NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikah (Menjadi Yang Kedua)

Bocah Nakal

~Season_01~

Anniyah_PoV

*

Bruaakk..

Bruaakk..

" Niyah bangun! sudah jam berapa ini?!" suara gedoran pintu bersamaan dengan suara teriakan dari luar kamar seketika membangunkanku, aku pun langsung beringsut duduk di atas ranjang sempit yang sudah hampir satu tahun ini aku tempati untuk mengistirahatkan tubuhku yang lelah di setiap malam dan itu tadi adalah suara Budheku. Memang siapa lagi yang berani membangunkanku di pagi buta seperti ini, karena memang aku tinggal di rumahnya.

Padahal aku baru saja tertidur beberapa jam, kedua mata ini rasanya masih terasa lengket sekali dan mau tidak mau aku harus cepat bangun jika tidak ingin mendengar suara teriakan yang lebih kencang lagi dari yang sebelumnya dan mungkin saja itu bisa mengganggu para tetangga di samping rumah.

Dan pasti itu bisa membuatku malu, seharusnya Budheku-lah yang malu dengan para tetangganya, tetapi mana mungkin Budheku mempunyai rasa malu lagi? Mungkin saja urat malunya sudah putus semenjak di tinggal pergi oleh suaminya.

Astagfirullah.. Ada apa denganku??

Aku langsung turun dari atas ranjang segera  berjalan menuju pintu kamar yang terlihat sempit ini, yang terlihat seperti gudang, tetapi memanglah dulunya gudang sebelum aku tinggal disini.

Ceklek!!

" Kamu itu tidur udah kaya kebo tau! Di panggil panggil dari tadi juga!!" Omel Budhe lagi sambil menggendong Johan putranya.

Aku hanya bisa diam tidak ingin menjawab perkataan dari Budhe Indhun yang sudah seperti Ibuku sendiri, beliau adalah Kakak kandung dari Ibuku, walau sifatnya jauh berbeda. Budhe Indhun orang yang keras sama seperti Ibuku namun sifatnya jauh lebih bar-bar menurutku.

" Malah melamun! Sudah sana bantuin di dapur terus nanti lanjut cuci baju ya, Budhe mau ke pasar beli bahan-bahan warung dulu." Ucapnya seraya akan melangkah pergi keluar rumah.

Di depan seberang jalan sana memang adalah pasar di daerah sini, maka dari itu sebelum subuh bahkan dini hari suasana sudah sangat ramai sekali disana. Para pedagang aneka ragam, seperti sayur-mayur, daging, ikan dan sebagainya sudah membuka lapak dagangannya juga para pembeli pasti sudah berkumpul disana, maklum pasar besar di kota ini.

" Kenapa masih diam saja?! Tidak mau bantu Budhe lagi? Mau Budhe bilang pada Ibumu jika putrinya ini bermalas-malasan disini!" Ucapnya yang mulai mengancam lagi.

Setiap aku belum bergerak untuk mengerjakan sesuatu yang Budheku perintahkan, ia selalu saja mengancam seperti itu padaku, bawa-bawa Ibuku segala, Aahh,, aku hanya bisa bersabar demi membantu Ibuku.

Ya tepatnya beberapa bulan yang lalu Budheku berkunjung ke kampung halamanku, lalu setelah melihatku yang sudah tumbuh besar Budhe meminta ijin pada Ibuku untuk mengajakku ke kota sekedar untuk membantunya nanti sebab saat itu beliau sedang hamil besar yang sebentar lagi akan segera melahirkan.

Budheku sudah bertahun-tahun membuka warung makan nasi di kota besar sini, alasannya yang lain juga karena suaminya jarang pulang sehingga aku di suruh membantu menjaga anaknya kelak jika ia sedang sibuk dengan warungnya. Aku yang memang berhati hello kittie ini menjadi tidak tega dan rela merantau ke ibukota untuk ikut serta bersamanya, dan juga demi membantu perekonomian keluargaku.

Bukankah benar, jika aku pergi maka Ibuku tidak harus memberiku jatah makan lagi, hanya tinggal Adik dan Kakak laki-lakiku saja yang harus mereka beri makan. Sedangkan aku pasti mendapat jatah makan dari Budhe secara beliau memang membuka warung makan, yang pasti aku tidak akan kelaparan, begitulah pikiranku dulu.

Namun harapan tinggallah harapan, bayangan aku akan mendapatkan jatah makanan yang enak justru mendapat sisa makanan dari Budheku jika makanan di piringnya tidak habis. Dan itu selalu terjadi, seperti di sengaja agar aku memakan makanan sisanya, sungguh miris sekali hidupku, tetapi aku anggap ini adalah ujian.

Mau protespun rasanya percuma, setiap ingin protes suaraku seakan tertahan di tenggorokan hingga aku pun mengurungkan niatku, dan inilah sifatku yang selalu mengalah, selalu di remehkan orang, juga banyak yang menindasku termasuk keluargaku sendiri.

Dengan langkah gontai aku pun melangkah menuju dapur untuk segera menanak nasi di dua megicom, lalu mengupas bawang putih, bawang merah, cabe dan juga bumbu lainnya yang akan di masak oleh Budhe nanti setelah pulang dari pasar. Setelah selesai aku segera berjalan ke arah kamar mandi untuk mencuci semua pakaian termasuk pakaian Budhe dan kedua anaknya.

Budhe Indhun mempunyai dua putra, putra sulungnya bernama Farhan usinya dua tahun lebih tua dariku, lalu putra bungsunya Johan yang masih balita berusia tujuh bulan yang selalu aku jaga.

" Niyah, ini ajak Johan, langsung mandiin." Titah Budheku yang baru saja pulang sambil membawa barang belanjaannya di tangan kanan dan kirinya, hari memang sudah pagi dan sudah hampir terang benderang di luar sana.

Dan seperti biasa aku langsung menggendong Johan lalu memandikannya terlebih dahulu, setelahnya aku mengajaknya bermain di area belakang rumah, sebab di depan pasti ramai orang pembeli untuk makan.

" An, punya uang nggak? Aku pinjam dulu ya?" Ujar Mas Farhan padaku yang tiba-tiba saja sudah duduk di kursi bambu, sedangkan aku duduk di bawah karpet bersama Johan adiknya.

" Uang?" Beoku, aku berpikir untuk apa dia meminjam." Emm, aku tidak punya Mas, coba minta sama Budhe." Saranku padanya, bukannya pelit atau apa sama saudara sendiri, tetapi memang aku tidak memiliki uang pegangan sepersenpun saat ini.

Biasanya Budhe akan memberiku uang satu bulan sekali itupun hanya lima puluh ribu, lalu aku langsung belikan kebutuhanku seperti pembalut, obat jika aku sedang tidak enak badan atau yang lainnya, dan pasti uang itu otomatis langsung sudah habis, tetapi aku selalu menyisakan entah sepuluh ribu atau lima ribu untuk aku tabung tanpa ada yang tau, dan itu semua semata-mata untuk berjaga-jaga saja jika nanti aku sudah pergi dari sini.

" Aahh, kamu ini pelit sekali jadi orang, kalau tidak mau di hutangi ya bilang saja dari tadi!" Bentaknya yang langsung beranjak bangun lalu pergi keluar tidak lupa menendang pintu jika ia sedang marah pada siapapun termasuk pada Ibunya sendiri.

Aku sudah tidak heran lagi jika sikapnya yang pemarah, Ibunya saja begitu pasti putranya pun juga sama, sama-sama mempunyai sifat pemarah, entah harus berapa lama lagi aku bisa bertahan di rumah ini, yang sudah seperti neraka saja bagiku.

" Huaa,, huaa,, hikss hikss,." Johan tiba-tiba menangis kencang di bawah kolong meja. Mungkin kepalanya kepantuk meja saat aku dan Mas Farhan sedang bicara tadi.

Aku langsung menggendongnya dan menenangkannya tetapi tangisannya justru bertambah kencang, membuatku bingung, aku pun berjalan ke depan untuk memanggil Budhe, siapa tau Johan juga sedang haus memang sedari tadi belum di minumin asi oleh Ibunya.

" Budhe, Budhe Johan nangis ini." Panggilku sambil menggendong Johan yang masih saja menangis, aku melihat Budhe yang sedang mengobrol dengan salah satu pembeli di depan sana.

Ternyata banyak sekali pembeli yang sedang makan di beberapa meja, lantaran hari memang sudah hampir siang, namun ada yang sudah makan siang, Budhe yang melihatku langsung berjalan menghampiriku.

" Kenapa dia?! Kenapa jidatnya merah gitu?" Tanyanya mengerutkan dahinya menyelidik, yang seketika membuatku ikut melihat jidat Johan yang memang berwarna merah, entah sejak kapan aku juga baru menyadarinya.

" I-itu tadi dia kepantuk meja Budhe." Jawabku sedikit takut beliau akan marah padaku, karena tidak becus menjaga putranya yang bandel dan nakal itu, memang benar bukan? Jika tidak bagaimana bisa itu bocah berakhir di kolong meja jika bukan bocah nakal yang tidak bisa diam!

.tbc

Ini cerita baruku yang lain, bukan sequel. Tidak ada hubungan dari cerita sebelumnya..

Minta dukungan dari semuanya ya, tekan like dan favoritenya,, dan juga hadiahnya jangan lupa..🌷🌷🌷

Terima kasih sudah mampir membaca, maaf kalau masih banyak typo dimana-mana.

Kabur..

Anniyah_PoV

*

" Kok bisa lho, sini! Bantuin Narmi sana!" Titahnya yang langsung aku angguki dari pada kena amukan darinya, aku berjalan ke arah Mbak Narmi yang tengah sibuk mengambilkan makanan di piring untuk pembeli.

" Mbak apa yang bisa aku bantuin?" Tanyaku padanya yang langsung menoleh padaku.

" Eh Niyah, Oh iya ini tolong antarkan makanan dan minuman ini di meja ujung sana ya, itu ada Bang Aziz duduk disana," Tunjuknya sambil menyodorkan nampan yang sudah berisi sepiring nasi beserta segelas minuman, aku pun langsung mengangguk dan berjalan ke depan dimana ada seorang pria yang sudah duduk menunggu makanan pesannya.

Aku langsung mengenalinya, pria itu memang setiap hari kesini dan sudah menjadi l*******n di warung Budhe, karena ia adalah pemilik bengkel yang tak jauh dari sini.

" Ini Bang makanannya." Ujarku sambil meletakkan sepiring nasi beserta segelas teh hangat, itu juga makanan yang selalu ia pesan jika makan disini.

" Iya makasih Dek, yang sabar ya." Sahutnya tanpa menatapku dan segera menikmati makanan yang ia pesan tadi

Walau sedikit heran dengan maksud ucapanya barusan padaku, tetapi aku enggan untuk bertanya lebih jauh lagi, aku segera berjalan kembali di sisi Mbak Narmi.

" Cie,, dia itu kelihatan suka sama kamu lho Yah." Seru Mbak Narmi sedikit heboh, tentu saja membuatku mengernyit bingung tidak mengerti.

" Maksudnya Mbak?" Tanyaku masih bingung sambil membuatkan es teh pesanan pembeli lainnya, sedangkan Mbak Narmi sibuk mengambilkan makanan ke piring kosong sambil terus mengajakku mengobrol.

" Itu lho Bang Aziz sepertinya suka sama kamu Yah." jelasnya.

" Aww,," Saking kagetnya telapak tanganku kegores benda tajam.

" Kamu kenapa? Bagaimana bisa berdarah?" Tanya Mbak Narmi yang begitu panik saat melihat tanganku mengeluarkan darah segar.

" Aduh maaf mbak, tanganku tidak sengaja menyenggol ujung meja, hingga tidak sadar ada pisaunya disitu." Jawabku sembari meringis sambil menahan rasa sakit bercampur perih di telapak tangan kiriku.

Aku mengedarkan pandangan ke depan, namun tidak sengaja kedua mataku ini berserobok dengan mata Bang Aziz yang sedang berdiri di mejanya sana memperhatikanku, entah sejak kapan ia berdiri, aku tidak tahu. Aku langsung menundukkan kepala mencari tissue untuk membersihkan darah yang terus saja mengalir di tanganku.

Sementara itu aku juga merasa jantungku ini berdebar sangat kencang saat tatapan kami tadi tidak sengaja bertemu, aku merasa ini sangat aneh, kenapa tiba-tiba jantungku bekerja sangat cepat sekali, seperti habis berlari maraton saja. Karena biasanya tidak pernah bermasalah seperti ini di usiaku yang sudah menginjak enam belas tahun ini, dan baru kali ini aku merasakannya, sungguh aneh.

" Sudah di obati dulu sana." Ujar Mbak Narmi padaku, aku hanya mengangguk.

Aku mengedarkan pandangan ke depan memang sudah tidak ada lagi pembeli, aku pun ijin pada Mbak Narmi mau ke belakang untuk mencari plester siapa tau Budhe ada simpan di lemari untuk menghentikan darah yang masih saja keluar dari tanganku ini, belum juga sampai di pintu penghubung antara warung dan ruang tengah tiba-tiba Budhe sudah muncul membuatku sedikit terkejut.

" Budhe_

" Niyah sini ikut Budhe." Belum sempat aku menjawab tanganku sudah di tarik paksa olehnya, berjalan ke arah ruang tamu.

Budhe menyuruhku untuk duduk di kursi, sedangkan beliau berjalan ke arah lemari seperti ingin mengambil sesuatu, apa mungkin Budhe mau mengambilkan plester untukku, karena melihat tanganku tadi terluka? Aahh baik sekali Budheku.

Aku tersenyum saat melihat Budhe kembali berjalan ke arahku sambil membawa gunting besar dan kotak ukuran sedang, mungkin itu kotak obat begitu pikirku, semoga apa yang kupikirkan memang benar terjadi, Budhe mau mengobati lukaku ini. Namun saat aku menyodorkan tanganku padanya, Budhe tidak melihat ke arah tanganku, justru aku merasa ikat rambutku terlepas di tarik olehnya.

" Aww, Budhe kenapa ikat rambutku di lepas!" Protesku menatapnya kesal, namun Budhe sama sekali tidak mendengarkan protesku itu, justru terus menatap rambutku yang panjang.

" Niyah bantu Budhe ya, Budhe sangat butuh uang sekarang." Ujarnya yang membuatku bingung.

Butuh uang kenapa harus mengatakannya padaku, juga kenapa ikat rambutku itu di tarik olehnya? Apa iya ikat rambutku yang aku beli harga sepuluh ribu itu mau di jual? Memang bagus sih, berwarna silver ada bunga-bunganya gitu pinggirnya, itulah kenapa aku membelinya waktu itu, tetapi pertanyaannya siapa yang mau membeli barang bekas yang sudah aku pakai? Dan seharusnya Budhe tau kalau aku ini tidak mungkin mempunyai uang, jangankan uang lima ribu, sepersen pun aku tidak memegangnya saat ini. Lain uang simpanan tentunya.

" Akhh..!!" Teriakku begitu Budhe menarik rambutku." Budhe mau_

Kreekk, kreekk..

Belum selesai aku meneruskan ucapanku, aku mendengar bunyi suara gunting yang sedang memotong sesuatu, aku pun berusaha menoleh ke arah belakang dimana Budheku sedang berdiri disana dan..

Mataku langsung membulat karena begitu terkejutnya saat melihat rambut panjangku sudah ada di gengaman Budhe, ternyata dia memotong rambut panjangku yang selama ini aku jaga.

" Astagfirullah BUDHE!! KENAPA RAMBUTKU DI POTONG!! " Teriakku kencang karena begitu marah padanya. Membuatku tidak sadar sudah membentak Budheku sendiri.

" Tidak usah membentak Budhe! Kali ini Budhe tidak marah ya padamu, tapi lain kali awas saja!! Karena Budhe butuh rambutmu ini akan Budhe jual, supaya bisa dapat uang." Tanpa mempunyai rasa bersalah, Budhe melenggang pergi ke arah depan.

" Kalau sudah sepi tutup saja warungnya Nar." Seru Budhe pada Mbak Narmi, lalu berjalan masuk menuju kamarnya sambil membawa rambut panjangku itu yang sudah di masukkan ke dalam kantong kresek, aku hanya bisa menangis sesenggukan masih duduk di kursi ruang tamu, suaraku rasanya sulit keluar hanya untuk kembali berteriak protes, aku sama sekali belum ingin beranjak pergi.

Tak lama Budhe keluar lagi sambil menggendong Johan dan sudah memakai pakaian rapi sepertinya akan pergi keluar rumah, mungkin akan menjual rambutku itu, tangisku semakin menjadi saja mengingat sudah lama sekali aku ingin mempunyai rambut panjang, dan sekarang rambut itu,,,

" Nanti Budhe belikan sesuatu ya." Serunya sebelum menutup pintu. Aku tidak ingin mendengarnya.

Sudah hampir satu jam atau lebih aku menangis, hingga kedua mataku terasa bengkak.

Aakkh,, rasa sakit di tanganku hilang entah kemana dan sekarang hatiku yang lebih sakit, karena tidak ingin berlarut-larut aku pun bangun dan berjalan ke arah kamarku yang sempit, rasanya aku sudah tidak tahan lagi berada di rumah ini.

Aku melihat penampilanku yang berantakan di cermin kecil toilet yang tergantung di dinding dekat ranjang.

Rambutku sudah pendek tidak berbentuk lagi, rasanya begitu malu jika keluar dari kamar, tanpa berpikir panjang aku langsung membereskan semua pakaianku memasukannya ke dalam tas berukuran kecil, aku memang hanya membawa pakaian sedikit paling hanya lima setel saja, tak lupa aku meraih jilbabku satu-satunya yang dulu di berikan teman masa kecilku, aku langsung memakainya.

Hari sudah semakin sore, tekatku sudah bulat aku ingin segera pergi dari rumah Budhe tanpa harus repot-repot berpamitan. Biarlah mumpung Budhe masih belum pulang, aku berjalan keluar lewat pintu belakang melihat kanan kiri, bersyukur sekitar rumah nampak sepi. Aku tak ingin membuang waktu lagi dan bergegas berjalan cepat ke arah gang kecil di samping rumah tetangga.

Aku tidak tau lagi akan pergi kemana, pergi tanpa tujuan, air mata terus saja mengalir membasahi kedua pipiku membuat kepalaku juga sedikit sakit, aku terus saja berjalan sambil menunduk tidak ingin menatap ke sekelilingku. Takut jika ada yang mengenaliku atau mengenal Budheku lalu orang itu akan menahanku dan mengantarkanku lagi ke rumah neraka itu lagi, aku tidak mau, tidak akan mau!.

" Persetan dengan keluarga! Aku tidak peduli lagi!"

Salah Menduga

Anniyah_ PoV

*

Sudah berjalan hampir setengah jam-an akhirnya aku sampai di jalan besar, aku merasa begitu lega sekali, seperti terbebas dari kandang macan betina.

Astagfirullah.. Maaf Budhe, tapi kamu memang seperti macan betina bagiku.

Ternyata hari sudah hampir maghrib, aku pun berniat istirahat di masjid terdekat sini sambil menunaikan shalat maghrib, jika di pikir-pikir sholatku bolong-bolong selama ini, bagaimana tidak, Budhe selalu menyuruhku ini, itu tanpa mengenal waktu. Dan aku juga bukan terlahir dari keluarga yang agamis.

Setelah berwudlu aku langsung mengenakan mukenaku sendiri, mukena berwarna putih kecoklatan mungkin karena sudah lama sekali ukurannya pun sudah kecil, mengingat tubuhku yang semakin tumbuh besar.

Begitu selesai menunaikan shalat, aku mencari tempat duduk, rasanya lemas sekali dan baru ingat jika seharian ini aku sama sekali belum makan apapun. Aku menoleh ke kanan kiri siapa tau aku menemukan penjual apapun, cilok, gorengan bakwan atau apapun yang biasa mangkal di masjid, tetapi aku tidak menemukannya.

Akhirnya aku pun beranjak akan berjalan keluar berniat untuk mencari makanan di warung, beruntung aku mempunyai uang simpanan yang selama ini aku simpan, mungkin tidak banyak. Tetapi aku yakin bisa untuk mengganjal perutku jika lapar dan haus.

" Anniyah..."

Baru beberapa langkah berjalan ada seseorang yang memanggilku dari arah belakang, walaupun aku tau nama Anniyah mungkin bukan hanya diriku saja, tetapi aku menghentikan langkahku tanpa menoleh ke belakang.

" Anniyah, Tunggu!" Terdengar suara bariton kembali memanggilku.

Dan begitu memang namaku yang di panggil aku pun menoleh ke arah sumber suara untuk melihat siapa yang memanggilku barusan.

Degh!!

Ternyata dia adalah pria yang tadi siang makan di warung Budhe, pria yang sempat bersitatap denganku. Pria bernama Aziz kata Mbak Narmi, sebab aku memang tidak mengenalnya, hanya saja aku tau jika dia setiap hari datang untuk makan siang di warung.

Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, mau pergi saja tetapi rasanya kaki ini sulit sekali di gerakan, mau menetap disini tetapi aku sangat malu.

" Ternyata benar itu kamu. Mau kemana kok bawa-bawa tas?" Tanyanya curiga, tentu saja siapa yang tidak akan curiga aku membawa tas dan berakhir di tempat ini, tempat yang lumayan jauh dari rumah Budheku.

Tanpa ingin menjawab pertanyaannya, aku berusaha mengangkat kakiku yang entah bagaimana rasanya bisa begitu berat untuk melangkah. Aku hanya ingin menghindar dari pria itu, aku takut dia akan melaporkanku pada Budhe atau lebih parahnya akan membawaku kembali kesana. Lebih baik cepat kabur darinya.

Hingga entah mendapatkan kekuatan darimana, kakiku berhasil melangkah berjalan ke arah gerbang masjid. Tetapi lagi-lagi pria itu memanggilku. Aku sempat heran darimana dia tau namaku? Ah! Mungkin saja dia sering mendengar saat Budhe memanggilku atau Mbak Narmi, itu sudah tidak perlu di pertanyakan lagi.

" An tunggu dulu. Kamu mau kemana? Sini biar aku antarkan." Ucapnya lagi pantang menyerah walaupun sudah di cueki juga. Dan lebih parahnya lagi, kini ia berhasil menghadang jalanku, membuat langkahku terhenti.

" Jangan takut, aku tidak akan melaporkanmu dari Budhemu itu, aku tahu pasti kamu kabur dari rumahnya 'kan?" Tebaknya yang tepat sasaran.

Dahiku mengernyit sekilas menatapnya, bagaimana pria itu bisa tau jika aku sedang kabur dari rumah Budhe saat ini? Apa dia seorang dukun? Aah!.. tentu saja bukan! Masa ada seorang dukun yang mengerjakan shalat?

Kamu bodoh sekali Niyah, hanya dengan melihat penampilanmu saja serta tas yang kamu bawa itu, pasti semua orang juga tau jika, kamu barusan pergi dari rumah. Hanya saja mungkin pria bernama Aziz ini sedikit peka, atau memang mengetahui sedikit masalah yang terjadi di warung Budhe tadi.

" I-iya aku keluar dari rumah Budhe." Jawabku akhirnya sedikit menjelaskan. Mau bagaimana lagi dia sudah tau, untuk apa di tutup-tutupi lagi.

Terdengar dia menghembuskan nafas kasarnya." Ayo ikut denganku." Pria itu menarik tanganku tanpa sadar, aku langsung menepisnya.

" Oh, maaf." Sesalnya menatapku kembali.

Aku berjalan keluar gerbang masjid, sementara pria bernama Aziz itu mengambil motornya lalu berhenti di depanku.

" Ayo naik, aku tidak akan macam-macam, percayalah." Ujarnya mencoba merayuku.

Setelah beberapa saat kami saling rayu dan menolak, pada akhirnya aku pun naik di boncengan belakang motor milik Bang Aziz setelah menimang-nimang, walau awalnya ragu tetapi aku mencoba untuk mempercayainya. Toch memang sekarang aku sangat membutuhkan bantuan dari orang lain.

Bukan untuk meminta di kasihani, hanya saja kalau lama berada disini, takutnya Budhe atau orang yang mengenal Budhe melihatku, celakalah aku.

" Pegangan ya." Pintanya sambil menoleh ke samping, aku hanya diam saja tidak ingin menyahut.

Memangnya dia siapa nyuruh-nyuruh gitu, dia pikir aku akan memegang pinggangnya seperti di adegan dalam sinetron-sinetron yang di tayangkan di televisi gitu, jangan harap!

Mentang-mentang sudah membantuku lalu ingin memanfaatkan begitu! Tas milikku aku letakkan di tengah-tengah sebagai pembatas di antara kami.

Sepanjang perjalanan yang entah menuju kemana, aku hanya diam saja dengan berpegangan erat pada jok besi motor belakang, seperti kataku tadi aku tidak akan mau memegang pinggangnya. Lalu aku berpikir, aku tidak punya saudara lain disini selain Budheku, dan sekarang aku hanya sendirian di kota besar ini, sungguh aku bingung harus bagaimana untuk menjalani hidup setelah ini.

Jika aku pulang apa yang harus aku katakan pada Ibu dan Bapak? Tetapi jika menetap dikota besar ini, aku mau kerja apa, ijasah saja aku tidak punya, hanya tamatan SMP, mana ada orang yang mau mempekerjakan orang sepertiku. Namun jika hanya bersih-bersih rumah atau mencuci pakaian aku bisa mengerjakannya, karena setiap hari memang itu adalah pekerjaanku sehari hari jika di rumah.

Namun jika bekerja yang lain, mana aku bisa, apa sebaiknya aku mencari lowongan pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih di rumah orang kaya? Pasti aku bisa menemukannya nanti.

Tiba-tiba motor yang di kendarai Bang Aziz belok ke pekarangan bangunan dan berhenti di depannya, membuatku langsung tersadar yang sedari tadi sedang melamun sambil memikirkan sesuatu, mau apa dia mengajakku kesini? Ini seperti kost-kostan karena bangunan itu semuanya nampak sama bentuknya hanya di sekat-sekat tembok sebagai pembatas hingga sampai ke teras depan.

Kenapa pria ini membawaku kemari ya? Aku harus selalu waspada pada orang lain, terlebih makhluk spesies di sebelahku itu sudah tertanam jiwa kebuasannya.

Sebab seorang pria tetaplah akan menjadi buaya dimana-mana, tidak mungkin berubah menjadi kupu-kupu yang cantik! Bisa juga berubah menjadi kumbang yang siap menghisap madu wanita.

" Ayo turun." Titahnya tanpa menoleh ke arahku, dan terus berjalan ke arah bangunan kost-kostan tersebut.

Sedangkan aku masih setia duduk di jok belakang motor tanpa ingin turun, " Ayo, ngapain masih duduk disitu." Ujarnya kembali, aku menatap kesekeliling bangunan yang terlihat cukup sepi walau lampunya terang benderang di setiap bangunan kost satu dengan yang lain, membuatku sedikit takut, apalagi kami hanya berdua saja di tempat ini.

" Kamu tinggal disini saja ya malam ini, ini kost milik temanku, bentar aku hubungi dia sekarang." Terangnya memberitahuku, berjalan agak sedikit menjahuiku.

Apa? Jadi dia mencarikan tempat untuk aku beristirahat malam ini. Aku sebenarnya tidak mau, akan protes, aku tidak ingin merepotkannya lagi, tetapi ucapanku sama sekali tidak di dengar oleh pria itu.

" Sudah, temanku sedang berjalan kesini untuk mengantarkan kunci salah satu kost, kamu tidak apa-apa 'kan, tinggal sendiri disini?" Tanyanya terdengar hati-hati sekali padaku.

Membuatku sulit untuk menjawabnya, bahkan aku menatap wajahnya sedikit lama, dan sepertinya dugaanku salah mengenai pria ini, ternyata dia adalah orang baik.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!