NovelToon NovelToon

Gadis Jerawat Istri Sang Cassanova

Pembullyan

...Hal yang paling menyakitkan dalam kehidupanku, ketika aku hanya menjadi aib untuk ibu kandungku sendiri. ...

...~Humaira Khema Shareen...

...🌴🌴🌴...

Terlihat seorang perempuan tengah berdiri di depan cermin besar. Dia sedang menatap penampilannya dari atas sampai bawah. Tangannya terulur menyentuh wajahnya yang selalu menjadi aib untuknya di mata teman-teman kampus. 

Tangannya meraba kulitnya yang kasar. Jerawat yang timbul di wajahnya dan bekasnya yang sangat jelas, membuat dirinya selalu merasa malu. Bukannya dia menutup mata dan telinga selama ini. Namun, setiap kali dia sendirian. Maka menilai sosok dirinya sendiri adalah kebiasaannya. 

Tak mau semakin tersiksa dan melupakan caranya bersyukur atas apa yang Tuhan kasih kepadanya sampai di titik ini. Dia segera meraih tas punggungnya dan segera keluar dari kamar.

"Pelan-pelan, Humaira!" kata seorang perempuan yang tengah menyiapkan makanan di atas meja makan.

"Bagaimana Ibu bisa tau kalau aku Humai?" tanya Humai sambil menarik kursi untuk ia duduki.

"Dari langkah kakimu saja. Ibu bisa mengenalinya," sahut Shadiva, ibu kandung Humai. 

Humairah hanya bisa diam. Dia meletakkan tas miliknya di bawah dekat kursi sambil menunggu kedatangan adiknya.

"Bagaimana kuliahmu, Humai?" tanya Shadiva pada putrinya.

Humaira menarik nafasnya begitu dalam sebelum menjawab. "Semua baik-baik saja, Bu."

"Jangan bilang baik-baik terus. Contoh adikmu itu. Rein selalu juara kelas karena dia rajin belajar." 

Jantung Humaira merasa mencelos. Dia menundukkan wajahnya seakan ingin menyembunyikan raut wajah yang selalu ia tampilkan ketika telinganya mendengar ibunya sendiri selalu memuji adiknya itu. 

"Iya, Bu. Humaira selalu belajar setiap hari. Ibu tahu sendiri, 'bukan?" 

"Ibu tau tapi kamu kurang rajin. Kalau kamu rajin pasti bisa seperti Rein," kata Shadiva tak mau kalah.

Humaira hanya bisa diam. Dia tak bisa balas mendebat ibunya. Hal seperti ini bukan sekali dua kali berseliweran di telinga dan otaknya. Namun, hampir 21 tahun dia hidup seperti ini.

Dituntut, disetir dan dipaksa menjadi apa yang diinginkan ibunya sendiri. Humaira seakan tak memiliki hak untuk menentukan kehidupannya sendiri. Semuanya berada dalam genggaman ibunya. Bahkan jurusan perkuliahannya saja, semua itu atas perintah ibunya. 

Diam-diam, Humaira menghapus air matanya saat langkah kaki adiknya terdengar. Dia berusaha menetralkan emosi yang sejak tadi berkumpul dari dirinya.

Kamu kuat, Humai. Kamu pasti bisa, gumam Humai dalam hati sebelum mengangkat wajahnya. 

"Selamat pagi," sapa Rein dengan senyuman begitu lebar.

"Pagi, Sayang. Bagaimana tidurmu semalam?" tanya Shadiva sambil mengusap kepala putra keduanya.

"Sangat nyenyak, Bu," balas Rein dengan cepat.

"Tugasmu sudah selesai?" 

"Sudah. Semalam aku mengerjakannya sampai selesai," balas Rein dengan apa adanya. 

"Anak pintar. Contoh adikmu, Humai!" 

"Iya, Bu!" jawab Humaira dengan menahan sakit hatinya yang mendalam. 

Tak lama, Shadiva datang dengan setoples kue kacang di tangannya. Wanita itu meletakkan kue kacang itu di atas meja yang membuat perhatian Humai dan Rein teralihkan.

"Kue kacang!" pekik keduanya bersamaan.

Dengan serentak Humaira dan Rein mengulurkan tangannya hendak meraih kue tersebut. Namun, tanpa diduga, sebuah tepukan di punggung tangan Humai membuat gadis itu mendongak.

"Ada apa, Bu?"

"Kamu berjerawat. Jangan makan kacang biar gak makin banyak," kata Shadiva dengan suara tegasnya.

"Tapi, Bu. Humai suka kue kacang," katanya dengan wajah lesu. "Biarkan Humai makan satu kue saja, Bu." 

Wajah gadis itu penuh permohonan. Namun, bukannya iba, Shadiva malah menggeleng.

"Nurut sama Ibu biar jerawat kamu sembuh!" ujar Shadiva dengan menatap tajam putrinya.

"Bu…"

"Sekali tidak tetap tidak. Kamu itu perempuan, Humai. Harus pandai jaga diri dan merawat wajah dan tubuhmu," kata Shadiva pada putrinya.

"Iya, Bu." Akhirnya Humaira tak bisa melakukan apapun.

Dia segera mengambil satu lembar roti dan mulai mengoleskan selai coklat. Lalu sentuhan terakhir, dia hendak memberikan taburan kacang tapi langsung diambil oleh ibunya.

"Jangan makan yang manis, Humai! Kamu kenapa ceroboh sekali," kata Shadiva sambil menjauhkan roti yang sudah diolesi oleh putrinya.

"Kembalikan roti Humai, Bu!" 

"Nggak!" kata ibunya dengan tegas. "Kamu makan ini saja." 

Akhirnya Shadiva mengambilkan roti lain untuk anaknya. Lalu dia mengoleskan margarin dan memberikan sedikit selai coklat di atasnya. 

Hal itu tentu membuat mata Humaira berkaca-kaca. Namun, ia tak bisa melakukan apapun. Akhirnya dirinya hanya bisa memakan roti tersebut dengan menahan air mata yang hendak mengalir dari ujung matanya. 

"Setelah rotimu habis minum collagen ini, Humai. Biar kulitmu sedikit lebih cerah dan putih!" perintah ibunya sambil memberikan gelas yang berisi air berwarna sedikit kemerahan. "Ingat diminum dan jangan dibuang!" 

Humaira mengangguk sambil kepalanya menunduk. Dia menghapus air matanya dengan kasar tanpa sepengetahuan ibu dan adiknya.

Apa standar kecantikan selalu menjadi yang utama untukmu, Bu? Dan kejelekan wajahku apakah menjadi aib bagimu? gumamnya dalam hati dengan hati yang amat terluka

...🌴🌴🌴...

Akhirnya setelah melewati drama yang panjang. Humaira sampai di kampusnya. Senyumannya langsung mengembang saat melihat sosok sahabatnya yang berdiri di dekat gerbang depan. 

"Tumben kamu datang duluan?" tanya Humaira pada Sefira.

"Iya. Papaku ada meeting dan supir yang biasa anterin aku lagi sakit. Alhasil ya aku berangkat bareng Papa." 

"Oh." Humaira membulatkan bibirnya. "Kamu sudah sarapan?" 

"Sudah," balas Sefira sambil menggandeng tangan sahabatnya. "Kenapa? Kamu belum sarapan?" 

"Aku hanya sarapan roti saja dan perutku masih lapar," jawab Humai dengan jujur. "Mau ikut ke kantin?' 

"Mau…mau banget!"

Akhirnya keduanya berjalan menuju kantin kampus. Sefira adalah satu dari banyaknya mahasiswa yang mau menjadi teman dekat Humai di kampus ini. Persahabatan yang terjalin membuat Sefira tak memandang Humai dari harta atau wajah. 

Pertemanan mereka murni arti persahabatan. Sefira selalu ada ketika Humaira sendirian dan begitupun sebaliknya. 

"Kamu mau bakso?" tawar Humai pada Sefira.

"Iya, Mau. Tolong pesankan aku juga yah." 

Keduanya segera mengambil tempat duduk untuk menunggu ibu kantin mengantar pesanannya. Suasana kantin lumayan ramai dan seperti biasanya, Humai selalu mendapatkan tatapan tak suka dari beberapa mahasiswa dan mahasiswi disana. 

"Selamat makan, Mai!" kata Sefira dengan semangat.

"Selamat makan juga, Fir!" 

Keduanya mulai makan dengan tenang. Terlalu fokus akan makanannya. Keduanya tak menyadari dengan kedatangan seorang perempuan yang merupakan sosok paling ditakuti karena menjadi primadona kampus.

Segerombolan wanita itu berjalan mendekati meja yang menjadi tempat Humai dan Sefira menikmati makanannya. 

Brak! 

Kedua wanita itu berjingkat kaget. Sefira dan Humai mendongak hingga pandangan mereka tertuju pada sosok yang menjadi biang masalah.

"Ada apa, Rachel?" tanya Humai dengan suaranya yang pelan.

"Kau masih tanya kenapa?" tanya Rachel menatap Humai dengan tajam. "Aku jijik melihat wajahmu disini. Kau menghancurkan selera makananku!" 

Humai hanya mampu menunduk. Ini bukanlah kasus pertama kalinya yang dia hadapi. Sudah beberapa kali dia menjadi korban dari Rachel dan berakhir mengenaskan.

"Pergi kau dari sini!" usir Rachel menatap Humai dengan pandangan tanpa kasihan. "Dasar gadis jerawatan. Muka rusak lagi!" 

Humai masih tak beranjak. Di menatap semangkuk baksonya yang masih tersisa banyak.

"Izinkan aku memakan bakso sebentar, Rachel. Aku sangat lapar!" 

"Itu bukan urusanku!" seru Rachel dengan marah. "Cepat per…!"

"Nggak. Aku akan tetap disini dan…" 

Byur! 

"Aghh panas!" pekik Humai sambil beranjak berdiri.

Rachel benar-benar menyiram Humai dengan mangkuk berisi bakso itu. Tak ada rasa kasihan disana dan ditambah tawa semua mahasiswa terdengar begitu kencang yang membuat Rachel benar-benar puas. 

"Sudah aku bilang tapi tak digubris. Jadi itu konsekuensi yang harus kau terima, Gadis Jerawat!"

~Bersambung

Selamat datang di novel baru sekuel HTS. Hai akhirnya aku kembali menyapa kalian lagi. Semoga kalian bisa banyakin stok sabar baca kisah ini.

Kisah yang mungkin menguras emosi dan jiwa. Hehehe.

Jangan lupa klik like, komen dan vote yah. Biar author semangat buat terus nulis kisah Humai Syakir. Dan bantu share dan promosiin karya ini yah.

Salam sayang, JBlack.

Si Buruk Rupa!

...Sampai kapanpun yang cantik akan menjadi prioritas. Paras yang begitu rupawan menjadi senjata utama seorang manusia untuk dihargai atau tidak. Jika mereka cantik maka akan banyak yang memujanya. Begitupun sebaliknya, ketika yang buruk akan selalu menjadi tempat hujatan semua orang....

...~Humaira Khema Shireen...

...🌴🌴🌴...

Tak ada yang bersimpati pada kondisi Humaira saat ini. Bahkan semua orang sedang tertawa begitu kencang sambil bertepuk tangan. Seakan apa yang terjadi pada diri Humai adalah suatu yang begitu lucu di mata mereka.

"Kamu apa-apa'an sih, Chel?" seru Sefira dengan marah.

Dia menarik lengan Rachel hingga kedua gadis itu berhadapan. 

"Oh oh…" Rachel bertepuk tangan.

Dia semakin menaikkan dagunya dan memandang Sefira dengan remeh.

"Ada yang mau jadi pahlawan kesiangan?" ujarnya dengan senyuman mengejek.

"Aku hanya ingin menuntut hak seorang mahasiswa yang memiliki kedudukan sama dengan kita!" seru Sefira tanpa takut. "Semua yang kuliah disini, memiliki hak untuk apapun."

"Apa kau sedang menceramahiku, heh?" seru Rachel mendorong dada Sefira dan membuat wanita itu sedikit terdorong ke belakang. "Kau menyamakanku dengannya?" 

Rachel menunjuk sosok Humaira yang sejak tadi menunduk. Gadis itu benar-benar begitu kacau dengan bekas mie yang menempel di rambutnya.

"Apa kau buta, hah!" seru Rachel membentak. "Si buruk rupa disamakan dengan Rachel? Primadona kampus yang terkenal cantik, kaya dan seksi ini?"

Rachel tertawa dengan penuh kesombongan. Gadis itu berjalan mendekati Humai yang sejak tadi tak berani mendongakkan kepalanya. 

"Sepertinya kau butuh ke dokter mata agar kau bisa melihat dengan jelas! Mana yang sempurna dan mana yang buruk seperti sampah!" kata Rachel dengan menatap sosok Humai di dekatnya.

"Chel…" 

"Ustt!" Rachel menutup mulut dengan telunjuknya. 

Seakan dia memberikan kode pada Sefira agar dia diam. 

"Toh aku juga tak sengaja menyiram bakso itu di kepala Humai," ujarnya dengan nada menyindir. "Bukankah begitu, Humaira Khema Shireen yang memiliki banyak jerawat?" 

Humaira hanya mampu menahan tangisannya. Jujur dia selalu lemah ketika berada di posisi seperti ini. Sejak dulu dirinya selalu tak mampu melawan sosok Rachel. Seakan dia memang ditakdirkan untuk menjadi wanita yang tertindas yang tak mampu melawan. 

"Jawab, Humai!" seru Rachel meremas pundak Humai sampai gadis itu meringis.

Akhirnya kepala Humaira mengangguk pelan. Dia tak mau semakin membuat Rachel menggila akan aksinya. Lebih baik ia mengalah daripada urusannya semakin besar dan panjang. 

Bagaimanapun, kembali lagi ke topik yang utama.

Si buruk akan selalu berada di belakang si cantik rupawan! 

"Bagus!" Rachel menepuk pundak Humairah dengan pandangan jijiknya. "Kau sudah dengar, 'kan? Humaira saja tak masalah. Kenapa kau berusaha menjadi pahlawan?" 

Rachel perlahan menjauh. Dia meminta salah satu temannya mengambilkan sebotol air putih yang dijual di meja kantin lalu dibuka tutup botolnya.

"Karena aku mau makan. Jadi aku harus cuci tangan," seru Rachel dengan mencuci kedua tangannya tepat di atas meja dimana terdapat mangkuk Humai yang sudah kosong.

"Cukup! Bakteri di tanganku sudah hilang." 

Sefira hanya mampu mengalihkan pandangannya. Dia tak kuasa sahabatnya dihina oleh teman-temannya yang lain. Namun, hanya dirinya yang berada di pihak Humai, tak cukup untuk membuat gadis itu terlindungi. 

"Lebih baik kau pergi dari sini, Si Buruk Rupa!" usir Rachel dengan lantang. "Betul, 'kan? Kalian juga ingin dia pergi dari sini, 'kan, Guys?" 

Rachel berteriak menatap semua orang yang ada di kantin. Pertanyaan Rachel tentu langsung dijawab oleh mereka dengan setuju bahwa Humai harus pergi.

"Pergi kau!" 

"Aku merasa mual saat makan dengan melihat wajahmu!" 

"Kau membuat selera makanku hilang!" 

Teriakan-teriakan yang berisi hujatan itu membuat Humaira semakin terpojok. Dia menutup kedua telinganya dan menggelengkan kepala. Suara-suara itu semakin berputar di kepalanya dan membuat dirinya menangis semakin kencang.

Tak kuasa akan semua yang ia dengar. Akhirnya Humaira lekas beranjak berdiri. Dia meraih tas punggungnya dengan cepat. Saat dirinya mulai melangkah. Sebuah kaki menghalangi langkah kakinya.

Bruk!

"Humai…Mai!" teriak Sefira dengan kencang.

Suara tawa semua orang terdengar begitu kencang. Mereka semakin merasa puas saat melihat Humaira terjatuh duduk di lantai.

"Ups! Maafkan kakiku yang sengaja nakal ini," kata Rachel lalu mensejajarkan tubuhnya dengan Humaira. "Sakit?" 

Tanyanya dengan wajah penuh ledekan. Tak ada rasa iba dalam dirinya. Bahkan terkesan Rachel sangat puas telah berhasil menjegal kaki gadis yang tengah kesakitan ini. 

"Kau sangat cocok berada di posisi ini! Wanita miskin dan si buruk rupa, harusnya selalu berada di bawah!"

...🌴🌴🌴...

Akhirnya tontonan itu berhasil bubar ketika Rachel selesai dengan antraksinya. Semua mahasiswa baik putra ataupun putri kembali duduk di posisinya. Seakan apa yang baru saja terjadi itu sudah menjadi hal biasa.

Tak ada yang peduli pada sosok Humairah. Hanya Sefira yang dengan setia mengulurkan tangannya.

"Ayo!" ajak Sefira saat dia berjongkok di depan Humai.

Wajah yang semula menunduk kini mendongak dengan pelan. Mata Humaira telah basah dengan hidung yang memerah. 

"Apa aku terlalu buruk di mata mereka, Fir?" tanya Humai dengan suara seraknya.

Sefira menggeleng. Dia menggenggam tangan sahabatnya itu lalu menghapus air mata Humai dengan pelan. 

"Yang buruk itu bukan kamu," kata Sefira menatap sosok sahabatnya. "Tapi mereka lah yang tingkah lakunya lebih rendah dari binatang."

Dengan pasti, Sefira meraih tangan Humai dan membantu membawa tas milik sahabatnya itu. Mereka mulai meninggalkan kantin yang terlihat kacau karena ulah Rachel. 

"Ayo kita bersihkan ini di kamar mandi. Aku akan membantumu, Mai," kata Sefira saat keduanya berjalan di lorong kampus menuju kamar mandi.

Humaira tak menjawab. Namun, sejenak dia menghentikan langkahnya dan membuat Sefira menatap sahabatnya itu.

"Ada apa, Mai? Kenapa kamu berhenti?" 

Humaira perlahan menghadapkan dirinya ke samping. Sampai sepasang sahabat itu saling berhadapan. 

"Apa kamu tak malu bersahabat denganku, Fir?" tanya Humaira dengan air mata yang mulai menumpuk di kedua matanya. "Apa aku tak menjadi aib untukmu di kampus ini?" 

Jujur dalam diri Humai tak ada lagi rasa percaya diri. Dia selalu merasa dirinya kurang. Bahkan dirinya tak memiliki pendirian sendiri karena semua yang ia lakukan bukan dari dasar hatinya sendiri.

"Kenapa kamu mengatakan itu lagi, Mai?" tanya Sefira dengan pandangan sendu. "Persahabatan kita bukan satu atau dua tahun. Tapi kita sudah bersahabat sejak bangku SMA." 

"Tak ada kata malu untukku memiliki kamu. Kamu sudah menjadi saudara untukku. Meski kita tak sedarah tapi kamu lebih dari sosok yang memiliki darah yang sama denganku." 

Ya, Sefira adalah sahabat Humaira sejak mereka duduk di bangku putih abu-abu. Keduanya adalah dua sosok yang berbeda dalam ekonomi maupun keluarga. Namun, kasih sayang di antara keduanya. Tak bisa dijabarkan dengan kata-kata.

"Terima kasih, Sefira. Aku beruntung memiliki sahabat sepertimu." 

~Bersambung

Inget ya guys! Novel ini isinya pasti ada umpatan sekaligus hinaan. Aku nulis kisah ini juga dari beberapa narasumber. Bukan kisah nyata tapi alur yang terjadi aku dapatkan dari cerita teman-temanku.

Jangan lupa klik like, komen dan vote yah. Biar author semangat ngetiknya.

Siapa Rachel?

...Sosok yang seharusnya menjadi rumah bagiku ternyata pemicu utama hancurnya mentalku selama ini....

...~Humaira Khema Shireen...

...🌴🌴🌴...

Akhirnya Humaira hari ini kuliah dalam keadaan yang lumayan kacau. Rambutnya basah karena ia harus mencuci rambutnya yang terkena air dan isian bakso di kamar mandi. Kemudian untuk pakaian, Humaira sering membawa baju ganti di loker miliknya karena takut kehujanan.

Untung semua itu bisa dia atasi dengan baik dan membuatnya selamat dari kejadian seperti ini. Namun, tetap saja. Mental seseorang tak ada yang tahu. Dibalik kata baik-baik saja yang selalu dia lontarkan. Ada perasaan hati yang sudah hancur tak bersisa.

Ada perasaan takut, sakit, tak percaya diri menumpuk menjadi satu. Semua itu merupakan efek dari hasil pembullyan dan doktrin dari ibu kandungnya sendiri. Namun, sebaik mungkin Humaira selalu bersikap seakan semuanya baik-baik saja.

"Apa kamu langsung pulang?" tanya Sefira saat keduanya selesai dengan jadwal kuliah hari ini.

Humaira mengangguk. Dia menatap jam tangan jadul yang melekat di pergelangan tangannya. 

"Hari ini cafe sedang tutup. Jadi aku libur bekerja," ujarnya memberitahu.

Selain menjadi seorang mahasiswa. Humaira merupakan salah satu pekerja cafe. Dia bekerja untuk menambah uang saku dan beberapa kebutuhan yang harus ia beli sendiri.

Humaira selalu berusaha menjadi sosok yang mandiri. Dia bahkan tak tega ketika melihat ibunya harus bekerja sendiri semenjak sosok ayahnya meninggal. 

Dia sebaik mungkin tak mau merepotkan sosok ibunya. Bagaimanapun sikap Shadiva kepadanya. Humaira tetap menyayangi ibunya.

"Aku pulang dulu ya, Mai. Kamu hati-hati di jalan," kata Sefira saat mobil jemputannya datang. "Kamu beneran gak mau aku anterin?" 

Kepala Humaira menggeleng. "Aku masih mau ke toko buku, Fir." 

"Yaudah. Ayo aku anterin," kata Sefira memaksa.

"Nggak usah. Udah sana pulang duluan. Aku bakalan naik ojek online," balas Humaira menutup pintu mobil sahabatnya.

Wajah Sefira cemberut. Selama pertemanan mereka. Humaira tak pernah mau naik mobilnya. Bahkan meski hujan sekalipun. Gadis itu lebih memilih menunggu daripada mau diantar oleh Sefira.

"Yaudah. Aku pulang yah. Sampai rumah, kamu kabarin aku. Bye bye!" 

"Bye!" 

Sepeninggal mobil Sefira. Humaira lekas melangkahkan kakinya. Dia menatap ke kanan dan ke kiri sebelum menyebrang jalan. Hari ini dirinya ingin berjalan kaki. Entah kenapa Humai seakan tak ingin segera sampai rumah.

Tempat yang seharusnya menjadi rumahnya bernaung dengan nyaman. Bangunan yang seharusnya menjadi tempat berkeluh kesah ternyata tak lebih ubahnya sebagai sebuah bangunan bak neraka.

Apa yang ia lakukan selalu salah. Apa yang dia inginkan tak pernah terpenuhi. Semuanya harus dipandu dan diperintah. Dirinya tertekan tapi tak bisa berteriak. Dia ingin melawan tapi hatinya sangat menyayangi ibunya.

"Bolehkah aku menyusul ayah saja?" gumamnya saat langkah kakinya berhenti di depan sebuah toko yang menjual boneka. 

Bibirnya melengkung ke atas. Ingatan bagaimana ayahnya yang selalu memberikannya sebuah boneka ketika dia sedih atau habis dimarahi ibunya kini mulai terbayang.

Hanya sosok ayahnya yang selalu adil di antara dia dan adiknya. Hanya sosok ayahnya yang selalu membela Humai ketika ibunya tak memperlakukannya seperti memperlakukan Rein. 

"Jujur aku tersiksa disini, Ayah. Aku tak memiliki sandaran," ucapnya dengan menunduk.

Perlahan Humai hapus air matanya yang mengalir. Dia menarik nafasnya begitu dalam untuk menetralkan jantungnya yang terus berdebar kencang. Emosinya masih tak beraturan setiap mengingat sosok ayahnya.

"Aku merindukanmu, Ayah," lanjutnya sambil berusaha tersenyum.

Humaira lekas melanjutkan langkah kakinya. Dia benar-benar menikmati setiap perjalanan yang ia lalui. Walau jauh, dirinya merasa bahagia. Sampai tak lama, bangunan rumahnya mulai terlihat.

Humaira semakin mempercepat langkahnya tatkala melihat sosok ibunya yang sedang menyapu halaman rumah.

"Assala…" 

"Kemana maskermu, Mai? Kenapa kamu gak pakai?" tanya Shadiva menyela salam anaknya.

Ibu dua anak itu lekas meletakkan sapu yang ia pegang. Dia berjalan mendekati sosok Humai yang mematung di tempatnya. 

"Kamu kenapa gak pakai masker sih?" kata Shadiva dengan nada kesal. "Siang- siang begini debunya banyak, Humai. Kotor juga. Kalau kamu gak pakek masker, wajahmu bakalan banyak debu dan jerawat kamu gak bakal sembuh." 

Humairah memejamkan matanya. Lagi-lagi hal ini yang selalu dibahas ibunya itu. Namun, kepalanya tetap menunduk tak berani menatap wajah ibunya.

"Maaf, Bu," ujarnya dengan suara serak.

"Maaf saja terus tapi gak kamu lakuin!" kata wanita paruh baya itu dengan menghela nafas berat. "Udah sana ke kamar. Cuci muka lalu pakai masker wajah."

"Baik, Bu." 

Humaira lekas melangkahkan kakinya masuk. Lagi-lagi air matanya kembali turun. Dirinya benar-benar seorang diri di rumah ini. Saat dia ingin bercerita tentang kejadian di kampusnya tapi selalu tak jadi dia ceritakan. 

Sepertinya Tuhan menakdirkan aku untuk menyimpan semua luka ini sendiri. Menyembuhkannya seorang diri tanpa bantuan orang lain, gumam Humai dalam hati saat dia menutup pintu kamarnya dan menguncinya.

...🌴🌴🌴...

Sedangkan di tempat lain, terlihat seorang pria tampan tengah duduk tenang di kursinya dengan mata menatap layar laptop yang menyala. Tubuhnya yang tegap dengan balutan kemeja semakin menambah karisma dari seorang pria tampan dan workaholic ini.

Seharian ini ia tak beranjak dari kursi kebesarannya. Pekerjaannya yang banyak membuatnya harus betah berada di dalam ruang kerjanya. Hingga tak lama, suara pintu yang terbuka diikuti hadirnya sosok tangan kanannya membuat perhatian pria itu teralih. 

"Maaf, Tuan Syakir. Saya mengganggu waktu Anda. Di luar ada…"

"Sayang," rengek seorang perempuan yang masuk dengan seenaknya. "Sekretarismu ini menghalangiku masuk!" 

Wajah perempuan itu terlihat begitu kesal. Bibirnya cemberut dengan menatap tangan kanan kekasihnya. Syakir yang melihat kedatangan kekasihnya langsung menarik pinggangnya mendekat.

"Kau boleh pergi, Adam!" kata Syakir pada sekretarisnya.

"Siap, Tuan. Permisi."

Sepeninggal Adam. Perempuan yang mukanya masih cemberut lekas mendudukkan dirinya di atas pangkuan sang kekasih. Dia melingkarkan tangannya di leher Syakir dengan manja.

"Jangan cemberut terus, Rachel Maureen Jovita. Rasanya aku ingin melahap bibir seksimu itu, Sayang," bisik Syakir dengan nada sensual. 

"Aku kesal pada sekretarismu itu. Dia selalu menghalangiku untuk bertemu denganmu, Sayang," adu Rachel dengan manja.

Syakir menghela nafas pelan. "Dia hanya menjalankan perintah dari Mama dan Papa. Kamu tau sendiri, 'kan? Bagaimana aku bisa terdampar di kota dingin ini?"

Rachel mengangguk. Dia menarik leher Syakir lalu memberikan kecupan disana. 

"Jangan memancingku, Sayang. Aku tak akan tahan jika kamu…" 

"Jangan macam-macam. Aku sedang berhalangan," bisik Rachel lalu menjulurkan lidahnya dan menjilat leher Syakir.

"Sayang!" seru Syakir menggeram.

Rachel terkekeh. Dia menjauhkan wajahnya dari leher Syakir lalu memberikan kecupan lembut di bibirnya.

"I love you, Sayang." 

Syakir tersenyum. Dia sangat tahu jika kekasihnya dalam mode begini pasti ada sesuatu yang dia inginkan.

"Kamu mau apa, Sayang?" tanya Syakir penuh perhatian.

Mata Rachel bersinar begitu cerah. "Kamu sangat peka, Baby." 

"Tentu saja," balas Syakir pada kekasihnya. "Mau apa, hmm?"

"Ada koleksi tas baru mewah, Sayang. Aku ingin itu," rengek Rachel dengan manja. "Boleh?" 

"Tentu saja. Untukmu apa yang tak boleh," jawab Syakir yang sudah bucin akut. "Ayo kita membelinya!" 

~Bersambung

Nah akhirnya tau, 'kan, siapa Rachel? Hahaha kaburr.

Jangan lupa klik like, komen dan vote yah. Biar author semangat ngetiknya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!