NovelToon NovelToon

Sementara Hilang Memori

Prolog

Di depan sebuah rumah berdinding biru berdiri sorang gadis dengan sebuah tas besar tergeletak di samping kakinya. Gadis itu mengunci pintu, kemudian membawa tasnya meninggalkan halaman rumah.

“Natsya, mau ke mana rapi amat? Bawa tas besar pula?” tanya sorang wanita paruh baya yang berpapasan dengan gadis itu di jalan.

Nama gadis itu Natsya, Natsya Aldiva. Sudah tiga tahun dia tinggal di desa ini, jadi penduduk desa sangat akrab dengannya. Selain itu, Natsya juga mengajar di sekolah dasar yang ada di desa.

Natsya tersenyum menjawab. “Bibi Mira, saya akan ke Kota Argon.”

“Jauh sekali. Mau apa ke sana? Apa Adler kerja di sana? Mau menemuinya?” Bibi Mira merupakan orang yang kepo. Karenanya dia suka banyak nanya.

“Tidak Bibi. Teman SMA saya akan menikah dan dia mengundang saya untuk menghadiri pernikahannya” jelas Natsya.

“Oh, begitu rupanya. Bibi kira kamu mau menemui Adler. Lagi pula kalian kan pengantin baru dan sepertinya sudah seminggu sejak suamimu itu pergi. Apa kamu tidak rindu?” goda Bibi Mira.

Awalnya Bibi Mira ingin menjodohkan Natsya dengan putranya. Natsya adalah gadis paling cantik setelah dia datang di desa ini. Dia sangat baik dan sopan. Apalagi Natsya juga memiliki penghasilan sendiri. Sayangnya putranya bekerja di luar kota dan belum kembali, sementara Adler seorang turis yang datang ke desa mendahuluinya.

“Bibi, kalau begitu saya permisi dulu. Saya sedang terburu-buru.” Natsya tidak ingin bercerita tentang suaminya, jadi dia segera menghentikan pembicaraan.

“Em, hati-hati di jalan ya.”

“Iya, makasih, Bibi Mira.”

Tiga tahun lalu Natsya pindah ke Desa Galan untuk tinggal bersama neneknya karena ibunya meninggal tahun itu. Natsya tidak ingin tinggal lagi bersama ayah angkatnya. Ibu Natsya menikah dua kali, Natsya ialah anak dari pernikahan pertama ibunya.

Tinggal di sini Natsya sekalian merawat neneknya yang sudah tua. Untuk itu dia harus merelakan untuk tidak melanjutkan kuliah. Agar bisa memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan neneknya, Natsya mencoba bekerja. Kebetulan SD di desa membutuhkan seorang guru tambahan, jadi Natsya ikut mendaftar dan diterima.

Natsya menabung cukup uang serta warisan dari ibunya dia melanjutkan kuliah dengan belajar mandiri. Dengan itu dia bisa merawat neneknya dan juga mengajar di sekolah.

Setahun yang lalu nenek Natsya pergi juga, meninggalkannya sendirian. Natsya bisa saja pergi dari desa mencari pekerjaan yang lebih baik di kota. Tapi, dia merasa kasihan dengan anak-anak yang ada di desa. Mereka perlu mendapatkan pendidikan yang baik dan dia juga sangat senang bisa berbagi ilmu dengan anak-anak. Jadi, Natsya tetap tinggal.

Natsya menjalani hidup dengan sederhana, tenang dan monoton.

Hingga suatu hari Natsya menyelamatkan seorang pria yang pingsan di gunung. Natsya membawa pria itu ke puskesmas dengan bantuan penduduk desa.

Setelah sembuh, pria itu sementara tinggal menjadi sukarelawan untuk mengajar anak-anak di desa. Keduanya menjadi akrab, pria itu kemudian melamarnya dan mereka akhirnya menikah sebulan yang lalu.

Ini terdengar seperti kisa yang ada di buku cerita dan Natsya benar-benar merasa dia pasti sedang bermimpi. Karena pria setampan Adler jatuh cinta padanya dan mau menikah dengannya.

Dia merasa ini pasti keputusan yang paling absurd yang pernah dia lakukan. Karena dia berani menikah dengan pria yang baru di kenalnya beberapa saat. Dan dia tidak mengenal pria itu, bahkan tanpa melihat keluarga, mereka langsung menikah.

Seminggu yang lalu Adler pergi ke luar kota, katanya ada pekerjaan yang harus dia urus di sana. Bibi Mira mungkin mengira dia akan menemui Adler.

Dari Desa Galan ke Kota Mangan kira-kira 55 kilometer, di butuhkan 2 jam perjalanan agar bisa sampai ke sana. Natsya menumpang mobil tetangganya, Pak Roni yang kebetulan akan menjemput anaknya dari bandara.

Agar bisa ke kota Argon, Natsya perlu berganti-ganti angkutan. Pusat kota berada sangat jauh dari tempatnya tinggal. Dia perlu melakukan penerbangan dari bandara di Kota Mangan menuju Kota Argon. Kedua kota itu dipisahkan oleh lautan yang luas.

×××××

Desa Galan.

Sebuah mobil sedan hitam melaju di jalan menuju desa. Penduduk yang sedang bekerja di ladang berhenti sejenak melirik mobil mewah yang lewat. Ini pertama kalinya mobil seperti itu memasuki desa.

Mobil itu berhenti di depan sebuah rumah bercat biru. Ibu-ibu tetangga menjulurkan kepala mereka ingin melihat siapa yang ada di dalam mobil.

Pintu penumpang belakang terbuka, sepatu hitam mengkilap keluar dari dalam menapak di tanah. Kemudian mereka melihat wajah asing yang sangat tampan keluar dari mobil.

Pria itu terlihat sangat tampan, rambutnya disisir rapi ke belakang, wajahnya terlihat sangat bersih dan putih. Mengenakan setelan hitam seperti bintang pemeran utama pria kaya yang sering mereka lihat di TV.

Ibu-ibu di buat kagum dengan wajah sempurna bak dewa di depan mereka.

Sopir mengeluarkan koper dari bagasi dan meletakkannya di samping pria itu, kemudian dia masuk ke mobil dan melaju pergi meninggalkan pria itu berdiri di depan halaman rumah.

Pria itu menarik kopernya dan berjalan ke rumah berwarna biru di depannya. Pria itu sedikit bingung melihat pintu rumah yang tertutup. Hari ini hari minggu, seharusnya pemilik rumah harus ada di dalam.

Ibu-ibu segera sadar melihat pria itu berjalan ke rumah Natsya, mereka segera menghampiri pria itu.

“Nak, siapa yang kamu cari?” tanya seorang wanita tua.

Pria itu berhenti dan melihat orang-orang yang datang.

Pria itu tersenyum berkata: “Nenek Tini, bagaimana keadaan Nenek? Kaki Nenek tidak sakit lagi?”

Wanita tua yang di sebut Nenek Tini merasa bingung. “Alhamdulillah kaki Nenek sudah sembuh. Kamu kenal saya? Kamu siapa?”

“Saya tahu, Nenek Tini yang sering membantu dan memberi kami beberapa sayuran dari kebun Nenek. Nenek tidak ingat saya?” tanya pria itu sedikit bingung. Nenek Tini sepertinya tidak mengenalnya, dia seperti berhadapan dengan orang asing yang baru pertama kali bertemu.

“Benarkah? Nenek tidak ingat. Kamu siapa?”

Nenek Tini menggaruk kepalanya bingung. Iya yakin tidak pernah kenal dengan anak muda di depannya.

“Saya Adler, Nek. Suami Natsya,” terang Adler.

“Kamu bilang siapa? Mana mungkin kamu suami Natsya? Orang kita juga tahu bagaimana rupa suami Natsya. Tidak seperti kamu,” ucap Ibu Rika melangkah maju mengamati wajah Adler.

“Iya, benar. Suami Natsya kulitnya lebih gelap dari kamu, dia juga memakai kacamata, rambutnya selalu menutupi alis dan sedikit matanya. Gayanya sangat jauh beda,” tambah ibu yang lain.

“Jangan-jangan kamu penipu!”

Adler tercengang mendengar ucapan ibu-ibu itu, dia menatap ke bawah pada pakaiannya yang memang sangat berbeda dari yang biasa dia kenakan sejak berada di sini dulu.

Adler mengenakan kemeja hitam, celana kain hitam, dan sepatu kulit hitam. Dulu dia selalu mengenakan kaos sederhana dan celana jeans atau celana dengan banyak kantong, dan sendal jepit.

Mengangkat ponselnya Adler menatap wajahnya, rambutnya di sisir rapi kebelakang dengan memperlihatkan dahinya yang mulus, alis pedang, hidung mancung, dan bibir tipis.

Pantas saja mereka tidak mengenalinya, penampilannya benar-benar berbeda.

Adler mengacak-acak rambutnya, mengeluarkan kacamata dan memakainya.

“Bagaimana? Sudah mirip?” tanya Adler.

“Iya, iya, benar-benar mirip. Kamu benar suaminya Natsya? Sungguh berbeda, kami sampai tidak bisa mengenalinya.” Ibu Rika berkata takjub melihat perubahan Adler.

“Kamu sangat tampan berdandan seperti ini. Kami di buat linglung. Kamu terlihat seperti pejabat yang orang kaya itu. Yang banyak duitnya."

“Kamu dari mana? Kok, bisa gayanya tiba-tiba berubah seperti itu. Natsya pasti juga tidak akan mengenali kamu dengan tampang seperti tadi.”

“Ngomong-omong ayo masuk dulu. Saya membawa beberapa barang dari sana. Jika berkenan saya akan memberikannya kepada Nenek dan Ibu-Ibu sekalian,” undang Adler.

“Benar, ayo masuk dulu. Kamu pasti sudah capek dari perjalanan jauh.”

Adler menarik kopernya memasuki halaman. Dia mencoba membuka pintu tapi sepertinya terkunci. Adler mengeluarkan kunci dari tasnya, lalu membuka pintu dan mempersilahkan para tamu masuk.

“Oh, ya, Adler, sepertinya Natsya tadi pergi. Jadi dia tidak ada di rumah,” kata Bu Mira mengingatkan.

“Benarkah?” ucap Adler tidak pasti. Natsya memang memberitahunya kalau akan menghadiri pernikahan temannya, tapi dia tidak mengatakan kapan dia akan pergi.

“Kamu tidak tahu. Apa Natsya tidak memberitahumu?”

Adler segera menyalakan ponselnya dan dia melihat beberapa panggilan tak terjawab dan pesan dari Natsya.

Adler terlalu sibuk berurusan dengan pekerjaan dan ponselnya dimatikan. Setelah bekerja dia langsung melakukan penerbangan kemari, jadi dia tidak pernah menyalakan ponselnya.

Natsya mengirimkan pesan padanya kemarin dan tadi memberitahukan berita kepergiannya.

“Saya tahu, Natsya mengirimi saya pesan.” Adler berkata melihat mata curiga dari Ibu Mira.

Adler membuka kopernya dan mengeluarkan makanan dan suplemen dan membagikannya kepada Nenek Tini dan ibu-ibu lainnya.

Nenek Tini dan ibu-ibu berterima kasih kepada Adler atas oleh-olehnya, kemudian mereka pergi setelah mengatakan beberapa kata lagi.

‘Tinggg... Tinggg... Tinggg...’

Setelah mengantar tamu pergi, Adler kembali ke ruang tamu dan mendengar ponselnya berbunyi.

Mengangkat ponsel, Adler melihat kata ‘Papa’ tertulis di sana. Adler pun segera mengangkatnya.

“Halo. Assalamualaikum, Pa.”

“Penyakit kakek kambuh? Baik, Adler akan ke sana sekarang juga!"

Menutup telepon, wajah Adler terlihat tegang dan khawatir. Adler mengambil tasnya berjalan keluar sambil memesan tiket penerbangan.

×××××

1. Musibah Datang Tak Terduga

Setelah berada di pesawat dua setengah jam Natsya akhirnya bisa menapakkan kakinya kembali di tanah. Memegang tasnya Natsya berjalan keluar dari bandara.

‘Tittt... Tittt... Tittt...”

Suara telepon menghentikan Natsya, dia memeriksa tasnya dan mengeluarkan ponselnya dari dalam tas.

“Halo,” kata Natsya menjawab telepon.

“Baik, Linda. Aku akan tunggu kamu di luar pintu masuk," ucap Natsya mengakhiri panggilan.

Orang yang meneleponnya adalah Linda yang merupakan sahabat Natsya di SMA, keduanya janjian untuk menghadiri pernikahan Krista. Natsya, Linda, dan Krista adalah sahabat yang sangat baik saat mereka masih SMA.

Karenanya Natsya tetap ingin datang ke pesta Krista meskipun sangat jauh dari tempat tinggalnya. Selain itu, Krista juga merupakan teman masa kecilnya.

Natsya melihat sekeliling mencoba mencari jalan keluar. Dari jauh Natsya memperhatikan seorang pria keluar dari jalur VIP. Pria itu berjalan tergesa-gesa dan hampir berlari. Tapi bukan itu yang menghentikan Natsya, melainkan wajah pria itu yang tampak familier.

Natsya buru-buru mengejar pria itu sambil memanggil namanya. “Adler!” teriak Natsya.

“Adler!” panggilnya lagi.

Natsya menghembuskan napas lelah, dia berhenti mengejar saat pria itu sudah naik mobil dan pergi.

Pria itu benar-benar mirip dengan Adler. Apa mungkin dia salah lihat?

Pria yang di kejar Natsya saat ini berada di dalam mobil. Natsya tidak salah lihat, pria itu memang Adler.

“Pak, ke rumah sakit pusat utama," kata Adler pada pak sopir.

Adler melihat keluar jendela, sepertinya tadi mendengar ada orang yang memanggilnya. Dia tidak terlalu memperhatikan karena terburu-buru.

Berbalik ke belakang, Adler melihat punggung yang tidak asing masuk ke dalam mobil.

Beberapa saat setelah mobil yang dilihatnya pergi, mobil sahabatnya juga tiba.

Linda keluar dari mobil dan berlari memeluk Natsya.

“Apa kabar, Sya? Aku kangen banget tau! Gimana keadaan kamu selama ini?” Linda berkata melepas pelukannya sambil memegang pundak Natsya melihat Natsya dari atas ke bawah.

“Alhamdulillah, aku baik, kok. Kamu bagaimana?” ucap Natsya sangat senang dapat bertemu Linda lagi setelah tiga tahun.

“Aku juga. Astaga ...! Kamu beda banget! Katakan apa rahasianya? Kamu cantik banget. Aku pangling, deh!” seru Linda takjub melihat wajah Natsya yang semakin cantik bakal bidadari dari kayangan.

Natsya memiliki wajah yang mirip orang Eropa, kulit yang putih dan bersih, hidung yang sangat mancung, mata coklat, rambut pirang, dan tubuh yang tinggi.

Natsya sedikit malu mendengar pujian Linda. “Apa sih? Nggak ada rahasia, kok," bantah Natsya.

“Sumpah, benar! Kamu jadi semakin cantik, loh! Aku pikir kamu bakal jadi hitam, dekil, kuyu, setelah tinggal di desa. Seperti wanita-wanita desa di tv itu.”

“Ah, jangan bilang gitu. Aku sekarang lelah dari perjalanan jauh.”

“Ok, ok. Ayo masuk ke mobil. Aku akan membawamu ke restoran, kamu pasti lapar, kan?”

Natsya tersenyum meletakkan tasnya di kursi belakang dan duduk di kursi penumpang depan.

Di dalam mobil keduanya bercerita mengenang masa lalu bersama.

“Oh, ya, Sya, kamu udah siapin hadiah buat pernikahan Krista?” tanya Linda.

“Ah, itu ... aku beri amplop aja deh.” Natsya sedikit ragu, dia tidak tahu apakah memberikan uang kepada Krista bagus atau tidak.

Krista adalah sahabatnya, Natsya tidak tahu harus memberikan apa. Soalnya mereka sudah lama tidak saling kontak.

“Nggak masalah, Sya. Asalkan tulus dari hati Krista pasti bakal senang,” kata Linda menyemangati.

Beberapa saat kemudian mereka tiba di sebuah restoran. Linda memarkirkan mobilnya di tempat parkir, lalu keduanya masuk ke dalam restoran.

Di dalam restoran, Natsya dan Linda menikmati makan siang bersama. Di tengah makan ponsel Linda tiba-tiba berbunyi.

Telepon itu dari pacar Linda. Dia meminta maaf pada Natsya karena harus meninggalkannya sendirian soalnya pacarnya meminta bertemu.

“Sorry, ya Sya. Emang nggak apa-apa elo gue tinggal kayak gini?” ucap Linda merasa bersalah.

“Nggak apa-apa, kok. Kamu pergi saja,” kata Natsya tersenyum pada Linda.

“Kalau begitu gue pergi dulu, ya. Elo tenang aja, makanan ini biar gue yang traktir. Oh, ya, ini kunci apartemen gue. Alamatnya udah gue kirimin ke nomor elo. Bye ....” Linda berkata terburu-buru sambil mengeluarkan kunci dari tasnya meletakkannya di atas meja dan kemudian meninggalkan restoran.

“Hati-hati di jalan!” kata Natsya melihat Linda yang tergesa-gesa.

Natsya mengambil kunci di atas meja, memasukkannya ke dalam tasnya, dan melanjutkan makanannya yang masih tersisa banyak.

Setelah keluar dari restoran Natsya memutuskan untuk menemui adiknya dulu yang tinggal bersama ayah angkatnya. Kebetulan dia sekarang ada di sini lebih baik menemui mereka.

Untuk ke rumah ayah angkatnya Natsya menggunakan bus. Turun dari bus Natsya berjalan menuju arah supermarket. Dia ingin membeli beberapa barang sebagai hadiah.

Keluarga ayah angkatnya tinggal di sebuah perkampungan di pinggiran kota, jadi tidak seramai kota provinsi A.

Natsya tidak menyadari ada dua orang berjaket hitam dan memakai topi yang mengikutinya diam-diam dari belakang.

Kedua pria itu semakin dekat, salah satu pria langsung berlari dan menarik tas Natsya. Natsya menggenggam tasnya dengan erat tidak membiarkan orang itu mengambil tasnya.

"Tolong! Rampok! Tolooong!!!" teriak Natsya ketakutan.

Melihat temannya tidak berhasil, pria satunya segera maju dan mendorong Natsya. Tas itu langsung terlepas dari tangan Natsya dan kedua pria itu segera berlari kencang dengan tas yang berhasil mereka dapatkan.

Sementara itu, Natsya yang di dorong tersentak ke belakang dan kepalanya membentur tiang listrik. Natsya langsung pingsan dan terjatuh tergeletak. Sebuah genangan darah mengalir dari belakang kepala Natsya.

Warga yang baru saja keluar dari supermarket melihat Natsya yang tergelak di pinggir jalan berlari menghampiri sambil berteriak meminta bantuan pada orang-orang di dalam supermarket.

"Woi, ada orang yang pingsan di jalan, ayo tolongin!" seru warga itu.

Melihat Natsya tergeletak dengan kepala berdarah orang-orang tidak berani mendekat.

"Cepat panggil ambulans!" teriak salah satu warga.

Seorang gadis mengenakan seragam supermarket syok melihat Natsya yang tergeletak di tanah.

Gadis itu segera bergegas menghampiri Natsya dan memeriksa keadaannya.

"Natsya, bangun!" teriak gadis itu khawatir dan sedikit lega merasakan Natsya masih bernafas.

Gadis itu berbalik ke arah kerumunan. "Tolong telepon ambulans untuk saudara saya," ucapnya memohon.

Salah satu warga segera menelepon rumah sakit. Setelah menunggu ambulans akhirnya tiba. Natsya segera diberi pertolongan pertama dan di masukkan ke dalam ambulans menuju rumah sakit.

"Erwin, beritahu manajer aku minta cuti hari ini." Gadis itu berucap terburu kepada temannya yang juga mengenakan seragam supermarket.

"Oke, tenang aja, Jiha. Bakal aku sampaikan." Angguk Erwin.

Gadis yang dipanggil Jiha mengangguk dan segera naik ke ambulans.

×××××

2. Rumah Sakit

Di dalam sebuah bangsal di rumah sakit swasta terbaik di kota Argon, terbaring seorang pria tua yang terlihat sangat pucat.

Rambutnya yang berwarna putih abu-abu terlihat kusam, tidak lagi terawat seperti bagaimana biasanya terlihat.

Selain lelaki tua yang sakit ada juga seorang pria muda di dalam ruangan itu. Pria itu perlahan mendekat dan duduk di kursi sambil memegang tangan pria tua yang terbaring lemah.

“Kakek, ini Adler,” ucap pria itu menatap sang kakek penuh rasa bersalah dan khawatir.

Lelaki tua yang terbaring adalah kakek dari Adler, Ansanay Ridsyi. Pendiri AR Grup, sebuah perusahaan besar yang bergerak di berbagai bidang industri. Bisa dikatakan AR Grup menguasai hampir semua pasar perdagangan di negara itu.

Orang-orang tidak bisa menebak seberapa banyak anak perusahaan di bawah asuhan AR Grup. Bahkan ayah dan pamannya tidak mengetahui seberapa besar aset yang telah dibuat oleh Kakek Ansanay. Hanya Adler yang mengetahui semua itu karena dia telah dilatih menjadi ahli waris oleh kakeknya sejak kecil.

Kakek Ansanay perlahan membuka matanya. Cahaya di matanya tidak lagi seterang dulu. Penglihatannya kabur, sosok pemuda tampan samar-samar terlihat. Dia tahu cucu kesayangannya lah yang dia lihat.

Kakek tahu dia tidak akan lama lagi. Satu-satunya yang dia inginkan adalah cucunya ini, Adler Hilman Ansanay Ridsyi. Satu-satunya cucu yang memiliki namanya yang tertulis di akta keluarga.

Kakek Ansanay ingin Adler mewarisi AR Grup yang telah dia bangun bersama dengan istrinya. Dia telah mendidik Adler menjadi pewaris sejak kecil.

Sayangnya Adler malah berbelok menjadi seorang seniman setelah menyelesaikan pendidikannya, bukannya pergi bekerja di perusahaan sesuai yang telah Kakek Ansanay atur untuk Adler.

Adler bukan cucu pertama atau cucu bungsu, tapi Adler yang paling dekat dengan Kakek Ansanay sejak kecil dan Adler anak semata wayang dari putra pertama Kakek Ansanay.

Karena ayahnya sibuk bekerja dan ibunya meninggal sangat awal, kakek lah yang mengambil alih mengurus Adler kecil dan melatihnya. Dan Adler tidak pernah mengecewakan Kakek Ansanay.

Adler bahkan telah mendirikan perusahaannya sendiri di luar negeri saat masih kuliah di sana. Adler juga selalu menuruti perkataannya.

Entah apa yang terjadi setelah dia lulus dari luar negeri Adler malah lari menjadi seorang bintang. Inilah pertama kali Adler menentang perintah Kakek Ansanay. Meski sempat tidak setuju, akhirnya Kakek Ansanay menghormati pilihan Adler.

Kakek Ansanay menggerakkan tangan lainnya untuk memegang tangan Adler yang memegang salah satu tangannya.

“Ad ... sekarang, saatnya Kakek menagih janji kamu. Kamu tidak akan menolak Kakek lagi kan?” tanya Kakek Ansanay kepada Adler berusaha memeras senyuman dari bibirnya.

“Bisakah aku menolak,” Adler berkata mencela diri sendiri.

Sebelum memasuki industri hiburan Adler pernah berjanji pada Kakek Ansanay. Adler akan kembali sebagai pewaris keluarga jika Kakek Ansanay jatuh sakit dan tidak dapat menunjuk pewaris lain yang berkualitas.

Dan di sinilah Adler sekarang, dia akan menggantikan posisi Kakek Ansanay walau dalam hati tidak mau. Menjadi pewaris merupakan beban yang sangat berat buat Adler, ada banyak hal yang harus dia tanggung di tangan dan pundaknya. Bukan hanya tanggung jawab kepada keluarganya saja, melainkan juga para karyawan di bawah nama AR Grup.

Adler menjauh dari perusahaan dengan memasuki industri hiburan. Dia tidak ingin bertengkar untuk memperebutkan kekuasaan. Dia tidak mau menerima, ada orang lain yang sangat ingin.

Orang-orang di luar sana sedang menunggu lelaki tua ini meninggal dan ingin mendapatkan harta warisannya. Lelaki tua ini masih tersenyum ke arahnya sekarang seakan tidak akan terjadi apa-apa.

“Tidak bisakah kamu memberikannya pada papa. Biarkan dia yang mengelolanya. Aku juga anak kandungnya, kelak perusahaan akan jatuh ke tanganku juga,” ucap Adler mencoba berdiskusi dengan Kakek Ansanay.

“Um, Kakek tahu kamu tidak akan menolak. Dengan kamu datang ke sini itu artinya kamu telah menerima segalanya. Aku bisa tenang sekarang,” kata Kakek Ansanay senang mengetahui pilihan Adler.

“Ada satu hal lagi yang ingin Kakek beritahukan padamu.” Ekspresi kakek tiba-tiba berubah serius, tidak seperti sebelumnya yang masih tersenyum.

Adler tidak lagi memikirkan tentang masalah pewaris itu, dia sekarang ingin tahu hal apa lagi yang membuat kakek langsung berubah raut wajahnya.

“Ini merupakan janji yang sudah sangat lama. Sebuah janji lisan pernikahan keluarga kita dan keluarga teman lama Kakek. Jadi, Kakek ingin kamu melaksanakan janji itu. Nikahilah cucu teman Kakek.” Kakek Ansanay terdiam sejenak terkenang masa lalu dengan temannya.

Adler tidak segera membantah ucapan kakek, dia menunggu kakek selesai merenung dan terus mendengarkan. Di dalam hati Adler berpikir dia tidak akan pernah bisa melaksanakan janji itu.

Kakek Ansanay tahu bagaimana sifat cucunya ini, sangat keras kepala. Jika tidak bagaimana dia bisa berkembang di industri hiburan yang berantakan seperti itu.

“Jika kamu tidak mau, kamu bisa meminta saudara-saudara kamu yang lain. Dia yang ingin menikah sudah Kakek tuliskan di dalam surat wasiat, hadiah pernikahan yang Kakek berikan padanya.”

Kakek Ansanay menambahkan tidak memaksa Adler harus menikah.

“Kakek tenang saja. Janji itu pasti akan terpenuhi.” Adler berkata menyanggupi. Karena bukan dia, janji itu tentu saja bisa dipenuhi.

“Hmh ....” Kakek menghela napas lelah.

“Kakek istirahat saja dulu. Adler pasti akan melaksanakan pesan Kakek,” kata Adler khawatir.

“Em ... satu hal lagi. Tolong telepon pengacara Kakek, Rudy. Minta dia datang kemari besok siang bersama orang-orang itu,” kata Kakek Ansanay untuk terakhir kali sebelum jatuh tertidur karena pengaruh obat.

“Baik, Kek.”

Setelah kakek tertidur Adler memperbaiki selimut kakeknya, lalu keluar dari kamar tidur kakek.

×××××

Di ruang tamu bangsal duduk seorang pria paruh baya yang terlihat sedikit mirip Adler. Pria itu merupakan orang tua Adler, Harial Ridsyi.

Adler berjalan ke arah papa Harial, lalu duduk di sampingnya. Keduanya hanya diam, tidak ada yang berbicara.

Akhirnya Pak Harial memecah keheningan di antara keduanya.

“Sudah berbicara dengan kakek?” ucap Pak Harial memulai percakapan dengan putranya yang sangat jarang bisa duduk bersama seperti ini.

Harial tahu dia bukan ayah yang berkualitas untuk putranya, sehingga hubungan mereka sangat kaku, seperti orang asing. Sungguh dia tahu menyesal sekarang tidak ada gunanya.

Anaknya sudah sangat besar, tidak lagi membutuhkan kasih sayang atau perhatian seperti saat Adler masih kecil dulu, selalu mengikuti di belakangnya. Sayangnya dia mengabaikan dan menolak kedekatan Adler kecil, dia masih tidak bisa menerima kepergian istrinya saat itu.

Yang dibutuhkan Adler sekarang hanya lah dukungan dan tidak memberi rintangan yang akan menyusahkan Adler.

“Iya,” jawab Adler singkat tidak terbiasa berbicara dengan papanya sendiri.

Harial menghela napas, “Kakek mungkin tidak bisa bertahan lama kali ini. Maukah kamu tinggal sekarang?” tanya Harial ingin tahu bagaimana pilihan masa depan putranya.

Harial tahu sejak lama ayahnya akan memilih Adler menjadi penerusnya, bukan dia atau adiknya. Karena itu dia telah mempersiapkan jalan untuk menghadapi hari ini, anggap saja sebagai kompensasi.

Harial pernah berpikir saat putranya lulus dan memasuki perusahaan, dia akan membawanya di bawah sayapnya dan mengajarkan semua yang telah dia kuasai. Sayang, Adler tidak memasuki perusahaan yang memupuskan harapannya saat itu.

“Aku tidak akan menghindar lagi. Aku akan menerima apa yang seharusnya aku dapatkan dari dulu,” jawab Adler tenang.

“Bagaimana dengan pekerjaanmu yang sekarang?”

“Mundur saja.”

“Jika butuh sesuatu kamu bisa bertanya pada Papa.” Harial berkata sambil menepuk pundak Adler mengungkapkan dukungannya.

“Em,” Adler mengangguk.

“Sebaiknya kamu pulang, istirahat. Papa tahu kamu pasti lelah datang jauh-jauh kemari setelah syuting. Biar Papa yang jaga di sini.”

“Em. Hubungi Adler kalau ada apa-apa.”

Harial mengangguk membiarkan Adler keluar.

×××××

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!