NovelToon NovelToon

Janda Satu Miliar

PART 1

POV Mira

Jika anakku tahu, bila malam itu aku tidak pulang bukan karena lembur di kantor, mungkin dia akan sangat kecewa. Sebab aku memang tidak berada di sana, melainkan berada di hotel mewah hanya untuk menemani seorang lelaki yang sudah membayar ku dengan harga satu miliar.

Menangis, Itu sudah pasti tapi, tidak ada pilihan lain selain melakukannya.

Anakku mengidap penyakit jantung, jika tidak segera melakukan operasi maka, nyawanya tidak bisa di selamatkan.

Niat hati ingin meminjam uang pada perusahaan dengan sitem kas bon, Tapi aku tidak mendapatkannya. Sang CEO sebagai pemilik perusahaan di mana aku bekerja, justru melontarkan kata-kata yang membuatku tercengang. "Temani aku malam ini maka, Aku akan memberimu uang satu miliar”

Bicaranya terdengar lantang dan tanpa tahu yang di ajak bicara merasakan sesak di dada.

Pada saat itu, Aku langsung keluar dari ruangan, tanpa permisi.

Aku terus berusaha mencari pinjaman terhadap orang-orang terdekat tapi, tidak ada hasil.

Sampai pada akhirnya niat hatiku ingin menjual cincin pernikahan, Tapi dari hasil penjualan itu, uang yang ada belum juga cukup.

Dokter dari rumah sakit yang merawat anakku, Menelepon berulang kali untuk Menanyakan kapan bisa di lakukan operasi tersebut.

Sudah tidak ada waktu untuk menundanya lagi.

Dengan langkah gontai aku pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan putraku.

Setelah sampai di sana, terlihat wajahnya yang semakin hari semakin tirus, Saat melihat pemandangan yang memilukan itu, hatiku merasa lebih sakit dari apa pun.

Anakku adalah hidupku, Selama ini hanya dia yang ku punya, tidak ada keluarga selain dia.

Aku duduk di tepi ranjang anakku, sambil kutatap lekat wajahnya yang tampak tenang.

"maafkan Mama Nak, Yang belum bisa menjadi yang terbaik untuk mu.Bahkan untuk membayar biaya pengobatan mu Mama tidak sanggup. " Batin Mira menangis.

Hari ini terlalu berat bagi ku, Aku Ter tidur sambil memeluk erat tubuh mungil putra kecil ku.

Waktu sudah menunjukan pukul lima pagi, saat aku bergegas pergi meninggalkan ruang rawat inap anakku.

Tujuanku saat ini adalah, untuk menemui sahabatku. Dia sudah memberi kabar bahwa dia bisa meminjamkan uang.

Meskipun tidak banyak, Setidaknya bisa menambah biaya operasi yang aku butuhkan.

Perjalanan yang panjang, membuatku sangat lelah hingga tiba di tempat sahabatku itu.

Dia hanya bisa memberi pinjaman sebesar dua puluh juta, sedangkan kebutuhan untuk biaya operasi dan rawat inap sekitar 100 juta.

Temanku memberi saran agar aku menemui mantan mertua, Secara mereka itu keluarga yang sangat kaya raya, dikarenakan mempunyai perusahaan pertambangan.

Tetapi hatiku tidak mengijinkan untuk pergi ke rumah itu, mengingat hari di mana suamiku meninggal pun kami tidak diijinkan untuk melihatnya.

“Cobalah kau turun kan ego mu sedikit saja demi putra mu,” kata temanku itu terlintas jelas dalam ingatan saat dia bicara dengan tulus menasehati ku.

Pada akhirnya aku pun pergi ke rumah mantan mertuaku, dengan tujuan memberi tahu bahwa cucu mereka  sedang sakit dan membutuhkan uang untuk melakukan pengobatan serta operasi.

Setelah sampai di depan rumah mewah itu, aku menunggu di sana sekitar satu jam tanpa ada seorang pun yang mempersilahkan aku untuk masuk dan duduk di dalamnya.

Langit mulai gelap pertanda akan hujan, namun mereka belum juga ada yang datang menemui ku.

Putus asa sudah memenuhi benakku saat itu.

 

Dengan langkah gontai kulangkah kan kakiku perlahan untuk meninggalkan rumah itu. Disaat yang bersamaan, sebuah mobil masuk ke pekarangan rumah dan aku berhenti sejenak untuk melihat siapa yang ada di mobil tersebut.

Ternyata itu adalah ibu mertuaku, Dia turun dari mobil dan langsung menghampiri ku, Terdengar suara menyakitkan dengan jelas di telingaku.

"Masuk !! Dan tinggal kan wanita gila itu, " Sentak ayah mertua ku dengan sorot nata tajam.

Bagaikan petir menyambar di siang hari, seketika rasa sesak mulai menjalar di setiap aliran darahku.

"Ma--maaf mengganggu waktunya, Ada satu hal yang ingin saya bicarakan ...

Soal cucu Mama, sekarang dia lagi dirawat di Rumah sakit dan harus segera dioperasi, Ma. Jika tida maka ... aku mohon Ma, pinjamkan aku uang untuk membayar biaya pengobatan cucu Mama ...!” Aku berkata dengan suara parau sambil menahan rasa sesak di dada.

"Itu anakmu, Bukan cucuku dan sampai kapan pun aku tidak sudi mengakui anak itu! Karena kau dan anakmu itu , Anakku meninggal!” Ayah mertua ku berbicara dengan nada penuh penekanan tapi, ibu mertuaku hanya diam.

Sudah tidak kuasa lagi aku untuk menahan air mata yang sudah ingin tumpah sejak aku mulai bicara.

 

Tanpa diduga, hujan mulai turun airnya yang deras membasahi seluruh tubuhku.

Suara tangis pun tidak terdengar oleh derasnya air hujan, pertanda bahwa alam pun ikut merasakan kesedihanku pada saat itu.

Dengan tubuh yang sudah basah kuyup dan hawa dingin yang kurasakan mulai menguasai diri.

Berusaha untuk tetap kuat dan tegar menghadapi kenyataan.

Harapan pun sudah hilang, Entah harus ke mana lagi mencari uang.Semua barang berharga sudah ku jual tinggal dan yang tersisa hanya satu lagi yaitu rumah, Akan tetapi, Jika rumah itu ku jual nanti akan tinggal di mana aku dan anakku nanti?

Aku pun kembali pulang ke Rumah dan sesampainya di sana aku langsung membersihkan diri, Lalau berganti pakaian, Saat itulah aku teringat dengan ucapan CEO tempat aku bekerja.

Tanpa berpikir panjang aku menghubungi nomornya dan langsung di jawab. Aku pun menyetujui permintaannya melalui panggilan telepon tadi.

Dia memintaku ke hotel, dan tidak butuh waktu lama untuk sampai di tempat yang sudah disepakati.

Mencari keberadaan kamar nomor 2222.

Sampailah aku di kamar tersebut dan sudah ada yang menunggu ku di kamar ternyata.

"Cepat sekali kau sampai, sudah tidak sabar yah, untuk menikmati keindahan surga dunia bersamaku?" Dia berbicara sambil tersenyum.

Namun hati ku sakit saat dia mengatakan hal seperti itu. Terlalu riskan bagiku.

"Jika bukan karena anakku yang butuh pengobatan maka, Aku tidak sudi untuk datang ke tempat ini untuk tidur denganmu!" Aku pun bicara dengan nada yang sedikit meninggi.

"Owhh begitu yah, jika kau tidak sudi datang ke sini maka silahkan pergi. Kamu itu sudah janda ... jadi, berlaku baiklah padaku!”

“Silahkan lakukan, Tuan Jack yang terhormat, anda sudah membayar Mahal tubuhku maka nikmatilah sesukamu!”Ketus ku dengan tersenyum getir, Hatiku Merasa teriris sa'at ber kata seperti itu.

“Nah, begitu dong! Jadi Aku tidak sia-sia membayar janda satu miliar!” setelah berkata seperti itu, Jack pun mulai  menelusuri setiap inci tubuhku, dan perlahan membuka setiap lembar Kain yang menutupinya.

Sebenarnya, sentuhannya mungkin terasa sangat memabukkan bagi Jack, tapi, bagiku sentuhan itu serasa goresan silet yang menyayat disetiap inci kulitku.

Dalam batinku terus menangis. ‘Jika bukan karena dirimu, anakku, Mama tidak akan pernah mau melakukan hal memalukan ini.

Maaf kan aku yang sudah menghianati cinta kita, Ini semua kulakukan demi anak kita.

Demi mewujudkan janjiku padamu, agar bisa menjaganya sampai tumbuh dewasa, sampai dia bisa menjadi orang yang di banggakan.

Lalu, orang mengenal dia bukan karena dari latar belakang keluarga, melainkan atas apa yang dia capai'

Setelah puas melakukan itu, Jack mengambil uang yang sudah ada di dalam koper. Berjalan mendekat ke  arahku yang masih sibuk mengenakan pakaian kembali.

 

Kemudian dia berkata, "Itu uang jumlahnya satu miliar, jika kamu tidak percaya kamu bisa menghitung ulang.”

Dia berhenti sejenak untuk menghela napas, lalu kembali berkata.

"Dan silahkan kamu tinggalkan saya sebelum jam lima pagi. Sebelumnya saya tidak pernah melakukan hal ini pada wanita mana pun. Jadi kunci rapat-rapat mulutmu dan ketika di kantor bersikaplah seperti biasa. Apa kau mengerti?” ucap Jack lagi.

Part 2

POV Author

 

Jam sudah menunjukkan pukul 04:30 saat Mira terbangun. Sejenak dia mengedarkan pandangan ke sekeliling dan melihat Jack yang tidur pulas di sampingnya. Setelah itu, dia pun bergegas pergi untuk meninggal kan Jack tanpa membangunkannya terlebih dahulu.

Dengan langkah yang buru-buru dan melihat ke setiap sudut, berharap tidak ada yang melihatnya lalu, keluar dari kamar itu hotel tempat mereka memadu gair*rah yang bertepuk sebelah hati.

Setelah sampai di depan pintu hotel, sudah terparkir taxi yang ia pesan secara online dan dengan cepat langsung bergegas masuk, dia pun berkata sambil menutup pintunya.

"Pak, jalan.”

 

Mira pun mempersilakan kepada pak sopir untuk melajukan Mobil sesuai arah tujuannya.

Sepanjang perjalanan ia hanya termenung memikirkan apa yang telah terjadi, Sambil melihat pemandangan kota di pagi hari melalui kaca jendela mobil yang dia tumpangi.

Meskipun masih terlihat gelap namun aktivitas warga sudah di mulai.

Lampu-lampu masih menyala dan menjadikan suasana semakin indah untuk dinikmati.

‘Jika saja bukan seperti ini, aku sudah pasti memilih berjalan kaki sambil menikmati udara pagi yang sangat sejuk’ batinnya sambil menyandarkan kepala di sandaran kursi.

Rasanya sangat sulit untuk menerima kenyataan, Bahwa dia sudah menjual diri demi uang satu miliar.

Namun penyesalan itu hilang ketika terbayang wajah lucu sang buah hati, yang selalu berdiri di depan pintu untuk menyambutnya, ketika pulang kerja. Itu adalah hal yang paling membahagiakan baginya. Melihat senyuman tanpa dosa di wajah anaknya, membuat segala lelah dan letih hilang tak bersisa.

Mira pun berjanji dalam hati, ‘Aku tidak boleh seperti ini, harus kuat dan selalu tersenyum di hadapan Zay' Sambil menyeka air matanya yang tanpa terasa meleleh di pipinya.

Tanpa ia sadari pak sopir pun selalu mencuri pandang lewat kaca spion, muncul rasa iba di hatinya dan membuatnya memberanikan diri untuk bertanya,

"Apakah non baik-baik saja?" Katanya sambil tetap fokus mengemudikan kendaraan di jalanan yang tampak sedikit lengang.

"Eh, ya Pak, saya tidak apa-apa,” Mira pun menjawab dengan nada gugup. Seketika dia membenahi ekspresi wajahnya agar terlihat baik-baik saja.

"Oh ya, Non mau turun di mana?” Pak sopir kembali bertanya.

"Lurus saja pak, Nanti di ujung jalan depan, ada belokan ambil yang arah kanan."

Mira pun mengarahkan sang sopir taxi tersebut.

Akhirnya Mira pun sampai di rumah sederhana yang selama ini menjadi tempat tinggalnya dan begitu berada di kamar, dia langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kasur yang empuk.

Merasakan seluruh tubuhnya seolah remuk.

Dia menarik napas panjang, sambil memejamkan mata untuk sekedar menghilangkan penat dalam jiwa dan raganya. Membayangkan bagaimana dia bergumul dengan pria selain suaminya. Remuk bukan hanya raga tapi juga jiwanya.

‘Astaga kenapa tubuhku sakit semua?’ batinnya.

Perlahan kesadarannya pun hilang karena tertidur dan deru nafas sudah teratur pertanda sang pemilik raga dalam kondisi nyenyak.

Sementara itu, di kediaman keluarga Basrie Al-Husain.

Waktunya keluarga tersebut untuk melaksanakan kegiatan rutin yaitu sarapan bersama.

Namun ada suasana yang tampak berbeda karena sang nyonya rumah  tidak mau turun dan ikut sarapan bersama, seperti biasanya.

"Panggil kan Mama mu!” seru Basrie memberikan perintah terhadap sang menantu kesayangannya.

Sang menantu pun mengangguk pertanda ia menurut dan menyetujui perintah itu. Dia bergegas pergi untuk memanggil mama mertuanya.

Dengan penuh hati-hati pintu pun di ketuk, sambil berkata, “Ma, ini Nilam! Apa Aku bisa masuk?”

Akan tetapi, mama mertua yang berada di dalam kamar pun tidak menjawab.

Nilam masih mengetuk-ngetuk pintu, setelah beberapa lama kemudian akhirnya pintu pun terbuka.

"Ada apa, Nilam?” kata mama mertuanya.

"Itu Ma, Papa bilang sarapan bersama dulu.”

"Bilang sama Papamu, aku tidak mau sarapan. Oh ya, satu hal lagi nanti siang aku mau pergi!" Setelah berkata,  Parida pun menutup pintu kamarnya kembali.

Nilam masih berdiri di depan pintu kamar sambil bergumam, “Jika saja bukan karena harta, aku tidak sudi seperti ini.

Menantu bukannya jadi ratu tapi jadi pembantu.”

 

Nilam pun turun kembali Dan memberi tahu papa mertuanya, tentang apa yang dia dengar dari ibu mertuanya.

Basri mendengar semua ucapan Nilam tanpa ekspresi. Mereka semua menikmati sarapan pagi tanpa  sang nyonya besar.

Basrie dan Roxy pun berpamitan untuk pergi ke kantor, dan menitip pesan pada Nilam untuk membawakan makan bagi ibu mertuanya.

Setelah kepergian mereka, Parida pun keluar dari kamar dan turun menuju ruang tamu berada.

 

"Nilam!” Panggil Parida, sambil menyimpan tas bermerek di pundaknya.

Nilam berlari dari arah dapur sambil menjawab, “Ya, Ma."

 

Dia berdiri tepat di hadapan sang ibu mertua, dan melihat dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya lalu, mulai membuka suara. “Mama, mau ke mana?” tanya Nilam. Dia terlihat sangat penasaran akan ke mana kepergian Parida, tapi dia tidak berani untuk bertanya.

"Mama mau keluar sebentar ... tapi, awas kamu jika bilang sama papamu!" Parida pun mengingatkan Nilam untuk tidak cerita jika dia akan ke luar rumah.

 

Meskipun, banyak pertanyaan yang menggunung dalam pikirannya tapi, Nilam tetap mengangguk mematuhi perintah sang ibu mertua.

Part 3

Parida Pun pergi dengan menggunakan taxi, namun sebelum pergi ke tempat tujuan ia, mampir terlebih dahulu ke toko perhiasan untuk menjual kalung warisan dari ibunya.

Sesampai di toko perhiasan itu, ia menyerahkan kalungnya yang sebenarnya sangat berarti baginya, untuk di jual.

"Pak, kira-kira laku berapa ya, kalung ini jika saya jual?” Parida bertanya kepada sang pemilik toko.

"Sebentar ya Bu, saya lihat,” kata pemilik toko sambil memeriksa perhiasan yang di berikan padanya dari tangan Parida. “Mungkin sekitar ... 500 juta, Bu.

"Apa tidak bisa lebih, Pak?” Tanya Parida dengan wajah berkerut.

"Itu sudah harga tertinggi, Bu," ucap sang pemilik toko itu lagi, masih tetap melihat-lihat perhiasan di tangannya.

"Ya sudah, saya jual kalungnya." Parida pun menyerahkan kalungnya kepada pemilik toko.

Tidak berselang terlalu lama, Parida sudah memegang uang hasil penjualan kalungnya. Setelah itu, ia segera pergi ke tempat tujuannya semula.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit, akhirnya sampailah ia di sebuah rumah.

Parida berdiri di depan rumah itu sambil mengetuk-ngetuk pintunya, tapi belum Ada jawaban juga.

Setelah cukup lama menunggu, barulah pintu itu terbuka dan terlihat wajah yang menyembul dari balik pintu sangat kusut dan berantakan. Namun, ia segera sadar bahwa mantan mertuanya saat ini yang tengah berdiri di pintu rumahnya.

"Permisi, Mira, apa kita bisa bicara sebentar?”

Ucap Parida kepada Mira.

"Maaf nyonya, saya sebentar lagi berangkat ke kantor dan sekarang belum bersiap,” dengan nada datar, Mira menjawab permintaan ibu mertuanya dulu.

"Mir, mungkin ucapan suami saya sangat melukai kamu, Saya minta maaf, untuk semua itu.” Kata Parida tegas.

Dengan raut wajah yang sedih Parida menatap Mira.

"Saya minta waktu, Mir! Tidak lama, lima menit saja.”

"Silakan nyonya masuk dulu,” kata Mira dan mempersilakan Parida untuk masuk.

"Terima kasih,” ucap Parida, sambil melangkah masuk dan duduk di sofa yang ada di ruang tamu rumah Mira.

Setelah mereka duduk berhadapan, Parida pun mengambil amplop coklat dari tasnya.

"Mir, Ini mungkin cukup buat membayar biaya pengobatan Cucuku,” katanya dengan suara lembut, lalu dia kembali berkata, “maaf atas kejadian kemarin.”

"Terima kasih, Nyonya ... tapi maaf, saya sudah membayar lunas untuk pengobatan anak Saya dan tidak butuh uang dari Nyonya lagi.” Mira pun berbicara sambil tersenyum sinis, menganggap sikap mantan mertuanya itu sudah sangat terlambat.

“Dan nanti siang jam dua siang akan di lakukan Operasinya,” kata Mira setelah diam sejenak.

“Maaf, Nyonya, sekarang Saya harus bersiap untuk berangkat ke kantor, Jika tidak Ada yang ingin dibicarakan lagi, silakan Nyonya keluar dari rumah ini.” Mira kembali berkata sambil berdiri.

Parida pun ikut berdiri, dengan raut wajah yang sedih memohon kepada Mira, “Apakah Saya bisa menengok Cucu Saya di Rumah sakit, sekang?”

"Bukannya saya tidak mengizinkan Nyonya datang ke sana, tapi Saya khawatir.Bagaimana jika tuan Basrie tahu Nyonya menemui kami, Bukan hanya Anda yang terkena masalah tetapi, kami juga!,Apa Anda Masih ingat dengan kejadian dulu, beliau yang rela menyuruh orang hanya untuk membakar tempat tinggal kami?” Kata Mira sambil menahan sesak di dada.

“Sudah cukup Nyonya, penderitaan kami selama ini dan maaf juga atas kehadiran saya kemarin di rumah Anda. Awalnya saya berharap bahwa ada sedikit rasa empati Tuan Basrie terhadap anak Saya, mengingat dia juga Cucunya... Ternyata Saya sudah salah besar untuk menginjakkan kaki di rumah Anda.” Mira pun terus berbicara mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam.

"Maaf ....” hanya itu yang terucap dari bibir Parida, sedangkan sorot matanya mengisyaratkan penyesalan yang mendalam.

"Tidak perlu minta maaf Nyonya, ini bukan salah Anda, Tapi ini salah Saya. Selalu berharap bahwa kalian semua akan menerima kehadiran kami setelah kematian ayahnya Zay. Ternyata itu hanya mimpi.”

Mira diam sejenak, menarik napas dan kembali berkata.

“Semua selalu berfikir bahwa saya yang telah membunuh Jul dan Zay anak pembawa sial, ah ... yang benar saja!”

"Saya tidak pernah berpikir seperti itu,bahkan saya sangat menginginkan kehadiran kalian, ingin melihat tumbuh kembang Zay, tapi apa daya," Parida menyanggah ucapan mira

"Saya juga tidak punya kekuatan untuk melawan ayahnya Jul.”  Parida pun berbicara dengan nada gemetar dan menahan tangis.

“Bahkan di hari meninggalnya Jul, kalian tidak ada yang datang, hanya untuk mengucapkan bela sungkawa.Padahal Jul jelas-jelas anak kalian! Apakah sebuah kesalahan besar yang tidak bisa dimaaf kan hanya karena dia menikahi gadis miskin seperti saya?” Tangisan Mira pun pecah, yang selama ini berusaha ia tahan.

Parida mendekat ke arah Mira Dan memeluknya, Akhirnya mereka saling memeluk sambil menangis.

 

Parida mengelus punggung Mira, sambil berkata, “lupakan semua yang sudah terjadi mulai hari ini, saya berjanji akan berusaha untuk selalu ada disaat kalian membutuhkan, Sekali pun itu harus menentang Suamiku.”Kata parida sambil berusaha membuat Mira sedikit tenang

"Tidak perlu Anda melakukan itu Nyonya,” Mira mengurai pelukan mereka, sambil menatap wajah Parida yang sudah tidak muda lagi. Bagi Mira ini pertama kalinya ia di peluk ibu mertuanya.

Sehangat inikah pelukan seorang ibu? Batinnya.

"Jul ... sekarang ibumu datang ke rumah kita, dan itu janji yang sering kau ucap kan padaku, Semoga kamu bahagia di alam sana.” Batin Mira seolah hatinya tersenyum pada mendiang suaminya.

"Nyonya, maaf ... Saya bersiap dulu, Sebentar lagi saya akan pergi ke kantor.” Mira mengucapkan itu untuk memperingati mertuanya agar segera pergi.

“Jangan panggil saya Nyonya, mulai sekarang panggil Mama seperti Jul memanggil ku, Mama ....” kata Parida sambil tersenyum hangat.

"Baik Nyonya,” Mira berkata dengan nada terbata-bata, “Eh, Mama.”

"Apa Mama bisa minta nomor ponselmu? Besok Mama akan datang lagi untuk menemui Zay. Bilang sama dia, Neneknya sangat merindukannya!”

Setelah kepergian Parida, Mira pun bersiap untuk berangkat ke kantor, mengingat dia bekerja di perusahaan itu belum ada satu minggu.

Takut sesuatu hal terjadi, Jika sampai dipecat,  dia harus mencari kerja di mana lagi, dengan status dia seorang janda? Mungkin banyak perusahaan yang akan menolaknya, dengan  alasan takut tidak bisa bekerja dengan baik.

Setelah sampai di kantor, Mira langsung disambut oleh sekretaris bos besar .

"Bu Mira, Anda sudah ditunggu di ruangan Pak Jack" ucap sang sekretaris.

"Baik,” jawab Mira dengan singkat, sambil berlalu meninggalkan sekretaris itu.

Tiba di depan pintu ruangan CEO, dia mengetuk pintu.

Tiba-tiba pintu terbuka dari dalam dan terdengar suara, khas seorang pria dewasa yang berwibawa, “Silakan  masuk Nyonya.”

 

Mira pun melangkah kan kaki menuju meja kerja sang CEO tersebut.

"Maaf Pak, apakah Anda memanggil Saya?” Mira mulai angkat bicara, setelah berada di hadapan pimpinannya.

"Jam berapa sekarang?” Tanya Jack pada Mira, bahkan Jack enggan melihat Mira. Ia berbicara dengan membelakangi dirinya.

"Jam Sembilan empat puluh lima menit, Pak.” Mira menjawab dengan lantang.

"Bagus jika kamu tahu, Itu artinya kamu telat lima menit. Jadi, jangan berpikir setelah kejadian tadi malam kamu bisa seenaknya datang ke kantor!

"Dan satu hal lagi, kamu sudah membohongi perusahaan ini, bahwa kamu itu masih singgel, tapi ternyata kamu sudah punya anak!” kata Jack masih sambil membelakangi.

"Atas semua kebohonganmu, terpaksa Saya—“ Jack menjeda omongannya.

"Apakah Saya akan di pecat, Pak?” Mira berbicara dengan nada yang pasrah tapi khawatir akan nasibnya kali ini.

"Terus kamu maunya apa?” Jack membalikkan tubuhnya dan kali ini melihat ke arah Mira, dengan tatapan tajamnya.

"Saya akan terima semua keputusan Bapak, toh, ini perusahaan milik Bapak.”Balas Mira, Sambil tersenyum tipis.

"Saya hanya ingin memberimu hukuman. Lihat ini! Selesaikan semua cetak biru untuk pembangunan tempat wisata di  Belitung, Dalam waktu tiga hari. Jika tidak, maka bersiap untuk membuat surat pengunduran diri!” kata Jack lagi.

"Baik Pak, saya akan kerjakan, secepatnya.” Mira berkata, dengan nada lemasnya.

“Jika sudah tidak ada lagi yang dibicarakan, Saya permisi, Pak,” Ucap Mira lalu, keluar dari ruangan itu setelah Jack mengangguk.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!