NovelToon NovelToon

I Am A Perfect

Look!

Seorang gadis cantik berusia dua puluh tahun kini tengah berlari, dengan langkah cepat dia menaiki tiap anak tangga menuju sebuah ruangan dimana Ayahnya berada. Iya, gadis cantik itu adalah Mirelia, gadis yang selama ini dikenal dengan tingkah manjanya, juga sangat suka membuat ulah.

" Ayah? " Mirelia tersenyum bahagia seraya memegang sebuah amplop yang kini ingin sekali ia tunjukkan kepada Ayahnya.

" Mire! Berapa kali Ayah bilang, jangan sembarangan masuk, dan biasakan mengetuk pintu terlebih dulu. " Kesal sang Ayah karena ponsel yang tengah menghubungkan dengan seseorang terjatuh ke lantai saat dia terperanjak kaget tadi.

Mirelia yang tadinya tersenyum bahagia kini tak bisa lagi memasang senyum itu lebih lama. Dia segera menunduk dan meminta maaf sebelum Ayahnya lebih marah lagi.

" Ayah, aku minta maaf. Aku hanya- "

Tok Tok

" Ayah, apa aku mengganggu? " Seorang gadis cantik bernama Derelia, atau kakak dari Mirelia kini bertanya dengan sopan karena takut mengganggu, tapi juga ada hal yang mendesak.

" Lihatlah cara kakakmu masuk, Mire. Jika kau tidak bisa menjadi anak yang pandai, belajarnya untuk menjadi anak yang sopan. Kau bukan anak kecil lagi yang harus dipukul baru mengerti kan? " Ucap Ayah kesal seraya memungut ponselnya yang terjatuh di lantai.

" Maaf, Ayah. " Mirelia meremas amplop putih itu, lalu berjalan keluar tanpa mengatakan apapun lagi. Setelah sampai diluar, dia menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskan pelan. Dia tersenyum karena dia harus menemui satu orang lagi, iya siapa tahu kertas ini akan membuatnya merasa bangga dengan dirinya. Dengan langkah kaki cepat, Mirelia menjalankan kaki, menuruni anak tangga menuju dapur dimana Ibunya berada. Benar saja, Ibunya kini tengah sibuk dengan kue keringnya yang selalu banjir pesanan akhir-akhir ini.

" Ibu! "

" Mire? Ada apa sayang? " Ibu Ana, tersenyum menyambut kedatangan sang putri, tapi tak lama dia kembali berbicara dengan tiga pegawai yang tak lain adalah Ibu tetangga rumahnya.

" Ibu, lihatlah ini! " Mirelia mengangkat tunggi amplop putih ditangannya, wajahnya merona bahagia, berharap dia bisa membagi kebahagiaan itu dengannya.

" Iya? Mire sayang, taruh saja disana ya? Nanti Ibu akan lihat kalau sudah tidak sibuk lagi. "

Sontak kata-kata Ibunya membuat wajah Mirelia berubah menjadi datar. Perlahan dia menurunkan tangannya, lalu terdiam tanpa bisa berkata-kata.

" Mirelia sungguh sangat cantik ya? Dia menggemaskan dengan tingkah manjanya, anda pasti bahagia memiliki anak seperti Mire. " Ujar salah satu pegawai Ibu Ana.

" Iya, dua anakku memang memiliki sifat yang berbeda. Satu sangat gila kerja, dan satu sangat manja. "

Manja? Kata itu lagi, Mirelia berbalik seraya mengenal nafas sesaknya. Dia mulai kembali berjalan hendak keluar dari rumah, lalu berbagi kebahagiaan dengan orang yang bersedia saja.

Kring....

Suara telepon rumah berdering saat Mirelia hampir melewatinya, seperti dirinya yang biasa, dia akan tersenyum dan berbicara dengan ramah saat bertemu orang secara langsung, maupun saat menerima panggilan telepon.

" Selamat siang, disini kediaman Luan Damire. " Sapa Mirelia setelah sambungan telepon terhubung.

Selamat siang, aku sedang bicara dengan siapa?

Suara seorang wanita yang sepertinya seumuran dengan Ibunya, sontak Mirelia tak lagi canggung karena pasti itu adalah salah satu sahabat Ibunya.

" Hai Bibi? Perkenalkan, namaku Mirelia, Bibi panggil saja aku Mire seperti Ayah dan Ibuku memanggil namaku. "

Ya Tuhan, kau adalah Mirelia? Sungguh sangat senang sekali, dulu Bibi pernah bertemu denganmu, tapi itu sekitar delapan belas tahun yang lalu.

" Benarkah? Apa Bibi tinggal di daerah terpencil? Apa Ibu ingin berbicara dengan Ibuku? "

Bibi tinggal diluar negeri karena suami Bibi orang asing. Tapi Bibi sudah kembali, dan akan segera bertemu denganmu, juga Ayah dan Ibumu. Nanti saja bicara dengan Ibumu, Bibi masih ingin berbicara denganmu, boleh kan?

" Boleh, Bibi. Kalau begitu, kapan Bibi akan datang kemari? "

Besok malam, sayang. Bibi benar-benar tidak sabar ingin bertemu denganmu.

" Aku juga pasti akan senang bertemu dengan Bibi. "

Pasti, Bibi juga.

" Bibi, aku ada hal yang akan aku kerjakan, aku panggil Ibuku sebentar ya? "

Iya, sayang.

Mirelia meletakkan telepon rumah, lalu kembali berjalan menuju dapur untuk memberitahukan kepada Ibunya.

" Ibu, ada Bibi yang menelepon. "

Ibu Ana mengeryit bingung.

" Siapa namanya? "

" Aku lupa tanya, tapi dia bilang sudah delapan belas tahun tidak bertemu kita, besok dia akan datang. " Jawaban Mirelia barusan seolah menegaskan seberapa penting orang yang menghubungi hingga Ibunya berlari cepat dengan wajah bahagia. Mirelia menghela nafas sebal, dia menghentakkan kaki beberapa kali, lalu berjalan mendekati Ibunya yang sudah mulai mengobrol.

" Ibu..." Panggil Mirelia di telinga Ibunya dengan pelan.

" Mire, Ibu sedang bicara sayang. " Ucap Ibu Ana memperingati.

" Ck! Ibu...... " Ibu Ana terdiam sesaat, lalu merogoh saku di celemek yang dia gunakan, dan mengeluarkan dua lembar uang seratus ribuan. Mirelia tersenyum, padahal dia hanya kesal saja karena tidak ada yang perduli dengan isi amplop ditangannya. Tapi kalau sudah di sodori uang, ya mau tidak mau dia tersenyum bahagia.

" Sudahlah, makan siang bersama Lusi saja. " Ujar Mirelia seraya berjalan keluar.

" Berhentilah untuk terus manja, Mire. "

" Kakak? "

Derelia menghela nafas karena merasa jika yang dilakukan adiknya sungguh tidak bermanfaat.

" Mire, apa kau tahu sulitnya mencari uang? Tidak kan? Tapi coba kau hitung berapa pengeluaran mu Satu minggu ini, aku memberimu lima ratus ribu, Ayah lima ratus ribu, Ibu empat ratus ribu, belum terhitung dengan yang barusan. Berhentilah membuang uang demi teman yang hanya setia selama kau memberinya yang. Lihatlah kami yang seperti orang gila demi menghidupi keluarga, tidak kenal siang, atau malam, walaupun kau tidak bisa membantu dalam hal itu, tapi cobalah untuk sedikit memahami kami. Kau tidak akan selamanya menjadi manja, jadi belajarlah mengerti mulai sekarang. " Derelia berjalan meninggalkan Mirelia yamg terdiam tanpa bisa berkata-kata.

" Hemp! Memangnya kenapa? Hanya bisa memarahiku saja! Kakak pasti iri karena tidak memiliki teman dekat sepertiku kan? Walaupun nanti aku bisa mencai uang, aku juga tidak mau sampai gila seperti yang kau katakan. Aku, akan mencari uang dengan caraku, dan dengan hal yang membuatku senang, jadi aku tidak akan sampai lupa dengan waktu. " Kesal Mirelia yang hanya bisa ia lampiaskan dengan ruang kosong tanpa manusia.

Mirelia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu memesan ojek online seperti yang bisa ia lakukan. Maklum saja, dirumahnya hanya ada satu mobil, dan mobil itu digunakan oleh Ayah, atau Derelia saat mengurusi keperluan Toko matrial mereka.

" Benar-benar sebal sekali, kemana-mana harus naik ojek, apa Tuhan masih tidak mau memberiku pacar yang punya mobil? Eh, motor saja juga boleh. " Gerutu Mirelia sembarangan, iya sembarangan, karena sebenarnya ada beberapa yang mencoba untuk mendekatinya, tapi dia sendiri masih enggan untuk berpacaran seperti teman-teman kuliahnya.

TBC

Why not me?

Mirelia menatap kagum seorang pria yang kini duduk bersebrangan dengannya. Pria itu adalah anak dari Bibi Rina, Bibi yang menghubungi telepon rumah, dan kebetulan Mirelia lah yang menjawab teleponnya.

" Mire, kau benar-benar tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik ya? Luan, Ana, kalian benar-benar hebat memiliki Mire yang cantik sekali, Derel juga cantik. "

Mirelia tersenyum senang, bukan karena mendapat pujian, tapi dia sangat senang dengan hangatnya tangan Ibu Rina yang menggenggam kedua tangannya, serta matanya yang terus menatap kagum. Sementara Derelia hanya terus menanggapi ucapan Ibu Rina dengan senyuman.

" Mire, kau pasti tidak ingat kan? Lihat, namanya adalah Eldrago. Tapi kau panggil saja dia Drago, tidak usah pakai awalan kakak segala, dia hanya beda tujuh tahun saja kok. Maksudnya biar bisa lebih ramah, dan juga lebih dekat, batin Ibu Rina.

" Ha halo, Drago? " Sapa Mirelia, lalu tersenyum kaku. Maklum saja, ini pertama kalinya mereka bertemu, dan Mire juga tidak terbiasa menyapa pria selain teman-temannya yang ada di kampus.

Drago memaksakan senyumnya, begitu juga degan Derel saat dia menyapa. Sebenarnya semua orang kini tengah merasa canggung saat Ibu Rina terlalu memfokuskan untuk terus berbicara dengan Mire, seolah Derel tak terlihat di matanya.

" Oh iya Mire, Bibi dan Drago kesini adalah karena kami ingin menjodohkan Drago denganmu, bagaimana menurutmu? "

Hah? Bak kejatuhan jutaan bintang indah yang berkelip di tubuhnya, Mire kini ternganga tak percaya dengan apa yang dikatakan Ibu Rina. Kalau melihat tampilan Drago yang blasteran itu tentu saja dia merasa ingin mengiyakan dengan cepat, tapi bagaimana dengan kakaknya? Bukannya harus kakaknya dulu yang menikah?

" Bagaimana? Kau setuju kan, Mire? " Ibu Rina menggoyang-goyangkan tubuh Mire dengan tatapan mengharap.

" Anu, Bibi, aku tentu saja mau, tali bukanya dengan kakakku saja? Kata orang menikah itu seharusnya yang lebih tua dulu kan? "

Ibu Rina tersenyum, lalu mencubit pelan pipi Mire karena gemas dengan gadis cantik di dekatnya itu.

" Siapa yang menyuruh kalian menikah sekarang? Kalian bisa kok bertunangan dulu, siapa tahu kakakmu tidak lama menikah, lalu kalian bisa langsung menikah juga kan? "

Mire tersenyum lalu mengangguk, sementara Derel sedari tadi terus tertunduk tak ingin ada yang melihat bagaimana ekspresinya.

" Rina, jika ingin menjodohkan anak-anak, lebih baik aku sarankan dengan Derel saja. Bukanya aku tidak setuju dengan Mire, hanya saja Mire masih kekanak-kanakan, dia amat manja, juga sangat suka membuat ulah. Sementara Derel, dia jauh lebih dewasa saat bersikap, dia juga hampir tidak pernah mengecewakan sebagai anak. "

Ibu Rina mengeryit, sementara Mire tertunduk dengan tangan yang mencengkram kuat kain dress yang ia kenakan. Sadar, dia sungguh sangat sadar kalau dia seperti apa yang digambarkan melalui kata-kata oleh Ayahnya tadi, tapi kenapa rasanya menyakitkan walau memang benar begitu adanya?

" Ayah, walaupun Mire manja, tapi dia juga kan sangat manis, dia juga sangat ramah dengan siapapun. " Ibu Ana melihat bagaimana Mire terdiam, jadi dia tahu benar jika Mire sedih atas apa yang di ucapkan Ayahnya tadi.

Ibu Rina tersenyum.

" Benar, di mataku Mire seperti berlian yang bersinar bahkan di gelapnya malam. Aku selalu saja melihatnya, aku tidak ingin menoleh kepada yang lain. Bagaimana denganmu, Drago? "

Pria yang sedari tadi memilih diam itu, kini hanya bisa mengangguk dengan senyum tipis yang ia paksakan.

" Lihatlah, Drago tidak keberatan kok. Jadi kalian jangan banyak berpikir. Seperti yang kalian katakan, Derel itu sangat pintar, juga sempurna seperti yang kalian katakan, jadi akan banyak laki-laki yang menyukainya. Sementara aku, aku ingin menantu yang seperti Mire. "

Mire tersenyum, tanpa sadar dia memeluk Ibu Rina seolah merasa bahwa mereka sudah cukup dekat.

" Kita harus memberikan pengertiannya lagi kepada Rina, kita tidak mungkin menyetujui pernikahan ini. " Ujar sang Ayah seraya memijat pelipisnya karena merasakan pusing dikepalanya.

" Tapi bagaimana caranya? Dia sepertinya sudah mengincar Mire, sepertinya juga tidak akan mudah. "

" Kenapa Ayah dan Ibu berbicara seolah aku tidak lantas untuk Drago? "

Ayah Luan dan Ibu Ana terperanjak kaget karena tidak menyadari adanya Mire di ambang pintu kamarnya.

" Mire, berapa kali Ayah harus memberi tahu padamu, ketuk pintu dulu sebelum masuk ke kamar! "

Mire menggigit bibir bawahnya menahan tangis.

" Mire, Drago adalah anak yang pekerja keras, dia juga sangat tidak suka direpotkan. Kami bicara seperti ini bukan karena kami merasa kau tidak pantas, tapi kami hanya ingin yang terbaik untukmu, juga untuk Drago. Derel kakakmu kau tahu bagaimana dia kan? Dia mandiri dalam segi apapun, dengan begitu hubungan mereka akan seimbang. "

" Menurut Ayah dan Ibu, apakah aku merepotkan kalian selama ini? "

Ibu Ana terdiam karena tidak habis pikir dengan pertanyaan Mire.

" Mire, ini adalah salah satu hal yang paling Ayah tidak suka darimu. Mendikte orang tua, lalu merajuk saat diberi tahu, menangis, dan mengurung diri di kamar berhari-hari. Coba kau pikir lagi, mana ada laki-laki yang akan tahan dengan sikap buruk semacam itu. "

Mire terdiam, apa yang Ayahnya katakan memang tidaklah salah. Tapi, kenapa tidak ada satupun yang bertanya saat dia merajuk, ' Mire apa yang kau pikirkan? Kenapa kau harus marah dan mengunci diri? ' Haruskan dia protes sekarang? Tidak! Tatapan mata tajam sang Ayah tidak akan mungkin dia tahan, apalagi sampai harus protes.

" Mire, kami mengatakan ini bukan karena kami tidak menyayangimu, nak. Kami hanya ingin kau sedikit lebih dewasa, tidak semua orang akan bisa menerima sikap manjamu, maka cobalah untuk sedikit perbaiki sikap agar bisa lebih dewasa, Ibu yakin kau bisa melakukannya, nak. "

" Apakah, aku harus menjadi seperti kakak baru bisa menyenangkan Ibu dan Ayah? "

Ayah menghela nafas kasarnya.

" Mire, dari mana kau belajar bicara? Siapa yang sudah memberikan keberanian untuk bicara terus menerus saat kau salah huh?! " Ayah berjalan mendekat dengan nata yang semakin tajam menatap Mire.

" Lihatlah dirimu, Mire! Kau menjadi anak yang semakin sulit di atur semenjak berteman dengan anak kriminal itu! "

Mire menatap mata Ayahnya yang masihlah tajam tanpa ada rasa takut saat teman satu-satunya disinggung.

" Ayah tidak berhak mengatakan itu kepada Lusi! Ayah tidak tahu apapun tentang dia, Ayah tidak boleh juga menyalahkan dia atas kesalahanku! Dia memang anak seorang kriminal, tapi kriminal yang Ayah maksud terbukti sukses mendidik Lusi. Lusi adalah siswi tercerdas di kampus, dia juga selalu ada untukku. "

Mire membalikan tubuhnya hendak meninggalkan kedua orangtuanya. Tapi sebentar dia berhenti untuk mengatakan satu hal yang hampir dia lupakan.

" Aku tidak mau perjodohan dengan Drago di batalkan. " Ucap Mire lalu meninggalkan kamar itu tanpa melihat lagi bagaimana ekspresi mereka. Setelah Mire mulai menjauh, Derel keluar dari tembok tempat dia bersembunyi untuk mencuri dengar. Tatapannya lurus menatap punggung Mire hingga tak lagi terlihat.

Bersambung

Sweat Strawberry

Mire tersenyum melihat tampilan wajahnya setelah dipoles dengan make up tipis. Hari ini Ibu Rina menghubungi Mire, dan mengajaknya untuk berbelanja karena dia tidak ingin pergi berdua saja dengan Drago. Malu, dan juga deg-degkan, tapi karena lesan dari Lusi yang mengatakan bahwa berperilaku lah santai seperti saat bersama teman pria di kampus saat bersama Drago nanti. Masuk akal juga sih, karena kalau terlalu fokus memikirkan Drago akan menjadi tunangan serta Drago juga adalah pria yang tampan, maka bersikap layaknya kepada teman agar tidak canggung juga adalah ide yang sangat brilian.

Setelah semuanya selesai, Mire berjalan cepat menuju lantai bawah agar bisa menunggu Ibu Rina nanti disana. Eh, baru saja sampai ke bawah, rupanya Ibu Rina sudah menunggu di ruang tamu. Sejenak dia mencari-cari keberadaan Drago, dan ternyata Drago ada di dekat pintu tengah berbincang dengan Derel. Cukup berdenyut sakit dadanya melihat itu, tapi dia masih mencoba untuk berpikir posistif saja. Dan lagi, mereka berdua nampak berbicara dengan serius, seperti masalah pekerjaan, batin Mire.

" Bibi? " Sapa Mire, dia tersenyum manis dengan mimik wajahnya yang ramah, sesekali melihat ke arah Drago yang nampak sebentar melihatnya, tapi itu tak berlangsung lama.

" Ya ampun, Mire... Cantik sekali. " Ibu Rina bangkit, meraih dagu Mire, lalu mengusap pipinya lembut.

" Benar-benar anaknya Luan dan Ana. Matamu indah seperti mata Ana, hidung, bibir, serta bentuk wajahmu mirip sekali dengan Luan dan nenekmu. "

Mire kembali tersenyum.

" Terimakasih, Bibi. "

" Aduh, bagaimana kalau memanggil Ibu saja? " Usul Ibu Rina yang sepertinya sangat berharap akan dikabulkan keinginannya oleh Mire.

" Tapi, "

" Sudahlah, anggap saja sedang belajar agar terbiasa. "

Mire mengangguk, lalu tersenyum.

" Baik, Ibu. "

" Ya ampun, senangnya. " Ibu Rina memeluk Mire seolah benar-benar menganggap Mire seperti anak kandungnya sendiri. Tak jauh dari mereka, Derel mengepalkan tangan dengan kuat meski tatapannya nampak datar, dan itu mampu dilihat oleh Ibu Ana.

Setelah selesai mengobrol, kini Ibu Rina, Drago dan Mire bergegas menuju pusat belanja untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan, juga membeli kebutuhan dapur untuk rumahnya.

" Ibu, kenapa berbelanja perabotan sebanyak ini? Memang mau tinggal menetap disini? " Tanya Mire yang tentu saja bisa melihat banyaknya barang yang di pesan oleh Ibu Rina.

" Iya, Mire. Ayahnya Drago sudah meninggal empat bulan lalu, usahanya juga tidak terlaku maju beberapa tahun terakhir ini. Sebenarnya sayang kalau harus menjual restauran milik Ayahnya Drago, hanya saja dia sudah berpesan agar menjual semua aset disana, agar bisa tinggal disini. Jadi ya kami hanya bisa memenuhi keinginan Ayahnya Drago meski dia sudah lebih cepat pindah tempat di banding kami berdua. "

Mire mengangguk-angguk tanda dia paham dengan apa yang dikatakan Ibu Rina.

" Drago anak tunggal kah? "

" Dulu dia punya adik, tapi meninggal saat usianya empat tahun karena sakit. "

" Maaf, aku tidak bermaksud menyinggung dan membuat Ibu sedih. "

" Tidak apa-apa, sekarang kan ada Mire. Selain menjadi menantu, Mire kan bisa menjadi anak Ibu juga. "

Mire terkekeh, lalu mengangguk senang. Sementara Drago, pria itu sama sekali tak bicara. Sesekali hanya mengangguk bila setuju, dan kembali diam saat tak ada yang mengajaknya bicara, atau membutuhkan pendapatnya.

Setelah berbelanja kebutuhan selesai, kini mereka tengah memilih beberapa pakaian.

" Bibi, eh maksudku Ibu, aku kesana dulu untuk membeli es krim ya? " Tunjuk Mire kepada stand penjualan es krim dengan berbagai rasa.

" Oh, kalau begitu pergi bersama Drago saja, jangan jalan sendiri. "

" Baik, Ibu Bibi. " Mire menatap Drago yang nampak enggan, agak takut sih pada awalnya, tapi sudahlah yang penting menganggap sebagai teman saja dulu.

" Ayo, Drago! " Mire melingkarkan lengannya memeluk lengan Drago tanpa ragu-ragu. Masa bodoh saja dengan ekspresi pria itu yang terlihat agak marah, yang penting beli es krim saja dulu.

" Kakak, aku mau rasa strawberry tiga ya? " Pinta Mire dengan ramah kepada si penjual es krim. Setelah mendapatkan ketiganya, dia berjalan menghampiri Drago, lalu menyodorkan satu eskrim untuknya.

" Drago, ini untukmu. "

" Singkirkan, aku tidak makan strawberry. "

Mire nampak kecewa, tapi lagi-lagi dia tidak ingin menyerah.

" Drago, bagaimana kalau dicoba saja dulu? Rasanya enak kok, meskipun strawberry, tapi akan manis saat menjadi eskrim. Ini! " Mire menyodorkan eskrim itu hingga hampir menyentuh bibir Drago. Merasa tak lagi bisa bersabar, Drago menepis tangan Mire, dan membuat es krim itu terjatuh di lantai. Mire terperanjak kaget, hingga dia terus menatap eskrim itu beberapa detik.

" Tidak semua orang menyukai apa yang kau suka, jadi hargailah orang lain, jangan memaksa saat sudah diperingati dengan sopan. " Setelah mengatakan itu, Drago berjalan meninggalkan Mire yang masih mematung tak tahu bagaimana menjelaskan bagaimana hatinya saat ini.

" Aku tahu aku salah, aku tidak akan mengulanginya lagi. " Ucap Mire pelan. Seperti itulah kata-kata yang sering dikatakan Mire saat orang tua, maupun Kakaknya memarahinya ketika ia membuat kesalahan. Meski Drago tak bisa mendengarnya, namun kata-kata sederhana itu sungguh setulus hati Mire ucapkan.

" Mire hanya akan menimbulkan masalah, dan bisa saja nantinya hubungan keluarga kita dan Bibi renggang. "

Deg!

Baru saja Mire akan menyapa dan sudah bersiap dengan wajah ramah dan manjanya, satu kalimat yang keluar dari mulut kakaknya itu cukup membuatnya tak bisa lagi melanjutkan niatnya. Mire terdiam ditempat karena ingin membiarkan dia mendengar segalanya yang ada benak keluarganya.

" Tapi, Bibi juga menyukai adikmu, nak. Memang, Mire sembrono dan tidak bisa serius, tapi dia adalah anak yang ramah dan mudah dekat dengan siapapun, jadi tidak salah juga kalau Bibi menyukainya kan? " Ujar Ibu Ana.

Ayah menghela nafasnya, memuja pelipisnya setelah melepaskan kaca mata yang bertengger dimatanya untuk memperjelas penglihatannya.

" Ayah tahu, tapi Mire keras kepala. Drago itu adalah pekerja keras, dia adalah orang yang selalu serius dalam melakukan semua hal, dia sangat mirip dengan Ayahnya. Jadi, kalau sampai menikah dengan Mire, semua pasti hanya akan kacau. "

" Kita bicarakan saat Mire pulang nanti saja, Ayah, Ibu. Mire memang meras kepala dan susah di atur, tapi kalau kita tidak tegas padanya, kapan dia akan paham bahwa tidak semua hal bisa dia lakukan dengan sikapnya, juga Drago pasti tidak akan bisa bertahan dengan Mire. " Ucap Derel.

" Jadi, yang sedang kalian khawatirkan yang mana? " Mire tak tahan lagi, akhirnya masuk dam menyela.

" Mire? " Ibu Ana bangkit dengan tatapan kaget. Begitu juga dengan Ayah Luan dan Derel yang menatapnya kaget.

" Kalian mengkhawatirkan masa depan Drago? Atau mengkhawatirkan aku? " Mire menatap satu persatu keluarganya dengan tatapan kecewa.

" Tentu saja keduanya, Mire. " Jawab Derel tegas.

" Kau tidak akan bisa mengimbangi Drago dengan sikap manja dan suka merajuk seperti itu. "

Mire mengepalkan tangannya kuat.

" Baik, mari kita lihat saja nanti. " Ucap Mire lalu berjalan menuju kamarnya tanpa perduli lagi apa yang akan dikatakan oleh keluarganya.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!