kerja." pungkas HRD.
Kartika lalu kembali keluar berniat untuk pulang. Setelah menyetop angkutan, kartika duduk berdesakan bersama sesama penumpang yang lain.
*******
"Bagaimana Tik, masih belum mendapatkan pekerjaan juga?" tanya Arumi setelah sampai dirumah.
"Alhamdulillah Mbak , besok aku di panggil training selama tujuh hari, doakan lancar ya Mbak" jawab Kartika semangat.
"Aamiin... sekarang kita makan siang dulu yuk, panggil anak-anak di kamar" titah Arumi.
"Okay Mbak" Kartika bergegas memanggil Jenita dan Anisa.
"Bunda, sudah bertemu Ayah?" tanya Jeni, tiap kali bundanya pulang mencari pekerjaan.
"Belum sayang... yang sabar ya" Kartika menangkupkan kedua tangannya memegangi pipi anaknya.
"Iya bun" sahut Jeni lirih, memendam kekecewaan.
"Sudah... jangan sedih Jen, kan ada aku" Anisa menghibur sepupunya.
"Benar kata kak Nisa Jen, jangan bersedih terus, kalau kamu begini terus, bunda sedih" kata Kartika.
"Maaf bun" kata Jeni menunduk, kasihan menatap bundanya.
"Besok, kak Nisa sudah masuk sekolah lagi, kamu ikut bude, mendaftar disana ya " Arumi menimpali.
"Iya bude"
*******
Keesokan harinya, Kartika bersiap untuk bekerja, agar menyingkat waktu, dia memesan ojek online, tidak lama kemudian dia sampai ditempat kerja. Kartika lalu dibawa ke belakang toko, ternyata benar yang dipikirkan Kartika, tempat ini bukan toko roti biasa. Namun ternyata pabrik roti yang besar.
"Kamu karyawan baru, ya?" tanya Nana karyawan senior, yang akan mengetes karyawan baru untuk memproduksi roti.
"Iya mbak, kenalkan nama saya Kartika" Kartika bersalaman setelah mengganti baju seragam yang di sediakan pabrik.
"Sekarang ikut aku" Nana mengajak Kartika kedapur. Kartika menatap seorang wanita setengah baya, yang sedang memberi pengarahan kepada pembuat roti. Ternyata wanita itu pengawas produksi.
"Bu, ini karyawan yang baru masuk" Nana memperkenalkan Kartika. Kartika tersenyum ramah.
"Silahkan bergabung, kamu bagian membuat roti donut" kata pengawas di nemtek bertuliskan nama Yoyoh.
"Baik bu" Kartika menuju tempat pembuatan roti, ternyata bagian pembuat roti sudah ada tugas sendiri-sendiri setiap satu produk di buat oleh dua orang.
"Baiklah selamat bekerja" pengawas roti pun berlalu ke toilet.
Tidak jauh dari situ ada karyawan senior yang iri, mengapa Kartika hanya diberi tugas membuat roti donut yang mudah, padahal dia mendapat bagian susah, yakni membuat kroisan.
"Tunggu Mbak" kata karyawan senior yang bernama Adelia.
"Ada apa ya kak" Kartika yang sudah siap-siap akan produksi di tahan.
"Tadi kak Nana pesan kepada saya, beliau berubah pikiran, kamu di tugaskan membuat kroisan yang di sebelah sana" bohong Lia, tersenyum licik.
"Baik Mbak" tanpa gentar, Kartika pindah posisi. Kartika bersama rekan yang lain memproduksi kroisan, dan diisi farean rasa hingga selelasai.
"Loh, kamu kan baru traning Tika, bukanya tadi sudah diberi tugas yang lain, membuat kroisan paling sulit dan ribet, kalau kamu sampai gagal, tidak di perpanjang nantinya" kata Nana panjang lebar.
"Tadi-- anu" Kartika ingin menjawab, namun Lia menatapnya tajam. Karyawan yang lain tidak ada yang berani menjawab. Sebab Lia karyawan yang suka iri dengki dan jahil. Pandai bersilat lidah dan memputar balik fakta.
"Baiklah Tika, kamu sudah saya beri tugas yang ringan agar kamu bisa lolos, tetapi kamu salah ambil keputusan, kita tunggu hasilnya besok ya" tutur Nana.
"Baik Mbak" sahut Kartika kali ini agak takut juga, kalau sampai tidak diperpanjang dia akan menyesal tentu akan sulit lagi untuk mendapatkan pekerjaan.
Jam berlalu, jam dua belas watunya beristirahat. "Tik kita ke kantin dulu yuk" ajak Sekar teman satu tim pembuat kroisan tadi.
"Ayo" jawab Kartika singkat, setelah mengambil kupon makan siang yang disediakan pabrik, Kartika mengikuti Sekar.
"Sekar, kenapa ya? kok Mbak Lia tadi menukar tugas yang sudah diberikan Mbak Nana?" tanya Tika saat sudah sampai di kantin.
"Lia itu memang begitu Tik, bukanya aku mau gibah. Tetapi... kami dari dulu selalu mengalah sama dia" Tutur Sekar. "Ya sudah... aku tukar kupon dulu ya Tik" imbuh Sekar, lalu membawa dua kupon sekalian milik Kartika membawanya ngantri.
Sambil menunggu Sekar Antri makan siang, Kartika bergegas ambil Air wudhu memanfaatkan waktu istrirahat yang hanya sedikit. Kartika masuk kedalam Aula shalat dzuhur berjamaah.
Selesai shalat, Kartika melipat mukena mengembalikan ketempat semula. Kartika keluar bejubel dengan karyawan yang lain. Sampai halaman mushola netranya tertuju kepada sesesok yang tidak asing baginya. Mas Angga. Kartika terkesiap, benarkah itu Angga suaminya, yang selama ini ia cari? Kartika lalu berjalan cepat menghampiri pria yang mirip suaminya itu, entah benar Angga, atau hanya berhalusinasi.
*****
"Assalamualaikum... Alhamdulillah... bagi yang sudah berkenan mampir.
Aku menulis cerita ini, aku ambil dari kisah nyata, saya menulis seperti yang ia tulis dibuku harian miliknya.
"Tapi aku izin loh... sama narasumber, nggak cuma nyolong hehehe 🤣🤣🤣 sebenarnya aku sudah malas menulis, tapi begitu membaca kisah teman sekolah aku ketika pulang kampung kemarin, aku jadi ingin menulis lagi"
Semoga ada yang membaca jika tidak kebangetan🤣🤣🤣.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!