Sepasang hazel menyorot penuh selidik dari balik pohon besar yang bertugas menghalangi tubuhnya, terus mengintai dengan tubuh gemetar. Ia tak pernah menyangka dirinya bahkan menjadi korban berkedok sahabat. Perempuan itu membatin penuh dendam hingga ia terdampar di tengah gelap.
"Ya Tuhan … aku takut, mommy tolong!" jerit gadis itu dalam hati. Tangannya memeluk diri sendiri dengan rasa takut dan bersalah.
Gadis itu terus melatunkan kalimat-kalimat harapan di tengah rasa putus asa yang mulai mendera. Entah sudah berlari berpuluh kilo meter untuk menghindari manusia lucnut itu. Tak apa, asal ia selamat dari lubang nista, bahkan lebih baik mati dengan mempertahankan kehormatannya dari pada harus terjatuh pada bajing@n sialan itu.
Derap langkah kaki yang mendekat, semakin membuat tubuh rampingnya bergetar. Mungkinkah malam ini dirinya akan tamat riwayatnya, atau menyerah dengan kehidupan penuh trauma. Suara umpatan bernada sumbang itu samar terdengar oleh rungunya. Gadis berwajah ayu itu bersiap mengambil ancang-ancang maraton bagai jawara handal.
Krek!!
Sneakers putih kesayangannya yang menjadi teman setia hari ini lancang menyapa ranting di bawah pijakannya. Sontak, mengalihkan perhatian dua orang bertopeng yang sedari tadi berusaha menemukan raganya.
"Sial!" umpat gadis itu setengah berlari meninggalkan lokasi persembunyian yang begitu sunyi. Ia pun merutuki kebodohan langkahnya yang menyusuri jalan sepi.
"Astagfirullah … buntu!" Napasnya tersengal seakan mau lepas dari raganya. Kilat geledek yang mengudara bagai suara yang menertawakan dirinya, lengkap sudah bertambah angin berhembus dan rintik hujan, semakin mewarnai nestapa yang siap menyapa.
"Mommy ...," lirih Shali menyebut ibunya dengan terus berlari hingga jauh entah ke mana.
Gadis itu menyusuri jalan di tengah malam yang terjal, ditambah hujan. Saat sudah di tepi jalan, binar asa itu kembali menyala, berharap menemukan siapapun orang yang akan menolongnya. Setidaknya untuk petualangan malam ini. Hingga dari kejauhan, nampak sorot mobil yang menyala. Tanpa ragu, Shali langsung menghadang di depannya. Hatinya sedikit lega, setidaknya ada harapan untuk esok.
Suara ban yang berdecit karena rem mendadak, membuat mobil itu berhenti seketika. Gadis itu mengetuk pintu kaca mobil dan meminta tumpangan. Seseorang dibalik kemudi, sedikit menurunkan kaca mobilnya dan mengangguk tanpa kata. Shali mengatupkan dua tangannya di dad@ mengucapkan terima kasih, lalu segera masuk di seat bagian samping kemudi.
"Terima kasih," ucapnya setelah mobil kembali membelah jalanan yang sepi. Seseorang dibalik kemudi itu hanya mengangguk, lalu menyodorkan air mineral dalam kemasan. Terlihat masih utuh, gadis itu menerimanya dengan menggumamkan terima kasih, karena haus berlari begitu jauh, ia pun segera membasahi kerongkongannya.
Merasa ada yang janggal, Shali pun meminta berhenti setelah mobil sampai di jalanan yang agak ramai. Dirinya juga merasakan pening yang tiba-tiba melanda.
"Mas, tolong bisa berhenti di alfa depan?" pintanya ketika netranya menyorot ada mini market di sebrang jalan dari jarak pandang kira-kira dua puluh meter.
Pria itu hanya mengangguk, namun begitu sampai depan mini market itu hanya melewati saja. Perasaan Shali bertambah tak enak, hawa panas mulai menyerang tubuhnya. Ia pun mulai tak bisa melihat dengan jelas objek di depannya. Padahal sebelumnya ia tengah mengamati jalan berharap menemukan petunjuk saat ini dirinya di mana.
"Mas, kita berhenti di mana ya?" tanyanya setengah memincing. Masih dengan kewarasan yang hampir lenyap. Tubuhnya mendadak tidak stabil. Bahkan saat pria itu menuntunnya ke sebuah lobi hotel, Shali menurut saja.
"Kita mau menginap di sini?" tanyanya setengah waspada. "Kenapa hanya memesan satu kamar? Maaf, aku harus pulang, terima kasih untuk tumpangannya."
Pria bermasker itu mencekal tangannya dan menyeret tangan gadis itu untuk terus mengikutinya. Sampai di lift, kebetulan ada satu orang di sana yang sudah lebih dulu menggunakan lift tersebut. Shali yang sudah semakin pusing, hanya tidak tahu harus melakukan apa saat tubuh pria itu mendekapnya.
Mereka berhenti di lantai yang sama. Lift terbuka, Shali merasa dirinya dalam bahaya, dalam pengaruh gejolak tubuhnya ia berusaha berontak dan sebisa mungkin melarikan diri dari orang dibalik masker tersebut.
"Masuk!" titahnya tegas.
"Kamu sebenarnya siapa sih, tolong lepasin aku!" rontanya setelah perempuan itu sampai di kamar hotel.
Pria itu membuka maskernya, dan betapa terkejutnya gadis itu melihat seseorang dibaliknya.
"Kamu, dibalik semua ini? Hah!" tanyanya setengah memaki. "Minuman apa yang sudah kau berikan untukku, laknat!"
"Tenanglah sayang, susah payah aku menolongmu dari kejaran orang itu, bagaimana kalau kau berakhir dengannya, bukankah lebih baik denganku, setelah ini aku juga akan pastikan bertanggung jawab terhadapmu."
"Pria gila, aku tidak mungkin mengikuti kemauanmu!"
"Kenapa? Takut diputusin Azmi? Kamu terlalu polos, ya sama-sama pasangan polos, aku muak melihat itu, kalau Azmi mempunyai hatimu, setidaknya aku mempunyai ragamu," ucapnya dengan seringai menjijikkan di wajahnya.
"Jangan menyentuhku!" Shali meronta sekuat tenaga yang ia bisa. Tak peduli dirinya akan berakhir seperti apa nantinya, perempuan itu harus berjuang menjaga mahkota dalam dirinya.
Bagai kucing yang meraung, gadis itu menancapkan gigi putihnya pada lengan pria itu yang menahan tubuhnya.
"Damn! Mau lari ke mana kamu, Shal!" Morgan dengan setengah mengibaskan tangannya menahan rasa sakit, kembali mendekati Shali yang tengah berpikir mencari jalan keluar.
"Morgan, lepasin!" Gadis itu terus meronta di tengah rasa takut yang melanda.
"Kamu harus membayar mahal atas apa yang kamu perbuat untukku, kamu pikir aku tidak sakit hati, nggak usah sok cantik, sayang, sebentar lagi kamu bahkan akan berakhir denganku!" tawanya sumbang terdengar menjijikkan.
Dengan rasa putus asa yang mendera, Shali refleks menendang inti tubuh pria itu hingga ia tersungkur.
Bahkan saat pria itu tengah meronta kesakitan, dengan beraninya Shali mengulang untuk yang kedua kalinya hingga pria itu terkapar tak berdaya.
"Akh ….!" desisnya menggeram marah. Tubuhnya tak bisa berdiri saking kejutnya.
Tak mau peduli, netranya nyalang menyusuri ruangan, mencari kunci digital dan menemukan kunci RFID yang terletak di nakas tepatnya di bawah ponselnya. Berjalan mendekati pintu dengan gugup, mencari kontak sensor pada pintu kamar, yang biasanya terletak di bawah daun pintu kamar hotel. Ia mengetukan cardlock pada kotak sensor tersebut. Terdengar bunyi dengan lampu sensor berwarna hijau itu menyala. Secepat kilat gadis itu memutar daun pintu itu.
Bruk!!
"Maaf, maaf nggak sengaja!" ucapnya tanpa menoleh objek di depannya yang ditabrak. Shali terlalu fokus menatap pintu itu, ingin berlari tetapi bahkan kakinya terasa berat dan kepalanya berputar.
"Iya nggak pa-pa, kamu yang tadi di lift 'kan?" tanya pemuda yang tadi sempat memergokinya tanpa suara. Hanya menatapnya datar.
"Shali berhenti!" Suara Morgan yang lantang sampai menembus pendengaran perempuan itu.
"Astaghfirullah …." Gadis itu memegang kepalanya yang berdenyut, mencoba menetralisir rasa sakit yang teramat berat, seperti berputar-putar.
"Tubuhku panas, aku haus," rengeknya mencengkram lengan pria yang baru saja bertabrakan dengannya. Tak pernah bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahromnya, pemuda itu langsung menepis lembut tangan gadis itu.
"Kamu tunggu di sini ya, biar aku ambilkan minum," ujar pria itu membuka kamar hotel.
Melihat pergerakan Morgan yang keluar dari kamar hotel dan bersiap mengejarnya, membuat kaki Shali refleks menerobos masuk ke dalam kamar pemuda itu begitu saja.
"Hai, sudah kubilang tunggu, kamu tidak boleh masuk atau akan menyebabkan fitnah!" Pemuda itu hendak mengusir gadis muda yang nampak semrawut itu, tetiba dia malah meronta dan berlari menuju kamar mandi. Setelahnya, terdengar suara orang yang sedang muntah-muntah.
Pemandangan itu tak luput dari tatapan Morgan yang ingin mengejarnya. Karena merasa kesal, Morgan berniat memutar balikan cerita. Ia melapor pada kedua orang tua Shali dan mengarang cerita.
Sky dan Disya yang tengah bersiap membuai mimpi, dikagetkan dengan vibrasi telepon yang terus memekik. Pria yang tak lagi muda itu dengan malas menerima telepon dengan perasaan sedikit tak minat.
"Siapa Mas?" tanyanya merasa penasaran. Pria itu menggeser tombol hijau dengan kedikan bahu yang menyatakan tidak tahu.
"Malam Om, saya temannya Shali, ingin menginfokan berita penting terkait anak Om yang saat ini tengah berbuat tindakan asusila dengan seorang pria di kamar hotel Gayatri 205," jelasnya padat, singkat, dan membuatnya bingung.
"Heh, kamu siapa? Anak saya itu di asrama, jadi tidak mungkin—"
"Om bisa datang saja langsung ke sini untuk lebih jelasnya." Telepon terputus dan menyisakan rasa cemas yang mendalam pada pria itu.
"Sayang, anak kita dalam bahaya." Sky langsung melompat dari kasur dan bersiap menuju lokasi.
Sementara di kamar 205, pemuda yang belum diketahui identitasnya itu bingung sendiri, dan akhirnya berniat menunggu di luar kamar mandi. Lama tak terdengar, membuat pria itu penasaran juga. Tangannya tergerak mengetuk pintu itu dengan kencang.
"Mbak! Mbaknya nggak pa-pa?" Sedikit rasa cemas tidak ada sahutan membuat pria itu mendorong pintunya yang sama sekali tidak terkunci.
"Mas, tolong … tubuhku terasa panas," rengeknya menatap sayu penuh kilatan yang lain di manik hazelnya. Gadis itu terduduk di lantai kamar mandi berusaha menguasai diri. Otak dan tubuhnya tidak bisa singkron satu sama lain. Bahkan, pakaian atas gadis itu terlihat lusuh dan terbuka.
"Astagfirullah … sepertinya kamu dalam pengaruh obat." Pria itu mulai berpikir dengan akalnya. Bingung harus melakukan apa, akhirnya memutar shower dan mengguyur tubuh gadis itu begitu saja.
Shali tergeragap untuk beberapa detik, ia meronta ketika tubuhnya terasa dingin.
"Akh ... berhenti! Kenapa kamu mengguyurku, aku bisa mati kedinginan!" bentak gadis itu menggerutu kesal. Melihatnya yang sudah menggigil kedinginan, membuat ia menghentikan tindakan impulsifnya.
"Bersihkan tubuhmu, habis ini aku antar kamu pulang!" titahnya dingin.
"Pakaianku basah, bisakah kau meminjamkan satu ganti untukku, apa saja asal bisa masuk dalam tubuhku," ujar Shali berbicara lewat celah pintu yang sedikit terbuka.
"Nanti aku siapin di atas kasur, ambil saja, aku akan keluar sebentar. Kita tidak boleh dalam satu ruangan yang sama tanpa ada penengah orang dewasa," ujarnya bijak.
Shali cukup bersyukur dipertemukan dengan orang yang baik hati seperti pria itu, yang Shali sendiri tidak tahu namanya. Gadis itu sudah memakai bathrobe dan segera melangkah keluar kamar mandi. Ia mengambil pakaian pria itu, meneliti sebentar sebelum akhirnya menghembuskan napas panjang.
"Ya salam ... pakaian apa ini, kemeja kedodoran dan kain sarung? Hadeh ... males banget lagi bekas orang." Shali masih menimang-nimang. Karena tidak ada pilihan, akhirnya dia memakai kemeja itu beserta sarungnya.
Baru saja selesai gadis itu mengganti pakaian, pria itu masuk beserta membawa makanan.
"Rumah kamu mana? Ini sudah malam biar saya antar," ujar pria itu mencoba berkomunikasi dengan jarak yang lumayan jauh, pun dengan tidak berani menatap ke arahnya. Pria itu selalu membatasi diri, suci dari hal-hal dunia pada umumnya.
"Rumahku jauh, tetapi aku tinggal di asrama kampus islam, jam segini pasti udah tutup aku nggak bakalan boleh masuk," ujar Shali sendu.
"Kamu mahasiswa di sana?" tanyanya penuh selidik.
"Ya, bolehkah aku menginap di sini sampai besok?"
"Boleh kalau kita punya ikatan yang sah menurut agama kita, jawabannya tentu sudah tahu 'kan?" jawab pria itu tanpa menoleh ke arahnya.
Glek
Shali menelan saliva gugup, dengan Azmi saja ia sangat menjaga pandangan walaupun banyak perasaan di dalamnya, tetapi kenapa dengannya gadis itu merasa penasaran.
"Boleh aku pinjam ponselmu, aku ingin menghubungi seseorang," pintanya menurunkan canggung. "Dompet dan ponsel aku entah di mana, aku kehilangan. Mungkin saat aku berlari tadi, atau entahlah aku lupa."
"Mau menghubungi orang tuamu?" Sebenarnya itu yang ada dipikirannya, tetapi ia ragu, bagaimana kalau ayahnya malah ngamuk karena salah paham. Gadis itu pun akhirnya mengurungkan niatnya, ia hanya ingin pulang ke asrama tanpa iqob.
"Bukan, aku tidak hafal nomornya." Shali nampak bingung.
"Baiklah, tolong antar aku ke asrama saja," ujarnya pasrah. Hukuman pasti besok siap menantinya.
"Aku bawa makanan untukmu, mungkin kamu lapar, ingin makan dulu?" Shali mengangguk, mengiyakan.
"Terima kasih, akan aku ganti nanti kalau kita dipertemukan kembali," ujarnya sungkan. Pria itu tersenyum tipis mendengarnya.
Setelah menghabiskan makanannya, pria itu bersiap mengantar gadis itu, ia juga tidak berniat untuk menginap, sebenarnya hanya singgah setelah sebelumnya mengisi acara disebuah kajian islam antar komunitas hijrah.
"Mari saya antar, silahkan keluar lebih dulu."
"Terima kasih," gumamnya seraya keluar mendahului pria itu. Pintu telah terbuka, dengan gadis itu keluar dan pria itu di belakangnya.
"Mommy!" pekik Shali kaget. Mendapati kedua orang tuanya ada di depan kamar 205 dengan seorang petugas hotel.
Begitu juga dengan pria di belakang Shali, Sky yang tadinya sudah meluap-luap penuh emosi membayangkan sesuatu yang mungkin terjadi. Mendadak lebih tenang dari sebelumnya. Sebelumnya, pria paruh baya itu telah mendapatkan kiriman vidio, tetapi masih kurang yakin dengan objek yang dilihat.
Dalam seperkian detik, mereka saling tatap, sebelum akhirnya mengamati dengan seksama.
"Pak Sky!"
"Pak Aka?"
"Kalian kenapa bisa ada di hotel yang sama, dan ruang yang sama?"
Shali dan Mommy Disya nampak bingung dengan kedua pria tersebut.
"Kok Daddy kenal?" tanya Shali bingung.
"Iya, Daddy sering berkunjung ke rumah Ustadz Emir."
"Kamu belum jawab pertanyaan Daddy, Shal, seharusnya kamu di asrama? Kenapa bisa di sini dengan Pak Aka? Daddy tahu Pak Aka orang baik, tetapi tetap saja kalian tidak boleh dalam ruangan yang sama, itu bisa menyebabkan fitnah. Apa terjadi sesuatu?" Sorot mata Sky memindai Aka dan Shali dengan tatapan mengintimidasi.
"Kenapa kamu harus mandi dan mengganti pakaianmu? Shal!"
Mereka akhirnya memutuskan untuk masuk kamar kembali beserta kedua orang tuanya Shali. Tentu saja mereka mendapat pencerahan rohani.
"Coba jelaskan!" titahnya tegas.
"Shali dikerjain teman, Dad. Sampai akhirnya terdampar di sini, tapi ... kok Daddy bisa tahu?"
"Ada orang yang menghubungi nomor kami, masalahnya dia juga mengirim vidio kalian saat berbincang di depan kamar, dengan Shali akhirnya masuk ke dalam."
"Kenapa sepanik itu, Dad, toh kita nggak ngapa-ngapain, aman dong."
"Masalahnya tidak sesederhana itu, dia mengancam akan menyebarluaskan vidio itu dan pastinya itu akan berimbas untukmu Shali, orang-orang akan mengira kamu telah berbuat tindakan amoral bersama Pak Aka, karena memasuki kamar hotel yang sama."
"Astaghfirullah ... sepertinya orang itu sengaja mencari kesenangan pribadi untuk membuat hidup Shali menderita."
"Saya akan menutup aib ini, saya juga memikirkan pesantren abah. Bagaimana kalau orang itu beneran ngelakuin itu?"
"Maksud kamu?"
Mommy Disya dan Shali menyimak serius.
"Saya akan menikahi putri, Bapak," jawabnya padat, jelas, dan cukup berani.
"What!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!