Sita sampai di rumah dengan tubuh basah kuyup, setelah wanita itu nekat menerjang hujan, saat dari tempat kerjanya. Sita harus buru-buru sampai di rumah, karena ia masih harus menjemput Angga yang ia titipkan di rumah kedua orang tuanya.
Airlangga atau yang panggilan sehari-harinya Angga adalah putra semata wayangnya bersama Akshara, pria yang sudah menjadi suaminya lebih dari setahun belakangan. Meskipun Mas Aksha adalah suami hasil pilihan kedua orang tua Sita dan bukan pilihan Sita sendiri, namun Sita selalu berusaha untuk mencintai pria tersebut sepenuh hati.
Suasana rumah masih gelap gulita dan sepertinya Mas Aksha juga belum pulang dari tempat kerjanya. Dulu pekerjaan Mas Aksha adalah buruh pabrik, namun belakangan setelah Mas Aksha terkena PHK, Mas Aku banting stir menjadi supir lepas kadang untuk angkutan umum kadang untuk mobil pick up yang mengangkut barang jarak dekat.
Apapun pekerjaan yang dilakoni Mas Aksha, Sita selalu mendukung sepenuh hati. Sita sendiri saat ini bekerja di sebuah restorant sebagai waitress.
Sita membuka pintu depan dengan kunci yang selalu ia bawa. Aroma alkohol langsung menguar saat pintu depan terbuka.
Siapa yang mabuk-mabukan di rumah Sita?
Sita masuk perlahan tanpa menutup kembali pintu depan dan wanita itu melangkah tanpa suara menuju ke satu-satunya ruangan di rumah yang lampunya terlihat menyala.
Kamarnya!
Baru tiba di depan pintu kamar, sudah terdengar suara des*han yang bersahut-sahutan dari dalam kamar. Sota mendorong pintu kamar itu dengan kasar dan langsung terlihat sepasang tubuh tanpa penutup apapun yang saling menindih dan bercucuran keringat
Itu adalah Mas Aksha bersama seorang wanita yang entah siapa dan mereka sedang bercinta di atas tempat tidur Sita! Suami Sita dan seorang wanita jal*ng!
Sita melangkah mundur dan dunianya terasa berputar.
"Suamimu itu brengsek, Sita!"
"Dia yang hampir memperkosaku beberapa kali saat kau bekerja!"
"Aku tak pernah sedikitpun menggoda suamimu! Aku tak mungkin mengkhianatimu! Aku berani bersumpah!"
Ucapan demi ucapan yang pernah dilontarkan oleh Teresa mendadak berputar di kepala Sita membuat dunia Sita berputar semakin kencang hingga akhirnya.....
"Mama!"
Sita terjaga dari tidurnya dengan nafas terengah dan tubuh yang penuh oleh keringat. Wanita itu menatap ke sekeliling dan langsung mendapati anak laki-laki enam tahun yang memiliki sorot mata lembut.
Angga!
"Mama mimpi buruk lagi?" Tanya Angga menatap ke dalam manik mata Sita.
Sita menggeleng dan segera memeluk putra semata wayangnya tersebut. Sudah lima tahun berlalu dan mimpi tentang perselingkuhan Akshara masih kerap datang menghampiri Sita.
Kejadian itu meninggalkan trauma mendalam di hati Sita hingga sampai detik ini, Sita tak ada sedikitpun niat untuk menjalin hubungan lagi dengan seorang pria.
Sita memilih fokus membesarkan Angga dan merawat kedua orang tua angkatnya yang sudah berbaik hati mengadopsi dan merawat Sita dulu saat Sita kecil hingga detik ini.
"Jam berapa sekarang?" Tanya Sita pada Angga.
"Masih jam lima pagi. Tapi tadi kakek sudah bangun," lapor Angga pada sang mama.
"Benarkah? Kenapa Angga nggak bangunin Mama?" Tanya Sita yang buru-buru bangkit dari tempat tidurnya.
Sudah satu tahun terakhir bapak angkat Sita itu sakit-sakitan dan Sita selalu berusaha untuk merawatnya bersama sang ibu, meskipun Sita masih harus pergi ke tempat kerja setelahnya. Saat ini, Sita juga sudah tak terlalu sibuk karena sudah semingguan, Sita diberhentikan dari toko kue tempatnya bekerja dengan alasan pengurangan karyawan. Sita sekarang hanya bekerja di sebuah keluarga untuk merawat seorang lansia. Lalu setelahnya Sita akan berkeliling mengantarkan kue-kue yang dibuat oleh Teresa.
Sita keluar dari kamar dan segera menghampiri Pak Alwi yang hanya duduk diam di kursi ruang tamu.
"Pak, sudah bangun?" Sapa Sita lembut seraya ikut duduk di samping sang bapak. Tidak ada jawaban dari Pak Alwi dan pria tua itu hanya menatap kosong ke depan seolah sedang memikirkan satu hal.
Sita segera merangkul bapak angkatnya tersebut.
"Bapak sudah jangan mikir macam-macam! Sita cuma mau bapak itu sehat seperti sedia kala. Main sama Angga lalu bercengkerama sama ibu."
Masih tidak ada jawaban.
"Ma, ponsel mama bunyi!" Lapor Angga seraya memberikan ponsel di tangannya pada Sita. Lalu setelahnya bocah enam tahun itu berbalik dan hendak pergi tapi malah menabrak meja.
"Aduh!" Bocah enam tahun itu mengaduh.
"Hati-hati, Angga!" Pesan Sita pada Angga yang belakangan ini memang mengeluh penglihatannya sedikit kabur. Sita sebenarnya ingin membawa Angga periksa, namun lagi-lagi biaya yang terbatas membuat Sita terpaksa mengurungkan niatnya.
"Iya, Ma!" Jawab Angga yang lanjut berjalan dengan lebih hati-hati. Sementara Sita langsung memeriksa pesan yang masuk ke ponselnya. Rupanya dari sang majikan yang mengingatkan Sita untuk datang ke rumah hari ini.
Tumben!
Tidak biasanya sang majikan mengingatkan seperti ini.
Tapi Sita tak terlalu ambil pusing dan memilih untuk segera bersiap-siap. Sita masih harus mampir ke rumah Teresa untuk mengantar uang kue yang kemarin.
****
"Semuanya lima ratus enam puluh ribu," lapor Sita seraya mengangsurkan uang di tangannya pada Teresa.
Teresa hanya mengangguk dan mengambil beberapa lembar uang tadi, lalu mengembalikannya pada Sita.
"Ongkos kurir," ujar Teresa yang langsung membuat Sita mengulas senyum.
"Kau baik-baik saja? Kenapa wajahmu sembab?" Tanya Teresa selanjutnya merasa khawatir.
"Aku hanya kurang tidur," jawab Suta mencari alasan.
"Kau harus cukup tidur, Sit! Jika ada yang mengganjal cerita saja!" Nasehat Teresa seraya menggenggam kedua tangan Sita.
"Ya! Tapi aku benar-benar baik sekarang," ulang Sita lagi.
"Baiklah! Sebaiknya kau bergegas, bukankah tadi katamu-"
"Aduh!" Lagi-lagi Angga mengaduh karena menabrak meja.
"Hati-hati, Angga!" Sergah Sita cepat menasehati sang putra.
"Mejanya nggak kelihatan, Ma! Angga Kira tadi kosong," sahut Angga mencari alasan yang tentu saja langsung membuat Teresa mengernyit.
"Angga kenapa?" Tanya Teresa yang raut wajahnya terlihat khawatir.
"Dia mengeluh penglihatannya sedikit kabur belakangan ini," ujar Sita menjelaskan.
"Sudah kau bawa periksa? Mungkin matanya minus,"
Sita menggeleng,
"Masih menunggu gajiku bulan ini turun. Obat Bapak juga masih harus di tebus-" Kalimat Sita langsung terhenti, saat tiba-tiba Teresa menyodorkan kembali uang yang tadi disetorkan Sita.
"Tidak ini uangmu untuk perputaran modal, Tere!" Tolak Sita cepat.
"Dan aku memberikannya untuk Angga! Bawa putramu periksa, oke!" Paksa Teresa seraya menyelipkan uang tadi ke tangan Sita.
"Teresa-" Sita masih berusaha menolak, tapi Teresa keras kepala seperti biasa.
"Pergilah atau kau akan terlambat ke tempat kerjamu!" Usir Teresa selanjutnya pada Sita.
"Kau selalu saja memaksa!" Cebik Sita yang akhirnya memeluk Teresa sebagai ucapan terima kasih.
"Angga!" Panggil Sita selanjutnya pada sang putra.
"Iya, Ma!"
"Aduh!" Lagi-lagi Angga menabrak meja. Sita buru-buru menghampiri putranya tersebut dan menggandeng tangannya agar tak menabrak-nabrak lagi.
"Ayo berangkat!" Ajak Sita pada Angga. Setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi pada Teresa, ibu dan anak itupun akhirnya berpamitan.
.
.
.
Karya ke 31 kita ketemu sama Sita Anggraini dan Robert Erlangga.
Karya yang ini masuk ke "Seri Side Story/Spin Off"
Sita Anggraini sebelumnya sudah muncul di "Bukan Perebut Suami Orang", ya! Jadi temannya Teresa. Bisa dibaca yang belum baca. Kalau yang nggak mau baca juga nggak apa-apa. Aku bukan othor pemaksa.
Kalau Robert Erlangga adalah asisten sekaligus sekretarisnya Liam Halley. Sudah muncul juga di "Gadis Gendut Milik Sang Idola" dan di "Beauty & Berondong" bab bab akhir pokoknya.
Sekian perkenalannya.
Terima kasih yang masih setia mengikuti karya receh othor.
Jangan lupa like seperti biasa.
"Kau mau makan siang disini sekalian, Rob?" Tanya Liam yang sudah membuka sabuk pengamannya lalu membuka pintu mobil.
"Ya!" Jawab Robert singkat yang memilih untuk turun belakangan saja. Robert dan Liam memang baru tiba di kediaman Halley setelah tadi mereka meeting bersama seorang klien di luar kantor.
Liam sudah menghilang ke dalam kediaman Halley, saat Robert turun dari mobil. Pandangan mata Robert langsing tertuju ke arah bola yang menggelinding di halaman rumah dan sepertinya berasal dari luar pagar. Robert sudah hafal itu bola siapa. Segera Robert memungutnya dan setengah berlari menuju ke pintu gerbang.
Seorang anak laki-laki sedang celingukan di pintu gerbang mencari bolanya.
"Hai, Angga!" Sapa Robert pada Angga yang langsung tersenyum lebar.
"Om, tumben sudah datang?" Sapa Angga yang seperti memang sudah akrab dengan Robert.
"Mau makan siang. Kau sudah makan siang?" Tanya Robert seraya keluar dari gerbang dan memberikan bola tadi pada Angga.
"Sudah tadi. Mama masih sibuk di dalam," Angga menunjuk ke rumah di seberang kediaman Halley. Setahu Robert, mamanya Angga memang bekerja paruh waktu di rumah itu sebagai perawat seorang lansia yang tinggal di sana.
"Ayo masuk dan main di dalam!" Ajak Robert selanjutnya pada Angga seraya mengendikkan dagunya ke halaman kediaman Halley yang luas.
"Ya!" Jawab Angga yang langsung melangkah maju tanpa melihat pagar yang ada di depannya.
Bruuk!
Anak laki-laki itu menabrak pagar besi.
"Hei! Hati-hati!" Robert buru-buru memindai tubuh Angga untuk memastikan tak ada luka yang serius.
"Pandangan Angga semakin kabur, Om!" Lapor Angga yang sejak kemarin memang mengeluh pandangannya kabur pada Robert saay merrka bermain bola bersama. Beberapa kali Angga gagal menangkap bola yang ditendang Robert karena bocah enam tahun itu mengatakan kalau ia tak bisa melihat bolanya dengan benar.
"Sudah ke dokter?" Tanya Robert memastikan seraya berjongkok dan memeriksa mata Angga.
"Belum! Kata Mama masih menunggu uang gaji," jelas Angga pada Robert.
"Begitu, ya?" Gumam Robert yang sudah ganti melihat arlojinya.
"Mama biasa selesai kerja jam berapa?" Tanya Robert selanjutnya pada Angga.
"Jam dua, Om!"
"Ikut Om sebentar, yuk! Kita periksakan mata Angga biar nggak nabrak-nabrak terus!" Ajak Robert seraya mengusap lembut kepala Angga. Hati Robert mencelos setiap kali menatap wajah Angga yang sorot matanya begitu lembut. Ingatan Robert tentang Sheila dan calon anak laki-lakinya yang bahkan belum sempat lahir ke dunia akan langsung menari-nari di benak pria itu.
Seharusnya tahun ini anak Robert sudah genap berusia tiga tahun, andai saja....
"Om!" Teguran Angga langsung membuyarkan lamunan Robert.
"Om melamun?" Tanya Angga karena sejak tadi melihat Robert yang hanya diam seraya menerawang.
"Tidak! Ayo kita pergi sebentar!" Ajak Robert selanjutnya seraya menggandeng tangan Angga dan mengajaknya naik ke dalam mobil. Tak berselang lama, mobil Robert sudah melaju meninggalkan kediaman Halley.
****
Sita sudah selesai mengerjakan semua hal yang perlu ia kerjakan. Oma, wanita tua berusia sembilan puluh tahun yang Sita rawat juga sudah terlelap setelah tadi Sita membersihkan badannya dan menyuapi makan.
"Sita!" Panggil sang majikan pada Sita yang sudah bersiap pulang.
"Iya, Nyonya!" Sita buru-buru menghadap majikannya dan duduk di sofa setelah dipersilahkan.
"Ini hari terakhir kamu merawat Oma." Kalimat pertama yang dilontarkan majikannya benar-benar terdengar seperti sambaran oetir di siang bolong.
"Kami suda mengambil keputusan untuk mengirimkan Oma ke panti jompo setelah ini. Jadi besok dan seterusnya kaj tak perlu lagi datang ke rumah untuk merawat Oma," jelas sang majikan lagi panjang lebar yang hanya bisa membuat Sita menghela nafas berat.
"Ini gaji kamu bulan ini dan maaf tidak ada pesangon! Hanya gaji," ucap majikan Sita lagu seraya menyodorkan sebuah amplop putih pada Sita.
"Terima kasih banyak, Nyonya!" Ucap Sita akhirnya seraya menganggukkan kepala.
"Sama-sama! Terima kasih juga karena sudah merawat Oma sepenuh hati selama ini."
"Kau sudah bisa pulang sekarang," pungkas sang majikan yang langsung membuat Sita buru-buru bangkit berdiri dan berpamitan. Sita membenamkan amplop putih tadi ke dalam tas dan merasa bingung sekarang. Apa Sita harus membeli obat untuk Pak Alwi dulu atau memeriksakan mata Angga dulu.
Meskipun sudah ditambah uang pemberian Teresa tadi, tetap saja uangnya tak akan cukup jika Sita harus membeli obat sekaligus memeriksakan Angga. Mungkin Sita harus mencari pekerjaan baru lagi agar ia punya penghasilan tetap.
"Angga!" Panggil Sita seraya mengedarkan pandangannya ke halaman rumah sang majikan untuk mencari keberadaan Angga. Biasanya Angga memang bermain sendiri di halaman rumah selagi Sita bekerja dan bocah enam tahun itu tak pernah rewel atau mengganggu pekerjaan Sita.
"Angga!" Panggil Sita lagi yang tak kunjung menemukan Angga. Tidak ada tanda-tanda keberadaan putranya di halaman rumah sang majikan.
"Apa main di rumah depan, ya?" Gumam Sita seraya melihat ke pagar kediaman Halley yang tinggi menjulang. Terkadang Angga juga main ke rumah seberang karena ada anak laki-lakinya seusia Angga di rumah itu.
Sita bergegas menuju ke kediaman Halley dan membuka pagarnya perlahan.
"Cari siapa, Bu?" Tanya security di kediaman Halley yang sudah hafal pada Sita.
"Angga, Pak. Bapak melihatnya?" Tanya Sita memastikan.
"Tidak tahu! Tadi memang bermain bola di luar dan tak mau masuk. Lalu saya tinggal untuk makan siang dan anaknya sudah tidak ada. Hanya ada bolanya saja," jelas security menunjuk ke arah bola Angga di pos satpam.
"Apa mungkin di dalam, Pak?" Tanya Sita menerka-nerka seraya menunjuk ke rumah keluarga Halley.
"Biar saya tanyakan dulu, Bu! Mungkin juga di dalam bersama tuan muda Fairel," ujar Security yang langsung membuat Sita mengangguk. Security langsung menuju ke rumah keluarga Halley dan Sita menunggu di depan pos satpam sambil harap-harap cemas.
Tak berselang lama, security sudah kembali lagi bersama seorang wanita yang sepertinya anggota keluarga Halley.
"Ada, Pak?" Tanya Sita tak sabar pada Security.
"Tidak ada, Bu!"
"Tadi bermain disini?" Tanya wanita yang datang bersama security.
"Saya tidak tahu, Nyonya! Tapi biasanya memang Angga hanya bermain di halaman rumah depan atau menyeberang kesini dan bermain disini saat putra anda di depan," jelas Sita pada wanita tadi.
"Panggil saja Yumi! Itu namaku," ujar wanita yang bertubuh chubby tapi tetap cantik tersebut.
"Dan Fairel sejak tadi main di dalam rumah karena sedang tidak enak badan. Jadi aku benar-benar tidak tahu Angga dimana. Dia tidak ke dalam tadi," sambung Yumi yang langsung membuat raut wajah Sita berubah khawatir.
"Saya akan mencari dan bertanya ke rumah sebelah," ucap Sita akhirnya yang hanya membuat Yumi mengangguk. Sita baru berbalik, saat mobil Robert tiba di depan kediaman Halley dan membunyikan klakson. Security segera membuka lebar pintu gerbang agar mobil Robert bisa masuk.
"Mama!" Panggil Angga dari dalam mobil Robert yang tentu saja membuat Sita dan Yumi kaget.
Robert menculik Angga?
.
.
.
Ada yang kangen keluarga Halley?
Udah lupa, Thor!
Oh, yaudah!
Terima kasih yang sudah mampir.
Jangan lupa like biar othornya bahagia.
"Mama!" Seru Angga dari dalam mobil. Putra semata wayang Sita itu sudah mengenakan kacamata dan wajahnya terlihat riang. Robert menghentikan mobilnya di depan garasi dan Angga segera berlari keluar untuk menghampiri Sita.
"Mama! Lihat!"
"Angga punya kacamata baru," pamer Angga menunjukkan kacamatanya pada Sita.
"Tadi darimana?" Tanya Sita yang langsung memindai Angga dari ujunh kaki hingga ujung kepala.
Robert sudah ikut turun dari mobil dan turut menghampiri Sita, Angga serta Yumi.
"Kau membawa Angga kemana, Rob?" Tanya Yumi penuh selidik.
"Ke optik dekat sini untuk memeriksakan matanya." Jawab Robert jujur.
"Maaf, Mamanya Angga! Karena sudah membuatmu khawatir dan tidak minta izin dulu," ucap Robert selanjutnya meminta maaf pada Sita.
"Seharusnya anda tidak perlu repot-repot, Tuan!" Jawab Sita canggung.
"Ngomong-ngomong, namaku Robert. Jangan memanggil tuan! Panggil Robert saja!" Robert memperkenalkan dirinya pada Sita.
"Om Robert ini baik, Ma! Sering menemani Angga main bola bersama Fairel juga," cerita Angga yang sepertinya sudah dekat sekali dengan Robert. Sita hanya mengangguk dan segera membalas uluran tangan Robert sebagai tanda perkenalan.
"Aku Sita," ucap Sita tetap saja canggung.
"Robert ini asistennya Liam, Sita."
"Liam suamiku," Yumi ikut menimpali perkenalan Robert dan Sita.
"Fairel dimana, Aunty?" Tanya Angga pada Yumi selanjutnya.
"Fairel sedang kurang sehat, Sayang!" Yumi mengusap lembut kepala Angga.
"Besok mungkin sudah membaik dan bisa main bersama Angga lagi, ya!" Lanjut Yumi yang langsung membuat Angga mengangguk.
"Mata Angga minus dua kiri kanan setelah diperiksa tadi. Mungkin itu alasan kenapa Angga kerap menabrak saat berjalan," ucap Robert lagi menyampaikan hasil pemeriksaan Angga tadi pada Sita.
"Dia sering main gadget?" Tanya Yumi khawatir.
"Tidak!" Jawab Sita cepat.
"Hanya ada satu ponsel jadul di rumah dan Angga tak pernah memainkannya. Tapi dia suka membaca buku dan menonton tivi kadang terlalu dekat," lanjut Sita yang langsung membuat Yumi mengangguk.
"Mungkin itu penyebabnya," gumam Yumi menerka-nerka.
"Sekarang sudah bisa melihat dengan jelas, kan?" Yumi selanjutnya bertanya pada Angga seraya berjongkok untuk menyamakan posisinya dengan Angga.
"Sudah, Aunty!" Jawab Angga tersenyum senang.
"Sekali lagi terima kasih banyak, Robert!" Ucap Sita sekali lagi pada Robert.
"Sama-sama!" Jawab Robert mengulas senyum.
"Dan kami langsung pamit, Nona Yumi. Masih ada keperluan yang haris saya urus." Sita ganti berpamitan pada Yumi.
"Ya ampun! Panggil Yumi saja dan jangan Nona!" Yumi sedikit terkekeh.
"Iya, Yumi! Kami pamit pulang!" Pamit Sita sekali lagi.
"Baiklah! Besok main kesini lagi, ya, Angga!" Yumi mengusap kepala Angga sekali lagi.
"Iya, Aunty!"
"Tos!" Robert mengajak Angga melakukan tos sebelum bocah lrlaki itu dibawa pulang oleh Sita.
"Terima kasih untuk kacamata dan es krimnya, Om!" Ucap Angga pada Robert.
"Bye!" Angga melambaikan tangan pada Robert dan Yumi saat Sita menggandengnya keluar dari halaman rumah keluarga Halley.
Robert masih terus menatap pada ibu dan anak itu hingga keduanya menghilang di balik pintu gerbang.
"Ngomong-ngomong, Liam sudah kembali ke kantor, Rob!"
"Tadi Liam tidak tahu kalau kau pergi bersama Angga. Liam pikir kau sudah ke kantor duluan dan tidak jadi makan siang disini," terang Yumi yang langsung membuat Robert tertawa kecil.
"Ya, tadi Liam meneleponku beberapa kali. Sebaiknya aku segera ke kantor." Robert sudah berjalan kembali menuju ke mobilnya dan Yumi mengekori asisten Liam tersebut.
"Kau tadi sudah makan siang?" Tanya Yumi khawatir."
"Sudah!"
"Tadi aku mampir sebentar ke kafe bersama Angga untuk makan siang." Jelas Robert yang langsung membuat Yumi mengangguk. Robert sudah duduk di belakang kemudi dan memasang sabuk pengaman.
"Aku ke kantor dulu, Yum!" Pamit Robert selanjutnya.
"Oke!"
Mobil Robert segera melaju meninggalkan kediaman Halley menuju ke Halley Development.
****
"Ma!" Teguran Angga menyentak lamunan Sita yang masih memikirkan tentanh pekerjaan apa yang akan ia jalani selanjutnya setelah ini.
"Ada apa!"
"Kita seharusnya turun di ruko hijau tadi!" Ujar Angga memberitahu Sita karena ternyata gang tempat mereka turun baru saja terlewat.
"Astaga!"
"Pak! Kiri!" Sita segera berseru pada supir angkot agar menepi karena gang tempat tinggalnya baru saja terlewat.
Angkot langsung berhenti sekitar dua ratus meter dari gang, lalu Sita dan Angga segera turun.
Setelah membayar ongkos angkot, Sita segera menggandeng Angga untuk berjalan menuju ke rumah kedua orangtuanya.
"Mama kenapa melamun, sih?"
"Kan Angga sekarang sudah punya kacamata baru dan mama nggak perlu membawa Angga periksa lagi!" Tanya Angga yang langsung membuat Sita teringat pada pria bernama Robert tadi.
"Tadi Angga diajak kemana sama Om Robert?" Sita balik bertanya pada Angga. Ibu dan anak itu masih berjalan menuju ke rumah mereka yang memang lumayan jauh dari mulut gang.
"Periksa mata, lalu mampir sebentar ke kafe karena katanya Om Robert kelaparan dan belum makan. Angga dibelikan es krim satu gelas penuh sama Om Robert, Ma!" Cerita Angga penuh antusias.
"Lalu setelah itu?" Tanya Sita lagi.
"Kami pulang." Jawab Angga singkat.
"Om Robert baik sekali pada Angga, Ma! Kenapa bukan Om Robert saja yang jadi papanya Angga, ya?"
"Angga kan juga mau punya papa seperti Fairel. Agar Angga bisa diajari naik sepeda, diajak memancing seperti Fairel," tutur Angga panjang lebar menyampaikan keinginannya. Hati Sita rasanya mencelos mendengar keinginan Angga tersebut.
"Kan Angga juga punya Kakek yang mengajari naik sepeda," Sita akhirnya bisa menjawab setelah wanita itu menelan gumpalan pahit di tenggorokannya.
"Iya, tapi Kakek sekarang sakit-sakitan dan tak pernah menemani Angga main lagi."
"Memangnya Papa Angga kemana, sih, Ma?" Tanya Angga sekali lagi yang benar-benar membuat Sita ingin menjerit. Pertanyaan itu memang suatu saat pasti akan keluar dari bibir mungil Angga. Dan sekarang hal itu sudah benar-benar terjadi.
"Papanya Angga sudah meninggal!" Jawab Sita cepat agar Angga tak bertanya lebih lanjut.
"Tapi kenapa Mama tak pernah membawa Angga ke makam Papa?" Tanya Angga lagi yang ternya rasa ingin tahunya sudah semakin besar.
"Karena makamnya berada di kota lain! Bukankah kita sudah pernah membahas ini sebelumnya, Angga!" Sita sedikit meninggukan nada bicaranya karena saat Angga bertanya tentang papanya, kelebat bayangan tentang perselingkuhan Aksha akan kembali menari-nari di benak Sita.
Bukannya Sita belum move on. Tapi rasa sakit itu seolah mengendap dan mendarah daging di hati Sita yang terdalam.
"Maaf, karena sudah membuat Mama menjadi sedih," ucap Angga selanjutnya dengan wajah sendu seraya mengusap lengan Sita yang masih menggenggam tangan kecilnya. Sita buru-buru berjongkok dan memeluk sang putra.
"Mama juga minta maaf karena sudah bicara keras pada Angga!" Jawab Sita dengan mata yang berkaca-kaca. Setelah berpelukan untuk beberapa saat, ibu dan anak itu kembali melanjutkan langkah mereka.
"Ma! Kenapa ada banyak orang di rumah?" Celetuk Angga tiba-tiba saat Sita dan Angga berbelok di tikungan terakhir menuju ke rumah mereka.
"Mama juga tidak tahu!"
"Ayo kita cari tahu!" Sita mempercepat langkahnya untuk segera mencari tahu apa yang sudah terjadi. Dan saat Sita tiba di rumah, Sita melihat pemandangan yang langsung membuat wanita itu memekik.
"Bapak!"
.
.
.
Terima kasih yang sudah mampir.
Jangan lupa like biar othornya bahagia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!