Zenaya Auristella Winston, gadis cantik bermata hazel yang lahir dari keluarga terpandang dan berkecimpung dalam dunia medis. Sebagai anak bungsu, usia Zenaya hanya terpaut lima tahun di bawah sang kakak, Adryan Oliver Winston, yang kini tengah menyelesaikan pendidikan kuliahnya di kota lain.
Zenaya sendiri kini tengah menempuh pendidikan menengah atas di salah satu sekolah terbaik yang ada di ibu kota. Nilai-nilainya yang terbilang sangat cemerlang membuat sang ayah menaruh harapan agar sang anak bungsu bisa ikut mewarisi profesi keluarga mereka, seperti sang kakak.
Keluarga Winston juga memiliki rumah sakit swasta yang dibangun oleh kakek buyut Zenaya, dan kini dipegang penuh oleh Liam Chester Winston, sang kepala keluarga yang berprofesi sebagai dokter bedah onkologi ternama di sana. Sementara istrinya, Amanda Caitlyn Winston, merupakan seorang mantan perawat senior yang terpaksa harus pensiun dini akibat kecelakaan berat hingga menyebabkan penurunan fungsi kerja pada kedua tangannya.
Meski lahir di keluarga terpandang, Zenaya bukan orang yang pandai bergaul. Di kelasnya, ia lebih dikenal sebagai gadis pintar yang cukup tenang dan lebih senang menghabiskan waktu istirahatnya dengan membaca buku. Kendati demikian, Zenaya memiliki tiga sahabat karib yang mau berbagi suka dan duka bersama.
Sifat Zenaya yang sedikit tertutup membuat gadis itu tidak banyak mengukir cerita menarik di sekolah ini, selain hanya tentang persahabatannya dan juga tentang salah satu lelaki yang telah menjadi teman sekelas Zenaya selama tiga tahun berturut-turut.
Ia adalah Reagen Aaron Walker, lelaki berperawakan tinggi menjulang dengan bola mata berwarna coklat yang menawan. Reagen merupakan sosok lelaki tampan dan pintar, meski memiliki kepribadian yang dingin dan tidak suka melibatkan diri dengan banyak orang.
...***...
"Aw!" pekik Zenaya saat tubuhnya tanpa sengaja membentur dinding kelas akibat bertabrakan dengan seseorang.
Semula gadis itu hendak menegur si penabrak, tetapi mulutnya tiba-tiba kelu ketika mendapati sosok Reagen justru berdiri tepat di hadapannya.
Reagen melepas earphone-nya dan menatap Zenaya datar.
Mendapat tatapan demikian, Zenaya kontan tertunduk malu. "Maaf," ucapnya canggung.
Reagen menaikkan sebelah alisnya ... aneh dengan ucapan Zenaya yang malah meminta maaf, padahal ia yang bersalah karena telah menabrak gadis itu.
"Dasar aneh!" celetuk Reagen sembari berjalan menjauhi Zenaya.
Mendengar perkataan Reagen, Zenaya meringis nyaris menangis. Di hadapan lelaki yang disukainya, gadis itu baru saja bertingkah seperti orang bodoh.
"Kenapa aku yang minta maaf!" seru Zenaya dalam hati. Raut wajahnya terlihat sangat frustrasi dan malu.
...***...
Suara teriakan para siswi memenuhi lapangan indoor sekolah ketika melihat tim basket kesayangan mereka yang dipimpin oleh Reagen sedang berlatih. Zenaya pun tidak ingin melewatkan aksi lelaki itu dan ikut menonton di tribun bersama para sahabatnya dengan raut wajah berbinar-binar.
Mendapati raut wajah Zenaya yang begitu antusias menyaksikan Reagen berlatih, sontak membuat Emily dan Grace tertawa keras. Beruntung tawa mereka tidak mampu mengalahkan teriakan para gadis penggemar di sekeliling mereka.
"Rey! Rey!" teriak Grace tiba-tiba. "Tanggung jawab Rey, ada seorang gadis pendiam yang terpesona dengan ket–"
Belum sempat Grace menyelesaikan perkataannya, dengan beringas Zenaya langsung membekap mulut gadis itu.
Emily tertawa-tawa sembari memukul punggung Grace. "Dasar gila!"
"Jahil banget sih, kamu!" seru Zenaya marah.
Grace bergumam tak jelas, sebab mulutnya masih dibekap oleh Zenaya. Gadis itu memberi Zenaya isyarat untuk melepaskan dirinya terlebih dahulu.
"Maaf," ucap Grace terengah. Sedetik kemudian ia kembali tertawa sama kerasnya dengan Emily.
"Kamu sih, setiap kali menatapnya seperti orang bodoh. Sadar tidak sih, kalau ekspresimu barusan itu sangat lucu?" Grace mengecilkan suara tawanya. Gadis itu sama sekali tidak takut akan tatapan tajam Zenaya.
Zenaya seketika mengendurkan tatapan matanya pada sang sahabat. "Serius?" tanya gadis itu panik.
"Lah, tidak sadar rupanya!" timpal Emily.
Zenaya kontan meringis. Matanya lalu menatap ke arah Reagen yang sedang fokus menggiring bola, dan hanya dalam hitungan detik lelaki itu sukses mencetak poin kembali.
Suara riuh dari para siswi yang meneriaki nama Reagen membuat Zenaya ikut merasakan euforia. Namun, itu tidak berlangsung lama, sebab Natalie, gadis popular yang tengah dekat dengan Reagen, tiba-tiba memasuki lapangan basket sembari membawa minuman dan juga selembar handuk. Gadis itu membantu Reagen mengelap peluh di dahi dan lehernya.
Para siswi yang melihat dari tribun penonton pun bersorak penuh kedengkian saat melihat adegan romantis tersebut.
Gadis yang merupakan anak dari pemilik yayasan sekolahnya itu memang diketahui sedang dekat dengan Reagen selama satu tahun terakhir ini, dan dari kabar yang berembus seantero sekolah, mereka berdua memang tengah dijodohkan.
Zenaya menghela napasnya yang mulai terasa berat.
"Tidak usah kecewa begitu. Ayo, lebih baik kita menyusul Alice ke perpustakaan." Tepukan Grace menyadarkan lamunan Zenaya. Ketiganya pun berlalu meninggalkan kursi penonton.
"Kamu pasti lelah, kan? Istirahat dulu saja, aku bawa bekal makan siang." Natalie menarik tangan Reagen ke tepi lapangan, dan Reagen pun memberi isyarat pada anggota timnya untuk beristirahat sejenak. Mata lelaki itu tanpa sengaja melirik ke arah tribun penonton, tepat di mana Zenaya duduk bersama kedua temannya. Gadis itu terlihat berdiri dan keluar dari sana.
"Rey, kamu melamun?" tanya Natalie.
Reagen tersadar lalu menggelengkan kepalanya. "Ayo," ajak lelaki itu sembari membalas genggaman tangan Natalie.
...***...
"Rey!" panggil Bryan, sahabat kental Reagen. "Ayo, kita kumpul bersama anak-anak!" ajak lelaki itu sembari merangkul bahu sahabatnya. Mereka bersama beberapa siswa popular lainnya memang senang berkumpul di rooftop sekolah. Bahkan, berkat bantuan Natalie, mereka diberi izin untuk membuat ruangan khusus di sana.
"Aku ingin langsung pulang ke rumah." Reagen mempercepat langkahnya. Bryan yang masih merangkul bahu lelaki itu kontan saja berjalan terseok-seok demi mengimbangi langkah kakinya. Maklum, perbedaan tinggi badan mereka cukup signifikan. Reagen memiliki tinggi badan 182 centimeter, sementara Bryan hanya 171 centimeter.
"Kau oke, kan?" tanya Bryan sembari melepas rangkulannya.
"Cuma lelah." Jawab Reagen tanpa minat. Akhir-akhir ini lelaki itu memang sangat sibuk berlatih basket untuk mempersiapkan pertandingan antar sekolah yang akan diadakan minggu depan.
"Ya sudah, hati-hati di jalan, Bro!" Bryan melempar senyum dan menepuk pundak sahabatnya itu.
"Hmm!" Reagen membenarkan posisi ranselnya, sebelum kemudian berbelok menuju tempat parkir yang letaknya tak jauh dari gerbang sekolah.
Bryan memperhatikan Reagen dari jauh. Ia yang telah lama mengenal Reagen tentu saja memaklumi sifatnya tersebut. Butuh usaha keras setiap kali mengajak lelaki itu berkumpul dan ini bukanlah satu-satunya ajakan Bryan yang gagal total.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Karya baru telah datang. Semoga kalian suka dengan novel baru saya ini.
Sebagian besar naskah di novel ini sudah saya buat sejak tahun 2019, hanya nama-nama MC-nya dan latar belakang cerita ini saja yang sempat berubah-ubah.
Mohon untuk menghargai dan bijak dalam menyikapi isinya. Mungkin saja ke depannya akan ada hal-hal yang sekiranya kurang sesuai dengan apa yang kakak-kakak inginkan.
Maaf juga jika tulisan saya masih kurang rapi atau kurang enak dibaca. Saya selalu berusaha memperbaikinya.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih banyak bagi Kakak-kakak yang sudah senantiasa menunggu cerita-cerita dari saya.
Jangan lupa untuk favoritkan cerita ini, like, komen, rate, vote dan gift sebanyak-banyaknya ya, Kakak-kakak.
Saya mencintai kalian, 😘❤️❤️
Zenaya menajamkan indera pendengarannya ketika mendengar bunyi pantulan bola dan decitan sepatu yang bergema di lapangan indoor yang sepi ini. Demi memenuhi rasa penasaran, gadis yang baru datang ke sekolah itu memutuskan untuk membuka pintu lapangan tersebut.
"AWAS!" Suara teriakan menggema keras, disusul sebuah bola yang melesat mengenai dahi Zenaya seketika.
Zenaya yang belum menyadari apa yang terjadi sempat terdiam sejenak, sebelum akhirnya terhuyung dengan pandangan mata memburam seketika.
"Hei, kau tidak apa?"
Sebuah tangan tiba-tiba memegang lengannya, menahan agar ia tidak jatuh ke lantai.
Zenaya yang terkejut sontak mengangkat kepalanya begitu mendengar suara lelaki tersebut. Reagan ternyata yang baru saja memeganginya agar tidak terjatuh.
"Kau pasti sensitif sekali. Dahimu yang terkena bola, tapi seluruh wajahmu ikut memerah," kata Reagen yang telah melepas pegangan tangannya pada lengan Zenaya, tapi kini menyentuh dahi gadis itu lembut.
Terkejut dengan tindakan Reagen, Zenaya refleks menepis tangannya dan memalingkan wajah. "Ma–maaf," ucap Zenaya terbata-bata.
Reagen menaikkan sebelah alisnya. "Dasar aneh! Jangan biasakan meminta maaf kalau bukan kau yang salah!"
Zenaya tersentak seketika, sebab dari kalimat yang terlontar, lelaki itu berarti masih mengingat dirinya.
"Tunggu di sini, biar kubelikan obat untuk memar di dahimu," kata Reagen kemudian.
Zenaya menggeleng cepat. "Tidak perlu, dahiku baik-baik saja. Ma—maaf kalau kegiatan pagimu terganggu, aku permisi dulu." Gadis itu tersenyum tipis lalu bergegas pergi meninggalkannya.
Reagen hanya bisa menatap kepergian Zenaya tanpa berniat menahannya, padahal ia juga belum meminta maaf pada gadis itu.
"Eh, kamu kenapa, Zen?" Alice hampir saja kehilangan keseimbangan, saat Zenaya berlari masuk ke kelas dan langsung memeluk erat dirinya.
"Loh, keningmu kenapa merah begitu?" tanyanya lagi dengan raut cemas saat mendapati memar kemerahan di kening sang sahabat.
Zenaya tersenyum sembari mengelus dahinya yang lembut. "Entahlah, aku harus bersyukur atau tidak karena mendapatkan ini."
Mendengar jawaban Zenaya, Alice mengerutkan keningnya dalam-dalam. "Hah? Maksudmu apa?"
Zenaya menggeleng lalu terkikik kecil dan memeluk Alice kembali. "Dia ingat padaku!" bisiknya di telinga sang sahabat.
"Ingat apa? Siapa?" tanya Alice masih tak mengerti.
Zenaya lagi-lagi melepas pelukannya. "Nanti saja." Ia meletakkan jari telunjuknya ke bibir Alice, sebelum kemudian duduk di kursinya sendiri.
Alice menatap Zenaya dengan pandangan aneh. "Kurangi membaca buku-buku yang rumit, otakmu sudah mulai geser!" celetuknya.
...***...
"Wah, datang juga kau, Bro!" seru Leon, siswa tampan berpenampilan urakan, saat Reagen masuk ke dalam markas kecil mereka di rooftop sekolah.
Reagen enggan menanggapi tingkah sok akrab Leon dan lebih memilih duduk di sebelah Zack yang sedang sibuk bermain game.
"Sudah berhari-hari hari kau tidak ikut berkumpul di sini. Kenapa, bro?" tanya Zack tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi.
"Tidak apa-apa." Jawab Reagen singkat. Ia hanya menonton aksi Zack bermain game sendirian, sementara Xander tengah asyik menelepon di pojok ruangan. Lelaki itu pasti sedang menelepon Sherly, kekasihnya yang baru duduk di kelas satu.
Tidak lama berselang, Bryan datang bersama Natalie sembari membawa dua buah kantong plastik besar.
"Akhirnya datang juga! Untung aku beli makan siang lebih." Bryan menendang tangan Zack agar tidak berpangku pada meja, lalu meletakkan plastik makanan tersebut di atasnya.
Tanpa menghiraukan kata-kata kasar Zack, Bryan mengeluarkan seluruh makanan dan minuman yang baru saja ia beli dari dalam kantong plastik.
Natalie mengambil kesempatan untuk duduk di sebelah Reagen, begitu Zack mematikan game-nya dan beralih pada makanan yang dibawa Bryan.
"Kita makan berdua, ya? Aku tidak akan bisa menghabiskan satu porsi sendirian," ujar Natalie dengan suara selembut mungkin. Gadis itu mengambil seporsi makanan instan dan membukanya. Kepulan asap dari makanan tersebut sukses menghipnotis indera penciuman orang-orang yang ada di sana.
"Aku bisa makan sendiri." Reagen berusaha mengambil sendok dari tangan Natalie, tetapi gadis itu menolak. Ia malah mengambil sesendok makanan tadi dan mengarahkannya pada mulut Reagen setelah meniupnya beberapa kali.
Reagen mau tak mau menerima suapan Natalie.
"Cih, kalian ini selalu saja bermesraan, tapi tidak pernah mengikrarkan janji untuk menjadi sepasang kekasih!" sahut Zack dengan mulut penuh makanan. Lelaki itu tengah duduk di lantai sembari menikmati makanannya sendiri.
Natalie menatap sinis Zack lalu dengan beringas menendang makanan lelaki itu.
"Brengsek!" umpat Zack kasar. Hampir saja kakinya tersiram kuah panas jika ia tidak sigap menahannya.
"Ada saatnya. Kami sedang menikmati masa-masa pendekatan seperti ini dulu!" seru Natalie sinis.
Zack tertawa. "Itu menurutmu, tapi tidak dengan Rey!" Lelaki itu melirik Reagen yang tampak enggan bergabung dalam obrolan mereka berdua.
"Sok tahu sekali kau!" Natalie menoleh pada Reagen. "Coba katakan pada manusia-manusia gila yang ada di ruangan ini, bahwa kita memang sedang pendekatan! Iya, kan?" Natalie meminta persetujuan Reagen.
Reagen hanya terdiam. Lelaki itu malah mengambil sendok dari tangan Natalie.
Natalie mengerutkan keningnya saat tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut lelaki pujaannya tersebut. Ia tampak sangat marah begitu mendengar tawa keras Zack yang tengah mengejeknya.
"Zack, hentikan tawamu!" tegur Bryan yang sedari tadi hanya memperhatikan tingkah mereka.
Baru saja Natalie hendak menghampiri Zack, teriakan Xander mengalihkan perhatian mereka.
"Gila, gila, gila! Kalian tahu Mona, anak kelas dua berpenampilan culun, tapi memiliki bokong yang seksi itu?" tanya Xander tiba-tiba.
"Kenapa?" Bryan balik bertanya.
"Gadis itu baru saja dijadikan taruhan oleh Dave dan kawan-kawannya, Bro! Parahnya lagi, si brengsek itu menang dan berhasil meniduri Mona!" Xander tertawa keras setelah mengatakan hal tersebut.
"Gadis tolol!" umpat Natalie sebelum kemudian ikut tertawa. Zack dan Leon tak kalah terpingkalnya dengan Xander, hanya Reagen dan Bryan saja yang tidak tertawa dan menatap mereka datar.
Jika saja keduanya bukan berada di tim basket yang sama, mustahil mereka ikut bergabung dengan orang-orang brengsek itu.
Xander menghentikan tawanya. "Eh, bagaimana kalau kita juga membuat permainan yang sama?" usul lelaki itu tiba-tiba.
"Gila!" umpat Zack.
"Ya tidak perlu sampai sejahat itu. Kita cuma akan memainkan peran sebagai kekasih palsu saja selama satu semester!" kilah Xander. "Ya, tapi kalau mau seperti Mona sih, tidak apa-apa juga." Tawa keras kembali keluar dari mulut Xander.
Reagen mengeratkan genggaman tangannya pada sendok yang ia pegang. Seorang gadis baru saja dihancurkan masa depannya dan mereka semua malah menertawakan hal tersebut. Belum lagi salah satu dari mereka berniat melakukan permainan yang hampir sama.
"Gadisnya?" tanya Leon.
"Jangan orang terdekat atau yang kita kenal, tidak akan seru! Bagaimana kalau diacak saja? Setuju semua?" Xander menatap semua orang yang ada di sana.
"Jadi, kalau Reagen yang kena, dia harus berpacaran dengan gadis random pilihan kalian?" tanya Natalie.
Xander menganggukkan kepalanya dengan semangat.
Natalie tidak terima. Ia pun berdiri dari tempat duduknya. "Enak saja! Aku tidak akan pernah rela!" Mata gadis itu memicing sinis pada Xander, sebelum kemudian beralih pada Reagen. "Kamu mau ikut permainan sialan mereka?" tanya Natalie geram.
Reagen mengembuskan napasnya lalu ikut berdiri. "Aku akan kembali ke kelas. Hentikan rencana konyol kalian!" Lelaki itu pun pergi meninggalkan ruangan.
Natalie tersenyum sinis pada Xander dan menyusul Reagen keluar dari sana.
Mengetahui kepergian sahabatnya, Bryan pun menyusul. "Bereskan semua ini!" perintahnya sebelum menutup pintu.
"Sialan!" umpat Xander. "Kalau bukan karena cantik dan anak dari pemilik yayasan ini, sudah kutendang dia dari sisi Reagen!" Mata Xander menatap nyalang pintu ruangan, tempat di mana Natalie keluar tadi.
"Eh, bagaimana kalau kita buat Reagen yang menjalani permainan ini." Zack dengan raut wajah licik merangkul Xander.
"Caranya?" tanya Xander.
"Kau lihat saja nanti," jawab Zack tersenyum penuh arti.
"Jadilah kekasihku!"
Zenaya spontan menjatuhkan buku fisika dalam dekapannya saat mendengar penuturan Reagen barusan. Pasalnya, lelaki yang telah tiga tahun ia sukai itu baru saja menyatakan perasaannya di kelas yang telah sepi ini secara tiba-tiba.
Zenaya terpaku di tempat. Gadis itu sama sekali tidak memercayai apa yang baru saja didengar telinganya.
Ia pasti salah dengar!
Seantero sekolah tahu tentang kedekatan Reagen dan Natalie selama satu tahun terakhir ini, dan hanya tinggal menunggu waktu saja sampai mereka benar-benar menjadi sepasang kekasih yang mungkin akan langsung menapaki hubungan lebih serius setelah kelulusan sekolah.
"Kau dengar aku?" Suara berat Reagen kembali terdengar di telinga Zenaya. Wajahnya tampak serius dan datar, seolah yang dikatakannya barusan memang bukan lelucon semata.
"Demi Tuhan, apa yang ada dipikirannya?" gumam Zenaya dalam hati.
Zenaya lantas menatap sekeliling ruangan kelas guna memastikan bahwa memang dirinya lah yang sedang diajak bicara oleh Reagen.
"Tidak ada siapapun di sini dan aku sedang bicara padamu!" Reagen menegaskan diri ketika menyadari tingkah Zenaya.
Zenaya lagi-lagi merasa bodoh di hadapan lelaki itu. Kelas memang sudah kosong sejak tadi, mengingat bel telah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu.
"Aku tidak akan mengulanginya lagi!" Sorot mata Reagen berubah. Dia tengah menuntut jawaban Zenaya.
"A–aku ...," Tidak mampu meneruskan perkataannya, gadis itu hanya mampu menganggukkan kepala tanda setuju.
Melihat respon Zenaya, Reagen yang semula memasang raut wajah dingin kini melunak seketika.
"Kuantar kamu pulang," katanya kemudian, sembari menggenggam hangat tangan mungil Zenaya.
Zenaya terhenyak. Panggilan Reagen padanya berubah, dan sekali lagi ia merasa kejadian ini begitu cepat. Reagen yang tidak pernah berinteraksi dengannya tiba-tiba menyatakan perasaan. Meski terasa sangat ganjil, rasa cinta Zenaya yang mendalam membuat berbagai macam spekulasi hilang dari pikirannya.
Ia bahkan tidak mau repot-repot memikirkan hubungan Reagen dengan Natalie. Bisa saja, sejak awal Reagen memang menaruh perasaan padanya diam-diam, seperti yang ia lakukan selama ini.
...***...
Tidak butuh waktu lama sekolah mendadak gempar saat mengetahui hubungan Reagen dan Zenaya. Banyak dari mereka yang sangat terkejut dan menyayangkan sikap Reagen karena telah mengkhianati Natalie. Mereka bahkan menuding Zenaya telah merebut Reagen dari gadis malang itu.
Zenaya tidak bisa menghindari tatapan dengki dan cemoohan para siswi di sekolah. Gadis itu hanya bisa mempercepat langkah kakinya setiap menuju kelas. Namun, kini, saat hendak melewati beberapa orang siswi popular yang tengah berkerumun, seseorang tiba-tiba dengan sengaja menabrak bahu Zenaya keras hingga membuat gadis itu jatuh ke lantai.
"Ups, maaf ... sengaja!" Suara tawa dari para siswa dan siswi sontak menggelegar memenuhi koridor sekolah.
Sambil menahan malu, Zenaya bergegas mengambil ranselnya yang lepas dan kembali berdiri.
"Eh, mau ke mana cantik?" Siswi yang menabrak Zenaya barusan langsung menahan bahunya agar tidak pergi dari sana.
"Maaf, aku mau ke kelas, dan aku tidak punya urusan dengan kalian," ujar Zenaya pelan.
"Wow, sombong sekali si gadis pintar ini! Mentang-mentang sudah jadi pacar kapten tim basket kita!" Siswi tersebut berkata lantang sambil menatap sinis Zenaya.
"Heh, jangan sok cantik dan besar kepala kau! Hanya teman kami, Natalie, yang pantas bersanding dengan Rey! Bukan gadis sok sepertimu! Jadi, segera putuskan hubunganmu dengan Reagen!" pekik gadis itu. Ketiga temannya yang juga berada di sana ikut menekan dan mengintimidasi Zenaya.
Meski sedikit takut, Zenaya berusaha tidak memerdulikan ucapan mereka. Ia mulai bergerak menjauhkan dari sana. Namun, para gadis itu malah menjambak rambutnya secara brutal.
Zenaya berteriak kesakitan sambil berusaha melepaskan diri. Matanya telah basah. Namun, bukannya mendapat simpati dari para siswa-siswi di sana, mereka justru menertawakan Zenaya dan memotretnya.
"To–tolong, lep–paskan!" pinta Zenaya parau sambil terus berusaha melepaskan diri.
"Enak saja! Lepasin dulu Rey, Kalau tidak ...." Gadis itu semakin keras menarik rambut Zenaya, tanpa memerdulikan teriakan kesakitannya.
Alih-alih menuruti permintaan tersebut, Zenaya dengan suara terbata-bata memohon untuk dilepaskan saat itu juga.
Suara cemoohan semakin terdengar ramai, mereka ikut menghakimi dan menyudutkan Zenaya. Tidak ada satu orang pun yang memihaknya, sebab Natalie merupakan putri pemilik yayasan sekolah.
Air mata pun mengalir membasahi pipi Zenaya. Sebesar itukah dosanya mencintai seorang Reagen? Mereka bahkan sama sekali tidak tahu bahwa Reagen lah menyatakan perasaannya lebih dulu.
Haruskah ia mengatakan yang sebenarnya?
Zenaya langsung menggelengkan kepalanya samar. Siapa yang percaya pada kata-kata yang keluar dari mulutnya saat ini? Bisa saja hal tersebut malah akan menjadi boomerang untuk dirinya sendiri di kemudian hari.
"Katakan bodoh!" Gadis itu semakin menarik rambut Zenaya hingga beberapa helaiannya jatuh ke lantai. Salah satu di antara mereka bahkan mendekati Zenaya dan berniat untuk melayangkan tamparan pada pipi gadis itu. Namun, sebuah tangan kokoh lantas menahan lengan si gadis lebih dulu.
"Berani menyentuhnya, kupatahkan tanganmu!" Reagen menatap gadis itu dingin lalu menghempaskannya kasar. Lelaki itu juga meminta gadis yang sedang menjambak Zenaya segera melepaskannya.
Dengan wajah ketakutan, ia pun melepaskan Zenaya.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Reagen sembari menghapus air mata Zenaya.
Zenaya menganggukkan kepalanya tanpa mampu berkata-kata.
Reagen menggenggam tangan Zenaya dan berbalik menatap kerumuman siswa-siswi yang masih berada di sana.
"Akulah yang lebih dulu menyatakan perasaan padanya, jadi, kuharap tidak akan ada lagi kejadian seperti ini! Jika di kemudian hari aku masih mendapati Zenaya diperlakukan seperti ini, jangan harap hidup kalian akan tenang!" Sebuah peringatan keras terlontar lantang dari mulut Reagen.
Suasana mendadak sunyi. Bisik-bisik sinis yang tadi sempat terdengar kini tidak lagi bergaung. Aura di tempat itu terasa sangat mencekik hingga membuat mereka kompak menundukkan kepala.
Zenaya meremas tangan Reagen, seolah memberi isyarat bahwa ia enggan berlama-lama berada di sana.
Reagen yang memahami suasana hati Zenaya segera membawa gadis itu pergi menuju kelas mereka.
Natalie yang rupanya memerhatikan kejadian tersebut dari jauh hanya bisa memandang kepergian mereka dengan hati teriris.
Reagen baru melepaskan tautan tangan mereka, saat Zenaya sudah duduk di kursinya.
"Terima kasih," ucap Zenaya lirih. Wajah gadis itu masih terlihat syok. Maklum saja, seumur-umur ia belum pernah terlibat dalam kasus pembullyan, apa lagi sampai menjadi korbannya.
"Kamu benar tidak apa-apa?" tanya Reagen khawatir.
Zenaya menganggukkan kepalanya.
"Mulai besok kita akan berangkat dan pulang sekolah bersama. Aku tidak ingin kejadian seperti tadi terulang."
Zenaya lagi-lagi hanya bisa menganggukkan kepala tanda setuju.
Beberapa saat kemudian ketiga sahabat Zenaya masuk ke dalam kelas dengan terburu-buru. Mereka langsung menghampiri gadis itu guna menanyakan keadaannya. Mereka tentu sudah mendengar kejadian yang menimpa Zenaya barusan, Grace bahkan hampir saja menampar salah satu siswi yang tengah bergosip di depan loker.
Melihat kedatangan sahabat Zenaya, Reagen pun memutuskan pergi menuju kursinya sendiri.
"Aku tidak apa-apa. Untung saja ada Rey yang datang tepat waktu." Zenaya tersenyum.
Emily yang tengah membantu Zenaya merapikan rambutnya kontan terdiam. Gadis itu melakukan kontak mata pada Alice dan Grace.
Jujur saja, mereka sama sekali belum memercayai Reagen.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!