Hari ini tepat hari ulang tahunnya Hawa yang ke 26 tahun. Gadis cantik yang terlahir dari pasangan Riziq dan Aisyah. Hawa juga mempunyai saudara kembar bernama Adam. Adam sudah menikah lebih dahulu dan kini sudah mempunyai 3 orang anak. Jihan dan Jinan (kembar) dan anak sambungnya bernama Ali.
Hawa mempunyai prinsip kalau dirinya mau menikah diusia 26 tahun, meskipun sahabat sahabatnya sudah berkeluarga dan mempunyai seorang anak. Tinggal dia yang belum menikah. Kini saat usianya 26 tahun, namun jodohnya Hawa belum juga terlihat. Sebenarnya bukan belum terlihat, hanya saja Hawa selalu menutup matanya ketika ada lelaki yang menyukainya sejak dulu.
Akmal atau biasa dipanggil AL yang kini sudah berusia 24 tahun, sudah menjadi seorang polisi di Jakarta, ia sudah lama memendam perasaannya terhadap Hawa, kebetulan AL adalah tetangga satu kampung di wilayah pesantren. Ayahnya Hawa dan ayahnya AL sudah bersahabat sejak dulu.
Hawa tidak pernah merespon perasaannya AL hanya karena AL usianya lebih muda darinya. Hawa tidak suka dengan berondong, meskipun ayahnya lima tahun lebih muda dari usia ibunya.
Hari itu Hawa sedang menyapu di halaman rumahnya, ia melihat Silmi dan Anum sahabatnya berjalan sambil menggendong anak masing-masing, mereka sering dibilang trio kwek-kwek.
"Assalamualaikum, kalian mau pada kemana?" tanya Hawa.
"Kita mau ke posyandu Wa, kau mau ikut?" ajak Anum. Hawa hanya menggeleng.
"Ya sudah kita duluan ya Wa, takut keduluan Tante Ira, nanti dia bikin rusuh di posyandu." ujar Anum. Hawa hanya mengangguk.
"Assalamualaikum." pamit Anum dan Silmi.
"Waalaikumussalam."
Hawa menatap kepergian mereka. Awalnya Hawa merasa nyaman dengan kejombloan nya, namun akhir-akhir ini saat dirinya menginjak usia 26 tahun, ia mulai risih dengan setatusnya itu, apalagi kadang ia suka diejek tidak laku, padahal dia termasuk gadis cantik yang baik hati. Sebenarnya bukan tidak laku, hanya saja Hawa selalu menutup diri pada lelaki hingga usianya 26 tahun, barulah sekarang ia mulai membuka hatinya, ia merasa diusia 26 tahun sudah cukup untuk menikah.
Aisyah dan Riziq kini menatap putrinya itu yang kini sedang menatap kepergian Anum dan juga Silmi sambil memegang sapu. Sebagai seorang ibu, Aisyah merasa sedih melihat Hawa yang masih sendiri padahal sahabat-sahabatnya itu sudah berumah tangga, bahkan sudah mempunyai seorang anak.
"Le, aku kasihan melihat putri kita, kapan ya jodohnya Hawa akan datang?" tanya Aisyah.
Riziq pun terdiam, ia juga merasa sedih melihat putrinya masih sendiri padahal Adam saudara kembarnya Hawa sudah mempunyai 3 orang anak.
"Si Hawa ini sedikit jual mahal Uni, padahal sudah jelas terlihat kalau putranya ustadz Ibrahim itu menyukainya, bahkan sekarang dia sudah menjadi seorang polisi. Cuma gara-gara usia, si Hawa tidak mau dekat dengan si AL." tutur Riziq.
"Iya padahal si AL itu ganteng, macho kaya bapaknya, hanya gara-gara usianya lebih muda darinya, si Hawa jadi menolak. Padahal aku saja lima tahun lebih tua darimu ya Le." ucap Aisyah.
"Siapapun jodohnya Hawa, mudah-mudahan dia lelaki sholeh yang bertanggung jawab."
"Aamiin."
Riziq dan Aisyah pun masuk. Kini Hawa sudah menyelesaikan pekerjaannya, halaman rumahnya sudah bersih. Hawa pun ikut masuk kedalam rumahnya. Bibirnya langsung cemberut ketika melihat orang tuanya sedang main genit-genitan didalam rumah.
"Si umi sama si abi gak peka banget deh, udah tau putrinya sedang jomblo, mereka malah asik main genit-genitan begitu." gerutu Hawa dalam hatinya.
Hawa nyelonong masuk dan langsung pergi ke kamarnya sambil membanting pintu.
JEBREEED.
"Astaghfirullah alazim."
Aisyah dan Riziq terkejut hingga mereka hampir meloncat dari tempat duduknya. Mereka sudah saling lirik ketika melihat putrinya masuk kedalam kamar sambil membanting pintu.
"Uni, si Hawa kenapa itu?"
"Sepertinya si Hawa ngambek deh lihat kita duduk bermesraan disini, padahal dia lagi jomblo. Uni pikir si Hawa masih nyapu di depan. Kau sih Le tidak peka sama putri kita." ucap Aisyah menyalahkan suaminya.
Kini Riziq sudah mengernyit, ia tidak terima jika dirinya dibilang biang kerok.
"Enak saja Uni kau menyalahkan ku, lalu siapa tadi yang nempel-nempel terus padaku, pake bersandar dipundaku pula. Kau kan emang ratunya genit Uni." gerutu Riziq.
Kini giliran Aisyah yang tidak terima.
"Kenapa jadi menyalahkan ku, kau yang menarik tanganku untuk duduk di pangkuanmu, pake bisik-bisik rayuan pula." gerutu Aisyah.
"Idiiih kau tidak mau disalahkan."
"Idiih emang aku tidak salah."
"Idiiih"
"Idiiih"
"Ikh, kenapa kita jadi main idih idihan begini sih. Aku mau nemuin Hawa dulu, sepertinya dia sedang ngambek." ujar Aisyah yang kini langsung pergi ke kamarnya Hawa. Sebelum masuk, Aisyah pun mengetuk pintu dahulu sambil membukakan pintu sedikit.
Tok tok tok.
"Boleh Umi masuk?"
Terlihat Hawa sedang duduk melamun dipinggiran tempat tidur. Ia mengangguk ketika Aisyah meminta izin untuk masuk.
Aisyah masuk dan duduk disebelahnya. Sementara Riziq mengintip dari balik pintu. Aisyah mengusap lembut kepala putrinya itu.
"Kenapa?, sepertinya kau sedang sedih?" tanya Aisyah.
"Aku tidak apa-apa Umi."
"Apa kau sudah ingin menikah?"
Pertanyaan Aisyah membuat Hawa terkejut. Dari mana uminya itu tau jika dirinya kini sudah siap untuk menikah. Bukannya menjawab, Hawa malah menunduk malu. Wajahnya nampak memerah, selama ini dia tidak pernah dekat dengan lelaki.
"Usiamu sudah 26 tahun, bukankah kau ingin menikah diusia itu?"
Hawa mengangguk.
"Kalau begitu menikahlah." ujar Aisyah.
Hawa langsung terdiam, bukannya tidak siap untuk menikah, hanya saja sekarang dia belum mempunyai calon.
"Aku kan belum mempunyai calon Umi, jadi mau menikah sama siapa."
"Bukankah ada putranya ustadz Ibrahim yang menyukaimu." ujar Aisyah. Hawa langsung mengernyit.
"Si Akmal maksud Umi?, ikh gak mau, diakan usianya lebih muda dariku. Aku maunya lelaki yang lebih dewasa dariku." tegas Hawa.
"Usia itu cuma angka Hawa, yang penting kan dia bertanggung jawab, apa kau tidak terpesona melihat si AL yang gagah, macho kaya ustadz Ibrahim, apalagi kalau melihat si AL menggunakan seragam polisi, wah tambah keren pastinya." tutur Aisyah
Riziq yang mendengar pun langsung menyipitkan matanya.
"Si Uni sempat-sempatnya memuji laki-laki lain. Awas saja malam ini tidak akan kubiarkan dia tidur sampai pagi" batin Riziq menggerutu.
"Umi jangan suka bahas si AL, lagi pula dia kan sekarang ada di Jakarta."
"Tapi kata Tante Anisa, si AL akan dipindah tugaskan disini, di kota A." ucap Aisyah memberitahu. Hawa langsung menganga mendengarnya.
"Apaaaaa!, jadi putranya ustadz Ibrahim itu mau dipindah tugaskan di kota A???. Ikh jangan sampai deh. Kalau si AL dipindahkan kesini, nanti dia sering ke pesantren, atau juga nanti dia tinggal di rumahnya ustadz Ibrahim, aku males ketemu dia tiap hari." tutur Hawa sambil cemberut. Aisyah malah tersenyum-senyum.
"Hati hati loh Wa, kata orang rasa benci sama rasa cinta itu bedanya tipis, tipis pake banget, terus abis itu tumbuh deh rasa rindu." goda Aisyah. Hawa malah semakin cemberut.
"Umi jangan menakut-nakuti ku. Ingat ya Umi, aku hanya mau menikah dengan laki-laki DE WA SA, bukan berondong kaya si AL." tegas Hawa. Aisyah hanya mengangguk-ngangguk sambil tersenyum-senyum, ia merasa gemas dengan putrinya itu.
Terakhir kali Hawa bertemu dengan AL, diacara resepsi pernikahan Silmi sahabatnya, setelah itu AL kembali ke Jakarta dan belum kembali ke kota A.
Pagi-pagi sekali Hawa pergi bersama Aisyah ke pasar, tentunya untuk membeli bahan makanan. Tidak sengaja mereka bertemu dengan Zahira (Tantenya Hawa). Hawa sudah mengerucutkan bibirnya, hari ini tidak tau kenapa ia sedang merasa sensitif.
"Ikh kenapa harus ketemu Tante Ira sih, dia pasti ngomongin setatus ku yang jomblo deh." batin Hawa.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Mereka saling mengucapkan salam.
"Mau ke pasar ya?, aku titip Yura dong. Aku mau ngajakin Kak Yusuf miting dulu." ucap Zahira. Aisyah dan Hawa langsung mengernyit. Zahira yang usianya sudah tidak muda lagi tapi narsis dan gayanya tidak pernah berubah.
"Apa maksudnya kau nitip si Yura?." tanya Aisyah.
"Biarkan saja Umi, nanti kita tinggal si Yura di pasar." ujar Hawa.
"Hei Hawa binti Riziq, tidak usah sensi begitu, aku tau kau sedang galau ketika memasuki usia 26 tahun, tapi kau belum juga mendapatkan jodoh. Sudah jangan banyak kriteria, kalau ada laki-laki tampan sikat, kalau ada laki-laki jelek sikat, kalau ada laki-laki dewasa sikat, kalau ada berondong juga sikat, biar kau cepat menikah." tutur Zahira. Hawa sudah mengerucutkan bibirnya.
"Main sikat-sikat saja. Si Yusuf yang baik ganteng dan cerdas pun masih diuji coba sama kakakmu, apalagi nanti calon menantunya." gerutu Aisyah. Zahira malah nyengir.
"Umi ayo kita berangkat, kepalaku mendadak nyut-nyutan Mi." ujar Hawa sambil memegangi kepalanya.
"Dikira aku biangnya penyakit" batin Zahira menggerutu sambil cemberut.
"Kalau kepalamu nyut-nyutan, minum obat cacing biar cepat sembuh." gerutu Zahira.
Setelah berpamitan dan mengucapkan salam, Hawa dan Aisyah pun pergi. Mereka menyebrang jalan dan menunggu angkot lewat. Hawa terdiam ketika melihat Khaira (14 tahun) putri bungsunya ustadz Ibrahim (Ibra). Khaira adalah adik perempuannya AL (Khaira pernah diceritakan dalam kisahnya Cahaya).
Ketika itu Khaira sedang memberikan sebuah nasi bungkus kepada seorang bapak tua yang pincang di jalan (pengemis). Hawa terdiam melihat si bapak pengemis itu mengelus kepalanya Khaira untuk berterima kasih karena diberi makanan.
"Kau lihat apa Wa?" tanya Aisyah.
"Itu Mi, ada Khaira di sebrang jalan." jawab Hawa.
Aisyah pun menatap Khaira yang sedang melambaikan tangannya pada bapak pengemis yang sudah berjalan pergi sambil terpincang-pincang.
"Khaira itu meskipun usianya masih belia, dia begitu baik dan begitu perduli dengan orang yang membutuhkan ya. Sama kaya orang tuanya, apalagi kakaknya." ucap Aisyah sengaja ingin menggoda putrinya itu. Hawa langsung mengernyit.
"Ikh Umi, ngapain sih pake nyebut-nyebut AL segala" gerutu Hawa.
"Ikh Hawa, kapan Umi nyebut-nyebut nama si AL. Cieeeee, kau saja yang ingin menyebut namanya."
Hawa kembali cemberut.
"Jangan karena usia akhirnya kau menutup hati hingga akhirnya kau menyesal." Aisyah mengingatkan.
"Sssttthhh Umi, jangan ngomongin dia lagi." protes Hawa. Aisyah mengangguk-angguk sambil tersenyum-senyum. Aisyah merasa lucu melihat putrinya itu yang kadang suka cemberut, kesal, marah dan jengkel kalau sudah ada hubungannya dengan AL.
Akhirnya angkot pun datang dan mereka pergi ke pasar.
Sesampainya di pasar, mereka bertemu dengan Dewi dan Cahaya (istrinya Adam). Memang sebelumnya mereka sudah saling mengabari untuk bertemu di pasar.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Cahaya hanya membawa Ali putranya (9 tahun). Sementara si kembar Jihan dan Jinan dijaga oleh Adam di rumah karena sering rewel kalau diajak ke pasar.
"Ali habis beli apa?" tanya Hawa.
"Gak beli apa-apa Tante, cuma nonton drama Kolosal antara Tante Dewi sama pedagang yang rebutan harga." jawab Ali. Hawa hanya tertawa.
"Gak usah heran kalau Dewi ribut sama pedagang gara-gara tawar-menawar, dia mah sama besannya aja ribut mulu." ucap Aisyah.
Mereka pun berbelanja bersama, membeli ini dan itu, tentunya membeli barang yang dibutuhkan bukan barang yang diinginkan. Mereka berempat itu bukan orang kaya raya yang bisa semaunya belanja. Hidup mereka sederhana namun selalu bahagia. Tak jarang terdengar Dewi terus berebut harga dengan para pedagang membuat Aisyah terus menepuk pundaknya.
"Kalau nawar itu jangan kebangetan, kasihan para pedagang juga gak mau rugi." ujar Aisyah.
Cahaya sudah dibantu Hawa membeli buah manggis kesukaannya Adam.
"Bilangin sama kak Adam, diakan sudah manis, jadi jangan sering makan yang manis-manis, takutnya nanti dia diabetes, belajarlah untuk suka buah Jamblang, yang rada kecut-kecut gimana gitu."ucap Hawa, karena saudara kembarnya itu memang terlihat manis jika dipandang. Cahaya hanya tersenyum saja, ia begitu pendiam dan jarang bicara.
"Aya, kau belikan saja suamimu itu buah mangga muda biar dia nyengir." Dewi memberi ide. Aisyah langsung menepuk pundak sahabatnya itu.
***
Sementara dengan Riziq dan Ibra yang kini sedang berjalan berdua menuju aula. Persahabatan mereka yang sudah terjalin lama membuat mereka terlihat akrab.
"Ngomong-ngomong si AL sudah lama tidak kelihatan?" tanya Riziq.
"AL sibuk dengan tugas dan pekerjaannya. Terakhir kali dia kesini waktu Silmi mengadakan resepsi pernikahan di kota Y. Tapi kata AL dia akan dipindah tugaskan di kota ini." jawab Ibra.
"Waah berarti besar kemungkinan dia tinggal disini ya. Itu artinya ada seorang polisi yang tinggal di pesantren, setidaknya pesantren akan semakin lebih aman." ujar Riziq.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Dilihatnya ustadz Usman berjalan mendekati bersama ustadz Soleh. Akhirnya mereka berempat pergi ke aula dan ngobrol bersama.
"Jadi si Akmal mau dipindah tugaskan ke kota ini. Wah keren tuh, pesantren mendadak aman pake banget kalau ada seorang polisi tinggal disini." ucap ustadz Usman yang sebelumnya sudah diberitahu kalau AL dipindah tugaskan di kota A.
"Pak Akbar sudah pensiun ya?" tanya ustadz Soleh. Ibra pun mengangguk. Ayah mertuanya itu kini memang sudah lanjut usia.
"Rencananya kalau AL pindah kesini, nanti AL akan tinggal bersamaku. Dan ayah mertuaku akan tinggal bersama Erika dan Hasan." ujar Ibra.
"Itu si AL yang suka ngurusin masalah artis bukan sih?" tanya ustadz Usman. Ustadz Soleh langsung menepuk pundak adiknya itu.
"Kalau nanya itu dipikir dulu, si AL itu yang ngurusin masalah kriminal, kalau ada yang berhubungan dengan kejahatan, dia yang maju duluan." ucap ustadz Soleh. Ibra pun membenarkan.
"Berarti tugas si AL serem juga ya. Gimana kalau dia berurusan dengan penjahat kelas kakap, atau mafia begitu. Aku cuma menghadapi si Saka sama si Syabil dulu aja rasanya deg-deg ser." ujar ustadz Usman.
"AL mungkin punya keberanian tingkat tinggi, makanya dia tidak takut dengan para penjahat." ucap Riziq.
"Man memangnya apa yang kau takuti selain pada penjahat?" tanya ustadz Soleh.
"Ya tentu saja istriku sama malaikat Izrail." ujar ustadz Usman keceplosan hingga ia menutup mulutnya sendiri. Yang lain tiba-tiba menunduk menahan tawanya, karena kalau tertawa tentu saja ustadz Usman akan marah.
"Maksudku, aku berani menghadapi godaan Wewe gombel, godaan si Suketi atau godaan si Tante Kun Kun, tapi aku tidak bisa menghadapi godaannya si Nisa uminya si Fadil sama si Mimi."
Lagi lagi Riziq, Ibra dan ustadz Soleh menahan tawanya.
Keesokan harinya. Hawa baru saja pulang dari kelasnya, cuma dia yang masih belajar bersama santri putri yang lain, karena Silmi dan Anum sibuk dengan suami dan anak mereka masing-masing.
Saat itu Hawa berjalan pulang sendirian, tak sengaja bertemu dengan Zahira dan Yura.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
"Tante mau kemana, rapih bener kaya mau rapat dewan perwakilan emak-emak, pake baju baru ya." ucap Hawa.
"Tante mau ke butiknya Tante Anisa, ini baju baru yang dibelikan si Yuyu ku tersayang, tapi kekecilan, mau dibesarin dikit. Kau ikut ya, nanti jagain si Yura." pinta Zahira. Hawa mengangguk pasrah meskipun bibirnya cemberut. Zahira memberikan Yura ke gendongannya Hawa, dan mereka pun berjalan bersama menuju butiknya Anisa.
Tidak sengaja pula mereka bertemu dengan Anum dan Athar, tentunya juga dengan Hasbi.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
"Wa, tumben tumbenan kau menggendong si ratu manahong." ucap Anum hingga Zahira matanya mendelik.
"Gak usah jadi keponakan durjana yang berkepanjangan. Putriku ini bukan ratunya manahong, tapi dia si princess Yura." gerutu Zahira. Hawa hanya cekikikan sementara Anum sudah tertawa.
"Tidak usah mengeluarkan ilmu ajian menyebalkan begitu. Karena kalau Tantemu ini sudah mengeluarkan pesonanya, kalian berdua LEWAAAT." ucap Zahira menegaskan. Hawa dan Anum langsung mengernyit sementara Athar sudah menunduk menahan tawanya.
"Kumat" (Anum).
"Kumat" (Hawa).
"Ayo mas Athar kita pulang, jangan sampai Tante Ira ini mengeluarkan pesonanya, nanti bisa-bisa kita semua geger otak." Anum mengajak Athar untuk pergi.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Hawa dan Zahira pun menatap kepergian Anum dan Athar.
"Itulah contoh orang-orang yang iri dengan kecantikan ku. Si Anum langsung pergi takut suaminya terpesona padaku." ucap Zahira dengan penuh percaya diri.
"Ingat umur Tante." ucap Hawa.
"Tante inget ko sama usia Tante. 25 tahun lebih." jawab Zahira.
"Lebihnya 25 tahun juga??????" tanya Hawa sedikit mengejek.
"Sssttthhh, yang jelas usiamu sudah 26 tahun, segeralah mencari jodoh." ucap Zahira sambil menggandeng Hawa pergi kembali menuju butiknya Anisa. Hawa hanya bisa cemberut.
Sesampainya ditepi jalan, mereka pun menyebrang namun kali ini Hawa kembali melihat Khaira sedang memberi makanan pada bapak tua pengemis yang kemarin ia lihat, yang jalannya pincang dan rambut
nya yang panjang hingga menutupi sebagian wajahnya. Hawa pun tersenyum lalu mengambil uang dari saku bajunya, ia hendak memberikan uang untuk bapak pengemis itu.
Hawa mendekatinya.
"Ini untuk bapak." ucap Hawa sambil menyodorkan uang miliknya, tentunya dengan memberikan senyum. Bukannya menerima uang itu, si bapak pengemis malah menatap Hawa, lalu meninggalkan nya. Hawa terdiam heran sambil menatap kepergian si bapak pengemis itu, begitu juga dengan Zahira yang melihatnya dari kejauhan.
"Aneh sekali si bapak pengemis itu, dia ko gak mau dikasih uang, padahal aku sering melihat dia menerima uang sama makanan dari Khaira. Apa uang yang kukasih kurang banyak???" batin Hawa.
Hawa kembali mendekati Zahira.
"Dia gak mau dikasih uang."
Zahira terus menatap bapak pengemis itu yang sedang berjalan menjauh sambil terpincang pincang.
"Tante kaya kenal pengemis itu, tapi siapa ya?, badannya terlihat gagah tapi kakinya kaya jinjet, pincang begitu." ucap Zahira yang kini mulai mengingat-ingat. Hawa langsung tersenyum penuh arti sambil menatap tantenya itu.
"Hayooooo, jangan-jangan si bapak pengemis itu mantannya Tante Ira ya." ucap Hawa.
"Sembarangan kalau ngomong." gerutu Zahira.
"Cuma si Yuyu cinta pertama dan terakhir ku." ucap Zahira kembali. Hawa mengangguk-angguk saja.
Ketika mau masuk ke butiknya Anisa, Zahira masih saja menatap si bapak pengemis itu, ia masih penasaran siapa lelaki itu. Hawa yang melihat tantenya itu kembali tersenyum.
"Cieee Tante Ira memandangi terus si bapak itu, apa dia mirip Om Yusuf ya." goda Hawa.
"Enak saja sembarangan." gerutu Zahira. Hawa hanya tertawa-tawa.
Mereka masuk ke butik itu.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Butik terlihat ramai, banyak pengunjung berdatangan. Elina pun nampak sibuk melayani di kasir, sementara Bu Erni sibuk menjahit. Anisa mendekati dan langsung menggendong Yura.
"Hai Yura cantik." ucap Anisa sambil mencubit pipinya.
"Hai Mimi Nisa."
Yura sudah terlihat menggemaskan plus menyebalkan. Diam-diam Zahira mencolek pinggangnya Hawa.
"Apa?"
"Sungkeman dulu sama calon ibu mertua." bisik Zahira. Hawa malah mengerucutkan bibirnya.
"Tante Nisa aku mau komplen sama baju gamis yang kemarin yang dibeli kak Yusuf. Tuh lihat saja badanku terlihat sekali bodynya kalau gak ditutup kerudung. Kalau kata orang mah mere ke teng teng. Kak Yusuf yang melihat pun hampir saja menerkam ku." ucap Zahira.
"Bukan bajunya yang kekecilan, tapi badannya Tante Ira yang kegedean." ucap Hawa. Zahira sudah mendelikan matanya pada keponakannya itu.
"Ini ukurannya sama seperti ukuran badanmu bulan lalu Ira. Mungkin kata Hawa benar, kau gemukan sekarang." ucap Anisa hingga Zahira langsung menganga.
"Aku gemuk?????, Astaghfirullah alazim, aku harus jaga pola makan, kalau aku gemuk terus bisa saingan sama si Syifa. Apalagi kalau sampai saingan sama kak Dewi, OH TIDAAAAAAK. Bahaya datang ME NGAN CAM." Zahira merasa takut sendiri.
"Gemuk itu tandanya bahagia pake banget Tante, disyukuri saja." ujar Hawa.
"Kak Yusuf masih terpesona gak ya melihat badanku yang agak gemukan?. Duh aku harus diet sehat nih. Hawa besok kau temani aku lari keliling pesantren 12 kali putaran, biar berat badanku turun lagi." ucap Zahira.
"GAAAAK."
Hawa menolak hingga Zahira mengerucutkan bibirnya.
"Ira, paling berat badannya cuma naik 5 kilo, gak usah dikhawatirkan begitu. Yusuf pasti setia, diakan tergoda oleh manis manja mu, bukan karena fisikmu." ucap Anisa hingga Zahira tersenyum-senyum.
"Tante Anisa benar, hi hi hi. Kak Yusuf memang tergoda oleh manis manjaku."
"Sekarang buka dulu bajunya, nanti Tante permak lagi hingga muat ke tubuhmu." pinta Anisa.
Hawa duduk bersama Yura menatap para pengunjung yang keluar masuk. Khaira lebih senang menemani ayahnya di toko buku dibanding menemani ibunya di butik.
Yura menatap ke arah tangga, ia munjunjuk- nunjuk sambil tersenyum senyum.
"Kenapa Yura?" tanya Hawa.
Yura masih menunjuk ke arah tangga.
"Ada yang ngin tip." jawab Yura.
Hawa langsung menatap ke arah tangga, namun tidak ada siapapun disana.
"Gak ada siapa-siapa, memangnya Yura melihat apa?." tanya Hawa kembali.
"Ma na Hong." jawab Yura sambil tertawa kecil. Hawa langsung mengernyit.
"Dasar anaknya Tante Selebor." batin Hawa.
Yura kembali menunjuk-nunjuk ke arah tangga, lalu melambai lambaikan tangannya. Hawa merasa heran karena ia tidak melihat siapa-siapa disana.
"Astaghfirullah alazim, si Yura lihat apa ya. Jangan-jangam dibutik ya Tante Anisa ada makhluk halus. Si Yura bisa melihat mahluk gaib." batin Hawa.
Hawa langsung memeluk Yura dan membacakan ayat kursi, ia terus saja berdo'a. Padahal yang Yura lihat di tangga ada orang yang selalu menggodanya sedari tadi.
Yura akhirnya mulai aktif dan berlari-lari di butik bahkan ia bersembunyi di belakang patung manekin. Sesekali Bu Erni menggendong nya, namun Yura yang menyebalkan lebih ingin berlari larian dan mengganggu para pengunjung.
"Aduh si Yura beneran turunan emaknya. Menyebalkannya nembus dunia nyata." ucap Hawa.
Tiba-tiba Yura mendekati Hawa sambil memberikan permen lolipop.
"Eh dapet dari mana permen lolipop, bukankah tadi gak bawa apa-apa." Hawa merasa heran.
"Dari Om ma na Hong." jawab Yura sambil menunjuk ke arah tangga. Sepintas Hawa melihat seseorang naik tangga dan pergi.
"Siapa dia???"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!