NovelToon NovelToon

Langit Bumi

Prolog

Assalamualaikum, kembali lagi di novel baruku, dengan kisah dan genre berbeda dari yang lain. Mohon dukungannya ya, dengan beri bintang 5 pada novel ini dan jangan lupa klik like dan favorit. Terimakasih semua, dan selamat membaca.

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

Seorang wanita muda terlihat marah-marah saat seorang bayi menangis dan tak bisa ditenangkan.

"Bayi sialan! Bisa diem enggak!" teriak wanita itu.

Tapi tangis bayi tersebut justru makin keras.

"Dikasih minum lagi, Non," ucap sopir yang membawanya.

Dengan segera wanita itu meraih botol berisi susu formula, tapi sayang bayi itu tak mau berhenti menangis. Membuat wanita itu kembali geram, tapi beberapa detik kemudian, wanita itu justru memasang earphone ditelinga sang bayi, mengabaikan tangisan tersebut. Sungguh amat kejam wanita itu hingga tega membiarkan bayi mungil tersebut menangis tak henti-hentinya.

Subuh telah berkumandang, sebuah mobil mewah sudah terparkir di pinggir jalan pedesaan yang masih sepi, hanya suara adzan yang menggema di seluruh penjuru desa tersebut. Seorang wanita ke luar dari mobil mewah itu dengan membawa kardus berisi bayi mungil yang tak berdosa, berjalan mengendap-endap lalu meletakkan kardus tersebut sembarangan di tengah pinggir semak. Setelah itu, ia pun segera kembali ke mobil bersama sang sopir yang sejak tadi mengawasinya. Tanpa ia sadari, liontin miliknya terjatuh di dekat kardus tersebut.

"Akhirnya misi ku berhasil," ucap wanita itu girang.

"Setelah ini Pak Tio harus ke luar dari rumah, Bapak pindah kerja di tempat temanku di Padang, tempat tinggal Bapak. Saya akan beri uang sesuai perjanjian kita, asal Bapak jaga rahasia ini," ucap wanita itu pada sang sopir.

"Beres Non, saya juga sudah bosan bekerja di sana, Nyonya terlalu banyak permintaan," keluh sopir itu yang tak lain sopir dari Kakak wanita tersebut.

"Bagus," timpal wanita tersebut dengan senyum iblisnya.

****

Rutinitas pagi yang biasa dilakukan Nurul beserta Ahmad sang suami, mereka awali dengan sholat subuh berjamaah di masjid. Entah kenapa pagi ini, setelah pulang sholat subuh, Nurul ingin sekali mengunjungi makam putranya yang telah pergi lima tahun yang lalu.

Belum juga sampai di makam, keduanya mendengar tangisan bayi di sekitar semak-semak, akhirnya keduanya mencari sumber suara bayi tersebut, mereka terkejut saat mendapati seorang bayi mungil, berada menangis di dalam sebuah kardus mie instan.

"Ya Allah, siapa yang tega membuang bayi tampan ini? Sungguh biadab orang itu," kecam Nurul setelah menggendong bayi tersebut. Tanpa terasa air matanya mengalir begitu saja, saat melihat wajah bayi yang memerah terserang nyamuk.

"Padahal di luaran sana banyak sekali wanita yang ingin memiliki anak, seperti aku ini yang tak boleh hamil lagi, tapi kenapa orang ini justru membuang anaknya, Ya Allah," lirih Nurul masih dengan leleran air mata.

"Entahlah Buk. Sekarang kita bawa pulang aja bayinya Buk, kasian dia kedinginan," Nurul menyetujui usulan sang suami.

Baru saja melangkah Ahmad melihat sesuatu di dekat sandal jepitnya, dia pun memungut benda tersebut.

"Ada apa Pak?" tanya Nurul.

"Ini Buk, ada kalung bagus banget." Ahmad menunjukkan kalung berliontin itu pada sang istri.

"Masyaallah, bagus banget Pak. Apa mungkin ini pemilik orang yang membuang bayi ini? Sebaiknya kita simpan saja Pak, siapa tahu suatu saat kita membutuhkannya," usul Nurul.

"Baiklah Buk,"

Keduanya kembali ke rumah, menggagalkan niatnya ke makam almarhum sang putra.

Setelah sampai rumah, dengan teliti Nurul mengganti pakaian bayi tampan tersebut dengan pakaian bekas anaknya dulu yang sengaja ia simpan rapih di lemari. Tak lupa memberi susu formula yang di dapat dari warung dekat rumah. Alhasil bayi tersebut tertidur pulas dalam gendongannya.

Kabar penemuan bayi itu sudah sampai di telinga Pak Lurah, karena Ahmad langsung melaporkan penemuan bayi itu.

Sesuai kesepakatan, bayi tersebut akan angkat anak oleh Ahmad dan Nurul dengan berbagai syarat yang harus mereka penuhi. Setelah semuanya beres, Nurul dan Ahmad pun mengadakan syukuran sekaligus pemberian nama bayi itu.

"Kita berdua sepakat memberi nama Muhammad Hafidz sama seperti almarhum anak kami yang sudah mendahului kita, nama yang diberikan oleh kiyai saya waktu di pesantren dulu," ucap Ahmad saat acara syukuran berlangsung.

Sebenarnya, orang tua Nurul tak begitu menyetujui keputusan anak dan menantunya untuk mengasuh bayi yang tak tahu dari mana asalnya. Tapi dengan bujuk rayu yang Nurul lontarkan, akhirnya orang tuanya pun menyetujui. Alasan kedua orang tua Nurul tak setuju, karena kehidupan mereka yang pas-pasan, bekerja hari ini untuk makan hari ini juga. Takutnya nanti bayi itu tak terurus dan justru membebani mereka.

Mungkin kedua orang tua Nurul tak tahu, jika anak itu membawa rejekinya masing-masing.

*****

Di sisi lain, keluarga terkaya nomor satu di ibu kota sedang berduka, karena anak laki-laki yang baru lahir tiga hari yang lalu meninggal dunia karena gagal jantung. Itu alasan yang diberikan oleh dokter yang menangani kelahiran dua bayinya.

"Sudah Ma, kita masih punya satu anak yang harus kita jaga sungguh-sungguh, Gita butuh kasih sayang dari kita Ma, biarkan Gifa tenang, insyaallah, dia yang akan menolong kita di akhirat nanti," tutur sang suami pada istrinya yang tak henti menangisi putra mereka.

Wanita itu hanya menggeleng, ia masih belum bisa menerima kenyataan ini. Terus menangis, hingga kesadarannya hilang.

Di kamar lain, di rumah itu, seorang wanita berwajah mirip dengan wanita yang menangis tadi, terlihat uring-uringan mencari benda berharga miliknya.

"Apa jangan-jangan? Ah enggak mungkin! Pasti masih ada di kamar, aku harus cari sampe ketemu," ucap wanita itu dan kembali membongkar isi kamarnya.

.

.

.

** Note

Di sini aku akan banyak menceritakan tentang kehidupan Hafidz ya. Soal kembarannya nanti ada setelah mereka bertemu.

Jangan lupa, vote, like dan komennya.

BAB 1

Seorang remaja laki-laki baru saja ke luar dari kelas disambut sapaan dari sahabatnya yang berbeda kelas. Selalu setia menunggu saat akan pulang sekolah.

"Fidz, nonton pertandingan dulu yuk," ajak temannya itu.

"Enggak bisa Al, aku harus ngelesin anak-anak sore ini, kalau kamu mau nonton sendiri aja enggak apa-apa, kan? Biar aku pulang jalan kaki," tolak Hafidz, tak mungkin dia meninggalkan kewajibannya hanya untuk menonton pertandingan sepak bola.

"Oh yaudah, aku antar kamu pulang dulu, sekalian mau ganti baju, nanti tak ajak si Adi aja," timpal Ali sahabatnya.

"Maaf ya Al," sesal Hafidz.

"Enggak apa-apa Fidz, santai." Ucap Ali sambil tersenyum.

Sejak SMP Ali selalu memberi tumpangan pada Hafidz saat berangkat dan pulang sekolah, sebenarnya Hafidz merasa tak enak hati karena tiap hari harus merepotkan Ali, padahal jarak sekolah dengan rumah hanya sekitar setengah kilometer saja, menurut Hafidz masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki, tapi Ali tak pernah membiarkan sahabatnya berjalan kaki sendiri.

Rutinitas harian Hafidz memang berbeda dengan teman-teman lainnya, karena setiap dua hari sekali dia harus mengajar atau les untuk anak-anak SD dan SMP di desanya. Dengan mengajar les anak SD dan SMP, setidaknya Hafidz bisa menabung uangnya untuk kuliah nanti, karena ibunya tak pernah mau menerima uang itu dan selalu menyuruh Hafidz untuk menabungnya.

"Makasih Al," ucap Hafidz setelah turun dari motor Ali.

Ali hanya mengacungkan ibu jari lalu kembali menyalakan motornya menuju kediamannya yang hanya berjarak dua rumah dari rumah Hafidz.

"Assalamualaikum," ucap salam Hafidz, tapi tak ada seorang pun yang menjawab salamnya.

Tak seperti biasa rumahnya sepi dijam saat ia pulang sekolah. Baru saja dia akan mengucapkan salam untuk kedua kalinya saat samar-samar mendengar suara orang di dalam rumah, tapi tak sengaja dia mendengar ucapan ibunya yang membuatnya terkejut.

"Bagiamana Pak? Benar kata Bu Lurah tadi, kalau Hafidz tidak kuliah itu sayang banget, dia itu cerdas. Tapi gimana apa kita mampu? Atau kita jual aja berlian yang kita temukan dulu, itu pasti milik keluarga Hafidz, mungkin yang punya juga sudah lupa," ucap Nurul.

"Jangan Buk, kalung berlian itu sangat penting, dengan kalung itu Hafidz bisa menemukan keluarganya. Meskipun Bapak tak rela jika Hafidz harus kembali ke keluarga kandungnya, dia udah seperti anak sendiri," Pak Ahmad membayangkan saat menimang Hafidz yang masih bayi, mereka begitu bahagia.

"Apa semua yang dikatakan Bapak sama Ibu itu benar? Kalau aku bukan anak kandung kalian?" tanya Hafidz sendu. Tak pernah terbayangkan sedikit pun akan kenyataan ini.

Pantas saja, wajahnya tak ada miripnya dengan Bapak atau pun Ibu, tapi dia tak pernah berfikir jika dirinya bukan anak kandung mereka.

Bu Nurul dan Pak Ahmad terkejut, melihat Hafidz sudah pulang dan mendengar perkataan mereka. Sebenarnya belum ingin memberitahu akan hal ini ada Hafidz, tapi jika sudah seperti ini mereka terpaksa harus menjelaskan semuanya tanpa terkecuali.

Bu Nurul mendekati Hafidz, lalu memeluk erat tubuh remaja yang sudah dia asuh sejak bayi, air matanya mengalir begitu saja. Tak rela jika anaknya ini harus kembali ke orang tua kandungnya.

"Hafidz anak Ibu, meskipun enggak lahir dari rahim ibu, tapi Hafidz tetap anak Ibu sama Bapak," lirihnya.

Hafidz membalas pelukan sang ibu, dia juga ikut menangis, sekaligus terkejut akan kenyataan ini.

"Hafidz akan tetap jadi anak Ibu sama Bapak, Ibu tenang aja ya, meskipun aku sudah bertemu orang tua kandungku, aku akan tetap sama Ibu dan Bapak," ucap Hafidz.

Pak Ahmad pun ikut memeluk putranya. Ketiga orang itu menangis bersama. Entah tangis bahagia atau sedih.

"Sudah Buk, jangan nangis lagi. Hafidz akan tetap di sini sama Bapak dan Ibu." Hafidz melepas pelukannya lalu menghapus air mata sang Ibu.

Bu Nurul mengangguk.

"Sekarang aku mau makan siang dan mandi dulu Buk, sebentar lagi harus ngajar anak-anak, nanti kalau terlambat dimarahi Bu Lurah lagi." Hafidz sebenarnya penasaran dengan cerita yang sesungguhnya, dia juga belum bisa menerima kenyataan ini, tapi saat ini yang lebih penting adalah anak didiknya yang sudah menunggu di rumah Bu Lurah. Dia akan menanyakan semuanya nanti malam setelah semua kegiatan usai.

Meski banyak sekali hal yang dia pikirkan, Hafidz tetap mengajar dengan baik tak ada keteledoran yang dia lakukan sedikit pun. Seperti itulah Hafidz, akan selalu bersikap profesional meski banyak sekali masalah yang dia pikirkan. Menurutnya masalah pribadi tak boleh diikut campurkan dengan masalah lain.

"Fidz, ini sebagian iuran anak-anak bulan ini, yang lain besok katanya." Bu Lurah menyerahkan amplop berisi uang dari orang tua muridnya.

"Makasih Buk, sisanya buat kebersihan aja Buk, seperti biasa," Hafidz selalu seperti itu, ia membagi uangnya untuk Bu Lurah yang rumahnya sudah rela dijadikan tempat belajar, tapi Bu Lurah selalu menolak, karena menurutnya aula itu justru bermanfaat, tidak seperti dulu yang tak terurus.

"Oh ya jangan! Itu hak kamu, ibu enggak butuh protes atau penolakan seperti biasa, besok akan ibu kasih sisanya. Berkat kamu Hari anak ibu jadi rajin belajar, enggak seperti dulu males-malesan," selalu seperti itu penolakan yang Bu Lurah lontarkan.

"Makasih banyak ya Buk, saya selalu merepotkan. Kalau gitu saya permisi Buk,"

Setelah dipersilakan Hafidz pun kembali ke rumahnya yang jaraknya tak terlalu jauh, hanya sekitar seratus meter saja.

Malam hari setelah belajar, Hafidz yang biasanya langsung tidur, kini justru menghampiri kedua orang tuanya di dalam kamar Mengetuk pintu kamar orang tuanya, setelah dipersilakan dia pun masuk ke dalam kamar itu dan sepertinya Bapak dan Ibunya sudah menunggu.

Hafidz duduk di sisi kasur berdekatan dengan Ibu dan Bapaknya.

"Sebentar Ibu akan ambil sesuatu." Bu Nurul turun dari tempat tidur menuju lemari yang sudah terlihat usang dimakan usia. Mungkin umurnya lebih tua dari umur Hafidz. Mengambil sebuah kotak kecil berwarna kuning, sepertinya kotak bekas roti.

"Ini kalung berlian yang Ibu katakan tadi, sama bedong bayi saat pertama kamu ditemukan. Hanya ini saja petunjuknya, tidak ada yang lain lagi." Bu Nurul menyerahkan dua benda itu pada Hafidz.

Dengan tangan bergetar, Hafidz menerima dua benda tersebut dan memandangnya dengan hati tak menentu. Padahal dia belum tahu seperti apa cerita sesungguhnya.

"SH? Apakah ini nama keluarga atau simbol apa ya?" Hafidz meneliti liontin bertulisan dua huruf SH itu dengan teliti, dan dibelakang liontin dia menemukan kode dengan tulisan angka. Seperti tanggal lahir seseorang, mungkin benar itu tanggal lahir pemilik kalung berlian tersebut. Jika di lihat dari tanggal dan tahun itu, si pemilik kalung saat ini sudah berusia lebih dari empat puluh tahun, yang artinya lebih muda dari Ibu angkatnya, Bu Nurul.

"Kami juga tidak tahu Nak," jawab Ibu dan Bapak serempak.

Bersambung...

🍁🍁🍁

BAB 2

Hafidz tak henti memandang kalung berlian itu beserta bedong berwarna biru muda. Meski sudah belasan tahun bedong itu nampak masih bagus, mungkin karena hanya dipake sekali setelah itu disimpan rapi di lemari oleh Ibu.

Bapak menceritakan kejadian tujuh belas tahun lalu saat pertama kali Hafidz ditemukan. Sedangkan Ibu hanya bisa menangis sambil menggenggam tangan Hafidz. Sungguh tak ingin Hafidz meninggalkannya, dia sudah pernah kehilangan anak dan tak mau itu terjadi untuk kedua kalinya.

Hafidz mendengarkan cerita Bapak dengan air mata yang menetes. Tak menyangka ternyata dirinya adalah anak yang terbuang, entah siapa yang sengaja membuangnya? Apakah mungkin ibu kandungnya sendiri, atau orang lain? Dia berharap bukan ibunya yang membuangnya secara sengaja.

"Apa mungkin aku terlahir dari hubungan terlarang, hingga mereka membuang ku? Aku memang tak diinginkan oleh mereka," lirih Hafidz, tak terbayang jika memang dirinya terlahir dari hubungan gelap yang terlarang.

Mendengar ucapan Hafidz, Bu Nurul langsung memeluk putranya. Tak pernah sekalipun terbayang dalam benaknya, jika Hafidz terlahir dari hubungan terlarang, tak pernah. Tapi Hafidz justru berfikir seperti itu. Tak masalah menurutnya, Hafidz terlahir dari hubungan terlarang atau tidak, yang dia tahu bayi yang baru lahir itu suci tak memiliki dosa sedikitpun.

"Meskipun ucapan kamu benar adanya, buat ibu itu tidak masalah, kamu anak yang baik dan berbakti sama orang tua. Orang tua kandungmu pasti sangat menyesal membuang kamu dulu kalau tahu anaknya sekarang jadi anak yang sholih, berbakti dan anak yang pandai," ucap Ibu masih dengan tangisnya.

Hafidz membalas pelukan sang ibu, "Aku enggak mau tahu mereka Bu, orang tua ku adalah bapak dan ibu, mereka mungkin tak pantas di katakan orang tua karena tega membuang ku," perih sekali hatinya saat mengatakan hal itu. Memang seperti itulah yang dirasakan Hafidz, dia sudah bahagia dengan orang tua angkatnya, tak terbesit dibenaknya untuk mencari orang tua kandungnya.

Bu Nurul melepaskan pelukannya, sambil menggelengkan kepala, "Kamu enggak boleh ngomong gitu nak, meskipun mereka sengaja membuang mu, setidaknya ibu kamu sudah berjuang mengandung selama sembilan bulan dan melahirkan kamu yang pasti bertaruh dengan nyawa. Meskipun Ibu menginginkan kamu tetap di sini jadi anak ibu, tapi ibu harap kamu cari tahu kejadian sesungguhnya, apakah benar ibumu sendiri yang membuang mu atau orang lain? Kamu harus tahu itu,"

"Jika yang terjadi kamu di buang oleh orang lain, betapa sakitnya ibumu Nak, dia pasti menderita selama ini kehilangan anak kandungnya. Kamu harus cari orang tua mu, ibu sama bapak akan merestui, tapi nanti setelah kamu lulus SMA," ucap ibu panjang lebar. Dia merasakan bagaimana hancurnya seorang ibu saat kehilangan putranya, apalagi kalau putranya hilang diculik orang. Bu Nurul juga pernah merasa kehilangan sang putra dan sakitnya masih sama saat mengingat bagaimana putranya meninggalkannya.

"Benar kata ibumu Fidz, Bapak sama Ibu akan mendukung kamu dan merestui kamu untuk mencari keluarga kandungmu, mungkin mereka tinggal di kota besar, dan orang berada. Tapi anehnya memang tak pernah ada yang merasa kehilangan bayi selama ini," ucap Pak Ahmad.

"Makasih Pak, Buk, nanti aku akan coba cari mereka," ucap Hafidz tak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, sebenarnya dia enggan bertemu dengan keluarga kandungnya, karena mereka sudah tega membuangnya.

"Sekarang kamu yang menyimpan ini baik-baik, Ibu serahkan semuanya padamu." Bu Nurul memberikan dua benda itu yang sudah dimasukkan kedalam kotak pada Hafidz, dan Hafidz pun menerimanya

Setelah itu Hafidz berpamitan untuk kembali ke kamar, karena malam sudah larut. Besok pagi dia harus ke sekolah.

*****

Sejak mengetahui kenyataan jika dirinya bukan anak kandung Bu Nurul dan Pak Ahmad, Hafidz lebih giat mencari pundi rupiah untuk di tabung. Bahkan uang jajan dari sang Ibu, jarang sekali dia gunakan. Uang itu sengaja dia kumpulkan untuk kuliah nanti, meski mungkin tak mencukupinya, tapi setidaknya dia punya modal untuk daftar kuliah lebih dulu, setelahnya bisa dipikirkan nanti.

Hari ini adalah hari terakhir ujian kelulusan. Hafidz sudah mencari tahu kampus yang menawarkan banyak beasiswa di ibu kota. Sesuai permintaan kedua orang tuanya, dia akan mencari keluarga kandungnya di sana, meskipun soal kuliah dia belum berbicara sedikitpun dengan Ibu dan Bapaknya.

"Kamu serius mau kuliah di Jakarta Fidz?" tanya Ali, saat ini mereka masih berada di sekolah, setelah ke luar dari ruang masing-masing.

"Insyaallah Al, seperti yang aku ceritakan kemarin, aku mau cari kelurga kandungku Al, sesuai permintaan Bapak dan Ibu," jawab Hafidz.

"Kalo gitu aku dukung deh, tapi apa Bik Nurul setuju kamu kuliah di sana Fidz?" Ali merasa jika Ibu Hafidz tak menyetujui anaknya jauh darinya.

"Belom tahu Al, moga aja Ibu setuju aku kuliah di sana," Hafidz juga tak begitu yakin jika sang ibu menyetujui keinginannya.

"Aku doakan semoga Bik Nurul setuju deh. Sayang juga kalo kamu enggak kuliah, kamu kan cerdas enggak kaya aku yang otaknya pas-pasan,"

"Jangan berlebihan Al, kamu juga cerdas, buktinya kamu lebih pandai dalam hal agama. Mungkin karena aku kurang berusaha kali ya, kamu juga kalo usahanya maksimal pasti bisa, semuanya kan tergantung usaha kita, gitu kan?"

"Udah lah, kita pulang aja sekarang. Yang terpenting aku selalu dukung kamu, tapi ingat kalau orang tua kandung kamu orang kaya raya, jangan lupa sama upil ini,"

Hafidz terkekeh mendengar Ali menyebut dirinya upil, padahal dia selalu marah saat teman-temannya memanggil dengan sebutan itu. Kenapa bisa Ali di panggil 'upil' karena pemuda itu selain hitam dia juga pendek, bahkan pendeknya hanya sebahu Hafidz. Bisa dibayangkan, seperti apa kedua sahabat itu. Yang satu tinggi putih, yang satu pendek hitam.

"Malah ketawa," protes Ali.

"Lucu aja Al. Ngomong-ngomong kamu beneran mau ke pesantren Al?" tanya Hafidz.

Ali mengangguk, "Iya Fidz, semua kakak ku masuk pesantren semua, tidak mungkin aku diijinkan untuk kuliah, tapi memang aku males kuliah juga sih Fidz, males mikir pelajaran," ucapnya.

"Emang di pesantren kamu mau ngapain? Tidur?" tanya Hafidz yang tak habis pikir dengan ucapan Ali.

"Eh buset! Ya ngaji lah, hafalan Al-Qur'an,"

"Nah itu juga belajar, kan Al?"

"Hehehe, iya ya," Ali menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Tak terasa keduanya sampai di bengkel tempat Ali menyervis motornya yang tadi pagi sempat ngambek sebelum berangkat ke sekolah. Untung saja mereka berangkat lebih pagi.

"Eh ini Hafidz, anaknya Pak Ahmad? Makin ganteng aja Fidz, makin keliatan kalo bukan anaknya si Ahmad," celetuk seorang ibu, yang tak lain istri pemilik bengkel tersebut.

"Buk!" pemilik bengkel itu menatap sang istri tajam.

"Enggak usah dengerin omongan bini gue Fidz, dia emang ceplas-ceplos kalo ngomong enggak dipikirin dulu," pemilik bengkel itu tak enak hati dengan Hafidz.

Hafidz tersenyum, "Enggak apa-apa Bang, aku juga udah tahu," ucapnya.

Pemilik bengkel itu justru terkejut mendengar penyataan Hafidz, selama ini mereka mengetahui asal usul Hafidz, tapi tak ada yang berani mengatakan langsung pada Hafidz.

"Bagus kalo udah tahu, berarti kamu juga tahu kalau kamu anak haram?" si ibu lagi-lagi mengatakan hal yang sangat tak pantas, dan pemilik bengkel itu kembali menatap sang istri, dan menyuruhnya untuk pulang saja dari pada di bengkel mengganggu.

Sebenarnya Hafidz merasa sakit dan sangat tersinggung, tapi dia tak ingin berdebat dengan orang tua. Dia juga tak punya bukti untuk menyanggah ucapan menyakitkan itu, yang dia lakukan hanya diam.

Sedangkan Ali, hanya bisa memberi semangat pada sahabatnya itu. Dia saja merasa sakit hati mendengar ucapan istri pemilik bengkel, apalagi Hafidz, pasti lebih menyakitkan.

Bersambung....

🍁🍁🍁🍁

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!