Namaku Kinara Malik Khan. Benar sekali kalau kalian menebak aku memiliki darah India, karena aku memang memilikinya. Bahkan mungkin, orang yang belum tahu namaku sudah bisa menebaknya. Hidung mancung dan mata lebar khas orang India yang kumiliki sudah menjelaskannya. Sedangkan kulit putih langsat cenderung cokelat berasal dari ibuku yang keturunan Jawa.
Ayahku seorang pelancong dari India. Lebih tepatnya dari Gujarat. Yang sekolah di Madrasah pasti sudah mengenal kota ini, kan? Yup, salah satu kota yang menjadi teori masuknya islam ke Indonesia.
Omong-omong soal India, aku sama sekali gak bisa berbahasa India. Jangan heran! Meski aku keturunan negara Hindustan itu, aku terlahir di Indonesia. Bahkan tak pernah sekedar menginjakkan kaki di sana. Jauh sebelum Ayah beranjak dewasa--masih anak-anak--beliau sudah hijrah ke Indonesia bersama orang tuanya. Berkerja dan menetap di sini. Di tanah air tercinta ini. Hingga saat ini.
Saat ini, aku sudah duduk di bangku kelas sebelas. Aku begitu menikmati masa-masa ini. Aku termasuk anak yang pandai bergaul. Tak heran karena itu, aku memiliki banyak teman di sekolah. Selama mereka tak tahu tentang kemampuanku. Aku....."aneh" menurut mereka.
Ya! Aku aneh.
Aku bukan manusia normal.
Aku bisa melihat hal yang tak bisa dilihat oleh kebanyakan orang.
Hey! Jangan heran. Aku memang bisa melihat hal-hal seperti itu. Bahkan, kata mereka aku terkenal di dunia mereka. Wow! Serasa jadi artis kan aku?
Mereka memanggilku "Indigo". Kalian pikir aku bangga dengan kemampuanku? Tentu saja TIDAK.
Aku menderita. Benar-benar menderita. Berulang kali aku berusaha melenyapkan kemampuanku--ruqyah maksudku, heyy!! Aku masih punya iman untuk tidak pergi ke dukun--tapi semua kembali seperti semula dalam waktu 2x24 jam. Haha....macam harus buat laporan atas kasus orang hilang ke polisi, kan? Sebenarnya, aku lelah juga takut bila melihat mereka. Tapi aku bisa apa? Toh bukan satu dua hari aku baru melihat semuanya.
Enam tahun. Semuanya sudah berjalan sejak enam tahun lalu. Tepatnya, saat umurku baru menginjak sepuluh tahun setelah aku terbangun dari tidur panjangku.
👻👻👻👻👻
Kinar kecil merintih kesakitan saat tubuh mungilnya diangkat. Seluruh sendinya serasa akan patah. Mata lebarnya mengerjap. Berusaha memaksa cahaya masuk ke retina. Tapi, semua sia-sia. Hanya kegelapan yang ia dapat. Matanya seakan-akan tertimpa berton-ton beban. Berat.
"Masih ada satu korban lagi!!! Anak kecil!!!"
Dalam keadaan di ambang batas antara sadar dan tidak, Kinar kecil mendengar suara seseorang berteriak. Tak lama, beberapa langkah kaki mulai terdengar tergesa-gesa mendekat, ke arahnya.
Sebuah tangan hangat terasa di dadanya. Entah, apa yang tangan itu lakukan di sana. Disusul sesuatu yang segar berada di area sekitar hidung. Yang Kinar rasakan adalah udara yang sedari tadi terasa panas dan menyesakkan dada, kini terganti dengan bertumpuk-tumpuk kelegaan.
"Kamu akan selamat!! Kamu pasti selamat!!" tubuh kecil Kinar terasa melayang. Sebuah pelukan dari tangan kokoh memeluk tubuh kecilnya yang lengket, berlumur darah.
👻👻👻👻👻
Tak ada hal yang paling membahagiakan bagi seorang ibu ketika mendapat kabar bahwa putri yang belasan hari ini tak dia jumpai akan pulang. Rasa senang yang menumpuk di dada terasa lebih membahagiakan dari pada rasa senang mendapat undian arisan senilai puluhan juta rupiah.
Siang ini, seluruh hidangan spesial kesukaan sang putri sudah tersedia di atas meja makan. Semuanya terlihat menggoda setiap lidah untuk mendekat dan mencicipinya. Tentu saja, selain untuk menyambut kedatangan putri tersayang, Nurul juga menyiapkan makanan itu untuk sang ayah dan ibu mertua.
"Wah, Mama semangat sekali menyambut kedatangan sang putri," Malik berkata sambil mencomot satu telur balado utuh dengan jari tangannya.
"Papa! Jorok, ih," kesal Nurul sambil memukul tangan sang suami yang memegang telur. Untung saja telur itu tak sempat jatuh. Jadi, Malik masih bisa memasukkannya ke dalam mulut.
"Dikit, Ma," ucap Malik sambil memasukkan gigitan kedua sekaligus gigitan terakhir. Mulutnya masih sempat menjilat bumbu balado yang tertinggal di jari.
"Pa, kapan bis yang membawa Ibu dan Ayah sampai di terminal?"
"Kalau gak ada halangan sih, insyaAllah sekitar satu jam lagi," Malik berjalan menuju sofa yang ada di depan tv, "memangnya kenapa, Ma?"
Nurul ikut bergabung di sofa yang diduduki sang suami setelah menutup hidangan dengan tudung saji, "Kangen mereka, lah. Apalagi sama si kecil Kinar. Emang Papa gak kangen sama orang tua? Sama anaknya sendiri?"
"Sembarangan! Ya kangen lah. Kangen plus-plus."
Pasangan suami istri itu tertawa bersama.
"Pemirsa, telah terjadi kecelakaan tunggal di jalan X. Diduga bus berisi penumpang ini mengalami rem blong sehingga terjun ke jurang. Dalam kecelakaan ini, memakan lima belas korban jiwa dan empat puluh satu korban luka-luka. Berikut daftar korban.........."
Baru saja kebahagiaan tiada tanding bersarang di hati Nurul dan Malik. Tapi, seketika itu juga, semua kebahagiaan yang memenuhi dada hancur bagai dihantam ribuan ton duka. Apalagi yang tersisa? Kedua orang tua Malik tewas di tempat. Dan kini, putri kecil mereka masih terbujur pucat di salah satu brankar rumah sakit.
Sudah dua minggu lamanya kejadian nahas itu terjadi. Acara tahlil tujuh harian untuk orang tua malik juga sudah satu minggu lalu terlewat. Tapi, gadis kecil di atas brankar itu belum juga menunjukkan tanda-tanda akan membuka mata. Entah apa yang sedang ia mimpikan? Mengapa ia sangat nyaman dengan posisi itu?
"Ma.....ma....."
Nurul dan Malik yang saat itu berada di ruang rawat putrinya serempak menoleh pada suara bergetar pelan itu. Keduanya begitu antusias melihat putri yang sudah dua minggu ini tertidur, Kini membuka mata.
"Apanya yang sakit, sayang?" Nurul berkata pelan setelah bergantian dengan Malik mencium kening putrinya.
Tak jauh berbeda dengan Nurul, ekspresi Malik juga menunjukkan wajah khawatir saat melihat putrinya tiba-tiba menangis. Mereka berdua semakin kelabakan saat Kinar kecil tak menjawab apa keluhannya. Hanya air mata yang semakin deras dengan isakan semakin keras yang menjadi jawaban Kinar. Karena khawatir akan keadaan sang putri, Malik lekas menekan tombol di atas brankar.
"Ma....ma...."
"Iya sayang, Mama di sini," Nurul membelai puncak kepala Kinar penuh kasih sayang. Tak lama air mata juga luruh dari balik kelopak matanya. Bolehkan ia meminta pada Tuhan untuk menukar rasa sakit yang diderita putrinya? Sungguh, ia tak kuat melihat putrinya yang masih kecil harus menanggung sakit yang bahkan tak bisa diungkapkan lewat lisan kecilnya. Salah apa dirinya di masa lalu sehingga putri kecilnya dihukum seperti ini?
"Ma....kenapa....dia...di...sini...?"
Nurul refleks menoleh pada sang suami karena Kinar juga sedang menatap Malik.
"Ini Papa sayang," Malik menunjuk dirinya sendiri.
Kinar menggeleng lemah. Isak tangis dari bibir mungilnya kembali terdengar "Bukan...."
"Itu beneran Papanya Kinar," Nurul juga berusaha meyakinkan.
"Bukan....bukan Papa....tapi.......dia..." Kinar kecil menunjuk Malik. Untuk memastikan, Malik sedikit menggeser tubuh. Tapi, telunjuk Kinar tetap terarah pada posisi Malik semula berdiri.
"Dia.....ber.....darah...."
Malik dan Nurul saling berpandangan sejenak sebelum serempak menoleh ke arah yang ditunjuk Kinar. Nyatanya, Kinar menunjuk sisi kosong.
"Ki...nar...takuut...."
👻👻👻👻👻
Kalian tahu, apa yang paling menyebalkan dalam hidupku? Hm, tentu saja kemampuan 'anehku'.
Bayangkan saja, aku baru membuka mata sebelum adzan subuh berkumandang. Kupikir hari ini sedang hujan dan genting di atas kamarku bocor sehingga meneteskan air ke mukaku atau bayangan Mama yang masuk ke kamar dengan segayung air sudah tersaji dalam pikiranku secara otomatis. Sangat mengusikku.
Aku membuka mata pelan. Mengerjap samar sebelum kesadaranku tertarik sempurna ke dunia nyata. Hilang sudah mimpi yang tadi kumimpikan. Rasa mual langsung memenuhi perutku.Tak kuat melihat pemandangan di depan mata. Dan sepagi ini, aku sudah memuntahkan semua makanan yang kumakan tadi malam ke lantai.
Huek!
Wajah itu.
Wajah yang pertama kali aku lihat saat membuka mata hari ini.
Wajah hancur dengan satu bola mata keluar. Tengkorak di balik kulit itu terlihat meski berbalut darah yang terus menerus keluar menetes ke bawah.
Wanita yang tadi melayang di atasku tidur itu menghilang begitu melihat semua makanan di perutku keluar. Kurang aseeeeem!!! Heyyy!! Siapa yang tidak mual ketika darah yang berasal dari wajah hancur itu menetesi mukamu? Bau anyir juga langsung memenuhi indera penciumanmu?
"Hihihihi....Indigo....."
Tanpa menoleh pun aku tahu siapa yang baru saja memanggilku. Hey, aku kan artis di dunia astral. Sudah jelas itu para fansku.
"Indigo....hihihihi...."
Wanita bermuka hancur tadi tiba-tiba sudah berada di sampingku. Tepat satu jengkal dari samping wajahku.
"Jangan muncul dengan wajah menyeramkan seperti itu! Menjijikkan!" desisku kesal. Seandainya saja bisa menyentuhnya, sudah pasti sejak tadi ku tendang wajahnya. Biar, biar tambah hancur tuh wajah hancur.
Aku berlalu ke kamar mandi. Aku mau mandi besar sepagi ini. Berasa sudah dinodai diriku. Tapi sebelumnya, aku membersihkan sampahku yang tumpah di lantai kamar.
Fix. Dia merajuk aku abaikan. Dia tuh tak sadar mukanya hampir ilang apa ya?
Lagi pula, aku malas berurusan dengan mereka. Yang jelas, jika aku menuruti salah satu dari mereka, yang lain akan iri dan mengejarku. Ini aja yang gak pernah dituruti masih sering usil. Lha apalagi yang aku perhatikan?
Aku meletakkan handuk di cantelan begitu sampai di kamar mandi. Hal yang pertama kali kulirik adalah rambut yang memenuhi bak air. Persis seperti mie ayam yang baru direbus.
"Dasar makhluk gak punya nyawa!"
"Indigo jahat ihh...."
Aku tertawa garing mendengar suara yang mirip desisan itu, "Baru tahu!!" batinku dengan nada kesal.
Sebenarnya, segala jenis interaksiku--dalam hal ini berbicara dengan mereka-- selalu aku ucapkan dalam batin. You know lah. Mereka itu malas. Punya mulut tapi gak bicara pakai mulut. Lha terus pakai apa dong? Ya mana aku tahu. Tanyakan sendiri pada mereka!
👻👻👻👻👻👻
Aku baru berangkat sekolah setelah Aldan menjemputku. Pemuda itu, begitu aku keluar dari kamar sudah duduk anteng di meja makan bersama Ayah dan Ibuku. Tak ada sungkan-sungkannya, piring di hadapan Al sudah penuh dengan semua hidangan sarapan pagi ini.
Kalian tahu, kenapa dia begitu bebas di rumahku? Dia sahabatku. Dari aku mulai bisa berbicara. Woahhh, lama amat ternyata.
"Kamu abis nongkrong di ujung ya, Al?" tanyaku setelah motor yang kami tumpangi melaju menjauh dari rumahku.
"Ujung mana?" lihatlah! Dia sepertinya pura-pura gak tahu.
Aku memutar bola jengah. Dia jelas tahu maksudku, "Kuburan ujung kampung lah! Mana lagi?!" aku memukulkan kepalan tanganku pada helm di kepala Al.
Ternyata tanganku yang sakit bro!
Si Al cengengesan, "Kamu kok tahu sih, Kin? Kamu peramal, ya?"
Plok!
Sekali lagi, tanganku harus sakit menghantam kerasnya helm Al.
"Aduh! Jangan KDRT dong! Ini lagi di motor lho," dia berusaha menyeimbangkan motor yang sempat oleng.
"Jawab apa susahnya sih?!" aku berujar keras. Sampai-sampai pengendara lain menoleh ke arahku. Aku? Jelas abai dengan muka masam mereka. Yang serem banget aja aku abaikan kok.
"Iya. Kenapa?"
Aku mengangguk beberapa kali, "Pantes. Lututmu sakit, kan?" aku mengintip lutut kanannya sebentar. Dia, bocah laki-laki itu tersenyum padaku hingga mulutnya robek sampai ke telinga. Darah mengucur dari balik robekan kulit itu. Entah, dulu bagaimana caranya dia bisa meninggal? Miris sekali anak kecil itu dijadikan figur penampakan oleh jin iseng.
"Indi...go..."
"Eh? Kamu kok tahu sih, Kin?" aku kembali memusatkan perhatianku pada Al, "dari sehabis aku bangun tidur tadi pagi, lututku sakit banget. Seperti membawa beban."
Aku mengangguk beberapa kali, "Ya tahu lah. Lha wong ada yang nemplok di lututmu."
Detik selanjutnya, aku hampir jatuh dari motor Al yang tiba-tiba berhenti. Gila si Al. Motor lagi kencang-kencangnya tiba-tiba ngerem mendadak. Untung aku pegangan pada tasnya. Kalo enggak kan bisa malu banget aku jatuh dalam posisi yang enggak elit sama sekali.
Plok!
Aku memukul helm bagian belakangnya, lagi.
"Gila, ya?!" bentakku, "kalo mau mati, mati sendiri aja! Kalo mau celaka, celaka sendiri aja! Jangan ajak-ajak!"
Emang gila Si Al. Aku jantungan. Asli. Rasanya lebih kaget saat diriku bersinggungan dengan celaka dari pada bertatapan muka dengan mereka.
"Salah sendiri nakut-nakutin!" ucapnya sembari turun dari motor yang langsung aku ikuti. Dia terlihat bersusah payah menuntun motor. Kasihan juga sih sama si Al.
"Sini," aku mendorong tubuh Al pelan, kemudian mengambil alih kedua stir motor dari tangannya. Kini, giliran aku yang menuntun motor, membawanya ke tepi jalan. Sedangkan Al berjalan di sampingku.
"Aduh........Kin, kakiku kok berasa tambah sakit, ya?" Al berhenti. Posisinya kini sedan memegangi lutut. Persis gerakan ruku' ketika sholat.
"Sakit banget?" Al mengangguk lemah. Wajah tengilnya kini berubah sedikit pucat padahal cuaca sedang mendung. Aku yakin, ini efek yang dibawa bocah kecil di lutut Al. Tanpa banyak kata, Aku menaiki motor Al, "naik!" perintahku pada Al.
Al berjalan tertatih naik dalam boncengan. Tak lama, aku memutar laju motor, kembali ke asal kami berangkat.
"Lho? Aku gak mau pulang, Kin. Lagian aku gak pa-pa kok," Al sedikit berteriak karena aku semakin menambah kecepatan laju motor.
"Siapa juga yang mau nganterin kamu pulang?"
Entah Al sadar atau tidak, motor yang kukendarai kini sedikit serat lajunya, padahal kecepatan motor sudah mencapai angka 100km/jam. Beban di lutut Al benar-benar menyusahkan.
"Lho? Lha terus kita mau kemana? Kamu jangan aneh-aneh, deh? Jangan ngajak-ngajak kalo mau bolos!"
Aku tak menyahuti ucapan Al, "Pegangan!" entah memang Al yang keras kepala atau malah suaraku yang tak terdengar. Biarlah, yang penting aku sudah bilang, kan?
"Woyy!! Mau kemana sih ngebut-ngebut?" Al mencengkeram pundakku.
"Nganterin pulang bocil yang nemplok di lututmu."
👻👻👻👻👻👻
"Rangdhe tu mohe gerua....ranjhe ki dilse hai duaaa...."
Aku mengabaikan suara sumbang di depan kelas sana. Al sedang berdiri menjadi pusat perhatian. Kini aku sedang fokus menatap buku matematika yang terlihat sangat menarik. Huh, mereka tak tau saja kalau sebentar lagi ada ulangan dadakan. Kalau saja mereka tahu, aku berani jamin, kelas ini sesepi kuburan tempat Al biasanya nongkrong.
"Kin! Aku jadi Shah Rukh Khan, kamu Kajol-nya. Ayo kita duet!"
Aku melirik Al sekilas. Dia berada tepat di depan white board. Memegang kemoceng yang diarahkan ke depan mulutnya. Berlagak seolah-olah itu mic. Kurang asupan sepertinya.
Teman sekelasku yang lainnya terlihat menunggu aku maju. Tak sedikit diantara mereka yang menyorakiku.
Aissshhhh!! Mereka kira aku ini apaan?! Berasa mau lomba aja pakai disorakin suruh maju.
"O-gah."
Aku kembali mempelajari rumus matematika yang sebentar lagi akan diujikan. Aku menulikan pendengaran. Aku mengabaikan mereka semua.
"Ayolah Kin..." Al masih merengek di depan sana.
"Aldan! Kembali ke tempat dudukmu!"
Uhh, sukurin!! Aku jadi pengen ngetawain Al. Tapi sayang, waktunya kurang pas.
Seluruh manusia di kelasku mulai heboh, kembali ke tempat duduk mereka masing-masing. Guru yang baru saja masuk itu langsung duduk di tempatnya. Al yang duduk di belakangku merengut kesal.
"Gara-gara kamu sih, Kin!" dia berkata pelan yang masih bisa kudengar jelas.
"Kumpulkan semua buku matematika kalian di meja saya sekarang!" interupsi pak Burhan yang langsung dibalas pekikan tak terima oleh teman-temanku.
"Lho Pak?"
"Ulangan dadakan, lagi?"
"Minggu lalu sudah, Pak!"
Pak Burhan memindai seluruh penghuni kelas, "Tidak ada bantahan!"
Mereka dengan terpaksa mengumpulkan buku ke depan. Gerutuan-gerutuan kesal masih terdengar samar. Aku? Santai saja. Toh tadi sudah belajar. Kuucapkan terima kasih pada penghuni ruang guru yang tadi menampakkan diri. Ah, terkadang mereka yang tak ingin aku lihat menjadi seseorang yang sangat membantu.
"Kamu udah tahu ya kalau hari ini mau ulangan dadakan?"
Al menodongku dengan pertanyaan begitu kembali dari depan. Dia terlihat kesal padaku.
"Iya kan? Kamu udah tahu kan?" tuntutnya yang hanya kubalas dengan mengangkat bahu. Masa bodo.
Aku mendengar dia berdecak sebelum lembaran soal mulai dibagikan. Huft! Fokus ulangan Kinar! Kamu harus dapat nilai bagus lagi!
"Indigo...."
Hembusan nafas dingin mulai terasa di telingaku.
"Indigo...."
Lagi. Hembusan nafas itu terasa lagi. Tidak. Bukan hembusan nafas. Tapi, tiupan kecil yang membuat tubuhku meremang. Hey, meski aku sudah biasa berhubungan dengan hal seperti itu, tubuhku tetap bereaksi seperti manusia pada umumnya.
"Indigo...."
Darah menetes di kertas ulanganku. Menutup jawabanku. Tidak. Ini hanya halusinasi. Ini hanya tipu daya mereka. Mengabaikan gangguan kecil mereka, Aku kembali melanjutkan ulanganku.
"INDIGO..INDIGO..INDIGO..INDIGO!!!"
Kepalaku tiba-tiba sakit. Suara melengking itu menggema di telingaku. Semua yang kulihat tiba-tiba berputar. Pelan, agak kencang dan semakin kencang. Tidak! Aku tidak mau dimanfaatkan mereka! Aku tidak mau dirasuki!
"INDIGO..INDIGO..INDIGO..INDIGO!!!"
"ARRRRGGGHHH!!! APA KALIAN TIDAK BISA DIAM?!" teriakku kesal.
Hening. Suara-suara tadi hilang. Alhamdulillah, aku tetap sadar. Nafasku tersenggal-senggal. Sejenak aku lupa kalau sedang berada di dalam kelas. Dan parahnya, semua mata sedang tertuju ke arahku.
"Kenapa kamu berteriak, Kinara?!" Suara super keras itu menyadarkanku.
"Apa kamu sudah selesai?! Kalau sudah kumpulkan sekarang!!"
Aku mengangguk, hendak bangkit dari dudukku. Namun, aku baru sadar kalau sejak tadi tangan Al memegang pundak kananku.
Aku menoleh pada Al. Tersenyum padanya, "Aku gak pa-pa."
Dia tetap tak melepas pegangannya, "Serius? Kamu terlihat pucat, Kin," ucapnya dengan wajah khawatir. Memang di sekolah ini hanya Al yang tahu keunikanku. Ah, dia itu yang selalu mengerti aku. Bahkan mungkin di saat orang lain menganggap aku halusinasi atau tidak waras, hanya Al yang tetap mempercayaiku.
Aku melepas pegangannya di pundakku perlahan, "Iya. Aku gak pa-pa. Mereka belum sempat masuk," aku berusaha meyakinkannya.
Al hanya mengangguk pelan. Aku berjalan ke depan, mengumpulkan ulanganku. Tatapan teman sekelas terarah padaku dengan beragam macam ekspresi mata. Ada yang molotot, pun ada yang memelas. Mungkin mereka kesal padaku. Karena sudah menjadi rahasia umum jika ada yang sudah mengumpulkan lembar ulangan Pak Burhan, itu tandanya sepuluh menit lagi semua wajib lembar murid sekelas dikumpulkan.
Aku tersenyum pada mereka, kemudian melambaikan tangan dan keluar dari kelas.
"Indigo...."
Aku tersentak kaget dan menoleh pada sumber suara, "Kamu yang tadi mau masuk?" todongku pada sosok laki-laki pucat di sampingku.
Sosok itu menggeleng samar. Seriusan yang satu ini tidak menyeramkan, menurutku sih. Juga lumayan good looking. Dia terlihat seumuran denganku. Dia juga memakai seragam SMA yang sudah kusut. Hanya lubang di keningnya yang sedikit mengeluarkan darah, agak terlihat mengerikkan. Sepertinya dia mati karena tertembak. Demi apapun, kesalahan apa yang dia perbuat di masa lalu sehingga ia terbunuh? Dan siapa yang tega melakukan hal sekotor itu?
"Indigo....teror jin akan terjadi di sini. Kamu harus menghentikan teror itu! Kami butuh bantuanmu. Berkerja sama-lah!"
Aku yang masih belum connect dengan perkataannya hanya bisa menatap dengan pandangan bingung. Mungkin efek hampir 'kemasukan' membuat separuh otakku nge-blank.
"Hah? Maksudnya??" aku menatapnya penasaran. Dia juga balas menatapku beberapa saat sebelum tubuhnya berubah menjadi transparan dan menghilang. Meninggalkanku dengan satu tanda tanya besar.
Tunggu-tunggu!
Apa tadi maksud dari sosok laki-laki itu? Teror jin? Butuh bantuan? Kerja sama? Haisshh! Kenapa tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak ya?
Aku memegang tengkukku yang tiba-tiba saja meremang. Aku merasa sekujur badanku merinding sebelum sebuah tangan mendarat di pundakku.
"Woahh!!!" aku langsung terjungkal saat membalikkan badan dan kudapati Al sudah berdiri tepat di belakangku.
"Gitu aja kaget! Ngapain kamu masih berdiri di tengah pintu gini?"
Aku memukul lengannya dengan sekuat tenaga.
"Ouch!!! Sakit, Kin!!!"
"Salah sendiri! Kamu ngapain pakai ngagetin segala, hah?! Aku kira kamu hantu, tau!"
"Yee..... Kamu yang ngapain berdiri di tengah pintu. Ini masih untung aku cuma tepuk pundak. Kalau yang lain mungkin udah dijorokkin kamu gara-gara halangin pintu keluar!"
Hah!
Aku membuang muka dengan mulut komat-kamit, "Udah ah, berisik! Makan yuk! Laper nih." kataku sambil menarik lengan kanan Al, membawanya mengikuti langkahku.
"Eh, Kin! Kamu beneran gak pa-pa, kan? Tadi..... ada yang mau masuk, ya?" bisiknya pelan.
Aku hanya menjawab pertanyaan Al dengan gumaman. Omong-omong mendengar pertanyaan dari Al, aku jadi ingat sosok berkepala bolong tadi.
Teror jin? Teror seperti apa yang dimaksud oleh sosok tadi?
👻👻👻👻👻👻
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!