Aku Adila Dilra, seorang guru Taman Kanak kanak, usia ku kini menginjak 20 tahun bulan lalu, aku sangat senang melihat senyuman mereka yang setiap hari hadir bagaikan imun dalam tubuh ku, senyuman mereka tulus dan selalu membuat ku merasa ini semua, seisi dunia hanya milik ku dan mereka.
Pagi ini cuaca agak sedikit mendung, tapi aku harus tetap ceria, matahari tak boleh tidur bukan disaat pagi seperti ini, walau sedikit redup bukan tak bisa menyinari kan?
Itulah yang selalu menjadi penyemangat dalam hari hari ku.
"Dil, kamu mau berangkat sekarang atau tunggu sebentar lagi? kalau gini caranya abang bisa telat ke kantor nih."
Ya... itu suara Abang ku, aku hanya 2 bersaudara.
"Iya Bang, sebentar Adila sedang cari crayon." teriak ku dari dalam rumah,
"Aduh dimana ya? mungkin tertinggal dikelas kali ya?" aku berbicara sendiri sambil mengingat ingat. Lalu tangan seseorang memberikan apa yang ku cari.
"Adila, ini crayon yang kamu carikan, orang taruhnya sembarangan."
Ya... itu mama yang selalu siaga, tapi ocehannya selangit, kami sebagai anak tidak pernah bisa membantahnya, entahlah mungkin jiwa mama yang memang di didik keras kali ya?
"Makasih, mama ku tercinta, emmmm muahcc." suara ku gemas mencium pipinya.
Aku melenggang keluar naik ke motor Ninja Bang Fano, huh... tua bangka ini selalu saja marah setiap pagi.
Kakak ku selalu setia antar jemput, bahkan Bang Fano rela jemput aku malam hari saat aku sedang berlatih tekwondo, atau badminton.
Aku sangat suka bela diri, bahkan aku sudah pernah mendapat mendali emas, kini sabuk ku juga sudah tidak main-main, aku sudah mendapat sabuk hitam meski baru DAN I.
Hemmm...
Aku sudah sampai di tempat ku mengajar hanya 10 menit dari rumah, itu juga kalau diantar bang Fano.
"Hai... teman teman." Aku mengangkat tangan menyapa para murid yang berhamburan keluar menjabat tangan ku.
"Hallo ibu cantik..." mereka memang selalu memanggil ku dengan sebutan yang menurut ku lucu tapi seperti menuakan umur ku yang baru 20 tahun.
Pagi ini tepat pukul 08.00 aku mulai menyiapkan bahan palastisin untuk kami bermain. Anak-anak terlihat antusias saat membuat pola bentuk yang mulai terlihat aneh dimata ku.
Aku yang hanya mengamati mereka kemudia memperlihatkan karya ku pada mereka.
"Tema-teman, ayo mana? apa yang kalian buat? punya ibu sudah hampir selesai."
tangan ku mengangkat bunga mawar yang terbuat dari plastisin tadi.
"Wah... Silvy mau ibu, itu buat aku ya..." paksa seorang anak bernama Silvy,
"Silvy buat sendiri dong, bahannya kan sudah ibu kasih." jawab ku seperti anak yang tak mau berbagi mainan, tapi dengan nada selembut mungkin.
Jam kelas sudah berakhir, aku duduk disofa ruang guru, aku sibuk mengecek absen dan juga beberapa nilai serta progres mereka selama 1 bulan ini, Aku bersiap membuka labtop dan mengerjakan laporan.
Tak terasa jam sudah menunjukan waktu Asar, waktunya aku solat dan bergegas pulang.
Biasanya tidak sampai sesore ini sih, tapi tadi aku ke asikan jadi lupa waktu deh.
Aku pun berpamitan kepada para rekan kerja ku yang sesama guru disini.
Aku pun melangkahkan kaki ku dengan rasa semangat yang tinggi, aku sangat bahagia hari ini, dan aku tak tau apa alasannya.
Malam ini aku membantu mama untuk menyiapkan makan malam, menata beberapa hidangan di meja, sambil menunggu Bang Fano bersih dan berganti pakaian rumah.
"Dila, panggil abang mu itu, suruh dia cepat turun dari kamarnya." teriak mama dari dapur, aku naik ke lantai dua disana ada kamar aku dan Abang, serta sebuah ruang kosong yang kadang kami gunakan untuk sekedar latihan tekwondo.
"Abang? abang... udah dipanggil mama tuh, cepetan mandinya aku udah laper." Teriakan ku diabaikan olehnya, huhhh dasar tua bangka, mau makan aja harus tunggu dia selesai mandi.
Tanpa mengetuk pintu aku masuk ke kamar abang, aku menemukan abang yang tengah tergeletak di ranjangnya.
"ABANG!!! ternyata malah tidur, masih pakai baju kerja lagi, bang bangun!!!" Aku berteriak tepat didepan wajahnya, abang yang mulai membuka mata, melirik ku dan berbalik.
"Emmm... jangan teriak teriak abang pusing dengernya, udah sana suruh mama makan duluan aja abang mau tidur sebentar, pala abang serasa mau copot nih." Dasar tua bangka, aku beralih melihat ponsel abang yang menyala, tertanda panggilan masuk.
"Bang, handpone abang nyala tuh, ada telpon."
"udah angkat aja, paling juga gak penting." Abang berganti posisi dan tertidur lagi, aku mengambil ponselnya dan menerima panggilan.
"Hallo?" tapi tiba-tiba seorang pria langsung saja menyambar perkataan ku.
"Fan, lu dimana? gue ada di jalan deket rumah lo nih?"
" Maaf dari siapa ya? bang Fano ada dirumah sih, tapi sekarang lagi tidur jadi saya yang jawab." jawab ku dengan nada yang sedatar mungkin.
"Oh ya?? ini siapa?" tanyanya balik pada ku.
"Saya Adila adiknya bang Fano, kalau mau ketemu bang Fano datang aja kerumah, paling juga entar bang Fano bangun."
"oh... yaudah, saya Zulfikar. Bilang sama abang kamu ya lima menit lagi saya sampai."
Sambungan pun ku putus. Aku melihat bang Fano seperti orang yang sangat lelah.
"Tidur aja bang, entar juga lauknya abis aku yang makan semua, mama lagi masak ikan asam manis loh bang, yakin gak mau?" ledek ku yang langsung ditanggapi bang Fano, dia segera bangun dan masuk kamar mandi.
Gampang kan bangunin dia, dia itu paling suka ikan asam manis buatan mama karena memang sangat lezat dan berbeda.
Bang Fano sudah tiba di meja makan, dia menyendok nasi bersama ikan asam manis buatan mama. "Emmmhhh, tuhkan bener emang dah buatan mama tuh ngalahin resto, nanti kalau Fano punya istri harus yang bisa buatin ginian tiap hari." ucap bang Fano sambil menyantap hidangan. "Abang, pleas deh jangan halu, sampai sekarang aja abang belum bisa moveon dari Maharani, jadi jangan halu! cari dulu baru berujar." kata ku sewot kemudian ke dapur untuk mencuci piring yang telah ku pakai.
Aku memang selalu begitu dengan abang, bukan karena tidak sopan tapi karena abang memang suka jahil.
Abang itu belum menikah mungkin ia belum PD dengan umurnya. Usia bang Fano masih 26 tahun, tapi aku selalu memanggilnya tua bangka karena ya begitulah semua pembicaraan dia selalu tentang nasehat dan nasehat.
Abang nyaris tidak pernah marah, tapi kalau ada sesuatu yang mengusik ku dia adalah orang pertama yang akan mengamuk.
Mama adalah mama terbaik untuk ku, terutama setelah papa meninggal. Papa meninggal sudah 2 tahun yang lalu, mama sangat menyayangi papa, bahkan saat papa pergi mama tidak makan dan minum, dia selalu mengadakan tahlil dan mendoakan papa sehabis solat.
Mama yang bertanggung jawab atas kami sejak saat itu.
Aku hanya ingin satu hal dalam hidup ku nanti, pernikahan seumur hidup seperti mama, dan dia yang menjadi tempat terakhir ku melabuhkan cinta.
Setelah makan malam selesai, mama membukakan pintu depan dengan wajah ceria. "Entah siapa yang datang bertamu, mama terlihat bahagia." aku bingung sendiri melihat mama yang nampak bahagia saat menuju dapur dan keluar dengan kue dan minuman.
Aku ada di kamar tidur ku, aku bosan dan aku mengambil gitar ku, ya aku juga suka musik.
"Dila, jangan berisik deh bikin abang gak konsen ngerjain grafik kantor tau gak!" teriak bang Fano dari luar kamar ku.
Aku membuka pintu dan aku melihat seorang pria yang sedang duduk di sofa yang ada di depan kamar aku dan bang Fano, aku yang tidak mengenakan kerudung segera masuk kemar lagi.
"Astagfirullah!!! Jebretttt." Aku menarik pintu dengan keras.
************************
"Fan"
"Apan sih Kar?" Fano menoleh ke arah Zulfikar yang duduk di atas sofa.
"Itu yang tadi banting pintu siapa?" tanya Zulfikar sambil menunjuk kearah pintu yang ditutup Adila.
"Kenapa lo? naksir?" Sudut bibir Fano sedikit melebar, dia sedang menggoda temannya itu.
"Kalo lu naksir langasung nikahin!" kata Fano tegas dan kembali berkutat dengan laptopnya.
"Nikahin? kenal aja belon." Zulfikar menatap tajam temannya itu yang sekarang pindah tempat di atas karpet.
Kini Fano kembali melihat kearah Zulfikar yang sedang meneguk minumannya.
"Nikah!... kalo lu mau kenal sama dia, kalo gak mau yaudah jangan harap bisa deket sama dia!" Tegas Fano yang mulai menyudutkan Zulfikar.
Hari mulai larut seisi rumah sudah gelap, Adila pun sudah nyenyak dalam mimpinya.
Namun kini Zulfikar sedang resah didalam kamar Fano, dia pergi untuk berwudhu kemudian memulai solat malamnya.
"Ya Allah terimalah taubat ku agar menjadi taubatan nasuha. Ya Allah tutupilah aib ku dengan sebaik-baiknya, Maafkan aku atas perbuatan ku yang mungkin telah salah melihat wanita dengan nafsu atau mungkin telah menginginkan seseorang yang bukan halal untuk ku." Kemudia Zulfikar melanjutkan dengan solat tahajud.
Adila terbangun dari tidurnya, "Huh... hoammm. baru jam 4 pagi, belum subuh. Aku solat aja deh dari pada nanti telat subuhnya." Gurau Adila.
Matahari pun terbit Adila mulai merapihkan tempat tidur dan dirinya karena pagi ini dia harus pergi mengajar. Diruang makan sudah ada mama, Fano dan juga tamu mereka yaitu Zulfikar.
Adila yang turun dari lantai atas mengundang perhatian Zulfikar, Fano yang sadar segera menyikutnya. "Awas tuh mata tetap pada jalurnya, biasa aja lihatnya." sindir Fano.
"Abang... hari ini gak usah jemput ya, soalnya Dila nanti dijemput sama Alan." Adila menjelaskan pada Fano, di sebrang meja sana ada yang dengan gusar berfikir.
"oh... udah ada yang gebet, keduluan dong." Gusar Zulfikar didalam hati.
"Dil, kamu sudah kenal belum sama Zulfikar?" Mama bertanya pada Adila yang sedang mengoles roti dengan selai kacang faforitnya.
Mata Adila tertuju pada mama dan abangnya.
"Kenalin Dil ini Zulfikar, temen Abang dari SMA." Jelas Fano yang sedang mulai menyesap susu dihadapannya.
"Zulfikar." Sambil mengulurkan tangannya, bukannya disambut Adila malah mengapitkan telapak tangannya dan berkata.
"Waalaikum salam warohmatullah." Jawab Adila yang mengundang senyum Fano.
"Dila, memangnya Alan gak jemput kamu di rumah saja? tumben sih langsung jalan emang kamu bawa baju ganti." tanya mama yang heran dengan penjelasan Adila tadi.
"Iya mah, soalnya latihan nanti mulainya jam 2 siang, terus Alan kan harus jemput Hafiz dan Citra." Jelas Adila lagi, Adila megambil kotak makannya dan segera menuju ruang tamu.
Mama yang mengikuti Adila dari belakang alih-alih memberi botol minum.
"Dil." Panggil mama
"iya, mama ada apa?"
" Botolnya ketinggalan, oh iya Dil, kamu pamit dulu sana sama Abang dan Zulfikar, gak sopan ada tamu malah ditinggalin gitu aja.
Adila masuk kembali ke ruang makan dan mencium tangan abangnya. Zulfikar hanya melirik. Dan disambut dengan perkataan yang tidak enak dari Fano. "Heh... Homo, ngapain lu ngeliatin ade gue, mau gue gebok lu, kenapa iri ya? kalo mau tiap hari disalamin kaya gini cepetan halalin!" Adila yang melotot ke Fano segera meremas tangan Fano.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!