Lampu-lampu mulai dinyalakan. Sang surya hampir hilang di peraduan. Angin sore berhembus menggugurkan kelopak bunga flamboyan yang tumbuh menjulang di halaman panti asuhan.
Panti Asuhan Suka Cita. Papan nama yang tergantung didepan pintu itu. Satu buah koper berukuran sedang dengan tas besar yang ditumpuk di atasnya itu, entah sejak kapan sudah disiapkan di teras depan.
Suara tangis yang bersahutan terdengar dari dalam panti. Gerombolan anak-anak kecil memeluk seorang gadis dewasa yang diketahui akan segera pergi itu.
"Kakak akan sering menjenguk kalian, kalian gak boleh sedih."
Ujar gadis itu menyunggingkan senyum manisnya. Kedua tangannya membelai satu-persatu kepala adik-adik panti nya, dengan menggumamkan kalimat yang sama.
"Apa kamu harus pergi sekarang? hari sudah mulai gelap. Besok masih ada waktu, Nak," ujar Ibu panti sembari mengusap pelan punggung gadis itu.
"Yelena harus pergi sekarang, Bu. Besok sudah mulai masuk kerja," jawabnya.
Ibu panti menghela napas pasrah sembari membelai rambut panjang terurai gadis itu.
"Kamu tumbuh di panti ini selama 25 tahun, dan Ibu sudah menganggap mu sebagai putri Ibu sendiri. Jika ada masalah, jangan sungkan untuk menghubungi Ibu," ujar Ibu panti sembari memeluk gadis yang sebelum akhirnya menyeret kopernya pergi.
Gadis itu menoleh kebelakang, para saudara nya yang ada dibelakang sana melambaikan tangan padanya. Gadis itu tersenyum, kemudian berbalik dan mulai melangkah pergi meninggalkan halaman panti.
Sebenarnya berat baginya untuk pergi. Tapi dia sudah dewasa, dia tidak ingin merepotkan Ibu panti lagi. Lagipula tempatnya bekerja berada di Ibu Kota. Dan itu akan membuatnya kesulitan jika dia tidak pindah, karena jarak tempuhnya yang lumayan jauh.
Yelena Xu. Dia masih tidak tahu apa arti dari namanya itu. Nama itu diberikan oleh Ibu panti karena kalung yang dikenakannya sejak bayi terukirkan nama Yelena Xu.
Dia tidak tahu siapa dirinya. Darimana dia berasal. Siapa orang tuanya. Apakah dia masih memiliki keluarga? dimana mereka? dan apakah mereka berusaha mencari keberadaannya atau tidak? Dia tidak tahu, dan tidak ada yang tahu akan hal itu.
Dia ditemukan didepan panti hanya dengan balutan kain putih, dan dalam keadaan plasenta belum terpotong dari pusarnya. Satu-satunya benda yang ditinggalkan padanya adalah kalung yang dikenakannya saat ini.
Seperti anak yang tidak diinginkan. Hal itu yang selalu dia pikirkan.
Langit mulai gelap. Angin yang berhembus kencang menyambut datangnya malam, membuat Yelena menyipitkan matanya. Rambut panjang terurainya menari-nari dibuatnya. Kelopak bunga tabebuya berguguran, mengguyur tubuhnya.
Dia menghentikan langkahnya dalam perjalanan menuju halte. Kemudian mendongak, menatap pohon yang ditumbuhi bunga kuning itu.
Tes~
Tidak ada mendung. Tidak ada petir. Juga tidak ada hujan. Tapi mengapa pipinya basah? Dia menangis. Menangis dalam diamnya. Dia memejamkan matanya, kemudian menghela napas panjang. Lalu membuka matanya dan tersenyum.
"Semangat Yelena!" gumamnya menyemangati dirinya sendiri.
Sampai di halte dia hanya duduk mematung, menatap beraneka macam kendaraan yang berlalu lalang dihadapannya.
Ibu Kota adalah tujuan nya. Setelah mendapat gelar sarjananya, dia diterima kerja sebagai sekretaris Direktur di sebuah perusahaan Entertainment terbesar di Ibu Kota.
Tidak perlu memikirkan tempat tinggal, karena fasilitas tempat tinggal dia dapatkan dari sana. Satu hal yang membuatnya penasaran dengan calon tempat kerjanya. Yaitu atasannya, orang yang akan bersamanya sepanjang waktu kerja.
Bagaimana bisa dia menerima pekerjaan dengan atasan yang tidak diketahuinya. Direktur dari perusahaan itu rumornya terkenal masih muda. Ya, dia sangat misterius. Wajahnya tidak mudah ditemukan di pencarian internet.
Semoga hari pertamanya bekerja akan lancar, karena dia tidak tahu akan berhadapan dengan orang macam apa.
Yelena menatap langit jingga gelap di atas sana. Kemudian melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul 6 sore.
"Kenapa lama sekali..." gumamnya.
"Nona mau kemana?" tanya seorang wanita paruh baya disampingnya yang tidak sengaja mendengar gumaman nya.
"Ke Kota S," jawabnya sembari menyunggingkan senyum ramahnya.
"Oh, sebentar lagi bus nya pasti datang," ujar wanita paruh baya itu.
Tak terasa kendaraan umum yang dinantinya sedari tadi muncul juga. Dibantu dengan kernet, dia mengangkat barangnya naik.
"Terimakasih, Pak."
Dia menghempaskan tubuhnya pada kursi penumpang. Perjalanan yang ditempuhnya masih panjang hingga sampai pada tujuannya. Dia memejamkan matanya, menyimpan tenaga untuk mengangkat barang-barangnya nanti.
......................
"Non, ini sudah pemberhentian terakhir."
Suara itu mengejutkan Yelena, membuatnya terbangun dari lelapnya. Dia mengerjapkan matanya sebanyak tiga kali, kemudian mengucek nya.
"Hm? maaf Pak, saya ketiduran."
"Gak apa Non, mari saya bantu angkat barangnya."
"Terimakasih Pak," serunya setelah barangnya mendarat dengan aman.
Dia menatap sekelilingnya, gedung bertuliskan DC Entertainment berdiri menjulang tinggi di seberang sana. Letak perusahaan itu sangat strategis karena bersebelahan dengan tempat perbelanjaan.
Dia menarik kopernya menepi menuju halte. Dihempaskan tubuhnya yang mulai capek itu ke bangku halte. Tangannya mencoba merogoh tas duffel yang ada di atas kopernya. Sebotol air mineral dikeluarkannya dari dalam sana.
Dia mulai meneguk air mineralnya hingga tersisa setengah botol.
"Segarnya," serunya.
Kali ini dia mengeluarkan ponsel dari tas selempang nya. Dia mengusap layar ponselnya dan membuka kotak aplikasi berkarakter M. Dia membuka pesan email yang sebelumnya dikirimkan padanya.
"Gedung belakang perusahaan..?" gumamnya.
Dalam pesan itu berisikan informasi alamat asrama pegawai. Dimana asrama itu terletak di belakang gedung perusahaan.
Satu masalahnya, dia bingung. Dia bingung harus melewati jalan mana untuk sampai di sana. Apa lewat gerbang utama perusahaan, atau ada jalan lain?
Dia termenung menatap gedung itu. Dia kembali mengetuk layar ponselnya. 8 PM terpampang jelas di layarnya. Tanpa pikir panjang lagi, dia beranjak dari duduknya.
Perempatan jalan terbentang luas di hadapannya. Dia menunggu lampu pejalan kaki berwarna hijau.
Hijau!
Ini saatnya dia menyebrang. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, waspada jika ada kendaraan yang menerobos lampu. Jalanan sepi. Mulailah dia menyeret kopernya untuk menyebrang zebra cross.
Setapak, dua tapak, hingga sampailah dia ditengah perjalanan. Setengah jalan lagi dia akan sampai diujung sana.
Namun...
Brakk!
Yelena yakin telah memastikan bahwa jalan itu benar-benar aman untuknya menyebrang. Tapi apa ini?
Apa lampu lalu lintas telah berbohong padanya? atau takdir yang sedang bermain-main dengannya...
Dia merasa tubuhnya sedang melayang. Koper yang dibawanya terlepas dari genggamannya. Tubuhnya mendarat pada permukaan yang terasa keras. Rasanya seperti mati rasa. Kepalanya terasa sakit. Matanya mengabur. Telinganya berdengung. Tubuhnya yang penuh dengan cairan kental berwarna merah itu tergeletak ditengah jalan.
Apa ini saat ku untuk pergi? batinnya.
Bulir bening mulai keluar melalui sudut matanya, menetes membasahi pipinya. Dia belum sampai pada tujuannya. Dia masih harus meminta maaf pada Ibu panti nya, dia sudah banyak merepotkan nya. Juga, dia belum sempat bertemu Ibu kandungnya.
Dia sudah tidak kuat lagi. Pandangannya semakin buram. Perlahan matanya mulai terpejam.
Seperti sebuah harapan. Tak kunjung datang, hanya tergantung di atas angan. Perjalanannya hari itu berhenti sampai di sana. Dia sudah tidak dapat melanjutkan perjalanan nya. Bukan menyerah. Tapi karena takdir berkata lain. Seakan berkata, 'kamu sudah berusaha keras, kini saatnya kamu beristirahat'.
BERSAMBUNG...
Titt...titt...
Suara patient monitor memenuhi ruangan gawat darurat.
Para perawat berlarian menangani gadis malang yang terus mengeluarkan darah segar dari kepalanya. Kapas yang tadinya berwarna putih telah berubah warna menjadi merah, dan jumlahnya pun semakin menggunung. Tapi pendarahan di kepalanya tak juga berhenti.
"Maaf, apa Bapak keluarga korban?" tanya Dokter UGD pada pria yang duduk cemas diluar ruangan.
Pria itu berpikir keras, yang pada akhirnya mengangguk.
"Iya, saya su~ saya tunangannya," jawabnya dengan ragu.
"Baik. Pendarahan di kepalanya tak kunjung berhenti karena lukanya yang cukup parah. Mungkin kita harus melakukan operasi untuk menutup lukanya, juga melakukan tes mendalam pada kepalanya," ujar Dokter.
"Baik, silahkan. Tolong lakukan yang terbaik, Dok."
"Baik Pak. Sus, tolong antar Bapak ini ke ruang administrasi."
Sesaat kemudian beberapa orang perawat mendorong branker bed Yelena menuju ruang operasi.
Pintu ruang operasi mulai ditutup, dan beberapa saat kemudian lampu operasi mulai menyala.
...****************...
Brakk!
Seperti tas dan juga kopernya. Tubuh Yelena juga ikut terpental karena tabrakan yang keras itu. Isi kopernya amburadul ditengah jalan. Darah segar mengalir membanjiri jalan.
Orang didalam mobil itu keluar. Pria itu menutup pintu mobilnya dengan keras. Wajahnya mulai gusar. Dia memijat keningnya dengan sebelah tangan lainnya berpegang pada atap mobilnya.
"Argh! Sial!" decaknya.
Kendaraan lain yang berlalu lalang seolah acuh pada keadaan itu.
Dia menarik napas panjang dan menghembuskan nya dengan kasar. Kemudian berjalan menghampiri Yelena yang tergeletak didepan sana.
Rambut panjang Yelena berantakan, menutupi sebagian wajahnya. Pria itu menelan saliva nya, tangannya yang gemetar mulai menyibakkan rambut Yelena yang menutupi wajahnya.
Pria itu mematung kaget. Dia memundurkan langkahnya, kemudian terjatuh dari jongkoknya. Wajahnya tampak panik.
"Tidak mungkin," suaranya mulai gemetar.
"Allesa~"
Dia kembali mendekat.
Dia mengulurkan tangannya, membelai wajah Yelena yang dipenuhi bercak darah. Kemudian merogoh saku celananya. Tangannya yang gemetar itu menekan tombol angka pada ponselnya.
"Tolong siapkan ambulan! ada korban kecelakaan di jalan Jasmine! cepat! ini darurat!" teriaknya dalam telepon.
"Kamu harus bertahan, Allesa."
Beberapa saat kemudian suara sirine ambulan mulai terdengar. Beberapa orang dengan pakaian serba putihnya berbondong-bondong turun dengan branker bed. Mereka mulai mengangkat tubuh lemah tak sadarkan diri Yelena.
"Aiden!? urus mobilku di tengah jalan depan perusahaan!" ucap pria tadi pada sambungan teleponnya yang kemudian ikut masuk dalam mobil ambulan.
...****************...
Lampu ruang operasi sudah berubah hijau. Seorang dokter dengan surgical gown nya keluar dari dalam ruangan sana.
"Syukurlah, pasien sudah melewati masa kritisnya," ujar Dokter yang membuat pria itu bernapas lega.
"Terimakasih Dok. Apa saya bisa menemuinya?" tanyanya.
"Pasien akan segera dipindahkan ke ruang pasien, anda bisa menjenguknya di sana."
"Hasil rontgen juga akan segera keluar, saya akan menghubungi anda nanti." ujar Dokter.
Pria itu menghempaskan tubuhnya ke kursi tunggu setelah Dokter pergi. Dia memijat pangkal hidungnya dengan frustasi.
"Kak?"
"Kenapa muka kakak kusut gitu? orang yang kakak tabrak mati?"
Dia menarik napas panjang, kemudian duduk di samping pria yang dipanggilnya kakak itu.
"Aku nemuin ini," ucapnya sembari menyodorkan dompet merah.
"Namanya Yelena Xu. Aku baru inget, dia sekretaris baru kakak yang mulai kerja besok," ujarnya.
"Yelena Xu?"
"Iya. Kenapa? mukanya mirip sama Allesa Grey?" dia tersenyum miring.
"Kalo mata aku nih kak, lebih cantikan Yelena lah!"
Mereka berdua kakak beradik dari keluarga Li. Sean Li dan Aiden Li.
Sean Li, dia adalah orang yang telah membuat Yelena terbaring di rumah sakit. Yang tidak lain juga adalah Direktur dari DC Entertainment, orang yang akan berkerja dengannya besok.
Tapi mungkin setelah ini jalan ceritanya akan berubah. Apa Sean yang terkenal berhati dingin itu akan luluh padanya karena merasa bersalah?
"Terus habis ini apa?" tanya Aiden.
"Apanya yang apa?" tanya Sean ketus.
"Ya minta maaf atau apa gitu?"
"Minta maaf bukanlah gaya ku!"
Keduanya kembali terdiam.
Sikap keduanya memang sangat berlawanan. Dimana Aiden adalah seorang pria berhati lembut dan ramah. Sedangkan Sean, sejak kematian ayahnya sifatnya mulai berubah. Hatinya seolah mengeras. Dia menjadi lebih pendiam dan dingin.
"Permisi Pak? pasien sudah siuman," ucap seorang perawat yang menghampiri nya.
Aiden menepuk pelan pundak kakaknya, membangunkannya dari lamunannya. Sean tersentak kaget dan kemudian merespon perawat itu dengan ucapan terimakasih.
Dia menghela napasnya dengan pasrah, dan kemudian bangkit dari duduknya.
"Ada diruang nomor berapa?" tanya Sean pada perawat itu.
"1005, Pak."
"Terima kasih."
Aiden menatap punggung kakaknya yang semakin menjauh. Dia tersenyum tipis.
"Syukurlah dia masih memiliki sedikit hati nurani," gumamnya.
...----------------...
Didepan pintu ruang 1005~
Tangannya ragu untuk membuka pintu. Dia tidak tahu mengapa dirinya menjadi tidak fokus seperti itu. Atau mungkin karena wajah Yelena mirip dengan calon tunangannya yang pergi meninggalkannya.
Dia menyiapkan kalimatnya.
Bersamaan dengan membuka pintu, dia mulai melontarkan semua yang ada dalam pikirannya.
"Berhubung kamu adalah sekretaris saya yang baru akan mulai kerja. Saya akan memberimu kompensasi deng~ Hei! apa yang kamu lakukan!?"
Sean berlari kearah Yelena yang sudah terjatuh dari kasurnya. Yelena memegang kepalanya yang terasa sakit.
Darah yang cukup deras mengalir dari tangan kirinya karena infus yang dicabut paksa.
Dengan segera Sean membopong Yelena kembali keatas tempat tidurnya.
"Apa kamu gila!?" bentak Sean.
Sean menekan tombol darurat.
"Maaf, anda siapa?" Yelena mengedarkan pandangannya pada seluruh ruangan, "Dan dimana ini?" lanjutnya.
"Saya tidak akan membuang waktu lagi. Saya akan memberikan kompensasi berupa gaji dua kali lipat kamu sebagai sekretaris saya. Surat perjanjian perdamaian akan saya siapkan saat kamu masuk kerja." jelas Sean.
"Sekretaris? saya bekerja sebagai sekretaris? sekretaris anda?"
"Apa otakmu mulai rus~" Sean menghentikan ucapannya saat sebuah pikiran terlintas di kepalanya.
Apa mungkin kepalanya bermasalah? batinnya.
"Siapa namamu?" Sean mencoba-coba, berharap apa yang dipikirkannya tidak benar.
"Nama?"
Yelena berpikir keras. Otaknya yang tidak dapat menerima respon itu membuat kepalanya terasa sakit. Dia kesakitan. Dia merintih sembari memegangi kepalanya.
"Hei!? kamu baik-baik saja?" Sean mulai panik.
"Aku tidak bisa mengingat siapa namaku!" Yelena berteriak.
Sean membelalakkan matanya dan memundurkan langkahnya. Dia tidak menyangka telah membuat seorang gadis kehilangan ingatannya. Dia memijat pangkal hidungnya dengan frustasi.
Sean menatap Yelena yang masih tertunduk sembari memegangi kepalanya.
Wajah Yelena mengingatkannya pada seseorang. Satu persatu gambaran masa lalunya mulai melintasi pikirannya. Dan saat itu, sifat egoisnya muncul.
"Kamu adalah Yelena Xu. Sekretaris sekaligus tunangan ku."
Yelena mengangkat kepalanya, "Tunangan?" gumamnya.
"Kak! kakak sudah gila ya!?"
Aiden yang baru masuk ruangan itu meneriaki Sean saat mendengar ucapan gila keluar dari mulutnya.
"Gak usah ikut campur!" tegasnya dengan tatapan tajam yang membuat Aiden terdiam.
"Keluarga pasien silahkan keluar," ujar Dokter yang datang bersama Aiden.
"Kita harus bicara!" ujar Aiden sembari berjalan keluar mendahului Sean.
Aiden menghempaskan tubuhnya di kursi tunggu. Dia memijat kepalanya yang mulai pusing.
Sean yang baru keluar dari ruangan itu berdiri tak jauh dari tempat Aiden duduk.
"Apa maksud kakak dengan membohonginya seperti itu?" Aiden mulai angkat bicara.
"Just for fun," Sean tersenyum miring.
"Apa kakak tidak memikirkan kedepannya nanti? bagaimana jika dia mengingat segalanya? perasaannya akan terluka!"
"Aku tinggal menikahinya saja, lalu menceraikannya kapan saja."
"Gak punya hati! apa kakak telah melupakan ajaran kebaikan Papa? apa setelah Papa pergi, didikannya juga ikut pergi dari diri kakak!?" Aiden mulai meninggikan suara di kalimat terakhirnya.
"Diam!" bentak Sean yang kemudian memalingkan wajah dan pergi dari hadapan Aiden.
BERSAMBUNG...
Malam telah berganti pagi. Sisa air hujan semalam masih bertetesan dari dedaunan pohon yang ada diluar sana. Burung - burung saling bersahutan.
Sinar matahari mengintip masuk kedalam ruangan gelap itu melalui celah tirai.
Srak~
Sama seperti orang yang membuka tirai itu, mungkin sinar matahari juga merasa lega karena telah berhasil melakukan tugasnya. Mengusir kegelapan.
Ruangan gelap itu kini terisi penuh oleh cahaya matahari. Gadis yang tengah terlelap itu perlahan mulai mengernyitkan dahinya.
Tangannya yang terhubung dengan selang berisikan cairan bening itu berusaha untuk memblokir sinar matahari agar tidak menerpa wajahnya.
"Maaf, apa aku membangunkan mu ? "
"Kamu..siapa kamu ? " tanya Yelena dengan suara serak khas bangun tidur.
"Aku Aiden,"
Jawabnya sembari menyodorkan segelas air putih yang baru saja dituangnya.
"Nggak usah, makasih," tolak Yelena sambil memalingkan wajahnya.
Aiden menatap Yelena sejenak, kemudian berbalik. Dia menghempaskan tubuhnya di sofa depan sana. Dia menghela napas panjang sembari membuka layar laptopnya.
Matanya mulai fokus pada layar didepannya. Seperti seorang profesional, jemarinya yang lincah itu menekan keyboard dengan cepat.
"Pfftt~" Aiden menahan tawanya saat mengetahui Yelena sedang menatapnya sedari tadi.
Yelena merasa jengkel juga malu karena hal itu.
Dia membalikkan badan, menghadap jendela. Namun sinar matahari terlalu silau untuk matanya. Rasa jengkelnya semakin meningkat. Ditendangnya selimut yang dikenakannya hingga hampir terjatuh.
"Ck!" decaknya.
"Kenapa? kamu tidak nyaman dengan kehadiranku?" tanya Aiden.
Tidak ada respon.
Aiden tersenyum miring, kemudian menutup laptopnya dan beranjak dari duduknya. Dia berjalan pada ranjang Yelena, dinaikkan kembali selimut yang hampir jatuh itu.
Sembari menyelimuti Yelena, Aiden mengambil kesempatan untuk meneliti wajahnya.
"Ck ck, benar - benar mirip," gumamnya.
"Mirip apa?" tanya Yelena .
"Mirip manusia?" Aiden memiringkan kepalanya dan tersenyum.
"Dasar gila," gerutu Yelena.
"Dimana tunangan ku?" lanjutnya.
Aiden membelalakkan matanya kaget. Namun dia menutupi ekspresi nya itu dengan membalikkan badannya.
Dia menatap ke luar jendela.
Hufftt~
Dihembuskan napas beratnya itu dengan pasrah. Dengan frustasi dia menyibakkan poninya ke atas dan memijat kepalanya.
"Ini membuatku gila," gumamnya.
"Apa kamu percaya begitu saja?" tanyanya sambil berbalik dan menatap Yelena dengan serius.
Yelena terkejut. Dia terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
"Aku tau kamu kehilangan ingatan mu. Tapi bukan berarti kamu kehilangan akal mu kan?" ujarnya.
"Dia berkata kalau kamu adalah tunangannya dan kamu percaya?"
Kalimat itu sudah cukup membuat Yelena goyah.
Mata Yelena terpaku pada sosok pria yang berdiri dihadapannya. Dia tidak dapat berpikir jernih.
Tanpa perintah bulir bening pun mulai menuruni pipinya. Membuat pria yang berdiri dihadapannya itu mengulurkan tangan menyeka air matanya.
"Kenapa kamu malah menangis. Kamu tau? air mata wanita adalah kelemahan ku!" tegur nya.
"Maaf," lirih Yelena.
"Jika aku bukan tunangannya. Lalu siapa sebenarnya diriku ini?" lanjutnya di sela isak tangisnya.
"Aiden!"
Bugh!
Pukulan keras sukses mendarat di wajah rupawan Aiden. Membuat sudut bibirnya mengalirkan darah segar.
Sean mencengkeram kerah baju Aiden dan memojokkannya ke dinding.
"Sudah aku bilang jangan ikut campur!" tekannya dengan tegas.
Aiden menyeringai, kemudian menyeka sudut bibirnya yang berdarah.
"Kakak keterlaluan," lirihnya.
Sean melepas cengkeramannya dengan kasar.
"Keluar!" bentak nya.
"Gak perlu kakak suruh aku juga udah mau pergi."
Brak!
Aiden membanting pintu kamar Yelena saat keluar.
"Sial!" decak Sean sembari memijat pangkal hidungnya.
"Maaf..." lirih Yelena.
Sean mendongak menatap Yelena dengan tatapan yang belum netral dari emosinya.
Deg!
Perasaan takut menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia mencengkeram selimutnya dengan erat.
"Ah maaf," ucap Sean yang dengan secepat mungkin mengganti raut wajahnya.
Sean berjalan mendekat pada Yelena, tangannya membelai lembut wajahnya. Namun Yelena memalingkan wajahnya. Membuat pemilik tangan itu mengeraskan rahang.
"Apa aku benar - benar tunangan mu?" tanya Yelena.
Sean tercengang dengan kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Yelena. Dia menarik kembali tangannya, dan membuat kepalan erat dibawah sana untuk meredam emosinya.
Dia menghela napasnya dengan kasar. Kemudian berjalan ke arah jendela.
"Mendengar kalimat itu keluar dari mulutmu membuat hati ku terasa sakit," ucapnya sembari membuka jendela.
Angin pagi berhembus memasuki ruangan kamar. Berkat hembusan angin, ruangan yang penuh dengan hawa panas itu menjadi lebih sejuk.
Yelena terdiam menatap punggung Sean. Rasa bersalah sedang menyerbu hatinya. Dia terpaksa menanyakan hal itu karena dia tidak dapat mengingat apapun. Dan ucapan masuk akal Aiden membuatnya goyah.
Sudah tiga hari. Namun setiap kali dia mencoba memaksa otaknya untuk mengingat, yang didapat hanya rasa setruman dalam kepalanya.
Saat ini satu-satunya hal yang dapat dia lakukan hanyalah mempercayai pria yang berdiri membelakanginya itu.
"Maaf, sudah mengecewakan mu," lirihnya.
Sean berbalik dan melangkah mendekat. Dia mengangkat tangannya.
'Apa dia akan memukulku?' batinnya.
Karena pikiran itu, refleks Yelena memejamkan matanya.
Cup! Sean menyiah rambut Yelena keatas dan mencium keningnya.
"Kamu hanya perlu percaya padaku . Semakin kamu mencoba mengingat, semakin kamu akan merasakan sakit . Aku tidak ingin kamu menderita karena hal itu," ucap Sean
Perlahan Yelena membuka mata. Jantungnya berpacu dengan cepat.
'Perasaan ini...mungkin aku benar-benar tunangannya.' batinnya.
Yelena menatap lekat pada bola mata Sean. Namun dia tidak tahu kemana arah bola mata itu menatapnya. Yang jelas bukan menatap matanya.
"Apa perawat sudah mengirim sarapan?"
Yelena menggeleng.
"Aku akan memintanya untukmu."
"Nanti ada Bibi April yang akan menjaga dan mengurus mu. Aku harus kembali ke kantor," lanjutnya sembari membelai pipi Yelena.
Kali ini pun tetap sama. Yelena hanya menjawabnya dengan anggukan dan senyuman tipis. Seperti seekor hewan peliharaan yang sangat patuh terhadap majikannya.
Diliriknya punggung Sean yang semakin menjauh dan hilang dari balik pintu sana. Dia memejamkan mata dan menghela napas beratnya.
"Tidak dapatkah dia menatap mataku? mengapa? bukankah aku tunangannya?" gumamnya.
......................
"Kak!" panggil Aiden yang ternyata masih menunggu diluar ruangan.
"Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk pergi!?" tegas Sean.
"Apa memori kepalamu sudah rusak? kakak hanya menyuruh ku keluar!"
Sean menarik napas panjang dan menghembuskan nya dengan kasar. Kemudian berlalu dari hadapan Aiden tanpa menghiraukannya.
"Amnesia Disosiatif. Hilang ingatan akibat rasa trauma,"
Langkah Sean terhentikan oleh satu kalimat yang terlontar dari mulut Aiden.
"Amnesia itu hanya berlangsung selama beberapa hari, bisa juga beberapa bulan atau bahkan mungkin beberapa tahun. Kakak tau apa yang akan terjadi kalau tiba-tiba ingatannya kembali? dia akan pergi. Kakak mungkin juga akan terlibat masalah karena hal itu." lanjutnya.
Sean masih tidak memberi respon.
"Pikirkan hari ini. Bagaimana jika saat ini juga dia mengetahui bahwa dia hanya seorang pengganti? yang tidak lain hanya seorang pelampiasan."
"Apa kamu mengancam ku?" Sean berbalik menatap Aiden.
"Aku tinggal membuatnya tidak bisa mendapatkan ingatannya kembali saja, apa susahnya?" lanjutnya.
Aiden mengepalkan tangannya. Perlahan dia berjalan menghampiri Sean.
"Bukankah sebelumnya aku aku sudah mengatakannya? tinggal membuat hal itu menjadi nyata, lalu menceraikannya kapan saja." ucap Sean tanpa beban.
Bugh!
"Itu balasan untuk tadi!" bisik Aiden.
"Ha~" Sean menyeringai.
Kedua tangannya mencengkeram kerah baju Aiden. Seperti membalik halaman buku, secepat itu Sean mengganti raut wajahnya. Mata tajamnya, rahangnya yang mengeras, siapa saja yang melihatnya pasti akan gemetar.
"Ini terakhir kalinya aku mengulang ucapan ku. Jangan ikut campur! atau Vivian tidak akan pernah kembali ke Negara ini!" ancam Sean yang kemudian menghempas tubuh Aiden.
BERSAMBUNG...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!