"Aku sudah berusaha!"
"Berusaha apa? sudah 3 bulan kita menunggak. Bahkan untuk membeli susu Una saja kita sudah tidak sanggup!"
"Aku-" Mengusap wajahnya frustasi.
"Mau sampai kapan kita begini? aku tidak bisa tetap seperti ini. Kita berpisah saja!"
"Tidak bisa!"
Seorang gadis kecil berusia 5 tahun bernama Una, melihat dan mendengar pertengkaran kedua orang tuanya dari balik tembok. Ia mengusap air matanya, tiap hari kedua orang tuanya selalu saja bertengkar.
"Ayah, Bunda. Una tidak mau minum susu lagi, rasanya tidak enak," ucap pelan bocah cilik itu.
Kedua orang tuanya setiap bertengkar selalu membahas perkara susu. Menurutnya jika ia tidak meminum susu lagi, kedua orang tuanya pasti tidak akan bertengkar.
Begitulah pemikiran gadis kecil itu. Padahal kedua orang tuanya bertengkar karena terhimpit masalah ekonomi.
"Una sayang, kamu sudah bangun?" tanya Reno menghampiri sang anak. Berjongkok untuk mensejajarkan dirinya dengan Una.
"Kamu pasti mimpi buruk, ya?" Rosa pun menghampirinya. Sudah pasti anaknya terbangun karena suara pertengkaran mereka.
Reno menggendong Una. "Kamu pasti mau tidur sama Ayah, kan?"
Una mengangguk. Ayah pun menggelitikinya, membuat keduanya jadi tertawa.
Pagi harinya Reno bersiap untuk pergi. Ia pekerja serabutan. Hari ini temannya akan mengajak untuk menjadi kenek buruh bangunan.
Dulunya Reno adalah anak pengusaha kaya di kotanya. Ia jatuh cinta pada Rosa. Tapi cinta mereka tidak direstui orang tua Reno, bahkan orang tua Rosa juga ikut tidak merestui. Lantaran orang tua Reno yang tidak segan menghina orang tua Rosa, bahkan mempermalukan mereka.
Rosa sudah memilih mundur, tapi Reno tidak mau melepaskan Rosa. Hingga singkat cerita mereka akhirnya kawin lari. Memulai hidup baru dari awal di kota yang baru.
Tapi, ternyata keluarga Reno tidak tinggal diam. Dengan kekuasaan dan uang, keluarganya menutup semua akses untuk Reno. Hingga tidak ada perusahaan yang mau menerimanya bekerja.
Reno juga pernah mencoba membuka usaha sendiri dan usahanya dibakar orang yang tidak dikenal, padahal itu adalah modal satu-satunya. Ia pun kini terpaksa bekerja serabutan untuk menghidupi istri dan anaknya.
"Aku pergi dulu." pamit Reno saat melihat Rosa diam saja. Pria itu pun memeluknya.
"A-aku takut Bu Siska datang lagi menagih." Rosa pun menangis di pelukan sang suami.
Bu Siska terkenal pemilik kontrakan yang sangat galak, setiap menagih akan memaki bahkan tidak segan untuk menghinanya.
"Maaf, aku akan carikan uangnya! Doakan hari ini aku dapat uang ya." Reno menenangkan sang istri.
Reno sangat tahu keluarganya tetap memantau dirinya. Walau sampai lembur bekerja tetap saja pendapatannya rendah. Selalu dibawah dari pekerja lain.
"Aku pulang ke rumah orang tuaku saja ya?"
Mendengar ucapan Rosa, Reno melonggarkan pelukannya. Menatap lekat sang istri.
"Tidak! Kamu sabar ya. Aku akan berusaha demi keluarga kita!" janji Reno. Ia tidak mau berpisah dari istri dan anaknya.
Rosa diam seraya mengalihkan pandangannya. Ia juga tahu mertuanya selalu memantau mereka. Reno selalu cerita padanya, tentang bagaimana sulitnya mencari pekerjaan.
"Ya?" Reno memastikan.
Rosa akhirnya menggangguk. Reno jadi bernafas lega. Ia pun bisa pergi kerja dengan tenang.
Setelah Reno pergi, Rosa kembali ke kamar. Tersenyum melihat Una yang masih tertidur pulas. Walaupun hanya dengan kasur tipis, anaknya itu bisa tidur dengan nyenyak. Wajah polosnya membuatnya tersenyum.
Rosa menciumi pipi buah hatinya. Anugrah terindah dalam pernikahannya.
Tok...Tok... Tok
Suara ketokan pintu yang cukup kuat mengagetkan Rosa. Ia sudah tahu siapa yang mengetok pintu itu. Siapa lagi kalau bukan pemilik kontrakkan.
Rosa membuka pintu, ia melihat Bu Siska memasang wajah sangar.
"Cepat bayar uang sewa!!!" Tagihnya dengan suara menggelegar.
"Mas Reno lagi kerja, Bu. Nanti sore pasti dibayar."
"Sore sore sore, sore kapan? kalian sudah nunggak 3 bulan! Kalian kira saya orang dermawan, saya juga butuh uang untuk anak saya!"
"Ma-maaf, Bu. Nanti sore pasti di bayar."
"Kamu janji-janji saja! Kalau suamimu tidak bisa menghidupimu, jual tubuhmu! Aku bisa mencarikanmu tubang kaya!"
Wajah Rosa memerah mendengar ucapan bu Siska. "Nanti sore mas Reno akan membayarnya, sekaligus dengan bunganya, Bu!"
"Cih!" Bu Siska melihat Rosa dengan malas. Wanita muda itu hanya bisa berjanji-janji saja.
"Aku beri waktu sampai sore, kalau nanti sore tidak ada juga uangnya. Kalian harus meninggalkan kontrakan ini. Dasar orang miskin! Jika tidak sanggup bayar kontrakan tinggal saja di kolong jembatan!!!"
Bu Siska pergi dengan sombongnya dan Rosa hanya mampu mengusap air matanya.
"Bunda."
Rosa menutup pintu, ia kaget melihat Una sudah bangun. Wajar putrinya terbangun, pasti karena teriakan wanita galak itu.
"Kamu sudah bangun? mandi kita yuk, setelah itu sarapan," ajak Rosa menahan kesedihannya. Ia tidak mau menangis di depan Una.
Setelah mandi, Rosa menemani Una makan. Hanya nasi dan telur ceplok, tapi bocah kecil itu makan dengan lahap.
"Makannya pelan-pelan ya, nak." Bunda mengambil nasi yang berserakan di mulut bocah kecil itu.
"Bunda, sudah sarapan?"
Rosa mengangguk. "Sudah tadi sama ayah." Bohongnya. Ia dan Reno tidak sarapan. Nasinya hanya cukup buat Una. Anak kecil itu harus tetap makan untuk pertumbuhannya.
'Kalau tidak ada aku, mereka pasti akan menyayangi Una!'
"Bunda, sudah!" Bocah kecil itu sudah menghabiskan sarapannya.
"Kita tidur, yuk. Bunda ngantuk!"
Bunda menepuk-nepuk punggung sang anak pelan, seraya berpikir selama ini kehidupan mereka makin terpuruk. Bahkan uang yang Reno cari hanya mampu membeli beras dan telur. Itu pun hanya untuk mereka makan sekali. Mereka mengalah agar Una tetap bisa makan 3 kali, karena Una jarang diberi susu.
Rosa menggenggam tangan kurus Una, tubuh sang putri tidak seperti anak-anak seusianya.
'Bunda sangat menyayangimu, nak. Bunda harap kamu bahagia ya sama Ayah. Jangan marah sama Bunda, ya! Bunda hanya mau kamu bahagia!'
Rosa menciumi bocah cilik yang sudah tertidur, sambil mengusap air matanya. Ia sudah bertekad akan kembali ke rumah orang tuanya. Membiarkan Una tinggal bersama ayahnya. Ia percaya Reno pasti bakal kembali ke keluarganya. Mertuanya pasti akan menerima Reno dan Una tanpa ada dirinya. Reno anak mereka dan Una darah daging Reno.
Rosa meletakkan surat yang telah ditulisnya untuk Reno. Dalam suratnya ia meyakinkan Reno untuk kembali ke keluarganya. Memikirkan masa depan Una jika mereka tetap memaksa bersama.
Rosa menghela nafas panjang, ia terpaksa harus pergi tanpa pamitan. Sejujurnya ia juga tidak bisa berpisah dari Reno secara langsung. Hatinya tidak pernah sanggup untuk berpisah dan pasti Reno juga akan menahan dirinya.
Sore itu Una terbangun, ia tidak melihat Bunda di sampingnya. Ia bangkit dan berjalan keluar kamar.
"Bunda-Bunda!"
Tak ada sahutan. Ia mencari seluruh rumah, dapur, kamar mandi tapi tidak menemukan bundanya. Mencari keluar rumah tetap tidak menemukannya.
"Bunda pergi ke mana ya?" Ia masuk kembali dalam rumah.
Hari sudah malam, baik bunda dan ayah tidak ada yang pulang. Una kecil mulai gelisah. Bocah itu menunggu di depan pintu, berharap kedua orang tuanya segera pulang.
Una menguap, ia mulai mengantuk. "Aku tidur saja. Pasti mereka akan pulang."
Bocah kecil itu menutup pintu dan menguncinya. Lalu mengambil selimut dari kamar dan memilih tidur di ruang tamu yang hanya ada tikar saja. Ia tidak mau tidur di kamar, takut tidak dengar saat mereka mengetok pintu.
Pagi pun telah tiba, Una tersentak. Ia masih di ruang tamu. Ia pun bangkit dan mencari kedua orang tuanya.
"Ayah, bunda, kalian di mana? Una sudah tidak mau minum susu lagi!" Bocah cilik itu menangis terisak-isak sambil berjongkok di depan rumah. Setelah mencari dan tidak menemukan kedua orang tuanya.
"Hei, anak kecil!!!"
.
.
.
"Astaga!!! lihat Bundamu malah meninggalkanmu." ucap Bu Siska setelah membaca surat yang ditinggalkan Rosa.
'Mana mungkin bunda meninggalkanku.' Batin Una. Ia belum bisa membaca, Bu Siska pasti berbohong kepadanya.
"Mana ayahmu?" Bentak Bu Siska. "Berani-beraninya mereka kabur dan menjadikan anak tidak berguna sepertimu sebagai jaminan!!!" Wajah Bu Siska sangat emosi.
Una sangat ketakutan melihat ekspresi bu Siska saat ini. Sangking takutnya air matanya sampai jatuh.
"Ikut aku!!!"
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Sudah setahun Una tinggal dengan keluarga bu Siska. Wanita kejam itu menjadikan Una sebagai pembantu. Mencuci puring, menyapu rumah, mencuci baju, menyetrika dan hanya tidak disuruh memasak saja. Ia takut anak itu akan meracuninya dan keluarganya.
"Jangan malas! Sudah menumpang! Anak tidak berguna, pantaslah orang tuamu membuangmu!" Bu Siska melemparkan baju kotor ke wajah Una. Bocah itu hanya bisa diam mengusap air matanya.
Una hanya seorang anak kecil, yang tidak bisa melakukan semua pekerjaan yang diperintahkan. Jika ada kesalahan, bu Siska tidak segan memaki dan bahkan sampai menamparnya.
"Ayah, bunda. Una rindu. Kalian di mana? Una janji tidak mau minum susu lagi." Ia menangis saat melihat dari jauh tempat tinggalnya dengan kedua orang tuanya dulu, yang kini sudah disewakan bu Siska.
Una mengusap air matanya, ia harus segera pulang. Ia belum memasak nasi. Takut dimarahi bu Siska lagi.
"Aku pulang!" Ucap Tasya, anak perempuan bu Siska.
Begitu sampai rumah, Tasya mengotori rumah yang sudah dibersihkan bocah kecil itu. Sepatu di teras, tas di ruang tamu, seragam di dapur. Berhamburan di semua tempat.
Una mengutipi satu persatu. Tasya itu tidak bisa meletakkan barang pada tempatnya. Kalau tidak segera dibereskan, bu Siska akan memarahinya.
"Aku lapar, ambilkan makananku!" Pinta Tasya sambil menghidupkan tv.
"Na-nasinya masih di masak."
"Apa? jam segini kau belum masak nasi!!! Apa saja yang kau lakukan? dasar tidak berguna, akan ku adukan kau pada Mamaku!"
Malam itu Una menangis pelan di ruang tamu sambil memegangi pipinya yang merah. Ia pun membaringkan tubuhnya di tikar. Selama ini Una hanya di izinkan tidur di ruang tamu dan tidak boleh di sofa.
"Kamu kenapa?"
Una terbangun mendengar suara itu. Itu suara suaminya bu Siska. Bocah itu menjauhkan dirinya melihat wajah nafsu pria tua itu.
Dulu Una sangat kurus, tapi semenjak tinggal dengan bu Siska badannya jadi berisi. Bu Siska hanya memberinya makan nasi dengan kecap. Tapi Tasya setiap makan tidak pernah habis, sisanya itu yang selalu Una makan dari pada mubazir dibuang.
"Kamu jangan nangis ya. Mending kamu layani aku!" Pria itu memegang tangan Una.
Pria tua itu ingin memperkossa Una. Nafsunya benar-benar ingin mencicipi mangsa kecilnya.
Una mencoba memberontak tapi tenaganya hanya seperti elusan saja bagi si tua bangka itu.
Pletak... Sapu terbang mendarat di kepala pria tua itu sebelum memulai aksinya.
"Siapa yang-" Pria tua itu terdiam melihat istrinya, tidak jadi melanjutkan ucapannya.
"Apa yang mau kau lakukan?!" bentak Bu Siska pada sang suami.
"I-itu itu, bocah ini yang menggodaku!" Pria tua itu pun menunjuk Una.
Bocah itu gemetar dan ketakutan. Takut bu Siska akan menghajarnya lagi malam ini.
"Jangan berani kau menyentuhnya atau aku akan mengusirmu dari rumah ini! Dasar suami tidak berguna!!!" Bu Siska mengaum seperti singa, membuat suaminya langsung ciut.
Bu Siska menarik Una dan membawa ke dalam kamar Tasya.
"Tasya, Una mulai sekarang tidur di sini."
"Tapi, Ma."
"Ia akan tidur di lantai."
"Ya, sudah."
"Kalau malam tidur kunci pintu!" Bu Siska memperingatkan. Ia tidak akan membiarkan siapapun menyentuh Una. Karena sudah merencanakan dalam beberapa tahun lagi akan menjadikan Una sebagai penghasil uang untuknya. Una akan dijadikan pekerja malam.
Esok harinya Una sudah selesai mengerjakan semua pekerjaan yang bu Siska suruh.
"Heh, sini kau!" Panggil Bu Siska.
Una yang sedang minum langsung menenggak habis minumnya dan menghampiri Bu Siska.
"Ini... beli beras 10 kg, gula 2kg, minyak makan 2kg, mie instan 10 bungkus."
Pesanan bu Siska cukup banyak hingga Una sulit mengingatnya.
"Cepat belinya, aku mau masak!!!" Bu Siska menyerahkan uang dua ratus ribu.
Una pun pergi, jika lupa paling bu Siska akan memarahinya atau tangan wanita itu akan menempel di wajahnya. Bocah itu seperti sudah kebal dan terbiasa.
Saat menuju warung, suami bu Siska menarik Una dengan paksa dan membawa ke semak-semak.
"Kau kira kau akan bebas dariku?!" Pria tua itu akan memegang tubuh Una.
Bocah itu refleks menendang agar pria tua nafsu-an itu menjauh darinya.
"Aww, kurang ajar!" maki pria tua itu saat tendangan Una yang malah mengenai benda pusakanya.
Una pun berlari ketakutan, ia tidak peduli umpatan pria tua itu. Kaki sudah gemetaran, mana pria tua itu kembali mengejarnya.
"Aw!!!" Karena tidak fokus, Una masuk ke dalam kubangan.
Pria tua itu malah tertawa. "Makanya nurut! Melihatmu sekarang aku jadi tidak bernafsu. Mandi sana!!!"
Una keluar dari kubangan setelah pria tua itu pergi. Pakaiannya sangat kotor sekarang, bahkan ia juga bau.
Bocah itu takut pulang ke rumah, pria tua itu pasti akan mengusiknya terus. Perlakuan bu Siska pun sangat kejam padanya. Ia harus kabur agar terbebas dari mereka.
Mata Una melihat mobil pickup yang sedang berhenti. Dengan pelan-pelan naik dan bersembunyi di balik sayur-sayuran.
Tak lama mobil pickup itu melaju. Ada kelegaan di hati Una. Berharap di tempat yang jauh, akan ada orang yang menyayanginya. Dan ia juga yakin suatu hari nanti akan bertemu dengan kedua orang tuanya.
"Hei, apa yang kau lakukan di sini? mau maling?" tanya supir yang akan membongkar muatannya.
Una menggelengkan kepala. "Tidak, pak!"
Dengan cepat Una bergegas turun dan berlari pergi, mengacuhkan supir itu yang memarahinya.
Una melihat sekeliling, ia kini berada di pinggir jalan. Kenderaan banyak berlalu lalang. Tidak tahu berada di mana ia sekarang.
Pejalan kaki yang lewat menutup hidung mereka ketika melewati Una, sambil saling berbisik mengatakan bocah kecil itu sangat bau dan jorok.
Mobil patroli yang sedang merazia pemulung dan anak jalanan, membawa Una ke kantor polisi.
"Siapa namamu?" Tanya Pak Polisi sambil menutup hidungnya.
"Una."
"Nama orang tuamu?"
"Reno dan Rosa."
"Nama panjangnya, tadi kamu bilang kamu terpisah dari orang tuamu. Bagaimana mau mencari orang tuamu? nama seperti ini sangat banyak di luar sana!" Pak Polisi pun menghela nafas melihat bocah bau itu hanya diam saja.
Una pun di bawa ke Panti. Bocah itu sangat menyukai tempat barunya. Ia di sekolahkan, diberi makan dan pakaian. Dan yang penting ia tidak pernah dimarahi ataupun ditampar.
Di panti juga jika ada yang berdonasi, mereka dibawakan makanan yang enak, pakaian yang bagus, peralatan sekolah dan juga berbagai mainan yang dapat mereka mainkan bersama-sama.
Una bersyukur berada di tempat ini. Tempatnya cukup nyaman, pengurusnya juga baik dan yang pasti teman-temannya banyak sekarang. Ia juga berpikir di tempat ini, kedua orang tuanya pasti akan mudah mencarinya.
'Ayah, bunda... Una menunggu kalian menjemput Una di sini!'
.
.
.
Una dan anak-anak panti lainnya bersekolah di SD yang tidak jauh dari Panti. Mereka hanya perlu berjalan kaki selama 5 menit untuk sampai ke sekolah.
Una duduk di kelas 1. Ia sangat fokus mendengar guru mengajarkan cara membaca. Dengan antusias mulai mempelajari huruf-huruf alfabet tersebut. Hingga di kelas itu Una termasuk murid yang lancar dalam membaca dari pada murid-murid lain yang masih mengeja.
Sore itu di Panti, seorang anak berpamitan pada anak-anak lainnya. Anak itu tampak begitu senang karena sudah diadopsi oleh pasangan suami istri.
"Apa dia sudah menemukan orang tua kandungnya?" tanya Una serius pada teman di sebelahnya, melihat pasangan suami istri itu tersenyum bahagia pada teman mereka itu.
"Bukan, orang dewasa itu mau mengurusnya. Dia akan tinggal bersama mereka jadi anaknya. Namanya adopsi gitu," ucapnya memberitahu apa yang dia tahu. Sebagai sesama anak panti, ia cukup cemburu jika ada anak yang di adopsi. Menurutnya sungguh beruntung anak yang di adopsi, pasti akan disayang. Memiliki Papa dan Mama.
Anak-anak di panti itu berasal dari razia pemulung dan anak jalanan. Ada juga yang ditinggalkan oleh orang tuanya saat masih kecil di gerbang Panti. Ada anak korban kekerasan orang tua dan banyak sebab lainnya, yang membuat anak-anak Panti tinggal tanpa kasih sayang orang tua. Walaupun ada pengurus Panti, tapi tidak mungkin kasih sayangnya sama seperti kasih sayang orang tua pada umumnya.
Hingga setiap ada pasangan yang mengadopsi anak Panti. Anak tersebut seperti mendapatkan rumah, kasih sayang dan orang tua yang akan merawat dirinya.
"Kau sudah pernah di adopsi?"
Anak itu menggeleng cepat. "Orang-orang dewasa itu lebih suka anak yang tampan dan juga cantik."
Anak kecil itu menyadari, selama tinggal di Panti tidak ada yang mau mengadopsi dirinya. Para pengadopsi kadang lebih melihat dari segi fisik.
"Nanti pasti ada orang dewasa yang akan mengadopsimu." Ucap anak itu pada Una. Ia melihat penampilan Una yang berbeda dari anak-anak lainnya. Una cantik dan imut dengan pipi chubynya. Siapa yang tidak mau mengadopsi anak seperti Una.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Malam itu Una dan anak-anak yang lain pergi mengaji di salah satu rumah guru yang tidak jauh dari Panti. Setelah siap mengaji mereka pun bergegas pulang ke Panti.
Saat sedang berjalan kaki, mata Una tertuju pada bunga-bunga berwarna-warni di pinggir jalan. Tampak sangat indah.
"Una, ayo pulang!" ajak anak yang sering bersamanya.
"Duluan saja. Aku mau ambil ini dulu." Bunga-bunga itu sangat cantik, Una akan menanamnya di kebun belakang Panti.
Dari jauh seringai beberapa pria dari dalam mobil, melihat target yang hanya seorang diri. Mereka akan memulai aksinya. Apalagi kalau bukan aksi penculikan anak.
Mobil berhenti di dekat Una yang sedang mengambil bunga. Suasana dan jalanan cukup sepi. Waktu yang tepat dan sangat mendukung.
Una tersenyum membawa bunga yang akan ditanamnya di kebun. Ia pun berjalan kembali menuju Panti. Saat telah berjalan melewati mobil hitam itu, terdengar suara pintu terbuka.
Dengan begitu cepat Una digendong pria berpakaian serba hitam, membawanya masuk ke mobil.
Una berusaha menggerakkan tangannya. Namun perlahan kesadarannya hilang, sapu tangan yang dibekap di mulutnya sudah diberi obat.
Tak lama Una tersadar, ia sudah bersama anak-anak lain yang tampak ketakutan. Mereka semua menangis. Tidak tahu sedang berada di mana, tapi tempat ini bergoyang-goyang.
"Kaya kita bos!" ucap seorang pria bertato melihat puas hasil penculikan anak.
Beberapa pria dewasa tertawa menanggapi. Bagaimana tidak, lebih dari 50 anak yang berhasil mereka culik.
Mereka akan membawa anak-anak hasil penculikan ke sebuah pulau. Di sanalah akan dilakukan transaksi perdagangan manusia. Wilayah itu cukup jauh dan terpencil, polisi akan sulit untuk melacak aksi mereka.
Para penjahat bermain judi sambil menenggak minuman keras. Tidak lupa juga rokok yang tetap dihisap.
"Kenapa ini?" bentak salah seorang yang terlihat begitu sangat menyeramkan.
Kapal yang mereka tumpangi mulai terombang-ambing tidak stabil. Di luar hujan badai dengan kilatan petir saling bersahutan.
Anak-anak itu pada menangis ketakutan, tanpa terkecuali Una. Tubuh Una bahkan sampai gemetaran.
'Ayah, bunda. Una takut, Una sangat takut berada di sini. Tolong Una."
Kapal yang bergoyang tidak stabil mengakibatkan anak-anak itu pusing, bahkan ada yang sampai muntah-muntah. Mereka mabuk laut.
"Bos, air masuk!!!" Teriak pria-pria itu.
Pria yang dikatakan Bos langsung bangkit melihat keadaan.
Hujan badai disertai ombak-ombak yang cukup tinggi, menghempas kapal mereka. Air laut sekejap saja sudah membanjiri kapal.
Para penjahat itu sedaya upaya berusaha agar kapal jangan sampai oleng. Mereka menguras air, tapi percuma. Ombak terus menghantam kapal kecil tersebut.
Kalau sudah begini, jalan terbaik adalah menyelamatkan diri masing-masing.
Cuacanya sangat tidak bersahabat. Kapal sudah mulai oleng. Anak-anak berteriak histeris, tidak peduli pria-pria sangar yang menyuruh mereka untuk diam. Anak-anak itu sangat takut sekarang.
Mereka saling berpelukan, memejamkan mata dan berdoa berharap mereka bisa selamat sampai dataran.
'Ayah, bunda. Una sayang kalian! Ayah dan bunda jaga kesehatan, ya.'
Mata Una terpejam, tapi air mata itu masih berlinang membasahi pipinya. Air laut sudah tinggi sepinggangnya. Ia mengerti mungkin ini adalah akhir hidupnya. Tanpa ayah dan bunda di sampingnya.
Dalam pejamnya Una mengingat kenangan indah bersama kedua orang tuanya. Saat mereka masih bersama.
"Kamu bersembunyi, Ayah yang jaga." Ucap Ayah saat sedang bermain di Taman.
"Di mana ya Una?" Tanya Ayah seakan tidak melihat anaknya bersembunyi di balik pohon bunga.
"Ah, dapat!" Ayah pun menggendong Una. Bocah kecil itu tertawa-tawa.
"Ayo, kita pulang! Sudah sore!" Ajak Bunda.
"Ayah, bunda, besok kita kemari lagi ya!"
Kedua orang tuanya mengangguk setuju.
Kenangan Una pun berlanjut saat malam tahun baru.
Una tersenyum kecut saat kembang api miliknya yang tidak dapat menyala seperti punya ayah dan bundanya.
"Ini pegang punya Bunda saja!" Bunda dengan hati-hati memberikan kembang apinya pada Una. Bocah kecil itu tersenyum. "Hati-hati jangan sampai kena tangan!"
"Kamu pegang satu lagi!" Ayah juga menyerahkan kembang api.
Una tertawa memegang kembang api di tangan kanan dan kirinya. Meskipun agak takut, tapi ia sangat senang memegang kembang api itu.
"Sudah mati." Ucap Una.
Ayah mengambilnya agar tidak mengenai Una.
"Ayah, bunda, itu kembang apinya terbang!" tunjuk Una melihat langit bertaburan cahaya.
Walaupun belum tepat pukul 12 malam, tapi sudah banyak orang yang memasang kembang api.
Ayah menggendong Una, sambil melihat warna-warni yang dihasilkan kembang api tersebut.
"Ayah, Una sayang Ayah." Ucapnya.
"Ayah juga sangat sayang sama kamu. Mana ciumnya."
Una mencium pipi kanan dan kiri sang ayah.
"Kamu tidak sayang sama Bunda?"
"Sayang Bunda juga!" Una juga mencium kedua pipi Bundanya.
"Una sayang Ayah sama Bunda. Una janji akan jadi anak baik."
Mereka saling berpelukan ditemani suara kembang api yang bersahutan.
Secara perlahan kapal mulai tenggelam. Hingga akhirnya kapal hilang ditelan lautan.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!