NovelToon NovelToon

Purnama Merindu

Nayla Purnama

Di kamar dengan cahaya yang temaram, seorang gadis menatap sebuah alat uji kehamilan yang tampak menampilkan garis dua merah di sana.

Waktu menunjukkan pukul 3 dini hari, gadis itu terdiam, terpaku pada sebuah benda di tangannya didalam keheningan, penyesalan demi penyesalan mulai berdatangan.

Banyak yang terlintas dibenaknya saat ini, keadaan keluarga yang tidak lagi mendukung, ibunya yang tengah sakit, baru beberapa bulan lalu keluarganya kembali ke titik nol kehidupan. Kasus korupsi yang menarik ayahnya untuk menginap di hotel prodeo dalam waktu yang cukup lama setelah keputusan sidang.

Kini kehidupan gadis ini berserta ibunya harus ditopang oleh kakak lelakinya yang masih hidup cukup lapang.

Nayla Purnama, gadis berusia 19 tahun pada bulan lalu. Kuliah perekonomian semester tiga, anak kedua dari tuan Bagas dan ibu Hana. Gadis ini memiliki tahi lalat di atas bibirnya, juga punya gigi gingsul yang jika ia tersenyum sungguhlah sangat manis wajahnya.

Hamil, Nayla seperti itu ia disapa. Suara tangisnya ia redam dengan membekap mulutnya dengan bantal, bahunya bergetar menandakan ia sedang menangis dengan sedihnya.

****

Nayla sedang duduk di sebuah kafe menunggu seseorang.

"Nay....." Sapa seseorang pada gadis itu yang sedang bermenung hingga tidak menyadari bahwa lelaki yang ia tunggu sudah datang.

Oleh sapaan itu Nayla menoleh, ia tersenyum lalu meraih tangan pria itu agar duduk di sampingnya.

"Sayang," lirih Nayla dengan senyum getirnya.

"Kita harus bicara, aku ada sesuatu yang ingin disampaikan, kau mau minum apa?" Tanya Nayla mencoba bersikap seperti biasa.

"Aku tidak bisa lama, aku juga ada sesuatu yang ingin dikatakan padamu," jawab pria yang bernama Devano atau akrab dipanggil Vano.

Devano adalah kekasih Nayla yang sudah bekerja di perusahaan orang tuanya.

Berpacaran cukup lama yakni hampir dua tahun sejak Nayla memasuki perguruan tinggi tempatnya berkuliah, dikenalkan oleh seorang teman hingga mereka menjalin hubungan sepasang kekasih yang cukup bebas dan terlanjur jauh.

"Kau ingin mengatakan apa?" Tanya Nayla menangkap raut tidak biasa dari wajah Vano.

"Sebaiknya kau saja lebih dulu."

Nayla mengangguk. Ia meraih tangan Vano lalu menaruhnya diperut, menatap pria itu dengan airmata yang menggenang.

"Aku hamil, bisakah kau melamar ku lebih cepat dari rencana kita?"

Vano terdiam, ia pun menatap Nayla dengan heran.

"Apa?"

"Iya Vano, aku hamil."

Vano masih terdiam, ia tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya.

"Kau akan jadi ayah," lirih Nayla lagi.

"Nay, tapi....."

Vano menarik tangannya lagi dari perut Nayla, hingga gadis itu merasa kecewa.

"Vano?"

"Nay..... Aku, aku aku tidak siap."

"Vano? Tidak siap apa maksudmu? Aku hamil, kau harus menikahi ku secepatnya sebelum keluarga ku tahu tentang ini, Vano aku mohon jangan bercanda disaat aku lagi kebingungan seperti ini?"

"Nay maafkan aku..... Aku tidak bisa, aku belum siap untuk punya anak sekarang, aku kemari sebenarnya ingin mengatakan bahwa aku ditunangkan dengan wanita lain."

"Vano, apa maksudmu?" Nayla mulai jengah, ia terpancing emosi yang memang tidak terkontrol sejak tahu hamil, ia sedang labil saat ini.

Mendengar Vano berkata demikian, tumpahlah airmata Nayla yang ia tahan sejak tadi.

Dadanya bergemuruh, tekanan darahnya terasa meninggi saat ini.

"Ditunangkan? Vano jangan bercanda? Aku hamil Vano, kau harus menikahiku!"

"Maafkan aku Nay, aku tidak bisa...... Kau tahu sendiri orang tuaku tidak merestui kita, sekarang mereka ingin aku menikah dengan anak sahabat mereka untuk menyelamatkan perusahaan ayahku."

"Vano?" Lirih Nayla dengan perasaan benar-benar kecewa.

"Nay..... Tapi kita masih tetap bisa berhubungan meski aku menikah sekalipun, aku mencintaimu..... Aku menikah hanya demi menyelamatkan perusahaan ayahku, tapi untuk saat ini aku benar-benar tidak bisa menikahimu...."

"Kita bisa berhubungan diam-diam, soal kehamilan ini kita bisa bicarakan nanti. Aku tidak akan meninggalkan mu tapi juga tidak bisa menolak permintaan ayahku. Aku juga bingung sekarang, kehamilanmu membuatku bertambah bingung."

"Kau jahat Vano..... Kau ingin katakan bahwa aku harus jadi simpanan saja? Tanpa menikah? Lalu kehamilan ku ini? Huh...... Aku kecewa padamu, inikah arti hubungan kita selama ini?"

"Nay, tidak seperti itu."

"Lalu?"

"Maafkan aku," lirih Vano seraya menggenggam tangan kekasihnya itu.

Nayla geleng kepala tidak habis pikir.

"Menikah atau kita putus?"

Vano terdiam.

"Jawab aku!" desak Nayla.

"Vano?"

"Maafkan aku Nay...."

"Aku hamil Vano, kita harus bertanggung jawab atas anak ini."

"Aku tahu tapi tidak sekarang," balas Vano terus mencoba mengelak.

"Lalu kapan? Menunggu aku melahirkan? Menunggu perut ku membesar?"

"Sayang, maafkan aku."

"Berhenti memanggilku sayang, kau tidak sayang padaku Vano. Kau jahat, aku hamil tapi kau malah ingin menikah dengan wanita lain, kau gila!" cerca Nayla dengan emosi yang meledak-ledak.

"Nayla."

"Menikah atau kita putus?"

"Maafkan aku Nay, ini terpaksa... Ayahku akan bangkrut."

Nayla berdecih, ia tidak menyangka Vano bisa seperti ini.

"Lalu bagaimana denganku?" ucap Nayla dengan nada terendahnya, ia sungguh ingin gila saat ini.

"Aku juga bingung," jawab Vano yang mengusap wajahnya dengan kasar.

"Vano."

"Maafkan aku Nay."

"Menikah atau kita putus?" tanya Nayla sekali lagi.

Vano masih terdiam, ia tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut.

"Oke, kita putus!" ucap Nayla sudah kehilangan kepercayaan pada pria itu.

Dan paling menyakitkan adalah pria itu diam meski Nayla mengatakan kata putus yang jauh dari hubungan mereka selama ini. Hubungan yang selalu baik-baik saja bahkan jarang bertengkar sejak mereka bersama.

Nayla menatap Vano dengan dalam, ia tahu pria itu mulai berubah.

"Vano?"

"Maafkan aku Nay," kata maaf yang ke sekian kalinya.

"Aku mengerti, lupakan tentang kehamilan ini. Seperti kau yang tidak peduli, akupun memilih hal yang sama. Kita adalah orangtua yang buruk Vano, tidak bertanggung jawab, kau malu? Aku lebih malu, aku menyesal atas apa yang kita lakukan selama ini. Habis manis sepah dibuang."

Vano masih bungkam.

"Aku sudah tidak ada harganya sekarang, bahkan mengemis untuk dinikahi pun tidak ada gunanya. Kau lebih memilih wanita pilihan orang tua mu tanpa berpikir solusi tentang kehamilan ku."

"Apa arti diriku selama ini?"

Vano masih diam.

"Pemuas nafsu sajakah?"

"Bahkan sudah dua tahun kau tidak juga bisa meyakinkan orangtua mu tentang kita. Seharusnya aku sudah tahu hal ini akan terjadi, aku kecewa padamu."

"Maafkan ak...." Ucapan Vano segera Nayla potong.

"Maaf yang tidak berarti apa-apa, lalu bagaimana dengan kehamilan ku?"

"Nayla."

"Baiklah..... Kita putus," Ucap Nayla lagi seraya berdiri ingin segera pergi.

"Nay," panggil Vano meraih tangan Nayla.

Nayla terhenti, ia menoleh.

"Aku sampah Vano, aku tahu itu. Hubungan kita berakhir sampai disini, turutilah kemauan orang tua mu. Aku mau pulang."

Setelah mengatakan hal itu Nayla pergi meninggalkan Vano melepaskan tangan pria itu yang hanya bisa menatap punggungnya yang kian menjauh.

Ujian naik kelas

Nayla berjalan gontai saat hendak keluar gedung kampus menuju jalan raya tempat ia biasa menunggu angkutan umum untuk pulang.

Gadis yang pernah merasakan indahnya menjadi anak orang kaya itu harus rela melepas semua kehidupan sempurnanya tepat enam bulan lalu. Saat ayahnya ditangkap operasi tangkap tangan oleh KPK tentang kasus suap salah satu proyek pemerintah yang bernilai besar.

Seluruh harta mereka disita termasuk mobil yang biasa Nayla gunakan untuk ke kampus. Kembali ke titik nol tidak membuat Nayla menjadi ikut hancur, ia berkuliah seperti biasa karena ia masih mempunyai kakak lelaki yang telah berkeluarga yang mengambil alih biaya kuliah beserta hidup Nayla dan ibunya.

Di kampus ia tidak peduli pada mereka yang suka membulinya karena menjadi putri seorang koruptor. Nayla juga tidak peduli pada mereka yang bergelar teman yang meninggalkannya saat ia terjatuh, sejatinya memang hanya sedikit saja teman yang benar-benar tulus.

Sudah satu minggu dari pertemuan dengan Vano, namun pria itu benar-benar tidak menemuinya lagi. Nayla kecewa, ada pula rasa frustasi menghadapi kehamilannya seorang diri, ia tidak berani memberitahu ibunya yang tengah sakit.

Lalu bagaimana dengan kuliahnya karena tidak akan terus perutnya bisa ia sembunyikan. Merasa pusing hingga ada niat menggugurkan namun Nayla tidak memiliki nyali sejauh itu.

"Nay..." panggil seorang perempuan padanya yang hendak menyeberang menuju halte.

Suara itu dari Lia, teman yang masih tersisa yang tidak meninggalkan Nayla di kampus.

"Lia?"

"Ayo biar ku antar kau pulang," tawar gadis bernama Lia.

"Bukankah kau ikut seminarnya bu Aqilla?"

"Tidak jadi, ayo!" ajak Lia menarik tangan Nayla menuju mobilnya.

"Nanti kau bisa dimarahi."

"Hei sayang, dia kakakku.... Marahpun tidak masalah aku sudah biasa membangkang, ibuku pasti membela ku jika kak Aqilla marah aku tidak ikut seminarnya," jawab Lia enteng seraya tertawa.

Lia adalah adik salah satu dosen perempuan yang mengajar salah satu mata kuliah mereka, saat ini ada seminar yang mana Aqilla yang menjadi pembicaranya. Tidak semua mahasiswa wajib ikut, termasuk Nayla ia lebih memilih pulang karena sungguh pikirannya kacau saat ini.

Nayla tersenyum, Lia tidak pernah membiarkannya pulang sendirian saat tahu ia hamil. Lia adalah satu-satunya teman yang ia percaya untuk bisa menjadi tempat berbagi termasuk kehamilannya saat ini.

Mereka sudah berada dalam mobil dalam perjalanan menuju pulang.

"Vano gila, dia tidak menemui mu lagi setelah hari itu?"

Nayla menggeleng.

"Dasar lelaki brengsek, tidak bertanggung jawab.... Oh ya Allah, jika membunuh itu tidak berdosa, aku siap menjadi pembunuh pria gila itu."

Umpat Lia dengan kesal, ia memukul stir mobilnya dengan marah.

Nayla menjatuhkan lagi airmata, sudah satu minggu ia putus dengan Vano tanpa ada pembicaraan susulan mengenai kehamilan Nayla, ia benar-benar kecewa Vano sudah tidak peduli lagi padanya. Ia mengira lelaki itu akan menemuinya lagi namun hingga hari ini tidak ada juga batang hidungnya.

"Bukan dia yang brengsek, tapi aku yang terlalu bodoh. Aku tidak menyalahkan siapapun dari hubungan ini, akulah yang paling bersalah, aku wanita bodoh, wanita tidak punya harga diri hingga bisa berbuat mesum sejauh itu. Ini akibat perbuatan ku sendiri Lia, aku lupa bahwa Vano itu lelaki, dan semua lelaki itu sama saja....."

"Nay," lirih Lia seraya meraih tangan temannya untuk menguatkan.

"Aku benar-benar bingung Lia, ibuku sakit aku tidak bisa mengaku tentang semua ini, aku takut..... Kak Juna juga, aku takut dia tahu, aku tidak tahu harus apa, ingin gugurkan tapi aku tidak berani berbuat sejauh itu."

Lia berhasil mengerem mendadak saat mendengar ucapan Nayla.

"Nay, istighfar Nay..... Bicara apa kau ini, jangan berbuat gila ya Nay, aku mengerti perasaanmu. Tapi tidak main aborsi-aborsian juga, kau sudah mengaku salah atas kejadian ini, jangan menambah dosa baru yang membuat mu jadi pembunuh, anak ini tidak tahu apa-apa Nay, semua janin berhak untuk hidup terlepas siapapun dan apapun masalah orangtuanya."

Nayla menjadi menangis bahkan tergugu.

"Lalu aku harus apa? Hamil tanpa menikah? Bagaimana dengan kuliahku? Perutku akan membesar, ibuku sedang sakit, aku juga tidak bisa membebani kak Juna, aku benar-benar anak yang tidak berguna, bisanya hanya membuat keluarga ku malu, belum hilang dari ingatan orang tentang ayahku, sekarang aku berbuat tidak lebih baik dari itu."

"Aku perempuan hina Lia, aku bahkan malu menatap wajahku di cermin."

Lia mengusap punggung Nayla dengan sayang.

"Aku juga kasihan padamu Nay, tapi menggugurkan kandungan ini juga tidak membuat masalah menjadi selesai, ada undang-undang yang melarang aborsi. Sudah cukup kau berbuat dosa sejauh ini, tapi jangan tambah lagi daftar dosa-dosa berikutnya."

"Aku yakin, ini ujian hidupmu Nayla.... Jika kau ingin naik kelas, tentu kau harus mengikuti ujian bukan? Bukan lari, aku yakin kau akan menemui solusi dari masalah ini nantinya, hadapi ujian ini dengan pikiran yang lapang Nay, semua ada jalan keluarnya. Ayolah sayang jangan buat janin mu ikut stress."

Nayla menatap Lia.

"Ingin makan? Kita bisa makan sepuasnya, kita bungkus juga untuk ibumu, sebut saja kau sedang mau makan apa? Mengidam apa kau sayang? Sebut saja, ada bibi Lia yang akan menuruti kemauan mu," canda Lia seraya mengusap perut Nayla.

Nayla menjadi tersenyum mendengarnya, Lia adalah teman yang baik padanya selama ini.

"Kau tahu Nay," ucap Lia seraya menjalankan lagi mobilnya.

Nayla menoleh.

"Jika bisa ditukar posisimu dengan kak Aqilla, akan lebih baik lagi."

"Apa maksudmu Lia?"

"Kau tahu sendiri, kak Aqilla dan mas Aziz sudah satu tahun menikah namun hingga sekarang belum juga kakakku menunjukkan kehamilan, itu artinya tidak semua wanita beruntung bisa hamil dengan cepat."

Nayla terdiam.

"Meski baru satu tahun, tapi sungguh dua keluarga ingin segera kak Aqilla bisa hamil, mungkin Allah belum memberi mereka amanah, kau harus percaya Nayla bahwa anak ini amanah yang harus kau jaga, tidak semua perempuan beruntung bisa hamil seperti mu, cukup saja dosa membuatnya, jangan anak ini juga kau buat ladang dosa berikutnya, apalagi ingin menggugurkan, dia tidak bersalah apa-apa padamu."

Nayla kembali terdiam, ia membenarkan perkataan demi perkataan Lia.

Mereka mampir ke sebuah restoran di pinggir jalan, makan berdua dan tidak lupa membungkus juga untuk ibu Nayla yang masih belum menunjukkan kesehatan.

Hingga saat turun mobil ingin masuk ke rumahnya, Nayla dan Lia sama-sama menatap pada mobil yang menyusul di belakang mereka.

Mobil mewah yang tidak pernah Nayla lihat kemari sebelumnya. Lia menatap Nayla seakan bertanya, Nayla pun menggeleng karena ia juga tidak tahu itu siapa. Tidak lama perempuan keluar dari sana.

Perempuan cantik berdandan mahal seorang diri menghampiri mereka.

Annisa, tunangannya Vano

"Maaf, mau cari siapa?" tanya Nayla sopan, mereka berdiri di teras rumah.

"Apa kau yang bernama Nayla?"

Nayla mengangguk, lalu Lia menjadi penasaran sekaligus kesal melihat wanita itu bertanya dengan nada tidak bersahabat.

"Iya, ini Nayla temanku... Siapa kau? Kenapa mau cari Nayla kemari?" tanya Lia tidak sabar.

Belum wanita itu menjawab lebih dulu pintu terbuka menampilkan perempuan paruh baya yang tampak pucat dan lesu.

"Nayla, kau sudah pulang."

"Iya bibi, aku mengantar Nayla pulang. Hari ini pulang cepat," sahut Lia seraya mencium punggung tangan ibu Hana.

Ibu Hana tersenyum, "Baiklah nak ayo masuk, kau bawa apa?" tanya ibu Hana pada Lia yang menyodorkan kantung berisi makanan yang mereka beli tadi.

"Ini paket makan siang untuk bibi Hana tersayang, biar cepat sehat," balas Lia lagi.

"Kau ini, selalu saja bawa oleh-oleh jika kemari."

Lia tertawa, lalu tatapan ibu Hana tertuju pada wanita yang di samping Nayla yang masih diam sejak ia keluar tadi.

"Maaf nak, siapa ini? Teman barumu Nay?" tanya ibu Hana pada putrinya.

Nayla bingung ingin jawab apa.

"Maaf bibi aku kemari hanya untuk bertemu Nayla, ada urusan."

"Baiklah, ayo masuk tidak baik bicara diluar, ayo Nay ajak temanmu masuk!" perintah ibu Hana yang segera diangguki Nayla.

Mereka masuk dan duduk di kursi tamu rumah sederhana yang Nayla dan ibunya tinggali saat ini.

"Maaf nona, kau ini siapa dan ada urusan apa dengan Nayla?" tanya Lia penasaran.

Lama Lia mengamati raut wajah perempuan itu.

"Oh aku ingat sekarang, bukankah kita pernah bertemu di pernikahannya kakakku? Kak Aqilla dan mas Aziz, apa benar?" tanya Lia lagi.

Perempuan itu bahkan tidak menanggapi Lia, ia hanya menatap Nayla saja sejak tadi.

"Hei, tidak sopan ketika lawan bicaramu sedang bertanya kau malah melihat ke arah lain," protes Lia kesal.

Ibu Hana datang dengan nampan berisi beberapa gelas teh hangat.

"Aku tidak ada urusan denganmu, aku kemari untuk Nayla."

"Maaf nona, baiklah jika aku yang kau cari bisakah kau memberi tahu apa maksudmu?" sahut Nayla mencoba menghalangi Lia yang ingin menjawab perempuan itu lagi.

"Aku Annisa, tunangannya Vano."

Lia ternganga mendengarnya, pun Nayla ia cukup terkejut mendengar pengakuan wanita itu.

"Maaf nona aku sudah tidak ada hubungan dengan Vano, lantas apa masalah mu denganku?" tanya Nayla lagi.

"Apa benar kau sedang hamil?"

Nayla terkejut, ia tidak mengira wanita itu tahu tentang kehamilannya selain Lia.

Ibu Hana mengerutkan dahi saat tidak sengaja mendengar kata hamil.

"Maaf nona siapa yang hamil?" tanya ibu Hana mendekati mereka setelah menaruh nampan di atas meja.

Nayla gugup luar biasa, pun Lia.

"Tanya pada putrimu, aku kemari hanya ingin memastikan bahwa Nayla jangan konyol merusak rencana pernikahanku dengan Vano dengan alasan hamil, kami akan menikah."

"Aku harap kau tidak menggunakan kehamilan sebagai perusak hubungan kami setelah menikah nanti, urusan tanggung jawab anak itu kau tenang saja setelah menikah nanti aku rela mengurus anak itu, jadi serahkan saja jika dia sudah lahir nanti asal jangan kau yang mengambil Vano dariku."

Semua tercengang mendengar wanita itu bicara dengan lancarnya.

"Kurang ajar kau!" ucap Lia mendorong tubuh wanita itu.

"Nayla?" lirih ibu Hana menatap Nayla.

Ibu Hana sudah berair matanya.

"Ibu, aku aku aku....."

"Nayla jawab ibu, apa benar kau hamil?"

"Bu, aku bisa menjelaskan tentang ini. Ayo ibu duduk dulu, kita bisa bicara baik-baik."

"Aku ingatkan, Vano sudah berhutang budi pada keluarga ku, jangan coba-coba kau menghancurkan pernikahan kami dengan membawa perut besar nanti, aku sudah baik hati ingin mengurus anak itu jika kau tidak mau, " ucap perempuan itu lagi.

Ibu Hana memegang dadanya yang terasa berat untuk bernafas, Nayla meraih tangan ibunya, ia meminta maaf seraya menangis sesenggukan.

"Bibi tenanglah, kita bisa bicara baik-baik." Lia ikut menopang tubuh ibu Hana yang mulai lemas.

"Aku permisi, aku tidak harus ikut campur drama keluarga ini."

Lia menatap dengan geram.

"Hei, kau.... Dasar tidak tahu sopan santun, jangan lari kau," teriak Lia.

"Ibu, aku aku ....." Nayla memeluk ibunya seakan tidak tahu lagi harus berkata apa, namun bukan menjawab melainkan ibu Hana jatuh seketika.

"Ibu, ibu...." teriak Nayla membangunkan ibunya.

Nayla menatap punggung Annisa yang menjauh, ia berlari mengejar wanita itu keluar rumah.

"Tunggu nona, kau harus bertanggung jawab. Ibuku pingsan, kenapa kau tega sekali datang kemari."

"Aku tidak ada urusan untuk itu, aku kemari bukan untuk ibumu tapi kau. Kau Nayla, aku akan pergi sekarang, ibumu pingsan karena kelakuan anaknya sendiri, wajahmu cantik tapi sungguh naif, perempuan rendahan yang mau saja diperdaya lelaki, hamil begini jangan menyalahkan orang lain, kau sendiri pendosanya, kau sendiri yang membuat keluarga mu kecewa, membuat ibumu pingsan itu adalah kehamilan mu bukan karena aku datang kemari."

"Minggirlah aku ingin lewat, aku akan datang lagi setelah kau melahirkan nanti."

Nayla mulai jengah, ia sudah kehilangan akal saat melirik Lia masih menopang tubuh ibunya yang terbaring di lantai.

Nayla mendorong kasar tubuh perempuan itu, ia marah sejadi-jadinya.

Mereka terlibat cekcok mulut.

"Aku kemari datang baik-baik bukan untuk berkelahi, jika kau marah seharusnya kau sadar diri, kau itu perempuan rendahan. Berkaca pada kehamilan mu, jika kau perempuan baik-baik tidak mungkin hamil sebelum menikah."

Annisa mendorong Nayla dari sisinya cukup kuat hingga Nayla terhuyung ke belakang. Perempuan itu membuka pintu mobil tanpa menghiraukan Nayla yang terus mencegahnya.

"Kau harus bertanggung jawab atas ibuku, kau tidak bisa lari begitu saja nona," teriak Nayla marah.

Ia terus mengetuk kaca mobil namun Annisa telah pula menghidupkan mobilnya, Nayla memukul terus pintu mobil agar Annisa keluar namun sia-sia.

Annisa tetap melaju meski harus menyenggol tubuh Nayla hingga terpental cukup kuat. Nayla terjatuh saat mobil berhasil pergi.

Bokongnya cukup kuat terhentak ke bebatuan halaman rumahnya, seketika perut bagian bawahnya terasa sakit, siku tangannya menjadi lecet oleh insiden jatuhnya Nayla.

"Awh......"

Nayla mulai mengaduh memegangi perutnya yang terasa nyeri. Bersamaan dengan teriakan Lia dari dalam.

"Nay, Nayla.... Cepat kemari Nay, ibumu Nay."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!