NovelToon NovelToon

Dia Yang Tak Terjangkau

Catatan Penulis

Hai, teman-teman semua! Apa kabar?

Kisah Hadi dan Dira akan segera kita mulai. Semoga pembaca suka seperti halnya kisah orang tua mereka, Hendra dan Za. Bagi para pembaca baru, novel ini bisa dibaca tersendiri tanpa harus membaca cerita orang tua mereka terlebih dahulu. Bagi yang belum dan ingin membaca, silakan baca novel berjudul "Hati yang Tak Tersentuh" di sini.

Sebagai pemberitahuan, aku mungkin tidak bisa update setiap hari selama bulan ini, tetapi aku usahakan pada bulan Mei. Bagi yang tidak tahan dengan rasa penasaran, boleh dibaca nanti. Bagi yang ikut bersamaku menjalani hari-hari bersama Hadi dan Dira, juga boleh.

Jangan lupa dukung karyaku ini dengan memberi jempol, komentar jika ada, dan vote jika berkenan, ya. Sentuh juga bentuk hati/favorit agar setiap kali update, teman-teman mendapatkan notifikasinya. Terima kasih banyak.

Salam sayang,

Meina H.

Bab 1 - Pencuri

*Mila*

“Pencuri!! Cepat kejar dia! Dia mencuri dompetku!”

Aku berlari sekuat tenaga dari kejaran banyak orang. Kaki kecilku tidak kuat berlari melombai kaki para orang dewasa, tetapi aku terus berusaha. Aku tidak tahu mengapa mereka menunjuk ke arahku dan mengejar aku. Yang aku lakukan dari tadi hanya mengambil sisa makanan yang dibuang orang. Aku tidak mencuri.

Melihat tempat yang cocok untuk bersembunyi, aku segera menundukkan tubuh dan membuat badanku menjadi sekecil mungkin. Jantungku berdebar cepat sekali mendengar langkah kaki yang melewati aku. Ada begitu banyak orang yang berlari hingga tanah yang aku pijak bergetar. Aku sampai menahan napas agar tidak ada yang mendengar.

Ketika tidak ada lagi langkah kaki yang terdengar, aku mengangkat kepalaku. Aku mengintip dari tempat persembunyianku, sudah tidak ada lagi orang-orang yang mencari aku. Perutku tiba-tiba berbunyi. Aku belum sempat makan, tetapi makanan yang aku kumpulkan tadi sudah jatuh.

Aku terpaksa berjalan pulang. Supaya tidak bertemu dengan mereka, aku memilih jalan lain. Aku melewati tempat kapal besar berlabuh. Kata Ibu, kami akan pergi naik kapal itu suatu hari nanti. Tetapi Ibu dan Ayah sudah tidur panjang di dalam tanah, kami tidak bisa pergi naik kapal.

Seorang wanita berlari mendekati aku sambil meneriakkan sebuah kata yang tidak bisa aku pahami. Melihat dia berambut pirang, aku segera berlari menjauh. Ibu bilang, aku harus menghindar setiap kali bertemu dengan perempuan berambut pirang dan bermata biru seperti aku. Jadi, aku segera kabur dan mencari tempat persembunyian.

Aku sudah lelah sekali, tidak sanggup berlari lagi seperti ini. Untung saja aku menemukan tempat yang cocok dan mereka terus berlari melewati aku. Setelah keadaan aman, aku berlari pulang ke rumah secepat mungkin. Takut bila aku mencari makanan, aku akan dituduh mencuri lagi.

Hanya aku yang tinggal di rumah kosong ini. Ayah dan Ibu tidak pernah menemani aku bermain dan selalu meninggalkan aku sendiri. Aku juga dilarang keluar untuk bermain dengan anak-anak yang lain. Aku tidak merindukan ayah dan ibuku karena mereka sayang padaku, tetapi aku rindu mereka untuk memberi aku makan.

Orang banyak datang ke rumah ini terakhir kalinya adalah saat Ayah dan Ibu dikubur. Begitu mereka pulang, aku sendirian di rumah. Tidak ada yang memasak untukku, tidak ada yang bicara denganku, sampai aku kelaparan dan memeriksa apa yang bisa aku makan di dapur. Tetapi tidak ada apa-apa. Hanya peralatan makan dan memasak yang sudah rapi dibersihkan orang banyak yang pernah datang ke rumah. Orang yang tidak datang lagi.

Karena lapar, aku mencari makanan dari mana saja. Tempat sampah bukanlah tempat untukku karena anjing liar sudah lebih dahulu menguasainya. Aku beberapa kali beruntung bisa makan nasi sisa yang ada di piring yang ditinggalkan orang di warung makan. Tetapi aku akan dipukul bila ketahuan oleh pemilik warung.

Belajar dari pengalaman, aku sering berkeliaran di pasar karena mereka suka membuang buah yang busuk ke jalan. Pisang, jeruk, dan mangga mudah dibersihkan karena kulitnya bisa dibuang. Tetapi untuk apel dan anggur, aku harus segera mengambilnya dari tanah sebelum diinjak orang.

Sejauh apa pun aku pergi, aku selalu pulang ke rumah dan tidur di sana setiap malam seorang diri. Namun penderitaanku berakhir saat seorang ibu tua melihat keadaanku dan memberi aku makan. Dia juga membersihkan badanku dan mengganti pakaianku yang sudah mulai kekecilan. Dia mengajak aku tinggal bersama di rumahnya.

Setiap hari dia membawa aku ke sebuah bangunan besar di mana ada banyak orang yang mondar-mandir. Aku diminta untuk duduk di salah satu sudut dapur di saat dia sedang bekerja. Dia tidak suka aku berkeliaran di tempat itu karena orang-orang suka mengajak aku bicara. Mereka heran melihat aku berbeda dengan orang kebanyakan. Rambutku pirang dan mataku biru.

Hanya sebentar bersamanya, ibu itu juga berbaring di lantai sama seperti Ayah dan Ibu. Orang-orang banyak datang ke rumahnya. Mereka menangis, bernyanyi, dan bicara sampai ibu itu dimasukkan ke tanah. Setelah aku dewasa, barulah aku mengerti bahwa itu pertanda mereka meninggal, pergi jauh dari dunia ini.

Aku masih sering datang ke tempat ibu tua itu bekerja karena di sana ada banyak makanan. Sampai ada gadis kecil yang menyapa aku dan kami bermain bersama. Dia juga punya warna rambut yang sama denganku, tetapi matanya berbeda. Orang bilang, itu warna cokelat.

Dia kemudian menjadi adikku. Orang tuanya menyukai aku dan mengangkat aku menjadi anak mereka. Prosesnya cukup lama karena mereka orang asing dan orang tuaku ternyata tidak punya tanda pengenal apa pun yang ada hubungannya dengan aku. Bahkan dalam kartu keluarga mereka, namaku tidak tercantum di sana.

Ketika mereka membawa aku pergi dari tempat itu, aku punya nama kedua. Mila tetap menjadi nama depanku dan mereka menambahkan Foster, nama keluarga mereka. Nama keluargaku. Kami hidup bersama di sebuah rumah sederhana jauh dari rumah Ayah dan Ibu. Aku pergi ke sekolah, bertemu dan bermain dengan banyak teman. Aku sangat bahagia.

Setelah hidup bersama mereka, aku tidak kelaparan, kedinginan, atau sendirian lagi. Dad dan Mom sayang kepadaku, begitu juga dengan adikku. Orang-orang juga tidak menganggap aku aneh, karena aku punya saudara yang mirip denganku.

Lalu suatu hari, sikap adikku berubah kepadaku. Dia tidak mau lagi bermain bersamaku. Dia sering menuduh aku melakukan hal yang jahat kepadanya. Hal-hal yang tidak pernah aku lakukan. Sampai suatu hari aku dituduh mencuri berlian milik Mom dan mereka menemukan benda itu secara ajaib ada di laci nakasku.

“Apa Papa dan Mama percaya kepadaku sekarang? Dia ini anak yang tidak tahu berterima kasih. Setelah dia tinggal bersama kita, hidup dengan enak, sifatnya tetap saja tidak berubah. Percayalah, Pa, Ma. Rapor yang dia tunjukkan kepada kalian itu bukan hasil kerja kerasnya. Itu semua hasil dari mencontek. Papa dan Mama boleh tanya teman-teman sekelasnya.” Tuduhan adikku terus berlanjut. Dia menggunakan bahasa Inggris dan aku bisa memahaminya dengan baik.

“Sikap rajinnya di rumah juga hanya pura-pura. Setiap kali Papa dan Mama tidak ada di rumah, dia hanya duduk, makan, dan menonton sepanjang hari. Dia juga sering mengundang teman-temannya datang ke sini dan menghabiskan semua makanan di rumah kita.

“Aku bahkan menyaksikan sendiri dia mulai genit dengan laki-laki. Papa dan Mama silakan tanya teman-temannya, mereka pernah melihat dia ciuman dengan seorang pemuda di kelasnya. Kalau bukan karena tertangkap basah, entah akan sejauh apa mereka berduaan di ruangan itu,” kata adikku dengan suara berapi-api.

“Papa dan Mama harus melakukan sesuatu. Aku bisa malu kalau sampai teman-teman melihat lebih banyak lagi kelakuannya yang buruk!” Kali ini dia terisak-isak. Mom memeluknya, Dad juga. Aku hanya bisa berdiri melihat mereka bertiga, satu keluarga, perlahan mengeluarkan aku dari lingkaran kasih sayang mereka.

Mereka memang tidak melaporkan aku kepada polisi pada hari itu, tetapi tuduhan pencuri melekat kuat di benakku. Orang yang semula sayang kepadaku, menyakiti aku dengan cara yang tidak pernah aku sangka. Aku bahkan tidak diberi kesempatan untuk membela diri.

Begitu aku menyelesaikan SMU, aku pamit. Aku sudah cukup mendapat perlakuan tidak adil di rumah mereka. Ijazah sudah di tangan, dokumen pribadi lainnya yang pernah mereka urus sudah aku bawa, aku siap untuk hidup mandiri. Aku hanya membawa pakaian seadanya agar aku tidak dituduh mencuri. Dengan satu koper, satu tas ransel, sepatu dan jaket yang aku pakai, aku bersiap pergi dari rumah.

“Tetapi, Mila, kamu akan tinggal di mana?” tanya Mom yang mengkhawatirkan aku.

“Mama tidak perlu khawatirkan itu. Aku yakin ada banyak teman laki-lakinya yang siap memberi tempat tinggal.” Dia menendang koperku. “Buka. Aku mau lihat apa kamu diam-diam mencuri pakaianku atau perhiasan Mama.”

“Sayang, bila kamu kehilangan satu atau dua pakaian, kami akan membelikannya lagi untukmu,” ucap Mom melerai. “Biarkan dia pergi dengan damai tanpa ribut lagi.”

“Tidak, Ma. Aku punya banyak pakaian dari sponsor yang harus aku kembalikan dalam kurun waktu tertentu. Pakaian itu tidak murah, Mama atau Papa tidak akan bisa membayarnya.” Dia kembali menendang koperku. “Apa yang kamu tunggu? Cepat buka!”

“Kamu punya tangan. Jika kamu begitu percaya aku telah mencuri pakaianmu atau perhiasan Mama, buka saja sendiri,” kataku, lelah mengalah dengannya.

Dia menendang koper itu sampai tertidur, lalu membukanya dengan kasar. Tentu saja dia tidak berniat memeriksa dengan baik, dia melempar semua isi dalam koper itu ke setiap penjuru ruangan. Aku menatap Dad dan Mom yang hanya diam saja melihat tingkah putri mereka. Pada detik itu, aku sadar. Aku tidak pernah menjadi putri bagi mereka. Aku hanyalah anak yang mereka pungut dari hotel di mana mereka berlibur sekeluarga.

Aku merapikan kembali setiap pakaian yang dibuat berantakan tersebut. Seandainya saja bisa, aku ingin sekali menumpuk pakaian itu begitu saja di dalam koper. Tetapi semua pakaian itu tidak akan muat masuk ke dalam koper bila tidak dilipat dengan rapi. Membuang-buang waktuku saja.

Gadis jahat itu sengaja berdiri di depanku, menikmati aku berlutut di hadapannya. Aku tidak marah kepadanya, aku justru merasa kasihan. Dia harus bertindak serendah ini hanya untuk membuktikan bahwa dia lebih baik dari aku.

“Hei, jangan lupa. Kamu harus membayar semua uang yang orang tuaku keluarkan untukmu selama kamu tinggal di sini. Kamu sudah berani mencuri, jadi kamu harus membayar semua biaya hidupmu sebagai ganti kami tidak melaporkan kamu pada polisi,” kata gadis itu setelah aku pamit. Itu adalah serangan paling menyakitkan yang pernah dia ucapkan.

“Aku tidak mencuri … ah, sudahlah. Ma? Pa?” Mereka berdua hanya diam, tidak mengatakan apa pun mengenai kalimat kejam yang diucapkan putri mereka. “Baiklah. Sikap diam kalian aku anggap sebagai kalian setuju aku harus membayar utang pada keluarga ini. Tolong hitung dan beri tahu aku nominalnya. Aku pasti akan bayar setiap sennya dengan lunas.”

“Kalau kamu tidak sanggup bayar?” tantang gadis yang pernah aku sayangi sebagai adikku sendiri.

“Bagaimana kalau aku sanggup bayar?” Aku balik menantangnya.

Bab 2 - Pekerjaan

Aku melihat baik-baik kamar yang dipilih oleh Sigit. Ini jauh lebih baik dari kamar yang biasanya dia pesan. Petugas hotel meletakkan koperku di atas rak yang ada di samping lemari pakaian, lalu pamit setelah memberi tahu di mana kunci kamar diletakkan.

Ini bukan pertama kalinya aku menginap di hotel, tetapi aku tidak mencoba untuk meralatnya. Aku mengangguk ke arah tempat kunci di mana dia meletakkan kartu yang segera mengaktifkan listrik di kamar ini. Setelah memberinya tip yang sewajarnya, aku memintanya untuk meninggalkan aku.

Begitu pintu tertutup, aku memasang gerendel agar tidak ada yang bisa masuk walaupun memiliki kunci kamar ini. Aku percaya pada karyawan hotel yang tidak akan merusak reputasi tempat kerja mereka sendiri, namun tidak ada salahnya berjaga-jaga.

Aku melirik jam tangan, dan jarum jam menunjukkan bahwa aku hanya punya waktu kurang dari dua jam untuk bersiap-siap. Aku segera mengeluarkan dress berwarna biru dari koper dan meletakkan di hanger agar kainnya tidak kusut. Warna yang akan semakin memperjelas warna mataku.

Biasanya aku memakai rambut palsu dengan warna lebih gelap sesuai dengan warna rambut orang kebanyakan, juga menggunakan lensa kontak berwarna gelap. Tetapi klienku kali ini adalah orang asing, jadi aku ingin tampil apa adanya. Rambut pirang dan mata biruku akan membuat aku terlihat lebih cantik daripada penampilan palsuku.

Ponselku bergetar di atas konter, di sisi peralatan rias yang masih berantakan. Aku membaca pesan baru yang ada di kotak masuk. Dari Sigit. Colin akan tiba lima belas menit lagi. Pastikan kamu sudah siap saat dia mengetuk pintu kamarmu.

Aku menatap bayanganku di cermin. Rambutku tergerai dengan satu sisi aku seka di belakang telinga memperlihatkan anting panjang yang indah menggantung di telingaku. Dress biru dengan kerah sabrina dan berlengan pendek membungkus tubuh bagian atasku dengan sempurna, lalu roknya melebar hingga sedikit di atas lutut.

Colin menginstruksikan agar aku mengenakan pakaian yang sopan, maka ini adalah pilihan yang aman. Syukurlah, kali ini klien tidak meminta aku mengenakan pakaian yang menunjukkan belahan dadaku. Walaupun aku melakukan ini demi uang yang banyak, aku tidak nyaman saat laki-laki menatap dadaku, bukan wajahku.

Sepatu berwarna krem dan tas tangan berwarna senada melengkapi penampilanku. Aku mengambil ponsel dan memasukkannya ke dalam tas. Hanya ada beberapa lembar uang, KTP, dan tisu di dalamnya. Aku juga tidak lupa memasukkan bedak wajah dan lipstik.

Ketika pintu diketuk, aku sudah siap untuk misiku. Aku menyapukan pandangan ke sekitarku dan tersenyum puas melihat kamar masih rapi dan kamar mandi juga sudah bersih. Aku membuka pintu dan gerendel membantu menahannya hanya terbuka sedikit.

“Colin Andrew Lewis,” kata pemuda yang berdiri di depan pintu. Itu adalah nama klienku, maka aku menutup pintu, melepas gerendel, dan membuka pintu lebih lebar.

“Hai, Colin. Aku sudah siap.” Aku tersenyum manis kepadanya. Tidak seperti klienku yang biasanya, dia tidak menghabiskan banyak waktunya untuk melihat penampilanku. Pemuda yang menarik.

Sepanjang perjalanan, dia juga hanya diam saja. Aku menggunakan waktu senyap itu dengan memerhatikan penampilannya. Dia berambut cokelat yang dibiarkannya sedikit panjang, namun tetap rapi. Aku perhatikan tadi matanya berwarna biru, lebih cerah dari warna mataku. Tubuhnya tinggi dan kelihatannya dia suka berolahraga bila dilihat dari tubuhnya yang atletis.

“Kamu tahu bahwa sikapmu tidak bisa begini terhadapku di depan teman-temanmu nanti, ‘kan?” godaku mencoba untuk mencairkan suasana.

“Aku tahu apa yang harus aku lakukan nanti,” jawabnya dengan bahasa Inggris.

“Oh, apa kamu tidak bisa berbahasa Indonesia tetapi bisa memahami aku?” tanyaku ingin tahu.

“Jangan bilang kamu tidak bisa berbahasa Inggris. Karena aku membayar jasamu dengan mahal untuk berpura-pura menjadi pacarku dari Amerika,” sungutnya. Ooo, itu maksudnya mengajak aku bicara menggunakan bahasa asing. Meskipun bahasa Indonesianya cukup lancar, dialek Amerikanya terdengar masih kental.

“Jangan khawatirkan itu. Khawatirkan saja tentang aktingmu agar bisa meyakinkan semua orang,” balasku. Dia tersenyum senang mendengar kalimatku itu.

“Aku bisa berakting.” Dia memutar bola matanya. “Bagaimana kamu bisa berbahasa Indonesia dengan fasih?”

“Aku besar di negeri ini. Hanya itu yang aku tahu.” Aku mengangkat kedua bahuku.

“Apa maksudmu hanya itu yang kamu tahu? Apa kamu tidak punya orang tua?” tanyanya ingin tahu. Kami tidak akan bertemu lagi setelah pekerjaanku usai, maka aku memutuskan untuk jujur. Lagi pula dia kelihatannya orang baik.

“Semua orang punya orang tua. Aku hanya tidak tahu siapa mereka,” akuku. Dia menoleh ke arahku sesaat. “Aku diasuh oleh orang tua angkatku.”

“Oh. Maafkan aku. Kita akan bersenang-senang malam ini, aku malah mengajukan pertanyaan yang sensitif.” Dia kembali melihat ke arah jalan di depannya. “Jadi, jangan lupa. Kamu bisa menyebut nama apa saja kepada mereka. Tetapi fakta lain tidak boleh salah. Kita bertemu pada liburan musim panas tahun lalu. Selama ini kita menjalin hubungan jarak jauh dan akhirnya saling jatuh cinta.”

“Kamu juga tidak boleh lupa. Peraturannya, tidak boleh ciuman atau hubungan badan. Kamu hanya boleh mencium pipi, kening, tetapi jangan turun ke leher, tangan pun tidak boleh. Kamu hanya membayar aku untuk tiga kali pertemuan, jadi pilih waktumu dengan baik. Dan jangan sampai lewat dari bulan ini. Aku punya pekerjaan yang lain.”

“Iya, iya. Aku tahu.”

“Lalu, aku harus menjadi gadis seperti apa? Ceria, serius, pemarah, pemurung?” tanyaku lagi.

“Cukup jadi dirimu sendiri saja. Oh. Jangan jadi gadis manja. Aku tidak suka dengan perempuan yang suka menempel.” Dia bergidik pelan.

Aku tertawa kecil. “Apa gadis ini suka menempel padamu?”

“Tidak. Aku hanya tidak mau kamu berakting berlebihan hingga melewati batas. Aku hanya ingin mengakhiri hubungan kami secara baik-baik, bukan mematahkan hatinya.” Dia mendesah pelan.

Pemuda ini benar-benar aneh. Dia kelihatan sekali tidak suka dengan rencana ini. Dan sejak kapan memutuskan hubungan tidak akan mematahkan hati orang yang kita sayangi? Dia sebenarnya ingin mengakhiri hubungan atau tidak? Klienku yang lain selalu terlihat bersemangat dan penuh tekad melakukan drama sejenis ini. Tetapi dia tidak.

Dia menepikan mobilnya memasuki lapangan parkir sebuah restoran. Jantungku mulai berdebar sedikit lebih cepat. Meskipun ini bukan pekerjaan pertamaku, rasanya selalu mendebarkan. Kalau bukan karena aku membutuhkan uang, aku tidak akan menyakiti siapa pun seperti ini.

“Kamu sudah siap?” tanyanya saat kami berdiri di depan pintu restoran. Seorang pelayan sudah membukakan pintu untuk kami. Aku mengangguk pelan.

Pelayan tersebut mengantar kami ke sebuah ruangan. Saat dia membuka pintu, terdengar suara percakapan di dalam. Mereka mendadak diam saat melihat aku, lalu ke arah Colin. Ada belasan orang di dalam ruangan itu. Mereka semua terlihat seumur denganku dan Colin.

“Kamu sangat terlambat, Cole. Tidak seperti biasanya. Ayo, masuk,” ucap seorang pemuda dengan wajah yang sangat ramah. Ketika kami bertemu pandang, dia menatap aku cukup lama sebelum kembali melihat ke arah Colin.

“Maafkan aku. Aku harus menjemput sayangku dahulu.” Colin menarik tanganku yang ada dalam genggamannya agar mengikutinya. Dia menggunakan bahasa Indonesia, jadi aku harus berpura-pura tidak memahami percakapan mereka.

Dia mengajak aku mendekati meja di mana pemuda yang menyapanya tadi berada. Orang-orang yang duduk di meja lain sudah kembali melanjutkan percakapan mereka. Tetapi yang duduk mengelilingi meja ini tidak.

Aku duduk di samping seorang gadis yang sangat cantik, lalu Colin duduk di sudut, di sisiku. Semua mata di sekitar kami masih memandang ke arahku, membuatku sedikit canggung. Pemuda yang tadi sudah asyik dengan makanannya dan tidak lagi memedulikan kami.

“Ng, sayang. Aku meninggalkan ponselku di mobil. Aku segera kembali.” Colin menepuk-nepuk saku kemeja dan celananya mencari-cari sesuatu. Yang benar saja. Dia akan meninggalkan aku di tengah orang asing sendirian?

“Jadi, kamu teman Colin?” tanya gadis yang duduk di sisiku. Aku tidak tahu harus menjawab apa. “Ah, perkenalkan. Namaku Erendira. Panggil aku Dira.” Dia mengulurkan tangannya kepadaku dengan senyum manis tidak berhenti menghiasi wajahnya.

“Mila. Tidak, aku kekasihnya,” kataku sambil menjabat tangannya. Gadis bernama Dira itu menatap aku dengan saksama.

“Kamu pasti bohong,” kata pemuda yang duduk di depanku, pemuda yang menyapa Colin pertama kali. “Apa kamu tidak tahu bahwa Dira dan Colin sudah bertunangan?”

Oh. Sial. Mengapa Colin tidak memberi tahu aku tentang ini? Yang harus aku hadapi bukan seorang pacar tetapi tunangan? Apa dia sudah gila meninggalkan aku sendiri menghadapi mereka semua?

*****

Sementara itu di lapangan parkir~

Colin setengah berlari mendekati mobinya, lalu membuka pintu depan, dan mendesah lega melihat ponselnya masih tersimpan aman di sisi pintu depan. Saat dia mengambilnya, benda itu bergetar. Dia segera memeriksa layarnya, lalu menarik napas panjang.

“Halo, Ma!” sapanya dengan riang.

“Kamu sedang di mana? Mengapa aku menelepon Lily dan dia bilang kamu tidak sedang bersamanya? Apa kamu meninggalkan adikmu sendiri lagi?” omel Gista dengan garang.

“Tidak, Ma. Aku tadi minta tolong pada Hadi untuk menjemputnya dari sekolah. Sekarang kami sedang makan malam bersama.”

“Perayaan ulang tahun temanmu?” Colin mengiyakannya. “Ya, sudah. Jangan pulang terlalu malam. Papamu tidak akan senang melihat kalian pulang lebih lama darinya.”

“Iya, Ma.” Dia mengakhiri hubungan telepon setelah mengucapkan salam. Baru saja menutup pintu dan mengunci mobilnya, ponsel itu kembali bergetar. Kali ini ada sebuah pesan masuk. Dia segera membukanya karena nomor itu milik Mila.

Jadi, rivalku adalah tunanganmu!? Cepat kembali!

“Oh, Tuhan ….” Colin mengusap wajahnya dan bergegas kembali ke restoran.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!