Tahun 2022, seorang pemuda terlihat sedang berdiri diatas gedung pencakar langit. Pemuda itu memandang ke bawah dengan ekspresi datar seolah tidak ada lagi semangat hidup.
Dengan mata tertutup, pemuda itu mengingat kenangan buruknya selama hidup di dunia. Terlahir di keluarga miskin, menjadi yatim piatu sejak balita, di rendahkan, menjadi korban bullying, dan terus berperang melawan sulitnya kebutuhan hidup. Satu hal yang paling membekas di benak pemuda itu adalah, kesalahan terbesarnya, meminjam uang pada rentenir. Karena hal itu, dia terus ditagih dan hanya bisa membayar bunga hutangnya saja.
Setiap hari, pemuda itu terus-menerus di teror oleh si rentenir sampai membuatnya depresi dan hilang arah...
Tibalah saat dimana ia memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Mata pemuda itu kembali terbuka, pemuda itu melihat sudah banyak orang yang meneriakinya dari bawah. Seolah mereka semua sangat peduli terhadap hidup si pemuda dan tak ingin dirinya bunuh diri. Sambil mengingat kenangan-kenangan buruknya, pemuda itu hanya tersenyum.
Mata si pemuda terbuka lebar saat melihat teman-teman yang sering membully dan gadis yang ia cintai di bawah sedang berusaha menghentikan aksi nekat si pemuda.
"Munafik! mereka seolah sangat peduli terhadap diriku, tapi kenyataannya... mereka semua telah meninggalkan kesan buruk selama bertahun-tahun dalam hidupku. Kehidupan ini... aku menyerah..."
Semua orang terlihat histeris saat pemuda itu melompat dari lantai sembilan di gedung pencakar langit. Aksi nekat si pemuda akhirnya menjadi berita hangat selama beberapa bulan. Meski begitu, setidaknya satu dari banyaknya impian pemuda itu akhirnya terpenuhi. Yakni menjadi orang terkenal. Namun semua orang malah mengenalnya sebagai si bodoh yang putus asa.
"Akhirnya... kehidupan ini berakhir begitu mudah. Dengan yang aku lakukan, apakah aku akan masuk neraka?" batin si pemuda. Pandangannya menjadi gelap dan seolah-olah pemuda itu baru saja tenggelam dalam lautan tak berdasar. Hanya ada kegelapan dan rasa kesepian.
Namun, pemuda itu sedikit lega, setelah sekian lama akhirnya ia bisa melupakan segala kehidupan pahitnya. Andai saja pemuda itu di beri nasib baik, mungkin tidak akan melakukan hal nekat seperti itu. Yah, ini juga berkat teror si rentenir membuat satu-satunya penyesalan terbesar si pemuda adalah meminjam uang pada rentenir.
Pemuda itu benar-benar kapok dan berjanji pada dirinya, tidak akan mengutang lagi.
"Aku sangat menyesal dengan kehidupan ini. Aku belum pernah pacaran apalagi menikah, tidak pernah menyentuh tangan seorang gadis, selalu di rendahkan dan diperlakukan dengan buruk. Jika saja ada kehidupan berikutnya... aku ingin mendapatkan semua yang belum aku dapatkan?" batin si pemuda.
Akhirnya, pemuda itu telah merasakan ketenangan sesaat, sampai ia mendengar sebuah suara samar-samar yang memanggilnya.
"Ronald, ku mohon bangun lah. Aku masih belum sanggup kehilanganmu?" Samar-samar suara itu terdengar jelas di telinga si pemuda, semakin lama semakin keras.
Perlahan... ia merasakan goncangan hebat ditubuhnya. Rasa nyeri disekujur tubuh, perasaan aneh yang tidak tergambarkan.
Mata si pemuda terbuka lebar dan menemukan seorang gadis tengah menangisi kepergiannya. Pemuda itu membuka matanya sedikit dan melihat seorang gadis yang sama sekali tidak ia kenal.
"Siapa gadis ini? dia menangis untukku? apakah aku belum mati setelah melompat dari lantai sembilan?" Pertanyaan demi pertanyaan mulai muncul di benak si pemuda. Pemuda itu masih belum bisa mencerna situasi yang ia hadapi saat ini.
Sesaat sebelum pingsan, pemuda itu menyadari sesuatu.
"Tunggu, bukankah aku melompat dari atas gedung pencakar langit di tengah kota? kenapa aku hanya bisa melihat pohon di sini? dan... hanya ada gadis ini?" Pandangan pemuda itu menjadi kabur, kepalanya terasa pusing dan berakhir dengan tidak sadarkan diri.
Sementara itu, gadis yang sedari tadi menangis merasakan detak jantung Ronald yang seolah bangkit dari kematian. Ia seketika merasakan nafas berat Ronald. Terlebih ketika ia melihat mata Ronald terbuka sedikit, namun kembali tertutup.
Perasaan senang dan gembira kembali mengisi hati si gadis. Setelah merasakan nafas Ronald yang seolah tidak bisa bertahan lama, membuat gadis itu membuat keputusan besar.
Dengan sigap gadis itu menarik nafas dalam dan mengecup bibir Ronald. Dua buah bibir bertemu, tak disangka... ciuman pertama Ronald jatuh pada gadis itu.
Tentu gadis itu tidak bermaksud mesum, melainkan ia hanya ingin membantu pernafasan Ronald dengan memberikan nafas bantuan. Perasaan hangat kembali membuat mata si pemuda terbuka lebar. Ia akhirnya tersadar dan menemukan seorang gadis sedang mengecup bibir indahnya dan membantunya bernafas.
Ah... perasaan yang sangat hangat yang tidak tergambarkan kembali terasa pada diri si pemuda. Jika di ingat, ini adalah kali pertama si pemuda mendapatkan ciuman dari seorang gadis yang terlihat imut, cantik dan rupawan. Kecantikan gadis itu seolah tampak seperti bidadari, sangat indah dan menawan.
"Inikah surga? baru masuk saja sudah senyaman ini, keputusan ku memang tidak salah!" batin si pemuda.
Setelah menyadari pemuda itu telah sadar, akhirnya gadis itu menarik bibir lembut, indah, dan seksinya dengan pipi yang memerah seperti tomat karena malu.
"Tuan Ronald sudah bangun?" Gadis itu tidak bisa tidak segera mengajak si pemuda mengobrol.
"Tuan? Ronald? apakah namaku di sini adalah Ronald? akan ku ingat!" gumam Ronald.
Seketika perhatian gadis itu teralihkan saat tiba-tiba Ronald batuk darah. Saat itulah Ronald menyadari banyak luka sabetan pedang di sekujur tubuhnya. Jantungnya berdetak kencang dan merasakan sensasi yang belum pernah dirasakannya selama ini.
Benar saja, sensasi rasa nyeri yang dirasakan oleh Ronald berasal dari lukanya yang terlihat masih sangat baru.
"Apakah aku habis bertarung?" batin Ronald bertanya-tanya sembari mulai mencerna situasi.
"Tunggu, bukan ini tempatku bunuh diri. apakah aku berpindah dunia?" Ronald akhirnya bisa mencerna situasi yang ia hadapi sedikit. Meski hanya sedikit, namun itu penting! setidaknya Ronald sudah tahu situasi yang ia alami.
Dilihat dari lukanya, Ronald tampak jelas telah bertarung sengit. Namun tidak ada bekas-bekas pertarungan sejauh mata memandang. Hanya ada jejak tapak kaki kuda yang terlihat masih baru.
Gadis yang berada di samping Ronald seketika berdecak kesal saat mendengar suara rombongan kuda. Gadis itu bergegas mengambil pedang yang terletak di tanah tepat di sampingnya.
Dengan elegan, gadis itu menarik pedangnya seolah siap bertarung sampai mati. Dengan perasaan tak berdaya, Ronald hanya bisa memandangi dari belakang. Ronald kagum dengan keberanian gadis itu. Namun sialnya, pandangan Ronald kembali memburuk, jantungnya berdetak kencang sampai pada akhirnya benar-benar pingsan setelah melihat gadis itu mulai maju untuk bertarung dengan deretan pendekar yang menunggangi kuda.
Ronald kembali merasakan sensasi yang sempat ia rasakan sebelumnya, seakan tenggelam ke dalam jurang tidak berdasar. Gelap, sepi, dan hampa.
***Halo teman-teman, saya adalah pemula yah. Ini karya pertama saya di Novel Toon. Kuharap saya dapat mengembangkan kemampuan menulis saya disini.
Sebagai pemula, aku sangat menantikan dukungan kalian. Bila mana kalian merasa ada yang kurang, maka tidak ada salahnya meninggalkan komentar. Barangkali saya bisa belajar dari tanggapan kalian.
Satu hal lagi... semoga kalian suka dengan hasil karya saya yah... Terimakasih untuk anda yang telah mendukung karya saya, semoga rezeki kalian berlimpah ruah aamiin***.
Seorang gadis berdiri tegak dengan sebilah pedang ditangannya. Dibelakang sang gadis, tampak Ronald masih terbaring lemas dan berlumuran darah. Kondisi Ronald cukup serius. Setelah cukup lama, suara gemuruh disertai dengan kedatangan sepuluh orang pendekar berkuda.
Sepuluh orang pendekar itu berhenti sekitar lima meter dari sang gadis. Tampak tak ada yang berani menyerang lebih dulu. Satu persatu dari mereka akhirnya turun dari kuda mereka masing-masing.
"Yulia, kami tidak punya dendam apapun padamu, kami hanya menginginkan nyawa Ronald!"
"Ronald sialan, telah membunuh putraku... hutang nyawa harus di bayar dengan nyawa."
"Aku tidak peduli apapun, aku hanya ingin memastikan Ronald dapat menemui ajalnya dengan cepat."
Beberapa orang angkat bicara, sementara yang lainnya memilih diam dan bersiap untuk bertempur.
"Cih, kalian para tetua Sekte, Gunung Bunga Persik yang berwibawa. Tidak kusangka, demi membunuh seorang Ronald kalian malah main keroyok. Apakah kabar yang beredar hanya mitos? Tidak hanya main keroyokan, kalian juga malah bekerja sama dengan pendekar aliran iblis. Hari ini, meski aku harus mati... tidak akan kubiarkan kalian membunuh Ronald!" Gadis itu berseru dengan kuat, dalam hatinya ia mengumpat. Dirinya sadar betul, dengan kemampuan yang dia miliki, sekalipun hanya menghadapi dua pendekar, juga akan sulit keluar hidup-hidup.
"Andai saja Ronald tidak kalian jebak, kalian mana bisa melukainya." Yulia berseru dengan kuat.
"Yulia, jangan pernah berpikir hanya karena dirimu adalah satu-satunya putri Jendral besar di kota Florida, aku tidak akan berani melukaimu. Jangan lupa, aku ini siapa?"
Yulia kembali mengumpat, sebab yang baru saja bicara adalah Growth, salah satu tetua bendera lima warna, ketua bendera hijau sang ahli racun. Bendera hijau adalah salah satu dari lima pasukan utama bendera lima warna.
Yulia hanya bisa mengumpat, sebab bendera hijau dari bendera lima warna termasuk salah satu sekte aliran hitam terbesar nomer dua.
"Hari ini, kami akan bertarung habis-habisan. Ronald yang masih muda sudah bisa menyulitkan kami, kelak dia akan menjadi bencana bagi aliran iblis dan aliran hitam. Jika kamu bersikeras melawan kami, maka kami juga tidak ada pilihan lain." Seorang sesepuh kerdil berjanggut putih angkat bicara.
Hanya ada tongkatnya saja yang dia jadikan penyangga untuk berdiri. Seolah terlihat sebagai salah satu orang tua yang lemah dan tidak berdaya. Namun siapa sangka, Sesepuh kerdil itu adalah salah satu tetua klan asura dari aliran iblis.
Sesepuh kerdil itu seketika mendorong Lin Fan yang merupakan salah seorang tetua di Gunung Bunga Persik. Lin Fan yang seorang dari aliran putih seolah tidak terima jika dirinya yang harus memulai pertempuran berdarah.
Bisa dibilang, dari sepuluh orang pendekar tangguh itu, hanya Lin Fan, sesepuh kerdil, dan Growth yang merupakan tokoh penting dunia persilatan kekaisaran Han. Sedangkan tujuh orang lainnya hanyalah pendekar berbakat yang juga menginginkan nyawa Ronald dengan alasannya masing-masing.
Yulia menelan ludah saat melihat Lin Fan mulai maju.
"Tetua Lin Fan, anda sebagai pendekar aliran putih bersekongkol dengan pendekar aliran hitam dan aliran iblis, apakah masih layak menjadi tetua Gunung Bunga Persik?" Yulia bertanya sekali lagi.
"Tetua? aku memang tidak pantas. Karena aku hanya pantas menjadi ketua Gunung Bunga Persik. Aku adalah generasi paling berbakat, tapi kenapa aku tidak bisa jadi ketua? Gunung Bunga Persik malah memilih Ronald sebagai ketua yang baru di masa depan. Aku tidak terima ini, jika aku membunuhnya, maka hanya aku yang pantas menjadi ketua."
"Saudara-saudaraku, tidak perlu ragu lagi. Bahkan jika kita melepaskan Ronald kali ini, Jendral Sudirman tetap akan mengejar kita. Inilah satu-satunya kesempatan emas yang kita miliki." Lin Fan segera angkat bicara untuk menyemangati yang lainnya.
merasa apa yang dikatakan Lin Fan cukup masuk akal, para pendekar lainnya kini tidak segan-segan lagi.
Lin Fan dan yang lainnya segera bergerak maju untuk menyerang. Tangan Yulia seketika bergetar saat akan menghadapi mereka semua. Dengan sangat berani, kini Yulia maju dan menyerang sekuat tenaga. Sementara itu, kondisi Ronald sudah memburuk karena kehilangan banyak dara. Ronald tidak lagi mampu mempertahankan kesadarannya lebih lama. Ronald hanya melihat Yulia maju untuk melawan sepuluh orang pendekar seorang diri sebelum akhirnya ia tak sadarkan diri.
Pagi hari kemudian, Ronald membuka matanya perlahan dan menemukan dirinya tengah terbaring di sebuah ruangan. Tubuhnya penuh dengan perban. Ronald segera bangun dan memperhatikan setiap sudut ruangan sampai pada akhirnya seorang gadis imut berusia tujuh belasan masuk dan menyapa Ronald.
"Tuan Ronald sudah bangun?"
"Ronald? Ronald itu aku? apa namaku adalah Ronald?" Ronald bertanya pada gadis kecil itu.
"Itu... apakah tuan ingat sesuatu tentang diri tuan?"
"Tidak, aku tidak ingat." Ronald menjawab dengan cepat.
"Aku hanya ingat identitas ku sewaktu di dunia sebelumnya, jadi, aku tidak berbohong!"
"Sepertinya tuan Ronald lupa ingatan." Pikir gadis kecil itu.
"Lupakan itu, bagaimana kondisi tuan sekarang?" Gadis kecil itu bertanya sekali lagi.
"Sebelum kamu berkata banyak, perkenalkan dirimu terlebih dahulu!" seru Ronald.
"Perkenalkan tuan, saya Melisa... pelayan di rumah ini."
"Pelayan?" Ronald kembali bertanya dengan ekspresi terkejut.
"Sepertinya tuan benaran lupa ingatan, aku harus segera melapor pada nona!" Setelah berpikir, Melisa segera pergi meninggalkan Ronald sendiri di kamar.
"Bagaimana nasib gadis itu? terakhir kali aku melihatnya melawan sepuluh orang pendekar. Aku tidak yakin dia bisa selamat melawan begitu banyak orang. Tapi jika gadis itu kalah, bukankah aku tidak akan hidup lagi? para pendekar itu memang sedari awal hanya mengincar ku. Sebenarnya apa yang terjadi? siapa diriku? mengapa mereka sangat menginginkan nyawaku?" Ronald segera berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Sementara itu, Yulia terlihat tidak sadarkan diri dan terbaring di atas ranjang. Seorang tabib perempuan mengobati lukanya.
"Bagaimana? apa yang terjadi pada putriku?" Jendral Sudirman bertanya dengan nada khawatir.
"Terlalu banyak luka, nona kehilangan banyak darah. Beruntung dia cepat di rawat. Jika tidak, maka tidak ada lagi harapan untuknya. Meski begitu, sebenarnya aku tidak yakin bisa menyematkan nona." sang tabib segera menjelaskan.
"Maksudmu?"
"Nona dapat bertahan berkat Semangat hidupnya. Aku tidak tahu siapa yang bisa membuatnya bertahan. Untuk saat ini Nona baik-baik saja. Berikan nona waktu istirahat yang cukup dan jangan mengganggunya."
"Baiklah, terimakasih mbak!" Jendral Sudirman segera mempersilahkan tabib itu pergi.
"Yulia... jika ayah terlambat sedikit saja, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Jika yang membuatmu bertahan adalah pria itu... ayah sangat menyesal telah menolak pernikahan kalian. Jika saja aku merestui hubungan kalian, mungkin kamu tidak akan kabur dari rumah dan semua ini juga tidak akan terjadi. Ini semua salah ayah..." Jendral Sudirman menangis sambil membelai rambut panjang Yulia yang saat itu terbaring lemah.
"Yang mulia, tuan Ronald sudah sadar. Sepertinya ia lupa ingatan!" Melisa segera memberi tahu Jendral Sudirman. Jendral Sudirman segera menoleh dan merasa penasaran. Kini Jendral Sudirman bergegas menuju kamar tempat Ronald di rawat.
Setelah Melisa keluar dari ruangan, Ronald beranjak dari tempat tidurnya. Saat akan berdiri, ia merasakan kakinya sangat lemas seakan tidak bisa digerakkan. Ronald merasakan sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dengan sedikit usaha, Ronald berhasil berdiri dengan kakinya yang tidak berhenti bergetar.
"Ada apa ini? kenapa aku begitu lemah? aku bahkan masih bisa merasakan sensasi rasa nyeri di setiap lukaku. Bahkan di kehidupan ini pun aku begitu menderita. Beginikah takdir memperlakukan aku?" Ronald tak habis pikir, dirinya yang baru saja tiba di dunia yang berbeda malah akan bertemu nasib sial seperti ini.
Ronald juga tidak mengerti ada konflik apa antara dirinya dan sepuluh orang pendekar yang menginginkan nyawanya. Setidaknya Ronald tahu alasan dari salah satu orang yang menginginkan nyawanya. Itu karena Ronald telah membunuh putranya jika diingat saat perbincangan antara Yulia dan mereka sebelum bertarung.
"Aku telah membunuh anaknya? tapi aku bahkan tidak mengingatnya. Yang ada di ingatanku hanyalah saat aku hidup di dunia sebelumnya. Apa yang harus kulakukan sekarang? dan apa identitas ku di dunia ini?"
Begitu banyak pertanyaan yang muncul dalam benak Ronald. Ronald juga sudah mampu berjalan perlahan meski kecepatannya seperti kura-kura yang sangat lambat. Saat Ronald memperhatikan sekitarnya, pintu terbuka.
Jendral Sudirman segera memasuki ruangan. Kini pandangan Ronald dan Jendral Sudirman bertemu. Keduanya saling tatap selama beberapa saat.
"Bagaimana kondisimu, Ronald?"
"Kondisi saya baik-baik saja sekarang, apakah anda mengenal saya? bisakah anda menceritakan semua hal tentang diriku? aku tidak mengingat Apapun."
Jendral Sudirman termenung sejenak sebelum akhirnya bergerak dengan sangat cepat membuatnya seakan menghilang. Jendral Sudirman segera memukul Ronald yang saat itu masih dalam kondisi buruk. Bahkan untuk berdiri pun, kaki Ronald sampai gemetar.
Ronald terpental kebelakang setelah menerima serangan Jendral Sudirman. Ronald terbaring setelah terpental. Ia memegangi perutnya yang terasa sangat sakit. Di mulutnya keluar darah segar, bekas-bekas lukanya kembali mengalirkan darah segar.
"Apa? apa salahku? ada dendam apa aku dengan anda?" Ronald segera bertanya dengan nada terbata-bata. Ronald tampak memaksakan suaranya keluar, kini sensasi rasa nyeri yang tidak terbayangkan dirasakan oleh Ronald. Tulang rusuk Ronald seakan remuk akibat pukulan Jendral Sudirman.
"Kenapa? kau membawa kabur putriku, kau membuatku terpisah selama lebih dari tiga tahun dari putriku. Kau bilang kenapa? aku sedari dulu memang ingin menghajar mu sampai mati. Dasar bajingan!" Jendral Sudirman tidak lagi mampu membendung emosinya setelah melihat Ronald, apalagi saat mengingat Ronald telah membuat dirinya berpisah dengan satu-satunya putri yang dia miliki.
"Tidak hanya itu... kau bahkan mengembalikan putriku dalam keadaan sekarat. Sekarang bagaimana aku bisa tidak dendam dengan dirimu, hah?"
Kini Ronald tidak berdaya, yang bisa dia lakukan hanya diam tanpa melawan. Ronald hanya bisa berdecak kesal, bagaimana tidak, Ronald baru saja tiba di dunia ini. Ronald tidak tahu apapun soal apa yang dilakukan olehnya di masa lalu, bisa dibilang... Ronald adalah orang yang tidak bersalah.
"Sialan, aku tidak tahu ada hal seperti itu. Saat aku baru sampai di dunia ini, kondisiku sudah sekarat, aku harus bertaruh dengan nyawaku, ada lebih banyak orang yang ingin membunuhku, dan sekarang aku malah harus di benci dan dipukuli sampai hampir mati olehnya? Sedari awal takdir memang tidak pernah adik padaku, brengsek!"
Ronald tak mampu menahan air matanya. Perasaan sedih dan sensasi rasa nyeri dari lukanya membuat Ronald merasa ingin mati saja.
Sementara itu, Jendral Sudirman merasa puas saat melihat Ronald tampak sangat menyedihkan. Darah dari setiap luka dan dari mulutnya tampak sangat jelas. Air mata mengalir tidak terkontrol, bahkan seluruh tubuhnya gemetar kesakitan.
"Pecundang! aku tidak menggunakan tenagaku saat memukulmu. Tidak perlu sampai seperti itu, ingatlah satu hal ini, aku masih belum bisa melepaskan kebencian ini." Jendral Sudirman segera pergi setelah meludah. Di pintu, Jendral Sudirman berpapasan dengan Melisa yang saat itu sedang menguping dengan baik.
Pandangan Jendral Sudirman seketika membuat Melisa menunduk takut tidak berani berkata-kata.
"Obati dia secukupnya saja, kau hanya perlu memastikan bahwa dia tidak mati, tidak perlu memperlakukan pria itu dengan baik."
Perintah itu bagaikan hilal bagi Melisa. Dengan cepat, Melisa menghampiri Ronald yang terbaring tidak berdaya.
"Kasian sekali pemuda ini, dari tatapan matanya tadi, pria ini tampak seperti orang yang tidak tahu apa-apa. Entah mengapa aku merasa pemuda ini sebenarnya tidak bersalah." Melisa berpikir sejenak sebelum akhirnya memapah Ronald yang sudah tidak sadarkan diri.
Benar-benar, tiap kali Ronald sadar, ia hanya merasakan sensasi nyeri dan menemukan fakta bahwa banyak orang yang menginginkan kematiannya, setelah itu Ronald akan kembali tidak sadarkan diri. Kali ini... Ronald lagi-lagi putus asa untuk kedua kalinya.
Tiga hari telah berlalu, Melisa baru saja membantu Ronald memakan bubur dengan menggunakan sebuah teknik unik yang membuat meski Ronald tidak sadar, bubur itu bisa masuk dengan bantuan Melisa. Seperti biasanya, Melisa lagi-lagi memandangi Ronald yang penuh perban dan terlihat sangat menyedihkan.
"Jika di lihat-lihat, pemuda ini sebenarnya sangat tampan. Dia juga tidak terlihat seperti orang jahat. Dunia benar-benar tidak adil, andai saja bisa... aku akan senang jika kamu menjadi jodohku!" Melisa kemudian mengupas apel untuk dinikmatinya sendiri. Setelah mengupas apel, Melisa menyimpan pisau kecilnya di meja dekat ranjang tempat Ronald terbaring.
Setelah beberapa jam, Ronald akhirnya sadar lagi. Pertama kali sadar, Ronald batuk darah. Ronald seketika memandangi tangannya yang penuh darah yang keluar dari mulutnya tadi. Ronald seketika mengingat segala yang terjadi pada dirinya.
"Kehidupan pertama, aku sangat menderita dan akhirnya menyerah pada hidupku. Sekarang, di kehidupan ke dua ini, lagi-lagi hanya ada penderitaan. Jika aku bunuh diri lagi, akankah saya mendapatkan kehidupan ketiga? benar-benar, aku sudah tidak tahan hidup seperti ini, hidup ini... aku menyerah... lagi?" Setelah beberapa saat berpikir, Ronald sampai pada satu keputusan, yakni memutuskan untuk bunuh diri dan menyerah pada kehidupan.
Melihat sebuah pisau kecil, Ronald segera mengambilnya. Dengan pegangan erat, Ronald kini bersiap menusuk perutnya. Ujung dan bilah pisau kini menghadap ke perut Ronald. Satu gerakan saja akan mengakhiri semuanya. Setelah mengingat betapa menyedihkan hidupnya, Ronald segera menusuk perutnya dengan percaya diri.
Ujung pisau kini menyentuh kulit Ronald saat tiba-tiba sebuah tangan mungil mencegah Ronald menusuk dirinya. Sekuat tenaga, Melisa menarik kembali tangan Ronald dan segera menyingkirkan pisau itu dengan cara dilemparkannya ke samping.
"Kenapa? kenapa kau menghentikan aku? bukankah akan menjadi jauh lebih baik lagi jika aku mati dengan cepat?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!