...1995...
Pagi itu cuaca terlihat sangat cerah. Matahari menerangi sebuah desa yang tidak jauh dari Kota Surakarta. Terdengar suara kicauan burung-burung, diantara rimbunnya pepohonan yang rindang di sepanjang jalan desa tersebut. Di sebelah kanan dan kiri jalanan yang belum diaspal itu, terhampar luas area persawahan dengan padi yang menguning layaknya sebuah permadani. Padi-padi itu tampak melambai-lambai tertiup angin yang berhembus.
Di sepanjang jalan yang teduh dan asri itu, terlihat anak-anak sekolah SLTP dan SMU tengah mengayuh sepedanya di tepi jalan menuju sekolah mereka masing-masing. Terlihat pula beberapa orang laki-laki memakai caping yang terbuat dari bambu, tengah berjalan menuju salah satu sudut persawahan. Para petani itu hendak memanen padi milik salah seorang warga yang memberikan kepercayaan kepada mereka.
Di perkampungan yang terletak di sebelah selatan jalan tersebut, tampak rumah-rumah yang jaraknya antara satu dengan yang lainnya cukup jauh. Pada sebuah rumah sederhana yang berdinding batu bata, beratap genteng, serta beralas ubin, terlihat seorang laki-laki sedang menikmati sarapan pagi dengan menu nasi, tempe goreng, dan sambal tempe.
"Kalau lagi di Jakarta, yang dirindukan ya begini! Sarapan dengan lauk sambal tempe!" Seru lelaki berwajah tampan, berkulit kuning langsat.
"Emak mau belikan ayam, katanya Kamu bosen makan ayam! Malah minta sarapan sama sambal tempe!" Balas perempuan yang berumur kira-kira lebih dari setengah abad, yang sedang membuat segelas teh hangat.
"Iya Mak! Di pabrik tiap hari makannya ayam sama daging terus! Makanya Aku jadi bosen makan ayam!"
"Mumpung Kamu masih di rumah, puas-puasin sarapan sama sambal tempe, Hari!" Perempuan yang dipanggil Emak, datang menghampiri lelaki yang bernama Hari, dengan membawa segelas teh hangat.
"Betul yang dikatakan Emak! Kalau perlu Mas Hari bawa bekal sambal tempe!" Celetuk perempuan berjilbab yang baru saja keluar dari dalam kamarnya.
"Wah, Fera Adekku yang dulu pas kecil suka nangis kalau minta sesuatu, sekarang sudah jadi guru TK ya! Mas bangga sekali sama Kamu!" Seru Hari sambil menengok kearah perempuan yang bukan lain adalah adik kandungnya.
"Semua ini kan berkat Mas Hari yang tiap bulan mengirimkan uang untuk biaya kuliah Fera! Betul kan Mak?" Ucap perempuan manis yang bernama Fera.
"Betul sekali yang Kamu katakan, Fera! Emak bersyukur sekali kepada Allah! Karena Allah telah melancarkan rizkimu, Hari! Sehingga Kamu bisa membantu kebutuhan Emak dan Fera!" Jawab Emak dengan berlinang air mata.
"Tapi maaf kalau Hari belum bisa merenovasi rumah ini, Mak!" Kata Hari.
"Masalah itu tidak perlu Kamu pikirkan, Har! Yang penting kan Emak dan Fera tidak kepanasan dan kehujanan! Lagian rumah ini masih cukup layak untuk tempat tinggal!" Balasnya.
"Iya Mak!"
"Mulai sekarang, lebih baik uang gajianmu ditabung untuk biaya pernikahanmu besok! Biaya pernikahan kan tidak sedikit, Har!" Nasihatnya.
"Iya Mak, Hari tahu! Hari juga sudah nabung! Alhamdulillah tiap hari ada lemburan. Jadi Hari bisa ngirimin Emak dan Fera!" Hari tersenyum bahagia.
"Tapi kan kemarin Kamu sudah lamaran! Terus pernikahannya tidak berapa lama lagi!" Balas Emak yang duduk di hadapan Hari.
"Iya Mas! Alhamdulillah sekarang kan Fera sudah bekerja! Walaupun gajinya masih sedikit, tapi dikit-dikit bisa membantu Emak! Fera menimpalinya.
"Iya Har! Lagi pula Emak masih dapat pensiunan almarhum Bapakmu!" Ucap Emak lagi.
"Tapi Hari ikhlas kok Mak! Hari juga percaya, kalau memberikan rizki Kita kepada orang tua Kita, itu nggak membuat Kita miskin! Melainkan Allah akan melancarkan rizki Kita! Bukankah begitu kata Pak Kyai, Mak?" Tanyanya.
"Betul sekali Hari anakku yang shaleh! Emak bersyukur sekali mempunyai anak seperti Kalian!" Katanya. Air matanya seketika langsung menetes di pipinya yang sudah tampak keriput.
"Hari juga bersyukur mempunyai Emak!" Balasnya.
"Emak, Fera berangkat dulu ya! Takut telat!" Ucap Fera sambil mengulurkan tangan kanannya.
"Ya Nak! Hati-hati di jalan ya! Jangan lupa, bilang Pak Lik Marto disuruh mengantar Hari ke stasiun Balapan!" Pinta Emak sambil menyambut tangan kanan anak bungsunya.
"Iya Mak!" Balasnya. Fera pun mencium belakang telapak tangan emaknya.
"Mas, Fera berangkat ngajar dulu!" Fera mengajak Hari bersalaman.
"Iya Fer, bekerja yang rajin, ikhlas, dan disiplin! Seberapapun gajinya yang penting halal! Jadi harus disyukuri! Di luar sana masih banyak orang yang membutuhkan pekerjaan! Jadi Kamu nggak boleh menyia-nyiakan pekerjaanmu!" Nasihat Hari sambil membalas tangan kanan adiknya.
"Iya Mas! Insha Allah Fera akan selalu ingat pesan Mas Hari! Mas Hari hati-hati di jalan ya! Kalau sudah sampai kos-kosan, jangan lupa untuk mengirim surat ya Mas!" Pintanya. Air matanya langsung mengalir di pipinya.
"Iya Fera adikku yang manis!" Seru Hari sambil mencubit pipi kiri Fera.
"Ya sudah Mak, Mas, Fera berangkat dulu! Assalamu'alaikum!" Salamnya. Fera pun berjalan menuju pintu depan rumahnya.
"Wa'alaikumsalam." Jawab Emak dan Hari berbarengan. Belum lama Fera pergi meninggalkan rumah menggunakan sepedanya, tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan mengucapkan salam.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
"Biar Emak lihat! Kamu terusin saja makannya!" Kata Emak sambil bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu depan rumah.
"Mak, gimana kabarnya?" Sapa seorang perempuan cantik yang berdiri di depan pintu.
"Oh Fatimah, kirain siapa! Alhamdulillah Emak baik-baik saja!" Balasnya. Mereka pun bersalaman dengan erat.
"Mas Hari belum berangkat kan Mak?" Tanyanya sedikit khawatir.
"Belum. Orangnya lagi sarapan! Mari masuk Fatimah!" Pinta Emak. Fatimah pun masuk ke dalam rumah dengan perlahan. Begitu kedua kakinya menginjak lantai yang berada di dalam rumah, ia bergegas memberikan plastik hitam kepada emak.
"Mak, ini ada sedikit oleh-oleh buat Mas Hari, dari Bapak dan Ibu!"
"Terima kasih ya Fatimah! Pakai acara repot-repot segala! Bilangin Bapak dan Ibumu, terima kasih oleh-olehnya!"
"Iya Mak!"
"Mari Fatimah!" Emak kembali mengajak calon menantunya menuju ruang makan. Hari yang sudah selesai makan dan baru muncul dari arah dapur, langsung terlihat sangat bahagia, ketika melihat emaknya berdiri di hadapannya bersama seorang wanita yang dicintainya. Senyum lebar pun terpancar dari wajahnya.
"Kirain tamu siapa! Ternyata tamu istimewa!" Celotehnya.
"Mas Hari bisa aja!" Balas Fatimah malu-malu.
"Har, ini ada oleh-oleh dari kedua orang tuanya Fatimah!" Emak menaruh plastik hitam berisi makanan di atas meja.
"Jadi ngrepotin kedua orang tuamu, Dek!"
"Nggak kok Mas! Cuma jajan sedikit."
"Bilangin Bapak sama Ibu, terima kasih jajannya ya!" Pintanya.
"Iya nanti Aku sampaikan. Mas Hari mau berangkat ke Jakarta sekarang?" Tanya Fatimah dengan berlinangan air mata.
"Iya Dek! Soalnya Aku cuma libur tiga hari. Besok pagi sudah masuk kerja lagi!" Jawab Hari sedih.
"Hati-hati di jalan ya Mas! Sebenarnya Aku masih kangen sama Kamu Mas!" Air mata jatuh di pipi Fatimah.
"Mas juga masih kangen Kamu Dek! Rasanya sangat berat buat meninggalkan Kamu, Emak, dan Fera! Tapi mau gimana lagi! Keadaan yang membuat Kita harus berjauhan!" Hari pun ikut meneteskan air mata.
"Kapan Mas pulang lagi?"
"Insha Allah kalau sudah sempat, Dek! Semoga lebaran tahun depan, Kita bisa menikah ya Dek!"
"Aamiin. Aku akan selalu merindukanmu, Mas!" Air mata membanjiri wajah Fatimah yang cantik alami. Emak pun ikut menangis.
"Aku juga akan selalu merindukanmu, Dek! Alhamdulillah kemarin Kita sudah mengikat tali cinta Kita! Nggak lama lagi Kita akan menjadi suami istri, Dek! Jadi Kita bisa bersama setiap hari!" Hari mencoba menghiburnya.
"Iya Mas." Balasnya. Belum sempat Hari kembali bersuara, tiba-tiba terdengar suara orang mengucapkan salam.
"Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam!" Jawab mereka berbarengan.
"Kayaknya itu Pak Lik Marto!" Ucap emak. Emak pun kembali menuju pintu depan rumahnya.
"Ya sudah mari Kita ke depan, Dek! Kasihan kalau Pak Lik Marto harus nunggu kelamaan!" Hari memasukkan plastik berisi makanan pemberian dari kedua orang tuanya Fatimah, ke dalam ranselnya yang berwarna hitam. Setelah menggendong ransel itu, Hari mengambil kardus yang sudah diikat dengan tali rafia dan membawanya ke arah pintu depan rumah. Sedangkan Fatimah berjalan di belakangnya. Hari terlihat keren dengan memakai jaket parasut berwarna biru, celana jeans panjang yang juga berwarna biru, dan sepatu sneaker berwarna merah.
"Pak Lik, gimana kabarnya?" Sapa Hari mengajak bersalaman dengan lelaki berkumis berumur sekitar 40 tahunan.
"Alhamdulillah baik, kabarmu gimana Har?" Tanya Pak Lik Marto menyambut tangan kanan Hari.
"Alhamdulillah baik juga Pak Lik!" Balasnya.
"Katanya kemarin Kamu baru lamaran dengan Fatimah, ya?" Tanyanya.
"Iya Pak Lik. Tahu dari mana Pak Lik?" Tanya balik Hari penasaran.
"Dari Bu Puji, tadi ketemu di jalan! Dia kan rumahnya dekat dengan rumahnya Fatimah!" Jawabnya.
"Oh begitu. Minta doanya Pak Lik, semoga semua berjalan lancar sampai Saya dan Fatimah menikah!" Pintanya.
"Aku doakan Hari! Semoga Kalian memang ditakdirkan berjodoh! Semoga semua lancar sampai menikah dan Kalian bisa membina keluarga yang sakinah mawadah warahmah." Doanya.
"Aamiin ya rabbal'alamiin." Jawab Emak, Hari, dan Fatimah berbarengan.
"Ini mau berangkat ke Jakarta sekarang Har?"
"Iya Pak Lik."
"Pakai kereta kan?"
"Iya. Naiknya di stasiun Balapan ya Pak Lik."
"Iya."
"Mak, Hari pamit dulu ya!" Hari mengulurkan tangan kanannya. Emak menyambut tangan anak sulungnya.
"Iya Nak! Hati-hati di jalan ya! Kalau bekerja juga hati-hati!" Pintanya dengan berlinangan air mata.
"Iya Mak!" Hari pun mencium belakang telapak tangan emaknya.
"Dimana pun Kamu berada, jangan pernah tinggalkan shalat lima waktu, ya Hari anakku! Karena shalat adalah tiangnya agama!" Pinta emak. Air matanya tidak dapat ditahan lagi.
"Iya Mak!" Balas Hari yang ikut menangis. Hari pun langsung memeluk tubuh emak yang terlihat kurus seperti tanpa daging. Hanya tinggal kulit yang melapisi tulang.
"Maafkan semua kesalahan Emak, ya Nak!" Pintanya sambil memeluk tubuh anaknya.
"Emak nggak perlu minta maaf! Hari yang harusnya minta maaf sama Emak! Hari selama ini banyak salah sama Emak!" Air matanya semakin deras membasahi kedua pipi Hari, hingga menetes di punggung emaknya.
"Semua kesalahanmu yang dahulu, sudah Emak maafkan, Nak! Tanpa Kamu minta pun, Emak sudah memaafkannya! Jadi, tidak perlu Kamu pikirkan lagi masalah yang dahulu! Malahan setiap sehabis shalat, Emak selalu mendoakan Kamu dan Fera agar menjadi anak yang shaleh dan shalihah!" Balas emak sambil mengusap air mata yang jatuh di pipinya.
"Terima kasih Emak!" Ucap Hari sambil perlahan melepaskan pelukannya.
"Pesan Emak, selalu jalankan perintahNya dan jauhi laranganNya, ya Nak! Apalagi di kota besar tidak semua orang berhati baik! Hati-hati dalam bergaul dan memilih teman, ya Har! Jauhilah orang-orang yang membawamu ke dalam kemungkaran!" Nasihatnya.
"Insha Allah Hari akan slalu ingat pesan Emak!"
"Jangan lupa Hari! Sisihkanlah sebagian uangmu untuk membantu orang yang membutuhkan! Perbanyaklah shadaqah kepada para fakir miskin dan duafa! Karena di dalam penghasilanmu ada hak mereka!"
"Insha Allah Mak! Semoga Hari bisa berbagi kepada sesama!"
"Terima kasih ya Hari! Kamu sudah mendaftarkan Emak untuk ibadah haji! Doakan Emak ya Har, semoga Emak diberikan umur yang panjang! Agar Emak bisa melihat Kamu menikah dan punya anak! Dan Emak bisa mewujudkan impian Emak untuk ibadah haji!" Katanya sambil tersenyum.
"Iya Mak! Hari selalu doakan Emak agar selalu diberikan kesehatan dan umur yang panjang. Agar bisa melihat Hari menikah dan Emak bisa naik haji!" Balasnya.
"Ya sudah Har, lebih baik Kamu berangkat sekarang! Kasihan Pak Lik Marto sudah lama menunggu!" Ucap emak.
"Iya Mak! Kalau Hari sudah sampai Jakarta dan sudah ada waktu luang, Hari akan secepatnya kirim surat!" Katanya.
"Iya Har. Emak akan tunggu suratnya!" Balasnya.
"Dek, Mas berangkat dulu ya!" Hari menatap wajah pujaan hatinya.
"Iya Mas. Hati-hati di jalan! Fatimah akan setia menunggu Mas Hari sampai pulang ke kesini lagi!" Fatimah berusaha untuk tegar. Senyum terpancar dari wajahnya. Walaupun kesedihannya tidak dapat disembunyikannya.
"Iya Dek! Tunggu Mas kembali pulang ke kampung tercinta ini ya Dek!" Pintanya.
"Iya Mas!"
"Assalamu'alaikum." Salam Hari. Lelaki itu pun naik keatas becak dan duduk disebelah kardus yang sudah ditaruh di atas becak oleh Pak Lik Marto.
"Wa'alaikumsalam." Jawab Emak dan Fatimah berbarengan. Mereka berdua pun melambaikan tangan kanannya. Hari membalasnya dengan lambaian tangannya. Air matanya kembali menetes, ketika ia melihat wajah ibu dan calon istrinya.
"Mengapa perasaanku nggak seperti biasanya ya? Biasanya kalau Aku kalau pulang kampung dan hendak berangkat lagi, Aku nggak merasa sesedih ini! Kali ini rasanya hatiku sangat berat untuk meninggalkan Emak dan Fatimah!" Serunya dalam hati.
Setelah naik ke atas sadel, Pak Lik Marto bergegas mengayuh becaknya. Perlahan becak itu berjalan meninggalkan emak dan Fatimah yang masih berdiri di halaman depan rumah. Semakin jauh jarak antara becak itu dengan emak dan Fatimah, Hari yang menengok kearah belakang akhirnya kembali menghadap depan.
"Apa Kamu masih kangen Emakmu dan juga Fatimah, Har?" Tanya Pak Lik Marto.
"Iya Pak Lik." Balasnya.
"Kapan-kapan kalau libur kan Kamu bisa pulang kampung lagi, Har!" Ucapnya.
"Iya Pak Lik! Rasanya ingin selalu bersama dan selalu dekat dengan Emak, tapi mau gimana lagi, rizkiku di Jakarta!" Balas Hari sambil mengusap air matanya.
"Semua sudah takdir dari Allah, Har! Rizkimu memang didapatkannya di Jakarta! Disyukuri saja! Banyak lho yang ingin bekerja di perusahaan otomotif sepertimu! Lagian kalau Kamu kerja disini, mau kerja apa? Nyari kerja kan susah! Gaji di kota kecil ini kan tidak sebesar kayak di Jakarta! Seperti yang Aku katakan tadi, syukurilah pekerjaanmu! Jalanilah dengan ikhlas!" Nasihat Pak Lik Marto.
"Iya Pak Lik." Balas Hari.
Pak Lik Marto terus mengayuh becaknya dengan sekuat tenaga. Becak itu pun terus melaju dengan cukup kencang, menuju stasiun Balapan yang terletak di kota Solo itu.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menitan, mereka akhirnya sampai di depan stasiun Balapan. Hari pun turun dari atas becak. Ia kembali menggendong ranselnya dan menjinjing kardus berisi makanan dari emaknya. Sebelum Hari memasuki area stasiun, ia tidak lupa membayar jasa kepada Pak Lik Marto. Ia pun memberikan selembar uang kertas dengan nominal 20 ribuan.
"Terima kasih banyak ya Pak Lik, sudah diantar!" Hari menyodorkan uang ditangan kanannya kehadapan Pak Lik Marto. Melihat nominal uang yang cukup besar, Pak Lik Marto pun mengeluarkan dompet dari dalam saku celananya bagian belakang. Lelaki itu hendak mengambil beberapa lembar uang dengan maksud untuk kembalian. Namun dengan cepat Hari bersuara.
"Ambil aja kembaliannya Pak Lik! Buat beli rokok!"
"Terima kasih banyak, Hari! Semoga Kamu dilancarkan rizkinya oleh Allah!" Pak Lik Marto menerima uang dari Hari dengan rasa bahagia.
"Aamiin. Ya sudah, Aku pamit dulu ya Pak Lik!" Serunya.
"Iya Har!"
Hari pun berjalan dengan cepat ke dalam area stasiun. Sesampainya di dalam stasiun, ia bergegas membeli tiket kereta ekonomi. Setelah mendapat tiket, Hari kembali berjalan menuju area pemberangkatan.
Sekitar 15 menit menunggu, kereta yang hendak dinaiki oleh Hari akhirnya muncul dihadapannya. Begitu kereta itu berhenti, Hari dan para penumpang yang lainnya bergegas naik ke atas gerbong kereta. Tidak membutuhkan waktu lama, Hari menemukan kursi yang sesuai dengan nomor kursi pada tiket yang dipegangnya. Hanya 10 menit kereta itu berhenti, akhirnya kereta yang penuh dengan penumpang itu, kembali melaju dengan kencang.
Sepanjang perjalanan Hari tidak bisa tidur. Jangankan tidur, untuk makan dan minum pun rasanya tidak berniat. Hari hanya melamun sambil memandang kearah luar jendela. Dalam benaknya terus menerus kepikiran sosok emak dan Fatimah.
Sekitar 10 jam didalam perjalanan, akhirnya kereta yang dinaiki oleh Hari sampai di stasiun Pasar Senen. Begitu kereta berhenti, Hari dan penumpang lainnya turun dari atas kereta.
Hari berjalan menuju pintu keluar stasiun dengan menggendong ransel dan menjinjing kardus. Sesampainya di depan stasiun, ia bergegas menuju sebuah metro mini yang sedang berhenti tepat di depan stasiun. Begitu masuk ke dalam angkutan umum itu, Hari memilih kursi yang kosong yang berada di sebelah tengah.
Setelah menunggu sekitar 15 menit, akhirnya metro mini yang dinaiki oleh Hari, berjalan dengan cukup kencang. Seorang kernet yang merangkap sebagai kondektur itu, menarik para penumpang yang belum lama naik keatas metro mini, termasuk Hari.
Sekitar 20 menitan berlalu, Hari sampai di tempat yang ditujunya. Ia turun dari atas metro mini. Tanpa membuang waktu lagi, ia pun berjalan menyusuri trotoar di jalanan ibukota yang terlihat sedikit sepi karena hari sudah cukup larut malam. Dalam wajah yang terlihat kelelahan, Hari melihat ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ia melihat jarum jam menunjukkan pukul 21.40 WIB.
Ketika Hari memasuki sebuah gang yang berukuran cukup sempit, ia tidak merasakan suatu hal buruk tengah mengintainya. Gang berukuran sekitar dua meter itu, terlihat kurang penerangan. Sehingga keadaan gang yang menuju kos-kosan dimana Hari tinggal, cukup gelap bila malam hari tiba.
Seperti malam itu, Hari terus berjalan dengan cepat, walaupun keadaan cukup gelap. Tapi karena hampir setiap hari sepulang bekerja hari melewati gang tersebut, sehingga dalam benaknya tidak ada perasaan khawatir sama sekali.
Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Baru beberapa langkah, Hari memasuki gang sempit itu, tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh lelaki berambut keriting yang panjangnya sebahu, yang muncul dihadapannya. Diatas kepala lelaki berkumis itu terdapat sebuah topi berwarna hitam. Sehingga sangat sulit bagi Hari untuk melihat wajah lelaki berkaos hitam, yang berjalan dengan cepat di depannya. Ditambah lagi keadaan gang sempit itu cukup gelap.
Karena gang cukup sempit, Hari mencoba untuk mengalah. Ia pun berjalan dengan perlahan sambil mencoba mengamati lelaki yang berjarak sekitar tiga meter di hadapannya. Namun lelaki itu berjalan sambil terus menerus menundukkan kepalanya. Lelaki itu melangkahkan kakinya dengan sangat cepat, seolah dia tidak tahu kalau ada orang lain yang sedang berjalan melewati gang tersebut.
Tanpa diduga-duga oleh Hari, lelaki misterius itu menabrak bahu dan lengan kanan Hari. Kekasih hati Fatimah itu merasa jengkel dan marah. Karena kardus yang dibawanya jatuh ke tanah. Sontak sumpah serapah pun keluar dari dalam mulutnya.
"Kalau jalan hati-hati, Mas! Lihat nih, barangku jadi jatuh!!!"
"Sory Mas, lagi buru-buru!" Lelaki itu menengok ke arah samping kanan. Namun kepalanya masih tetap ditundukkannya. Dengan perasaan kesal, Hari membungkuk untuk mengambil kardusnya yang terjatuh. Melihat ada kesempatan emas, lelaki bertopi itu langsung mengambil dompet milik Hari, yang ditaruh di saku celana jeans-nya.
Setelah berhasil mengambil dompet yang menjadi incarannya, lelaki berkumis yang ternyata seorang copet itu, kembali berjalan dengan cepat ke arah jalan raya. Sedangkan Hari yang berhasil mengambil kardusnya, seolah baru tersadar bahwa lelaki yang baru lewat di hadapannya, gerak-geriknya sangat mencurigakan. Hari yang sudah hafal dengan tindakan kriminalitas di kota besar, langsung mengecek saku celananya bagian belakang.
Tubuh Hari mendadak diam mematung bagai disambar petir di malam buta, ketika telapak tangan kanannya ditempelkan di saku celana jeans-nya bagian belakang. Bagaimana tidak, saku tempat ia biasa menaruh dompet kini dalam keadaan kempes. Masih belum percaya dengan apa yang terjadi dengan dirinya, Hari memasukkan jari-jari tangan kanannya ke dalam saku celananya bagian belakang sebelah kanan. Namun ia tidak juga menemukan dompet miliknya. Hari pun langsung berbalik badan. Ia melihat lelaki misterius itu sudah berada di ujung gang. Hari pun berteriak dengan sekuat tenaganya.
"Copet...!!!" Tanpa membuang waktu lagi, Hari berlari menuju copet itu. Sedangkan lelaki bertopi itu sedikit menolehkan kepalanya ke arah belakang. Ia melihat lelaki yang menjadi korbannya tengah berlari menghampirinya. Tanpa basa-basi, copet itu pun berlari ke arah kiri. Ia berlari di atas trotoar yang terlihat tidak ada seorang pun.
Setelah berhasil keluar dari dalam gang, Hari terus berlari hanya sambil menggendong ransel dan membawa kardusnya. Mulutnya tiada henti berteriak.
"Copet...!!! Copet...!!!"
Copet itu terus berlari menghindari kejaran Hari. Namun tanpa disangka, beberapa meter di hadapannya, ada dua orang sepasang kekasih yang sedang pacaran di sebuah halte. Copet itu pun dengan cepat memutar otaknya. Ia langsung menyebrangi jalan raya yang terlihat lengang. Hanya sekejap mata copet itu berhasil menginjakkan kakinya di trotoar sebrang jalan.
Mengetahui copet yang dikejarnya menyebrangi jalan raya, tanpa pikir panjang Hari mengikuti copet itu. Hari menyebrangi jalan tanpa menengok ke arah belakang. Namun nahas bagi dirinya. Tanpa disadari oleh Hari, diwaktu yang bersamaan melaju sebuah mobil dengan kecepatan tinggi dari arah belakang tubuh Hari.
Melihat ada seseorang yang tiba-tiba muncul di tengah jalan, pengendara mobil berwarna merah itu kaget alang bukan kepalang. Kaki kirinya reflek langsung menginjak pedal rem dengan sekuat tenaganya. Sedangkan tangan kanannya langsung menekan klakson dengan kuat.
Tiiiiiiitttttttt............!!!!!!!
Mendengar suara klakson yang sangat kencang, ditambah lagi ada cahaya terang dari arah belakangnya, Hari langsung menghentikan langkah kakinya. Kepalanya ia putar ke arah belakang untuk melihat sesuatu yang ada di belakangnya.
Begitu kedua matanya menatap ke arah belakang, Hari hanya bisa terdiam membisu dengan kedua matanya melotot seperti hendak keluar. Bagaimana tidak, di hadapannya ia melihat sebuah mobil dengan kecepatan tinggi yang hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari tubuhnya. Ia sama sekali tidak berpikir untuk berlari menghindari mobil dengan kecepatan tinggi yang jarak dengan dirinya semakin dekat. Sontak Hari hanya bisa berpasrah. Dari mulutnya terdengar suara teriakkannya yang sangat keras.
"Ya Allah.............!!!!!
Karena kecepatan mobil sangat tinggi, walaupun pedal rem sudah diinjaknya, namun mobil mewah itu tidak bisa langsung berhenti begitu saja. Mobil itu pun berputar 360° dengan sangat kencang. Sampai-sampai terdengar suara lengkingan keras akibat gesekan antara ban mobil dengan aspal.
Walaupun pengendara mobil itu sudah berusaha untuk menghindar dari tabrakan maut yang mengancam nyawanya sendiri dan nyawa lelaki yang berada di tengah jalan yang tidak dikenalnya, tapi mobil yang dikendarainya tidak bisa langsung berhenti karena kecepatan mobil yang sangat tinggi.
Begitu mobil telah berbalik posisi ke arah sebelumnya mobil itu datang, mobil itu bagian sebelah kanan dengan keras menabrak tubuh Hari bagian sebelah kiri. Sontak saja tubuh Hari langsung terlempar sekitar tiga meter. Tubuhnya melayang di udara hingga akhirnya jatuh dengan cukup keras dan berguling-guling diatas aspal. Sampai akhirnya tubuhnya berhenti berguling-guling setelah tubuhnya menabrak trotoar bagian samping.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin itu pepatah yang pantas untuk Hari. Pasalnya, setelah dompet miliknya diambil oleh copet, kali ini Hari harus kembali mengalami musibah yang melanda dirinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!