Brak!!
Mona melempar hp nya ke dinding kamarnya hingga hp itu pecah berantakan.
Tangannya bergetar, wajahnya memerah karena menahan amarah yang luar biasa besar dan nyaris meledak.
Mona sejenak membisu, dadanya seperti akan pecah.
Perempuan itu lantas berjalan ke arah tempat tidur, menarik bed covernya dengan kasar, melemparnya sembarangan di atas lantai.
Ia juga menuju meja di mana ia biasa membawa berkas dari kantor ke rumah dan mengerjakannya di sana.
Mona mengamuk seperti orang gila.
Kamar apartemennya hancur, semua dihancurkan sampai benar-benar seperti baru terjadi ledakan.
Lelah mengamuk Mona lantas terduduk lemas di atas karpet kamarnya, menangis sejadi-jadinya di sana.
"Apa ini? Apa yang terjadi? Kenapa? Kenapa? Kenapaaaaa?!"
Mona meremas rambutnya dengan kedua tangannya seolah ingin melepas setiap helai rambut dari kepalanya.
Ia menelungkup di atas karpet, menangis dan semakin menangis.
Dadanya sesak, dadanya sungguh sesak.
**-------------**
Setengah Jam sebelumnya,
"Yakin tidak akan ikut besok Mon? Setelah perceraianmu selesai, cobalah sesekali bersantai Mon, kau terlalu tegang belakangan ini."
Kata Diah, teman sekantor Mona yang tinggal dalam gedung apartemen yang sama namun beda lantai.
Mona tampak tersenyum santai.
"Gampang lah, nanti saja kalau sudah pengen, sekarang ingin rehat saja."
Keduanya masuk ke dalam lift.
"Atau jangan-jangan mau liburan sama anak angkatmu? Siapa namanya? Sasa?"
Diah mengerling pada Mona yang menekan nomor lantai di mana ia tinggal dan juga menekankan nomor lantai Diah tinggal.
"Dari mana kamu tahu?"
Tanya Mona masih dengan senyumannya.
"Ya tahulah, kamu pasang fotonya di meja kantor."
Sahut Diah.
"Hmm pasti Mbak Yuni kan? Dia yang kasih tahu namanya..."
Mona ke arah Diah yang jadi tertawa karena ketahuan.
"Aku dengar minggu lalu kamu ajak anak itu jalan-jalan, benar?"
Tanya Diah.
Lift berjalan ke atas.
Mona mengangguk.
"Sama Ayahnya juga?"
Tanya Diah kepo.
Mona melirik Diah,
"Harus ditanyakan juga ya?"
Mona balik tanya.
Diah jadi tertawa lagi.
"Yaa sori kalau jadi kepo, soalnya kamu kan biasanya cuek banget sama orang, kok bisa-bisanya langsung pergi sama orang asing."
"Mereka sudah bukan orang asing Diah."
Kata Mona.
"Hmm... Aku sudah mencium aroma tak enak, baiklah, aku mengerti."
Kata Diah.
Tepat saat kemudian lift berhenti di lantai lima di mana Mona tinggal.
"Aku duluan."
Kata Mona begitu pintu lift terbuka dan dia keluar dari lift.
"Kenalkan padaku jika memang kalian akan serius, bagaimanapun kita masih ada hubungan saudara."
Kata Diah.
Mona hanya mengibaskan tangannya ke udara.
Ia tampak tersenyum tipis saja.
Masih terlalu dini jika ia harus mengatakan soal Ayah Shanum pada orang lain.
Jika toh ia bicara dengan Mbak Yuni, seniornya di kantor, itu karena Mbak Yuni tanpa sengaja mengangkat telfon Ayah Shanum saat Mona sedang ke pantry dan hp nya ketinggalan.
"Dia tahu aku punya penyakit yang tak mungkin aku punya anak. Dia sudah punya anak, jadi dia tak akan berharap aku punya anak."
Kata Mona pada Mbak Yuni ketika Mbak Yuni menanyakan sosok Ayah Shanum yang baru saja menelfon mencari Mona.
"Kenal di mana?"
Tanya Mbak Yuni sambil memberikan berkas baru untuk Mona.
"Media sosial."
Sahut Mona.
"Mon, kamu serius?"
Mbak Yuni terlihat begitu terkejut dengan jawaban Mona.
Mona menatap Mbak Yuni dengan tatapan matanya seserius mungkin.
"Aku serius Mbak, apa aku seperti sedang bercanda?"
Mbak Yuni saat itu langsung menghela nafas.
"Aku khawatir kau akan terluka Mon, itu saja."
Kata Mbak Yuni.
Dan...
Ya, Mona baru masuk ke dalam unit apartemen nya dan akan bersiap mandi saat ia ia ke kamar untuk meletakkan tas dan berkas kantor yang sengaja ia bawa pulang untuk ia lembur,
saat tiba-tiba hp nya ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal.
Sebetulnya, Mona termasuk orang yang paling malas mengangkat panggilan dari nomor baru yang tak memperkenalkan diri lebih dulu.
Tapi...
Panggilan itu terus menerus masuk, hingga lebih dari lima kali dan akhirnya ia mengirimkan pesan singkat.
[Selamat petang, Bu Mona, maaf mengganggu, boleh saya telfon?]
Mona mengerutkan kening.
[Siapa?]
Balas Mona, meski sebetulnya ia merasa sedikit heran, karena seingatnya ia tak pernah memberikan nomor pribadinya pada sembarang orang.
Panggilan itu kembali masuk, Mona pun menerimanya.
"Halo..."
Terdengar suara perempuan.
"Ya halo, ini siapa? Dan maaf, ada perlu apa?"
Tanya Mona.
Hening sejenak.
Lalu...
Terdengar isak tangis.
Mona kembali mengerutkan kening.
"Saya Ibunya Shanum Bu..."
Akhirnya suara perempuan itu terdengar kembali.
"Oh..."
Terkejut, tentu saja Mona merasakannya.
Ada apa tiba-tiba Ibunya Shanum menghubunginya?
Dari mana ia dapat nomor hp ku? Begitu yang langsung terbersit dalam pikiran Mona.
"Maaf sebelumnya mengganggu waktunya Bu, banyak yang ingin saya sampaikan, tapi saya tidak tahu harus dari mana dulu."
Kata si perempuan.
"Katakan saja, aku akan dengar."
Ujar Mona.
"Atau kita ketemu saja Bu? Supaya enak bicaranya."
"Bicara tentang apa? Aku besok Sabtu akan pulang ke rumah orangtua, dan Senin sudah harus bekerja lagi. Katakan saja sebetulnya ada apa?"
Mona mulai tak sabar.
"Maaf Bu, selama ini Ibu sudah dibohongi oleh suami saya."
Terdengar kemudian suara si perempuan yang mengaku Ibunya Shanum.
"Apa maksudnya? Dibohongi soal apa?"
Mona mulai tak karuan, perasaannya mulai tak enak.
"Selama ini dia mengaku sudah berpisah dengan saya kan? Padahal kami masih tinggal satu rumah Bu."
"Maksudnya? Shanum..."
"Ya, Shanum masih tinggal bersama saya dan juga suami saya, kami masih tinggal satu rumah."
Mona tiba-tiba merasa tubuhnya bergetar, dadanya bergemuruh.
"Baru pagi tadi saya dijatuhi talak Bu, ini menyakitkan untuk saya, saya dipulangkan ke rumah orangtua, ini tidak adil buat saya."
Perempuan itu menangis, Mona juga tanpa terasa jadi menangis.
Lidah Mona kelu, tak tahu harus bicara apa, ia benar-benar tak tahu harus bicara apa.
Semua bayangan tentang Shanum kembali ada di pelupuk matanya.
Wajah gadis kecil itu, yang membuatnya begitu terenyuh untuk pertama kalinya.
Mendengar kisahnya yang katanya hidup hanya dengan sang Ayah hingga kurang terawat membuat Shanum bernostalgia akan masa kecilnya yang terlewat tanpa Ibu kandungnya yang tiada ketika Mona masih kecil.
Mendapatkan takdir divonis tak mampu melahirkan anak, membuat Mona sangat terpukul sebagai perempuan.
Ia berusaha tegar dan baik-baik saja meskipun itu sebetulnya bohong.
No, Mona tak baik-baik saja.
Ia selalu menangis seorang diri kala malam hari setelah semua pekerjaannya selesai.
Hingga ia bertemu Shanum, ia merasa mereka dipertemukan karena takdir.
Shanum tak memiliki Ibu, dan Mona tak memiliki anak.
Tapi...
"Anda dibohongi Bu, anda dibohongi Ayah Shanum selama ini."
Mona tangannya tergetar, tak mau mendengar apapun lagi ia matikan hp nya, dan...
Brak!!
Ia lempar hp itu ke dinding.
**-------------**
Pagi sekitar pukul tiga dini hari, Mona yang lelah menangis dan akhirnya tertidur tampak terbangun.
Matanya lamat-lamat terbuka, memandangi sekitar ruangan unit Apartementnya yang berantakan.
Hp Mona yang hancur terlihat ada juga di sana, mengingatkan Mona akan apa yang ia baru alami beberapa jam yang lalu.
Ibunya Shanum, isteri Bang Raditya.
Mona mengusap wajahnya, entah berapa lama dan berapa banyak air mata yang jatuh dari kedua matanya semalam, yang jelas kini matanya sembab.
Mona bangkit dari posisinya, perempuan tiga puluh tahun itu berjalan ke arah hp miliknya.
Ia kalap luar biasa, terkejut sekaligus merasa begitu terpukul dengan apa yang ia dengar.
Bagaimana bisa laki-laki itu tega memanfaatkan posisinya yang sedang berada di titik terendah?
Bagaimana bisa laki-laki itu seolah memposisikan takdir hidup yang tengah dijalani Mona adalah hal yang bisa ia permainkan?
Mona menghela nafasnya, mungkin memang salahnya, terlalu cepat membuka hati, terlalu cepat berharap jika ia bisa seketika mendapatkan sinar terang setelah gelap dalam hidup nyaris menenggalamkannya.
Divonis tak memiliki sel telur, dikatakan tak mungkin bisa punya anak dalam kondisinya yang sudah begitu menyedihkan, nyatanya membuat Mona kehilangan jati dirinya yang sebetulnya tak pernah mudah membuka hati.
Ah...
Shanum...
Nyatanya, dari sanalah memang harapannya mulai muncul.
Merasa jika ia tak mungkin punya anak dan tiba-tiba seolah ada anak yang muncul dalam kehidupannya tentu saja siapapun menganggap jika itu adalah takdir.
Tapi...
Mona menatap jam dinding, masih terlalu pagi jika ia keluar untuk membeli hp baru, maka Mona memutuskan bebenah saja.
Ya, bebenah unit apartemennya yang masih dalam cicilan tujuh tahun lagi, yang ia beli sampai jungkir balik dan hutang di mana-mana.
Mona, perempuan yang telah melewati banyak masalah yang menempanya menjadi sosok yang sangat kuat dan mandiri, meskipun buruknya ia juga sangat keras kepala.
"Apartment ini aku tidak akan minta bagian."
Kata mantan suami Mona saat mereka akan bercerai.
Mona mendengus.
"Ya memang harusnya ini adalah mutlak punyaku."
Kesal Mona saat itu.
"Tapi semua harta yang dibeli di dalam pernikahan itu harusnya adalah bagian dari gono gini."
Kata Bang Panji, mantan suami Mona.
"Ya kalau dibeli dengan uangmu, tapi kalau dengan uangku tentu lain lagi ceritanya."
Ujar Mona bersikeras jika harta miliknya dan mantan suaminya itu adalah sendiri-sendiri, terutama apartemen yang mereka huni beberapa tahun sebelum akhirnya memutuskan untuk berpisah.
Bagaimanapun untuk proses dari awal pengajuan, uang muka, dan urusan lain-lain Mona lah yang merasa banyak mengeluarkan uang, bahkan untuk setoran tiap bulan juga Mona tanggung sendiri karena mantan suami dulu alasannya sedang bantu orangtuanya membiayai adiknya kuliah sedangkan Bapaknya pensiunannya tidak cukup.
Semula sebetulnya Mona tinggal dengan keluarga suaminya, tapi lama-lama ia tak sanggup lagi karena terus disindir belum juga bisa punya anak.
Merasa semakin tidak nyaman, maka Mona mengajukan unit apartemen yang ia huni sampai saat ini dan untungnya di ACC.
Mona terlihat membenahi semua barang yang pecah berserakan di atas lantai bekas ia mengamuk, setelah kembali rapi, barulah Mona pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, dan setelah itu sibuk mencari bahan agar bisa membuat sarapan.
Apa yang akan dilakukannya nanti saat Raditya menghubunginya? Atau malah lebih baik Mona menghubungi Raditya lebih dulu?
Mona berpikir sambil keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju kulkas.
Dibukanya kulkas dengan banyak tempelan jadwal bayar tagihan dengan kertas-kertas kecil di pintunya.
Mona mengambil dua telur, dan juga dua jenis sayur.
Tak ada yang ingin ia makan sebetulnya hari ini, tapi terbiasa sarapan setiap hari nyatanya tak bisa ia abaikan.
Mona mendekati dapur membawa dua telur dan dua jenis sayurannya.
Sawi hijau dan wortel, Mona mengambil pisau untuk mengupas wortel, manakala ia ingat wajah Raditya.
Laki-laki itu, haruskah aku membunuhnya saja? Batin Mona.
Tangannya yang menggenggam pisau tampak bergetar, rasanya jika saja rumah Raditya dekat dengan posisinya saat ini, tentu Mona tak akan ragu mendatanginya sekarang juga.
"Aku dalam proses bercerai."
Kata laki-laki itu, ketika mereka baru dekat.
Bermula dari laki-laki itu menjual obat herbal yang bisa menghancurkan kista dan lain sebagainya, dan dia melihat komenan Mona di salah satu grup kesehatan tentang pengobatan kista tanpa operasi, Raditya mengajukan pertemanan dan akhirnya mereka jadi sering berkomunikasi.
Komunikasi yang sejatinya pada awalnya hanya tentang obat herbal yang ditawarkan Raditya, lalu kemudian jadi melebar menjadi seringnya Raditya mengomentari setiap postingan Mona dari yang serius hingga yang hanya bercanda.
Hingga kemudian Mona berlangganan obat herbal yang ditawarkan Raditya, yang dari sana komunikasi keduanya pun semakin intens.
"Kenapa bercerai?"
Tanya Mona saat itu,
"Isteri sudah tidak bisa menerima kondisiku yang hanya punya pekerjaan seperti ini, penghasilan tak menentu."
Jawab Raditya.
"Hmm masalah klasik, bercerai karena ekonomi."
Mona berkomentar.
"Lalu, apa yang paling baru memangnya?"
Tanya Raditya seraya menatap Mona yang duduk di seberang meja restoran Padang di mana mereka melakukan pertemuan untuk transaksi obat herbal yang dijual Raditya.
"Selingkuh, seperti yang banyak di sinetron, atau mungkin yang lebih ekstrim, bercerai karena suami keranjingan games."
Ujar Mona membuat Raditya tertawa.
"Apa aku terlihat berbakat menjadi laki-laki yang suka selingkuh?"
Tanya Raditya.
Mona memberanikan menatap laki-laki di hadapannya itu.
Laki-laki yang tampak sangat maskulin dan lumayan tampan..
Tak lama, Mona terlihat memalingkan pandangan matanya ke arah lain, ia tampak merasa tak nyaman ketika kemudian tatap mata mereka beradu.
"Ah entahlah, aku tak bisa menilai orang lain, salah-salah aku bisa dosa karena mudah menghakimi orang."
Kata Mona.
Raditya tersenyum.
"Aku suka perempuan sepertimu, sangat lugas dan tak bertele-tele."
Kata Raditya memuji.
Mona tak bereaksi apapun, ia hanya merasa hatinya sedikit terusik saat itu.
Ya, biasanya selama ia menikah selalu mendengar suaminya merendahkannya, kini tiba-tiba laki-laki lain datang memujinya meski bukan mengatakan dia cantik, menarik dan lain sebagainya yang biasa dilakukan laki-laki untuk menggombali perempuan.
Tapi...
Justeru itulah yang membuat Mona merasa jika Raditya bukan sedang mencoba mempermainkan hatinya.
Ia merasa Raditya hanya sedang mencoba jujur dalam penilaiannya.
Ah entahlah, mungkin untuk sekian waktu Mona merasa memang itu tulus, namun sekarang?
Mona mengupas kulit wortel yang tipis dan...
Clas!
Pisau yang ia gunakan meleset, darah langsung menetes dari jarinya yang terluka.
Mona segera menuju wastafel, mencuci jari itu, membiarkan darah bercampur dengan air keran dan mengalir di wastafel.
Luka pada jarinya tak sebanding luka di hatinya saat ini.
Perih, sakit, dan menghancurkan.
**-----------------**
Mona keluar dari unit apartemen miliknya, wajahnya sedikit pucat, tapi ia sungguh tak peduli dengan kondisi fisiknya saat ini.
Tujuannya adalah ke counter terdekat, membeli hp baru.
Pengeluaran tak terduga selalu saja ada setiap bulan, dan ini kadang menyebalkan, terutama di saat hidup sedang banyak setoran.
Apartment, mobil, dan juga asuransi kesehatan.
Mona menuju parkiran, mobil kecilnya yang dikredit selama tiga tahun dan baru akan lunas satu tahun tiga bulan lagi itu tampak berderet di antara mobil penghuni apartemen lainnya.
Tit tut...
Kunci mobil terbuka, Mona membuka pintu dan langsung masuk ke mobilnya.
Ah bukan, tapi baru akan masuk, manakala tiba-tiba suara seseorang memanggil.
Suara yang jelas belakangan ini tak asing lagi, suara Ayah Shanum, gadis kecil yang Mona sudah begitu ingin menjadikannya anak dalam hidupnya.
Shanum, yang panggilan kesayangannya adalah Sasa dari Mona.
Laki-laki dengan celana selutut dengan kaos abu-abu itu terlihat tergesa-gesa menghampiri Mona.
Sejatinya Mona ingin sekali segera pergi dari sana.
Lari sejauh mungkin, menghindar sebisa mungkin.
Tapi...
Entah kenapa melihat penampilan laki-laki itu yang seperti begitu payah dan wajahnya yang begitu sedih membuat hati Mona lemah.
Kakinya seperti tertahan di mana ia kini berdiri. Matanya meremang, menatap Raditya yang semakin mendekatinya dan...
Raditya memeluk Mona.
Pelukan itu begitu hangat, erat dan dalam. Sulit digambarkan oleh Mona bagaimana seketika amarah dalam dadanya mampu mereda begitu saja.
"Aku menghawatirkanmu semalaman, kau kenapa? Apa yang terjadi? Kenapa nomormu tak bisa dihubungi?"
Pertanyaan dari suara Raditya yang bergetar seolah meluluhlantakkan semua benci dalam hati Mona.
Hingga saat pelukan Raditya merenggang, dan kedua mata mereka bertemu, Mona tak kuasa lagi untuk tak menangis.
"Jahat."
Hanya itu yang bisa Mona ucapkan.
Tentu saja, apalagi yang bisa keluar dari bibirnya saat ini, ketika hati dan otaknya tak sinkron.
Raditya mengusap wajah Mona dengan lembut, meski telapak tangan itu cukup kasar.
"Kau sakit?"
Tanya Raditya dengan nada yang seolah benar-benar cemas.
Mona terdiam.
Ya sakit, tentu aku sakit, isterimu tiba-tiba menelfonku dan memberitahu kalian belum berpisah. Batin Mona.
"Aku baik-baik saja, lepaskan."
Mona akhirnya bisa kembali menguasai diri.
Perempuan itu menghela nafas.
Hatinya menguatkan dirinya sendiri agar tak terbawa suasana hatinya yang kacau balau.
"Kenapa kau ke sini?"
Mona bertanya tanpa menatap Raditya lagi.
Dada Mona bergemuruh, ia ingin sekali menangis lagi, tapi ia berusaha tak melakukannya.
Raditya menatap dalam-dalam wajah Mona di hadapannya.
Ia tahu sesuatu telah terjadi, pasti, dan ia yakin semua ada hubungannya dengan...
"Isterimu menelfon semalam."
Kata Mona akhirnya.
Suaranya begitu kaku.
Mona melirik Raditya, berharap Raditya terkejut, tapi ternyata tidak, ia biasa saja.
Mona jadi heran.
Kenapa? Batinnya.
"Aku sudah menyangka dia pasti melakukannya."
Kata Raditya.
Mona menatap Raditya.
"Apa maksudnya?"
Tanya Mona.
Raditya celingak-celinguk.
"Bisa kita bicara di tempat lain? Di apartemenmu saja?"
Tanya Raditya kemudian.
Saat pulang jalan-jalan bersama Shanum, Raditya memang sempat diajak mampir ke apartemen oleh Mona.
"Tapi tak ada Shanum sekarang, aku tidak mau hanya berdua denganmu."
Kata Mona.
"Bagaimanapun aku perempuan yang baru saja bercerai, aku harus menjaga diri, kecuali ada orang lain selain kita, aku tak masalah."
Tandas Mona tegas.
Raditya tersenyum.
Ia tahu jika Mona perempuan baik-baik, ia pun menghormat keputusan itu.
"Baiklah, kamu akan ke mana? Kita pergi ke tempat yang akan kamu tuju, biar aku yang bawa mobil."
Kata Raditya akhirnya.
Mona sejenak menimbang, hingga akhirnya memutuskan untuk setuju.
Entahlah...
Entah kenapa Mona seperti manut saja dengan permintaan Raditya.
Mona mengulurkan tangannya yang memegang kunci mobil.
Tangan yang jarinya terkena pisau.
Raditya meraih tangan Mona, menariknya dan menatap Mona dengan cemas lagi.
"Kenapa?"
Tanya Raditya.
Mona menarik cepat tangannya dari genggaman Raditya.
"Tidak apa, hanya kena pisau."
Sahut Mona dan segera menuju pintu mobil yang di sebelah kemudi.
Raditya menyusul masuk ke dalam mobil, duduk di belakang kemudi.
Pintu mobil ditutup, Raditya menyalakan mesin mobil Mona.
Mona duduk diam di sebelah Raditya, matanya menatap keluar, entah sebetulnya ingin menatap apa.
Yang jelas, ia hanya ingin menghindari bertatapan dengan Raditya, itu saja.
Raditya melajukan mobil Mona keluar dari parkiran dan menjauhi pelataran apartemen di mana Mona tinggal.
"Tari, jangan pernah dengarkan apapun yang dia katakan."
Ujar Raditya.
"Tari? Siapa Tari?"
Sinis Mona tanpa menoleh ke arah Raditya.
Raditya menghela nafas.
"Tari, mantan isteriku."
"Dia masih isterimu, kalian bahkan masih satu rumah."
Kata Mona dengan nada meninggi.
"Bohong, itu jelas bohong hany."
"Bagaimana bisa aku memilih di antara kalian siapa yang bisa aku percaya."
Mona akhirnya air matanya luruh.
Dadanya sakit.
Ia merasa begitu marah.
Marah pada dirinya sendiri yang tak mampu tegas menghadapi Raditya.
Meski sisi hatinya begitu terluka, tapi ada satu sisi hati lainnya pada dirinya yang masih ingin percaya pada laki-laki itu.
Lihatlah dia? Jika dia memang pembohong, bagaimana mungkin ia sampai rela mencarimu saat kamu tak bisa dihubungi? Bagaimana mungkin ia begitu cemas? Jelas ia terlihat tulus bukan? Begitulah bisikan lain dalam diri Mona.
Bisikan yang mencoba melawan hati kecilnya yang terus mendesak Mona untuk berhenti.
Hentikan Mona, berhentilah sampai di sini saja, jangan teruskan nanti kau bisa lebih terluka.
Dan...
"Tari tidak ingin kita bersama hany..."
"Apa alasannya? Jika kalian sudah bercerai harusnya dia tak akan melakukannya bukan?"
Mona menatap Raditya yang berada di belakang kemudi.
"Susah menjelaskannya hany, anggaplah dia terobsesi pada hubungan kami."
"Kau bilang dia yang menyerah atas pernikahan kalian karena masalah ekonomi."
Tandas Mona lagi.
"Iya memang, tapi meski begitu ia tidak mau aku bahagia dengan perempuan lain. Mungkin dia ingin menemukan laki-laki lain lebih dulu."
Kata Raditya.
Mona menghela nafas.
"Omong kosong apa."
Gumam Mona memalingkan pandangan matanya lagi.
"Isteriku itu memang aneh hany, saat masih satu rumah juga dia mengaku jadi janda pada seorang laki-laki. Aku mendengarnya saat pulang kerja, dia telfonan di kamar dan minta beli pulsa."
Mona yang mendengar menoleh lagi pada Raditya.
"Dia tak pernah menganggapku sebagai suami yang layak dihormati, dia sama sekali tak menghargai aku. Ya aku tahu, aku memang banyak kekurangan, tak bisa membelikan dia rumah bagus, kendaraan bagus, memberikan uang cukup untuk jalan-jalan, makan enak, apalagi sampai liburan dan belanja ke mall seperti perempuan lain. Aku tahu betul jika aku adalah laki-laki pas-pasan yang tak punya apapun untuk dibanggakan. Tapi, aku juga tetap laki-laki biasa yang punya mimpi memiliki isteri yang menerimaku apa adanya, mencintai dan menganggapku ada, menghargai keberadaanku."
Kata Raditya penuh emosi.
Mona yang semula sebetulnya sudah ingin marah-marah, akhirnya kembali luruh, ia menatap iba Raditya yang matanya berkaca-kaca.
Mungkin laki-laki itu juga sebetulnya terluka sangat dalam, dan perempuan itu, apa maksudnya melakukan semuanya? Batin Mona kesal.
**------------**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!