NovelToon NovelToon

Moccacino

Bab 1 - Moccacino

Gadis itu termenung memandang laptop-nya. Lembar kerjanya masih putih, itu pertanda ia tak dapat menemukan satu kata sekalipun untuk ditulis. Cangkir yang tadinya terisi penuh oleh moccacino hangat, kini telah tandas. Gadis itu sesekali melirik botol anggur di lemari bar-nya tapi gadis itu sama sekali tidak bergerak dari duduknya. Alkohol hanya membuat khayalan terlalu jauh dari alur sebenarnya menurut gadis itu.

Beberapa kali jarinya menyentuh huruf-huruf lalu dihapusnya kembali. Jari mungil gadis itu mengetuk-ketuk meja belajarnya sendiri menimbulkan suara yang memecah sepinya ruang itu. Saat jari gadis itu berhenti, ruangan itu kembali terasa sepi.

Ruangan sepi itu merupakan ruang kerjanya. Sebuah meja belajar, meja kerja tersendiri, satu set sofa, disertai beberapa lemari mempermanis ruangan itu. Warna kuning dan coklat pastel mendominasi ruangan ini. Salah satu dinding dicat kuning pastel dan sisanya adalah coklat pastel. Terlihat sangat nyaman untuk bekerja disana.

Meja belajar bercorak kayu itu sepertinya sengaja diciptakan hanya untuk laptop besar yang terlihat usang terbukti dengan laptop yang tak berpindah sama sekali dari meja tersebut. Tapi nyatanya, meja belajar itu tak tercipta untuk laptop saja, meja belajar itu dilengkapi dengan beberapa rak. Siapapun bisa melihat bahwa pada bagian atas terdapat ambalan yang diisi oleh buku – buku teori psikologi, desain interior, dan seputar per-coding-an. Dibawahnya beberapa binder dan alat elektronik yang tak selalu dipakai gadis itu. Dan di rak paling bawah juga rak paling besar terdapat beberapa tas dengan ukuran yang cukup besar. Tak sebatas itu. Meja belajar itu masih memiliki ambalan di bagian meja yang digunakan untuk menaruh laptopnya. Terdapat lampu belajar berwarna putih membuat kegiatan gadis itu asyik. Ditambah juga beberapa papercraft dari karakter superhero kesayangannya, Ironman. Alat tulis diletakan rapi dalam sebuah wadah. Pernak – pernik yang lucu namun tak cukup penting mendominasi dua lantai ambalan tersebut.

Berbeda dari meja belajarnya, Ia akan melakukan pekerjaan yang memerlukan tangannya untuk menulis disini, di meja kerja berwarna sama dengan meja belajarnya. Walau terdapat dua meja di ruangan ini, gadis itu hanya menempatkan satu kursi kerja dengan roda dibawahnya. Di depan meja kerja terdapat set sofa kecil berwarna coklat pastel ditambah meja kaca di antara sofa tersebut.

Sepertinya gadis itu masih memerlukan secangkir moccacino lagi. Ini sudah gelas ketiga moccacino tapi rasanya gadis itu belum puas. Sekedar informasi, gadis itu setiap hari meminum moccacino, apalagi di saat-saat seperti ini.

Jam berlalu sangat cepat. Kini sudah pukul sembilan, Gadis itu harus segera tidur jika tak mau terlambat ke gereja besok pagi. Bukannya tak ada jam lain untuk menghadiri kebaktian minggu besok, tapi Gadis itu memiliki jadwal pelayanan biola besok pada kebaktian pagi.

Gadis itu menutup macbook miliknya lantas keluar ruang kerja sambil membawa gelas yang digunakan tadi. Gelas tadi diletakkan di bak cuci dapur. Selanjutnya gadis itu menutup tirai di apartemen dengan remote control lalu menghilang di balik pintu kamar.

November 2014, dirinya sudah bulat untuk memiliki apartemennya sendiri. Apartemen yang cukup luas baginya. Apartemen yang ia desain sendiri. Semua perabot, pernak - pernik, cat dinding hingga engsel pintu, ia sendiri yang memilih.

Gadis itu tersenyum bangga melihat apartemennya yang sudah siap menjadi tempatnya berteduh. Ini adalah hari pertama ia akan tinggal sendiri. Bersamaan dengan itu, Gadis ini memilih untuk resign dari kantornya untuk mengejar mimpinya selama ini. Selama empat tahun ia telah kerja mati-matian untuk berada di titik ini. Titik dimana ia akhirnya memiliki brand street food yang cukup dikenali di Singapura, eatkuy. Titik dimana ia berhenti mencari materi. Titik dimana ia benar – benar mantap untuk masuk ke dunianya sendiri. Titik dimana kehidupannya yang sebenarnya baru saja dimulai. Titik dimana akhirnya ia mantap untuk kembali ke kota asalnya, Semarang.

Gadis itu melemparkan diri ke sofa abu – abu di ruang tengah sekaligus ruang tamu apartemennya. Ia memandangi apartemen yang cukup luas itu. Tak lama pintu masuk apartemennya terbuka, masuklah seorang pria yang memasuki umur 28 tahun. Di tangan pria itu menggenggam cangkir kertas kopi, moccacino, kesukaan gadis itu. Di cangkir kertas itu tercetak jelas brand coffee shop ternama di dunia

“Thank you, honey,” ucap gadis itu sambil menatap kekasihnya penuh cinta disusul pria itu yang duduk di sofa yang sama dengannya. Pria itu merangkul pundak gadisnya, dan sebatas itu.

“Finally, baby. I’m happy for you,” ucap pria itu dengan tatapan cinta yang tak kalah dengan gadis itu. Gadis itu mencium pipi kekasihnya penuh cinta. Gadis itu berwajah asia dengan kulit kuning langsat ditambah tubuh yang mungil membuat semua orang yang melihatnya langsung berpikir gadis itu merupakan murni keturunan asia. Pria yang merasakan bibir di pipinya tersenyum bahagia. Rambut pria itu sedikit coklat namun berwajah asia. Orang-orang heran saat bertatapan dengannya. Matanya berwarna abu terang ditambah tinggi yang semampai. Orang akan berpikir pria ini keturunan asia dan eropa.

Setelah bercengkrama cukup lama, Andi berpamitan pada gadisnya dan pulang. Rasanya apartemen gadis itu kosong tanpa kehadiran Andi. Disesap moccacino yang tak lagi hangat itu perlahan. Setelah memastikan cangkir kertas itu berada di tempat sampah, gadis itu mulai berjalan ke kamarnya dan tidur.

Juni 2019, gadis itu bangun lima belas menit setelah alarm pertamanya berbunyi. Ini masih pukul lima pagi tapi semangat pelayanan gadis itu tak pernah luntur. Ia sudah terlanjur jatuh cinta pada pelayanannya. Gadis itu tahu bahwa apa yang ia miliki kini berasal dari yang di atas. Yang dapat Ia lakukan hanyalah sekedar menjadi pelayan mimbar di gereja. Setelah mandi, segeralah Ia berpakaian dan tak lupa cologne bayi yang selalu digunakan sejak duduk di bangku SMA. Wewangian ini dan dirinya seakan memang sudah disatukan. Memulas sedikit wajahnya menambah kesan manis dan segar di wajahnya. Wajah gadis itu sungguh terawat dapat dipastikan Ia cukup telaten merawat dirinya sehingga kulit putihnya terlihat mulus nan lembut.

Disambarnya sandwich instan dan biolanya. Segera kakinya berjalan ke mobilnya yang berada di parkiran bawah tanah gedung apartemen ini. Bukan mobil mewah yang biasa digunakan gadis itu untuk menghadiri rapat tapi hanya sebuah Honda Brio tahun 2017. Makan sambil menyetir sudah menjadi tabiatnya jika harus pergi pagi – pagi seperti ini. Ini bahkan belum lewat setengah enam pagi.

Saat mobilnya sampai di depan gereja, parkiran masih sepi, hanya beberapa mobil yang terparkir. Segera gadis itu turun. Udara dingin menusuk betisnya yang tak tertutup kain apapun. Sepertinya keputusannya untuk menggunakan gaun selutut ini agak salah. Gadis itu setengah berlari ke ruang Matius –ruangan yang biasanya digunakan untuk persiapan ibadah- bukan karena terlambat tapi gadis itu tak terbiasa berlama – lama. Di dalam ruang Matius sudah ada seorang pria yang sangat Ia kenal. Itu teman Andi. Ia memang sengaja tak mengakrabkan diri lagi dengannya. Ia memilih diam di sudut ruangan sambil memeriksa biolanya.

“Cal,” panggil pria itu dengan suara beratnya. Baru saja Ia menengok, seorang wanita masuk ke ruangan itu. Istri pria itu rupanya.

“Koh!” Seru wanita itu memanggil suaminya. Gadis ini keluar ruangan  sambil membawa biolanya.

Seperti perkiraannya, kebaktian pagi memang jarang peminat tapi entah mengapa gadis ini sepertinya sudah jatuh cinta dengan ibadah subuh-subuh. Saat band mulai mengeluarkan suara, gadis itu menggesek biolanya dengan luwes. Hanya beberapa kesalahan tak berarti. Kini waktunya kembali ke dunia yang sebenarnya.

Seperti hari - hari sebelumnya, gadis itu akan segera pulang. Ada yang berubah dari wajahnya saat memasuki mobilnya. Tatapan sendu yang masih terpancar beberapa tahun ini. Mobilnya mengarah ke suatu tempat. Tempat yang menurutnya amat sejuk untuk disebut rumah. Tempat yang sepertinya menjadi favoritnya empat tahun belakangan ini.

Desember 2014. Ini natal. Setelah ibadah natal, Andi mengajak kekasihnya itu ke rumah. Tempat dimana keluarga Andi berkumpul. Tempat dimana suasana nyaman membuat gadis itu betah berlama – lama disana. Rumah keluarga Andi! Rumah utamanya tak terlalu besar, hanya memiliki empat kamar tidur termasuk kamar utamanya. Rumah ini lebih mirip rumah peristirahatan di masa tua, tapi nyatanya Andi dan kedua orangtuanya sudah tinggal disini sejak dulu. Rumah ini dilengkapi dengan halaman belakang yang cukup luas.

Andi biasa memanggil ayahnya dengan Otousan dan ibunya dengan Okaasan meski mereka tinggal di Indonesia. Otousan maupun Okaasan meminta gadis itu juga untuk memanggil mereka dengan panggilan tersebut, dan gadis itu tak punya pilihan lain selain menuruti keinginan calon mertuanya. Otousan yang merupakan orang Jepang asli, mengajarkan banyak filosofi – filosofi yang membuat gadis betah lama – lama bercengkrama dengannya. Filosofi yang menjadi favorit gadis itu adalah secangkir moccacino. Ya! Minuman favoritnya dan ternyata filosofi menurutnya maupun Otousan kebetulan sama. Di dalam moccacino terdapat kopi, susu, dan coklat. Kopi akan terasa pahit bagi orang yang tak terbiasa meminum nya. Tapi beberapa orang tersebut memerlukan kopi untuk tetap terjaga sehingga ditambahkan-lah susu dan coklat yang membuat rasa pahit itu tak terlalu dominan. Begitulah hidup. Saat kita belum terbiasa dengan berbagai masalah, akan terasa pahit saat kita merasakannya. Tapi dalam beberapa kasus, masalah itu datang bersamaan dengan sebuah kebahagiaan.

Malam itu, Okaasan meminta gadis manis itu untuk bermalam yang tentu saja ditolak pada awalnya. Tapi bukan Okaasan jika tak bisa membujuk orang. Dan akhirnya, mereka berempat menikmati malam di teras belakang ditemani makanan kecil dan canda tawa.

“Okaasan! Hentikan! Jangan mempermalukanku di depan gadisku!” sungut Andi saat Okaasan menceritakan masa kecil Andi. Gadis itu tak akan pernah tahu jika Andi pernah menangis karena mobil – mobilannya disembunyikan oleh otousan yang kesal karena Andi lebih memilih bermain dengan benda itu daripada otousan. Gadis ini akhirnya sama sekali tidak menyesali keputusannya untuk bermalam. Mengetahui hal - hal yang tak semua orang tahu adalah hal favoritnya, apalagi orang itu adalah pasangannya.

“Jadi Okaasan adalah WNI?” Tanyaku di tengah pembicaraan.

“Tentu!” Jawab Okaasan lantang.

“Tapi wajah Okaasan...,” kata gadis itu belum sempat selesai.

“Ya, wajah Okaasan lebih cocok disebut orang Jepang.” potong Otousan dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih.

“Sepertinya Otousan sangat memahami Okaasan,” puji gadis itu.

“Kau tahu apa yang paling penting dari suatu hubungan? Saling memahami! Jika kau tak pernah saling memahami, jangan harap hubungan itu dapat berjalan lancar!” Otousan mulai dengan sifat bijaknya.

“Percayalah untuk mencapai titik ini, kami berdua benar – benar harus mengorbankan ego kami,” tegas Okaasan menambahkan. Benar kata Okaasan.

Saat malam semakin larut, mereka berempat segera kembali ke kamar masing – masing. Gadis itu meletakkan punggungnya pada ranjang berharap dirinya segera terlelap tapi nyatanya tidak. Ia masih memikirkan hubungannya dengan Andi. Diambilnya ponsel yang berada di nakas. Panggilan pertamanya tak dijawab oleh Andi. Mungkin Andi sudah tertidur. Andi memang sangat suka tidur. Ponsel itu dikembalikan di atas nakas lagi. Gadis itu lagi – lagi melamun di atas kasurnya. Selimutnya Ia angkat hingga dada. Ponselnya berdering, segera gadis itu bangun untuk melihat siapa yang menelponnya. Andi.

“Halo?” Ucapnya.

“Halo? Ada apa?” jawab Andi di seberang sana.

“Kau... mengapa tak mengangkat panggilanku?” tanya gadis itu langsung ke intinya dengan nada berhati – hati.

“Maaf, kau tahu aku tak pernah bermaksud seperti itu,” jawab Andi.

“Lalu?”

“Aku baru saja berdoa, mendoakan hubungan kita,” jawaban Andi yang benar – benar membuat gadis itu tersipu sendiri di atas ranjangnya. Walaupun terdengar seperti rayuan manis seorang pemain wanita tapi itulah kenyataannya.

“Ehmm,” balas gadis itu yang Andi sudah tahu bahwa gadis itu tersipu.

“Kau tidak tidur?” tanya Andi mengalihkan pembicaraan.

“Sebentar lagi mungkin,” sergah gadis itu.

“Cepatlah tidur. Kau sudah lama tidak tidur dengan benar,” pria itu mengingatkan gadisnya.

“Iya – iya.”

Januari 2015. Lagi – lagi gadis itu menjadi bagian dari perayaan di keluarga Andi. Ini tak sekedar menjadi perayaan tahun baru. Semakin hari hubungannya dan Andi semakin membaik. Ini adalah keluarga besar dari Otousan. Tak heran jika kebanyakan memiliki struktur wajah orang Jepang.

“Lihatlah aku akan memiliki adik ipar yang sangat cantik!” Seru salah satu kakak sepupu Andi. Andi sendiri adalah anak tunggal dan menjadi yang paling muda di antara sepupu – sepupunya. Keluarga Andi sangatlah hangat, dan kehangatan itu disempurnakan dengan kehadiran bayi-bayi kecil yang amat menggemaskan.

“Kau harus segera menikahinya, bro! Sebelum laki – laki di luar sana merebutnya!” Seru kakak sepupunya yang memiliki badan yang paling kekar.

“Astaga! Dia masih 23 tahun!” Seru Andi tak mau kalah dari sepupunya. Gadis itu hanya dapat cekikikan sambil memangku salah satu bayi laki – laki bernama Peter.

“Aku menikahi Lucy saat Ia masih 20 tahun, dan itu tak masalah,” bantah sepupu Andi yang berbadan paling kekar tadi.

“Rasakan kau!” Seru sepupu Andi yang lainnya lagi. Gadis itu hanya dapat ikut tertawa bersama yang lainnya.

“Dan juga, sepertinya gadismu sudah mampu merawat anak. Lihat saja! Baby Peter yang sulit akrab pun merasa nyaman di pangkuan gadismu!” seru sepupu Andi yang berbadan kekar tadi. Sekedar informasi saja, Dia adalah Hansen. Hansen dan Istrinya, Maria, baru saja memiliki anak, dan itu adalah baby Peter yang kini di pangkuan gadis Andi. Baby Peter memang sulit untuk akrab serta merasa nyaman dengan orang baru, dan kini, baby Peter sangat akrab dengan gadis Andi itu.

Gadis itu pun mulai gemas terhadap baby Peter yang dengan santainya duduk dan mulai mengantuk. Ubahlah posisi baby Peter menjadi tidur di atas pangkuannya. Baby Peter seakan berkata “Jangan ganggu tidurku!” saat gadis itu membenarkan duduknya yang kurang nyaman. Sang ibu hendak mengangkat baby Peter dari pangkuan gadis itu namun seakan menolak, baby Peter mulai merengek. Gadis itu hanya terkekeh kemudian mendekap kembali baby Peter.

Juni 2019. Perjalanan menuju tempat Andi memakan waktu cukup lama. Angan gadis itu baru saja berkelana dimana Ia menghabiskan akhir tahun 2014 bersama keluarga Andi. Disinilah gadis itu mulai menyadari hal – hal yang tak pernah Ia pikirkan sebelumnya. Kenangan itu membawa cerita serta pesan tersendiri baginya. Ia merasa sangat beruntung pernah memiliki kenangan itu walaupun semua ini berakhir menyakitkan.

Februari 2015. Ini bukan kali pertama gadis itu menerbitkan novelnya. Nama gadis itu sudah cukup dikenal oleh beberapa kalangan. Peluncuran novel kali ini berjalan lebih menyenangkan menurut gadis itu. Memberikan pidato pembukaan singkat, kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab. Hal-hal yang selalu diimpikan gadis itu.  Saat kembali ke kursinya, Andi memberinya sebuah amplop yang entah apa isinya. Tanpa curiga dimasukan amplop itu pada tas jinjing yang dibawa. Setelah acara benar-benar selesai, Andi menggandeng gadisnya menuju mobil. Wajah keduanya berseri.

Jalanan Semarang saat ini cukup senggang. Teringat amplop pemberian Andi, gadis itu bergegas membuka tas yang ada di pangkuannya. Saat Gadis itu menarik kertas dari amplopnya, Ia menganga tak percaya. Hal yang selama ini selalu menjadi impian gadis itu.. Pergi ke Jepang! Di dalam amplop itu terdapat tiket penerbangan ke Tokyo pulang pergi! Gadis itu menatap kekasihnya yang masih menyetir tak percaya. Laki – laki itu hanya menatap jalanan dengan senyumnya.

“OMG! Thank you so much!” jerit gadis itu. Andi tahu bahwa jeritan itu menjadi jeritan pertama gadis itu setelah selama ini mereka kenal, yang tandanya, Gadis itu benar – benar bahagia.

“Just you, and only you. As your wish, baby,” kata Andi lembut dengan senyum tulus terukir di bibirnya. Selanjutnya hanyalah berisi kebahagiaan gadis itu atas pemberian Andi.

Gadis itu berangkat keesokan harinya. Gadis ini terlalu bersemangat untuk segera sampai di Tokyo. Hanya dia dan dirinya, seperti impiannya. Perjalanan kurang lebih enam jam telah Ia lalui. Gadis itu akhirnya menginjakan kaki di Narita International Airport. Gadis itu menarik koper besarnya berjalan mencari jalan keluar.

Tak banyak yang terjadi di Tokyo. Bukan hal istimewa hingga Ia harus diceritakan sedetail itu. Kebanyakan gadis itu berdiam di suatu taman ataupun cafe kemudian mulai mengeluarkan macbook-nya dan mulai mengetik kata demi kata. Seperti saat ini. Di salah satu sudut basecamp menuju puncak Gunung Fuji, gadis itu duduk manis dengan laptop di pangkuannya. Pengap rasanya di dalam basecamp terus – menerus. Gadis itu keluar dan duduk di sebuah pohon besar. Seperti biasa, segelas moccacino menemani gadis itu. Semburat merah di pipinya terlihat jelas.

Seorang gadis kecil menghampirinya memberikan sepucuk surat pada gadis yang menginjak usia dewasa itu. Gadis itu berbalik seketika setelah melihat isi surat itu. Seorang pria berdiri disana dengan sebuah buket mawar di salah satu tangannya. Gadis itu berjalan perlahan menghampiri pria itu. Iris mata gadis itu memancarkan kebahagiaan yang tak bisa dipendam. Senyumnya tak luntur sama sekali.

Andi berdiri di sana menunggu gadis itu menghampiri dirinya. Setelah jarak terkikis, semuanya terasa pelan. Semuanya terasa seperti di film – film. Suara angin, di bawah pohon teduh, gadis dan pria yang saling mencintai serta sebuket mawar merah. Saat keduanya saling berhadapan dengan jarak yang sangat dekat, Andi mengulurkan buket mawar tadi dan langsung diterima oleh gadisnya dengan bahagia. Sesaat kemudian Andi berlutut dengan satu kaki. Gadis itu sepertinya dapat menebak apa yang akan dilakukan kekasihnya itu. Pria itu merogoh saku jaketnya lalu mengeluarkan sebuah kotak cincin. Dibuka kotak cincin itu dan dihadapkan pada gadisnya.

“So, baby, will you marry me?” Lamar Andi. Gadis itu menganga kemudian mengangguk. Setetes air mata bahagia mengalir di sudut matanya. Andi memasangkan cincin itu pada jari gadisnya kemudian bangkit dari lututnya dan memeluk gadisnya yang mulai tersedu – sedu. Pemandangan Gunung Fuji sepertinya mendukung rencana lamaran pria itu. Setelah Andi bangkit lututnya, gerimis baru mulai turun sedikit demi sedikit.

Pada hari itu juga, gadis itu turun dari Gunung Fuji bersama tunangannya. Ya! Dengan bangga Ia akan memperkenalkan tunangannya pada semua orang. Seperti di toko roti, gadis itu dengan random berkata pada kasir di toko roti itu bawah pria di sebelahnya adalah tunangannya. Kebahagiaan ini terus berlangsung meski Andi pulang ke Semarang hari itu juga. Ada urusan pekerjaan yang memaksa pria itu harus segera pulang. Gadis itu menggandeng tunangannya dengan bangga hingga di pintu terakhir ia dapat mengikuti jejak Andi. Dilepaskannya gandengan itu kemudian Gadis itu memeluk tunangannya untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Tunangannya itu cukup terkejut, terlihat jelas dari reaksinya saat Gadis itu memeluknya. Gadis itu melepas tunangannya di bandara setelahnya ia pulang ke hotelnya kembali.

Entah mengapa hari terasa lambat. Gadis itu ingin segera pulang menemui kekasihnya. Dua hari setelah Andi pulang ke Semarang, gadis itu menyusul tunangannya pulang. Rasa bahagia akan bertemu tunangannya menyelinap di dalam hatinya. Rasanya sudah tidak sabar menatap mata abu tunangannya itu. Dengan senyum  yang tak pernah pergi dari bibirnya, Gadis itu menarik kopernya melalui banyak orang. Perjalanan dari Jepang menuju Semarang memakan waktu yang cukup lama. Sebuah berita yang ia terima, kakinya yang melangkah ke rumah duka. Semuanya terasa menyakitkan.

Andi meninggalkannya untuk selamanya. Tanpa pamit, tanpa kata perpisahan, tanpa penjelasan. Sebuah kecelakaan mengerikan membuatnya menghembuskan nafas terakhir seketika di jalanan menuju rumah orang tuanya. Gadis itu menatap tunangannya yang terbujur kaku di dalam peti di salah satu rumah duka di Semarang. Gadis itu lemas. Rasanya sakit di dalam sana. Rasanya Ia ingin mati saja. Pria yang menemani hari – harinya memilih berhenti dengan cara paling menyakitkan. Sungguh, ini adalah patah hati terhebatnya. Okaasan menghampirinya kemudian merangkul pundak gadis itu, memeluknya dengan cinta kasih. Air mata gadis itu tak mampu lagi turun. Tubuhnya mematung di depan jasad tunangannya. Bahkan untuk sekedar berkedip gadis itu tak mampu. Rasanya dunianya sudah jungkir balik. Hatinya terasa sesak seakan ada beban berat yang menindihnya lama.

“Kenapa? Kenapa Andi pergi? Apa aku nakal? Apa Andi tidak mau lagi denganku? Apa dia sudah tidak mencintaiku? Apakah... apakah...,” racau gadis itu seakan tak sadar. Kemudian isakan demi isakan mulai keluar dari mulut gadis itu dengan sangat memilukan. Rasanya, dadanya sangat sesak. Gadis itu ingin menjerit sejadi - jadinya sambil memukuli tunangannya itu tapi yang terjadi hanyalah keduanya kaku di tempatnya. Andi kaku di dalam peti, sedangkan Gadis itu kaku berdiri di samping peti Andi. Gadis itu menangis tersedu – sedu. Okaasan setia disampingnya memeluk tunangan anaknya itu. Okaasan sangat mengerti rasa pahit yang harus ditelan gadis itu bulat – bulat. Hingga hari pemakaman Andi, gadis itu terlihat belum mampu merelakan Andi pergi.

Hari – hari selanjutnya berjalan amat lambat nan menyakitkan. Wajah gadis itu tetap kusut. Matanya tak memancarkan cahaya apapun. Lipatan mata gadis itu bengkak. Bibirnya pucat pasi. Tak ada hasrat untuk melanjutkan hidup.

Otousan maupun Okaasan sama sekali tak menyalahkan gadis itu, sedikitpun tidak. Mereka selalu menyemangati gadis itu, menyayangi gadis itu seperti anaknya sendiri, merawat gadis itu membangkitkan gadis itu dari titik terendah dalam hidupnya. Kedua orang tua itu pada akhirnya melepas gadis itu untuk kembali ke apartemennya empat hari setelah upacara pemakaman Andi dilakukan. Empat hari yang berjalan sangat lambat nan menyakitkan. Empat hari yang dihabiskan gadis itu dengan menyiksa diri dengan mengurung diri di kamar Andi.

*Moccacino***memang benar adanya. Ada saatnya hidupku sepertimoccacino. Saat bahagia itu menyatu dengan kesakitan, disitulah titik terendah hidupku. Dalam kasus-ku lamaran Andi dan kepergiannya adalah komposisimoccacinoyang sangat tepat. Dan kenangan manis coklat susu bercampur dengan pahitnya kopi yang menciptakanmoccacino. Manis di dalam kepahitan.**

Bab 2 - Genesis

Dia Calya. Calya Bina Genesa. Dia adalah anak tunggal. Dia adalah seorang penulis dan pemilik brand makanan. Saat ini Calya tinggal di Semarang walaupun bisnisnya berada di Singapura. Calya memiliki wajah asia dengan kulit kuning langsat. Calya adalah penikmat moccacino. Calya memiliki tunangan, namanya Andi tapi dia sudah memutuskan untuk tak lagi menemuinya selamanya.

Kau tahu bagaimana Calya dan Andi bertemu? Ini merupakan kisah cinta yang sangat klasik. Andi adalah kakak tingkat Calya di NTU. Saat itu Andi sedang menjalani pendidikan untuk gelar masternya dan Calya baru saja mengambil gelar sarjana. Andi baru mulai berkenalan dengan Calya di awal tahun keduanya duduk di bangku perkuliahan. Saat itu Andi adalah bekerja part-time di perpustakaan universitas sedangkan Calya baru saja mendirikan Eat Kuy yang tak jauh dari NTU. Sebuah pertemuan yang menjadi awal dari kisah Calya yang panjang.

Agustus 2011. Gadis itu memasuki tahun kedua duduk di bangku kuliah. Ini sudah nyaris pukul sembilan pagi. Calya baru saja memeriksa Eat Kuy cabang Sunshine Place. Kini Ia berada di dalam MRT menuju ke NTU. Membutuhkan waktu 45 menit untuk sampai di NTU. Dengan langkah lebar terkesan terburu, gadis itu berjalan cepat ke kelasnya. Tangga demi tangga  diinjak setengah berlari. Akhirnya dengan nafas terengah gadis itu tiba di depan kelas. Saat  pintu kelas terbuka, kosong.

“Hey, Calya. Mister Ken have to attend a meeting in Malay today, so today’s off,” kata salah satu teman sekelasnya yang gadis itu sendiri tidak tahu namanya. Gadis itu hanya mengangguk padanya lalu pergi. Tujuan satu – satunya kini adalah perpustakaan yang sudah menjadi tempat favorit gadis itu akhir – akhir ini. Perpustakaan dan gedung kuliah Calya merupakan dua gedung yang berbeda. Calya membutuhkan waktu setidaknya sepuluh menit untuk mencapai perpustakaan.

Perpustakaan hari ini sepi. Calya mengenal salah satu penjaganya. Ia adalah mahasiswa yang sekelas dengan Calya, Andien namanya. Andien merupakan orang Indonesia, sama seperti Calya. Andien mengambil kerja part-time disini. Biasanya Ia bekerja di shift pagi. Entah Calya tak melihatnya pagi ini. Calya menghampiri salah satu penjaga perpustakaan lainnya. Biasanya akan ada beberapa orang namun yang menjaga di front desk adalah orang yang sama sekali tidak pernah dilihat gadis ini.

“Can I help you, miss?” tanya penjaga perpustakaan itu ramah.

“Do you know Andien?” tanyaku langsung.

“Yes, miss.”

“Where is she now?”

“Oh she’s switching her shift with me,” kata pria itu.

“Oh gitu,” jawab Calya menggunakan bahasa Indonesia di luar sadar.

“Kamu orang Indonesia juga?” tanya pria itu tiba-tiba.

“Ya!” jawab gadis itu bersemangat. Calya sangat senang dapat bertemu sesama orang Indonesia disini.

“Hai! Aku Calya!” seru gadis itu kemudian menyodorkan tangannya. Pria di depannya sedikit terkejut kemudian menjabat tangan gadis itu balik.

“Aku Andi,” jawabnya lembut namun terdengar tegas lantas tersenyum.

“Nice to meet you!” seru gadis itu lagi kemudian berbalik meninggalkan pria bernama Andi itu. Setelah keluar dari perpustakaan, Calya kembali ke kamar dorm. Jadwal kelas hari ini sudah habis. Eat Kuy juga baik-baik saja. Calya memutuskan untuk tinggal di dorm karena sewa dorm ini cukup murah ketimbang tinggal di apartemen sendiri.

Hari – hari selanjutnya Calya sama sekali tak menemui Andien di shift pagi perpustakaan. Andien sepenuhnya menjadi shift sore. Setiap pagi setelah jam pertamanya usai, Calya akan ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas. Tak hanya menyediakan buku, perpustakaan juga menyediakan komputer sekaligus koneksi internet jadi gadis itu betah – betah saja disini. Setiap jam kosong Calya akan berlama – lama disini. Jika tak ada tugas Calya akan mengetik naskah novelnya. Mengapa tak di dorm? Calya tak punya komputer ataupun laptop. Poor girl!

Seperti siang ini, Calya mengetik kelanjutan novelnya. Suasana perpus yang sepi mendukungnya untuk lebih fokus. Ruangan ini terasa sejuk tidak seperti perpustakaan kebanyakan yang membuat penghuninya menggigil. Kini jam menunjukan hampir pukul satu, itu tandanya Calya harus segera pergi karena gadis ada kelas dan ruang kelas yang kutempati memerlukan sepuluh menit dari perpustakaan. Calya memasukan binder beserta pulpen ke dalam tas kemudian bangkit dari kursi, dan setengah berlari ke gedung lainnya.

Setelah selesai dengan kelas terakhirnya di minggu ini, gadis itu segera ke bandara. Calya harus pulang ke Indonesia hari ini. Calya memilih menaiki taksi untuk sampai di bandara mengingat NTU dan Changi cukup jauh.

Perjalanan menuju Semarang hanya menempuh waktu satu jam. Calya melempar pandang ke luar jendela pesawat saat mendarat di Ahmad Yani Semarang. Ya, Calya pulang. Saat Calya tiba, Pak Karyo, supir pribadinya sejak gadis itu duduk di bangku SMA menyambutnya dengan senyum khasnya. Pak Karyo bertubuh jangkung dengan kulit sawo matang. Pak Karyo membantunya membawa koper kecil yang dibawanya. Perjalanan menuju rumah cukup lama sekitar satu jam. Rumah dan bandara cukup jauh, apalagi waktu kepulangannya memasuki jam pulang kerja. Saat memasuki gerbang rumah, rumah terlihat sepi tanpa penghuni. Ini kali pertama Calya pulang setelah keberangkatannya ke Singapura tahun lalu. Sepertinya Calya terlalu sibuk mengurus kedai Eat Kuy. Ditapakinya lantai rumah yang sudah berbulan - bulan tak diinjak hingga tibalah gadis itu di depan pintu kamar. Calya memasuki kamar yang berada di lantai dua dengan pemandangan kolam renang serta taman belakang. Calya cukup merindukan kamar ini. Bau kamarnya masih sama, mawar, mungkin Bi Narti menyemprotkan pengharum ruangan favoritnya sebelum Calya tiba. Calya meletakkan koper tadi di sebelah pintu masuk, kemudian menutup pintu. Kamar Calya cukup luas. Ada sebuah sofa di samping jendela besar yang mengarah ke timur. Sebuah pintu balkon menghubungkan kamar Calya dengan pemandangan kolam renang di luar. Calya mendudukkan diri ke sofa tadi, merentangkan tangannya, dan saat itulah pintu dibuka. Seorang yang sudah lama tak kujumpai ada disana. Itu Bunda. Wanita itu hanya tersenyum kemudian menutup kembali pintu. Gadis itu melempar pandangan tak ramah pada wanita setengah baya itu.

Calya pulang pada Senin pagi, dan tiba di Singapura satu jam tepat sebelum kelas paginya dimulai. Setelah meletakkan koper di dorm, Calya berlari menuju ke kelas pertamanya. Untunglah kelas belum dimulai. Calya menyiapkan catatan serta alat tulis seperti biasanya, dan saat inilah gadis itu menyadari bahwa flashdisk-nya hilang. Seharusnya benda itu ada di dalam tempat pensil. Oh dear. Selesai kelas pagi ini, Calya berniat untuk mengobrak-abrik kamarnya.

Benar saja sehabis kelas pagi, Calya berlari kembali ke dorm. Kamarnya nyaris acak-acakan. Sepertinya gadis itu harus mengulang semuanya. Waktu berjalan terlalu cepat. Kini gadis itu duduk manis itu perpustakaan. Mengerjakan tugas-tugasnya.

Entah darimana refleks menengok itu, Calya benar - benar menengok ke arah pria yang tepat berdiri di sebelahnya. Cukup mengejutkan! Itu Andi. Calya mengerjapkan mata beberapa kali.

“Hai,” katanya membelah kesunyian.

“Oh, hai. Ini flashdisk-mu,” kata Andi terdengar kaku sambil menyodorkan barang yang dicari gadis itu dari pagi. Calya mengambil dari tangannya dengan mulut menganga.

“Oh my God! Thank you!” Seru gadis itu senang. Andi meletakkan jarinya di atas bibirnya memintaku untuk diam. Calya tertunduk malu.

“I gotta go,” kata Andi yang dibalas dengan anggukan. Ada sebuah dorongan yang seakan meminta gadis itu untuk bertahan di perpustakaan lebih lama lagi. Hingga shift pagi perpustakaan selesai -sekitar pukul dua siang- Calya berdiri dan menghampiri Andi. Gadis itu menepuk pundaknya dan diam beberapa saat. Andi tampak bingung dengan perlakuannya. Salah satu aslinya melengkung ke atas.

“Ya?” Tanya Andi.

“Aku… aku… ah… aku hanya ingin berterima kasih sudah mengembalikan flashdisk-ku,” wajah Andi semakin bingung kemudian menjawab “Oh, tentu, sama - sama,” dengan kikuk. Calya kembali cepat - cepat membuka mulut menawarkan secangkir kopi sore.

“Can I get you a cup of coffee? For my thank you?” Tanya gadis itu kikuk. Kemudian tubuhnya terlihat sedikit rileks dengan tangan kanannya dimasukan ke dalam saku celana. Dia menghirup nafas kemudian menjawab “I’m not drink any coffee, but what if it’s a cup of tea?” Tawarnya. Cukup aneh, dan yang keluar dari mulut gadis itu adalah “Sure!”. Cukup aneh memang. Mereka berdua sama - sama bisa berbahasa Indonesia namun memilih untuk menggunakan bahasa Inggris.

Dan disinilah dua anak manusia itu berada. Starbucks di Boon Lay -salah satu shopping center di Jurong West- berada di lantai 2. Calya sangat jarang pergi ke sini karena gadis itu lebih sering menghabiskan waktu di Sunshine Place untuk mengurus bisnisnya. Boon Lay terlihat memiliki potensi yang baik untuk gadis itu membuka cabang. Calya sepertinya akan meninjaunya lagi saat modalnya memenuhi untuk membuka cabang sudah cukup.

Benar saja, Andi memesan a cup of chamomile tea, dan Calya a cup of coffee mocha. Andi berjalan lebih dahulu ke meja dengan dua kursi di pojok ruangan. Calya selalu menyukai bau Starbucks. Aroma khas kopinya membuatku betah untuk tinggal disini. Untuk sementara mereka berdua hanya saling mendiamkan dan sibuk dengan pikiran masing - masing, hingga nama mereka berdua dipanggil. Andi bangkit dari kenyamanannya dan mengambil pesanan mereka. Masih dengan keheningan, Andi menyerahkan kopi milik Calya. Gadis itu menghirupnya sebelum meminum kopi itu. Saat rasa moka itu mencuri indra perasa, dipejamkan matanya menikmati aliran pahit dan manis di dalamnya. Ini tak lagi terasa pahit, ah, bukan, ini pahit namun sangat khas. Kau harus menjadi pecandu kopi dulu hingga kau akan mengerti.

“Kenapa moka?” Tanya Andi tiba - tiba. Calya mengangkat wajahnya dari gelas itu dan menatapnya. “Moka itu unik. Dia pahit tapi juga manis. Kau mau coba?” Jawab Calya. Andi menatapnya dalam. “Kau harus mencoba chamomile dulu. Cobalah!” Kata Andi menyodorkan gelasnya. Calya meletakkan gelas kopinya kemudian mengambil gelas dari tangan Andi lalu mendekatkannya ke hidungnya. Wangi khas menyeruak dari gelas ini. Wangi khas teh herbal. Saat air kuning kecoklatan itu mulai menyentuh lidahnya, tak ada rasa teh yang biasanya dirasakan. Rasa pahitnya sangat bisa ditolerir oleh lidah. Rasanya sangat menenangkan. Calya memicingkan mata padanya dengan salah satu alis naik.

“Not bad.” komentar gadis itu. Andi mengambil cangkir milik gadis itu kemudian menciumnya terlebih dahulu sebelum meminumnya. Beberapa saat Andi diam sambil memejamkan mata. Mata keduanya bertemu saat kelopak Andi terbuka. “That’s true! Bitter and sweet.” komentar Andi. Caca tersenyum. Akhirnya sebuah percakapan terjadi di antara mereka. Kesunyian itu berganti dengan canda tawa ringan. Percakapan dua manusia ini terus berlanjut pada epidermis kehidupan masing - masing.

Juni 2019. Gadis itu tiba di sebuah pemakaman. Tempat dimana gadis itu dapat berjumpa dengan Andi. Sudah lama rasanya dirinya tak kesini. Alasannya empat tahun yang lalu tidak salah. Nyatanya saat ini Calya dan Andi memiliki jarak yang sangat dekat walaupun gadis itu akan direpotkan dengan bolak - balik ke Singapura jika bisnisnya bermasalah. Gadis itu melewati banyak makam untuk tiba di tempat Andi. Rumah terakhir Andi berada hampir di puncak pemakaman ini dengan pemandangan menghadap ke kota. Andi sangat menyukai ketinggian, maka dari itulah empat tahun lalu, Gadis itu yang meminta otousan dan okaasan memakamkan Andi disini. Di sebelah makam Andi ada makan kosong untuk kedua orangtuanya. Ketiga makan ini dipisahkan dengan tanaman dan pagar pendek.

Gadis itu datang tidak dengan tangan kosong. Kedua tangannya membawa bawaan. Tiba di makan tunangannya itu, Ia membuka bungkusan itu. Sebuah kue mungil dan bunga chamomile.

“Andi. Kau tak lupakan? Walaupun kau sudah jauh disana, aku tak ingin kau melupakan hari bahagiamu,” kata Gadis itu pada nisan di depannya. Diambilnya bunga yang dibawanya tadi kemudian diletakkan ke atas nisan Andi. Gadis itu duduk memandangi nisan di depannya dengan tersenyum. Hening rasanya. Hanya ada suara padatnya kendaraan dari kejauhan yang diredam oleh sejuknya udara di bawah pohon rimbun.

“Iya terima kasih, Andi. Kau memang tak pernah melupakan hari ulang tahunku.” kata gadis itu pada dirinya sendiri kemudian mulai terdengarlah isakan gadis itu, isakan yang selalu terdengar empat tahun belakangan ini. Tangis pilu yang tak semua orang tahu. Tangis pilu yang hanya Ia dan dirinya yang tahu.

Juni 2012. Ini hari ulang tahun Calya. Andi membuat gadis harus menikmati 15 menit perjalanan menggunakan MRT sendirian. Ia tidak sabar untuk menyesap teh chamomile namun meminta Calya untuk tetap menyusul Andi. Untunglah ini bukan siang hari, matahari sudah mulai menyembunyikan diri. Cuaca menjadi lebih bersahabat. Mereka sudah kenal dan dekat selama sepuluh bulan, namun tak satupun dari mereka mengungkit masalah hubungan yang ada di antara keduanya. Boon Lay tak bisa dibilang sepi saat Calya tiba. Gadis itu menuju ke lantai dua. Saat kaki Calya menginjak Starbucks Boon Lay, seperti biasa bau kopi mencuri penciuman siapapun yang datang. Starbucks selalu menjadi tempat yang menyenangkan. Calya mengedarkan pandangan ke sekitar. Di meja yang sama, di sana ada Andi, dua cangkir kopi moccacino, dan sebuah kue ulang tahun berwarna coklat dan krem di setiap lapisannya, dengan desain simpel ditambah lilin dengan angka 20. Senyum gadis itu seketika mengembang lantas menghampiri Andi. Bahkan Andi lebih bersemangat ketimbang Calya untuk merayakan ulang tahun.

“Happy Birthday!” katanya semangat namun berbisik. Calya tersenyum. Kemudian Andi menyalakan lilin angka 20 itu. Calya memejamkan mata membuat sebuah harapan baru. Aku harap, Andi tetap berada di sisiku. Jika ia ingin pergi, biarlah ia pergi karena keinginannya bukan karena sikapku. Sebuah harapan paling klasik yang dibuat gadis itu sejauh ini. Calya membuka mata kemudian meniup lilin itu. Andi tertawa tak bersuara begitu juga Calya. Mereka tampak seperti pasangan paling bahagia di muka bumi ini. Kemudian keduanya meminum moccacino yang Andi sudah pesan untuk gadis itu dan dirinya sendiri. Kue ulang tahun tadi dimasukkan kembali pada wadahnya. Keduanya berbincang ringan setelahnya.

Setelah selesai dengan moccacino, ternyata Andi tak berniat untuk pulang. Andi  menggenggam tangan Calya dan membawa Calya ke MRT dengan tujuan yang berbeda. Seharusnya untuk pulang mereka naik ke kereta 179 namun Ia menggandeng tangan Calya naik ke kereta East West Line. Andi mengajak Calya ke Tian Fu Tea Room di Raffles Place. Tempat ini memiliki desain oriental yang kental. Saat pertama kali masuk, bau teh sangat mendominasi ruangan. Mungkin ini adalah surga bagi Andi. Satu hal yang Calya tahu, restoran ini pasti mahal. Satu hal yang disadari Calya, Andi sangat bersemangat untuk ulang tahun Calya. Entah apa yang membuatnya sangat menyukai ulang tahun. Mungkin awal perjalanan Calya dan Andi baru saja dimulai.

Juni 2019.

“Hey, aku pulang dulu. Sudah mulai panas. Biasanya kau memarahiku jika aku terlalu banyak terkena matahari, maka dari itu aku pulang dulu, ya. Bye.” Kata Gadis itu lembut kemudian melangkah menuruni bukit pemakaman itu. Ada rasa lega setelah mengunjungi Andi. Aneh memang.

Saat tiba di apartemen, Gadis itu membereskan bajunya ke sebuah koper. Tak terlalu banyak. Cukup untuk menginap 3 hari 2 malam. Setelah memastikan rumahnya dalam keadaan aman, Ia memanggil taksi untuk membawanya ke bandara.

Jika biasanya Ia akan melakukan penerbangan Semarang-Singapura, kali ini berbeda. Gadis itu menempuh waktu satu jamnya untuk ke Jakarta. Perjalanan yang singkat namun membuatnya lelah. Setelah tiba di Jakarta, gadis itu langsung saja menuju ke hotel. Jika biasanya dirinya akan memesan hotel tanpa bintang atau bahkan hotel kapsul, kali ini berbeda. Ia memesan kamar Grand Suite di Sheraton Hotel. Bukan tanpa alasan semua keputusannya kali ini. Tujuan utama gadis itu ke Jakarta adalah memanjakan diri. Puncaknya nanti saat menonton Arsen Asia Tour Concert dengan bangku VIP beserta meet and greet dengan tiket VIP pula. Arsen merupakan idola banyak gadis muda saat ini. Berita yang bertebaran pula membuat Gadis itu ingin memastikannya  sendiri. Arsen baru saja dikabarkan menjalin hubungan dengan gadis dari dunia entertainment yang pastinya membuat seluruh penggemarnya menjerit histeris.

Memang semua uang yang Calya gunakan kali ini terdengar berlebihan, namun selama ini dirinya tak pernah memanjakan dirinya. Gadis ini hanya ingin membuang uang yang sudah ia timbun selama ini. Dan tujuan sampingannya adalah menulis novel barunya. Penghasilannya selama ini memang lebih dari cukup namun menulis adalah salah satu cara ia melepas tekanan yang membebaninya selain itu uang yang ditawarkan pun cukup menggiurkan.

Seperti kepergian lainnya, tidur merupakan hal pertama saat Ia tiba. Gadis itu sangat menyukai tidur. Dan kebiasaan anehnya beberapa tahun ini adalah menyemprotkan parfum yang biasa Andi gunakan pada kasur yang digunakan

Ini masih bisa dibilang subuh namun Gadis itu sudah bangun dari tidurnya. Bahkan matahari belum sepenuhnya menampakkan diri saat dirinya berada di pinggir kolam renang dengan macbook-nya. Pakaian tidurnya sudah berganti dengan baju renang yang ketat namun tertutup. Rambut coklat muda nya dicepol menjadi satu menyisakan poni di atas matanya beserta anak rambut yang nakal keluar dari ikatannya. Udara dingin menyelimutinya. Ingatannya terlempar pada masa kecilnya. Masa dimana Ia sangat senang – senangnya berenang. Masa dimana ia pernah bermimpi menjadi atlet renang. Air kolam renang sudah menjadi sahabatnya maka dari itu keahlian berenang gadis itu tak pernah hilang. Mama dan Papa menjadi orang yang selalu siap untuk menolongnya. Entah mengapa, ingatannya kembali terlempar saat bersama Andi. Pria itu lagi. Selalu Andi.

Setelah mematikan macbook-nya, Ia masuk ke dalam kolam dan berenang beberapa putaran. Matahari masih belum terbit saat seorang pria yang sepertinya sudah cukup matang bergabung bersama gadis itu ke kolam renang. Dari kejauhan Gadis itu tahu siapa pria yang baru saja masuk ke kolam renang. Tentu saja semua orang tahu siapa pria itu. Arsen. Pria yang akan ia tonton nanti malam. Ia berenang mendekati pria yang masih duduk di tepi kolam renang.

“Apa kau Arsen?” Tanya Gadis itu berani.

“Ya,” jawab pria itu. Arsen merupakan idaman bagi siapapun. Selain suara dan tubuh kekarnya yang tak perlu diragukan lagi, secara religius Arsen dikenal sebagai orang yang sangat takut akan Tuhan di publik. Selain itu, ia selalu membawa ibunya pada setiap konsernya bukankah menunjukan bahwa Arsen sangat mencintai ibunya? Gadis itu hanya mampu menganga melihat idolanya yang selama ini hanya dibatasi kaca.

“Ehm!” dehem Arsen membuat gadis itu keluar dari lingkaran keterpukauan. Gadis itu gelagapan malu setelahnya. Ia mengangguk – angguk tak jelas dan perlahan menjauh dari Arsen. Setelah keluar dari kolam, ia berlari kecil menuju kamar hotelnya. Arsen hanya menggeleng sambil menyeringai geli melihat tingkah Calya.

Setelah gadis itu selesai mandi, lagi – lagi ide muncul di otaknya. Masih dengan handuk kimono putih serta rambut yang basah Calya mencari benda berharganya itu. Kamar hotelnya yang luasnya mirip apartemen menyulitkannya menemukan macbook-nya. Setelah mencari macbook-nya ke seluruh penjuru ruangan, benda berharga itu hilang. Rasa panik menggerayangi Calya. Dengan tergesa, ia memakai baju, dan keluar dari kamarnya. Sebuah dada bidang membuatnya terlempar beberapa langkah ke belakang. Hampir saja jatuh jika seseorang di depannya tidak menangkap pinggangnya. Setelah mengerjap beberapa kali, Calya baru menyadari yang ditabraknya adalah Arsen. Dan lagi – lagi dirinya melongo seperti orang bodoh. Seakan tersadar, wajahnya mulai memerah malu. Arsen menyodorkan macbook itu dan Calya menerima dengan menunduk sambil mengucapkan terima kasih yang nyaris tak terdengar. Kemudian gadis itu berbalik dengan gerakan seperti penguin kemudian menutup pintu dengan sangat pelan. Saat pintu sudah tertutup sempurna, tubuhnya merosot kebawah bersandar pada pintu. Pipinya bersemu merah malu. Wajahnya disembunyikan di balik macbook dengan kepala menggeleng – geleng dan kaki menghentak lantai. Betapa menyenangkannya bertemu idola. Bahkan sebelum orang lainnya bertemu Arsen, dirinya sudah, dengan sangat eksklusif walaupun, err, sedikit memalukan.

Jam sudah menunjukan pukul empat sore. Konser Arsen dimulai pukul enam. Sheraton Hotel menuju SICC (Sentul International Convention Centre) memerlukan waktu paling cepat satu jam. Dan ini adalah weekend. Setelah taksi tiba di lobby hotel, gadis itu segera berangkat menemui Sang Idola. Sepanjang perjalanan, macet sudah menjadi hal yang sangat biasa. Berulang kali dirinya harus berhenti di tengah jalanan jakarta selama beberapa menit. Sungguh membosankan. Walau empat tahun gadis ini menempuh strata satu di Singapura tak membuatnya lupa akan tanah air yang harus Ia bangun. Walau kini bisnisnya sudah cukup maju di jalanan Singapura tak membuatnya lupa akan tanah air. Dilihatnya jingga matahari di depannya.

Setelah matahari terbenam sepenuhnya barulah Calya tiba di SICC. Jalan masuk sangat penuh sesak. Sebagai pemegang tiket VIP dengan harga fantastis, Calya memiliki akses untuk masuk melalui jalur khusus. Jalan dengan penjagaan ketat yang mengantarkan ke suatu balkon tepat di samping panggung. Dari sini, Calya mampu melihat Arsen dengan jelas dan puas. Rasanya seperti mimpi, duduk di tempat ini adalah salah satu mimpinya sejak tujuh tahun yang lalu. Tepat tujuh tahun yang lalu, Arsen menggelar konsernya disini. Saat itu Arsen tengah naik daun atas album ketiganya. Lantunan nadanya tak sekedar bernuansa putus cinta. Ada berbagai maksud di setiap alunan musik serta liriknya. Nada, lirik, serta irama yang dikemas unik menggugah hati yang layu. Kini setelah tujuh tahun sejak album ketiganya, Arsen lagi – lagi mampu mengguncang dunia dengan album ketujuhnya. Walau sempat rehat dari dunia hiburan selama beberapa tahun, karyanya tetap yang terbaik. Sebuah karya tak akan pernah pudar oleh waktu. Setiap lagu yang diciptakannya seakan terpahat dalam dada. Seakan lagu – lagu itu sengaja dibuat hanya untuk diriku.

Tak perlu menunggu lama sampai konser Arsen akhirnya benar – benar dimulai. Seperti orang – orang kebanyakan, gadis itu bangkit dari duduknya dan menyanyi bersama sang idola. Hingga lagu I Know It mengguncang gedung ini. Calya seakan terlempar dari gedung ini. Lagu ini sukses membuat Calya terbengong berusaha mengingat memori yang ada, tubuhnya kaku sesaat. I Know It tak pernah ada dalam album ketujuh Arsen. Dalam setiap biografinya, lagu ini adalah lagu pertama yang dibuat oleh Arsen, dan lagu ini sukses membawa namanya dikenal orang. Entah apa yang ada dipikiran gadis itu, Calya memilih duduk di kursinya sepanjang lagu ini mengguncang pertunjukan Arsen. I Know It bukanlah lagu hip hop dengan rapper yang handal. Bukan juga lagu EDM yang cocok digunakan untuk menari gila-gilaan hingga mampu mengguncang gedung sebesar SICC. I Know It merupakan lagu sendu dengan alunan petikan gitar dengan lirik yang manis menggugah hati tentang dua insan manusia yang tak saling tahu kemana hatinya ingin berlabuh. Suasana menjadi sendu. Kali ini Calya benar – benar tak terbaca. Hingga akhir lagu, Calya tak berkutik.

Lagu – lagu setelahnya benar – benar mengguncang seluruh gedung termasuk Calya hingga tibalah puncak dari konser ini, dimana Arsen akan menyanyikan satu lagu sebagai penutupnya. Hingga lagu -yang seharusnya menjadi penutup- selesai, seluruh pemain musik masih di tempatnya. Arsen masih memegang mic. Beberapa orang sudah keluar dari ruangan. Arsen dengan sweater abu-abu yang membungkus sempurna tubuhnya mulai mengangkat mic-nya dan bernyanyi reff I Know It sekali lagi menghentikan orang yang sudah di ujung sana. Saat suara di ruangan ini hanya dikuasai oleh  petikan gitar.

 “I just want to say thank you to everyone who makes this a great tour! It’s my greatest performance ever. Believe me, I won't ever forget Jakarta,” kata – kata itu berganti yang menguasai seluruh indra lautan manusia, selanjutnya lagu Forget Jakarta karya Adhitia Sofyan mulai memenuhi SICC. Selanjutnya, lagi – lagi satu per satu manusia di gedung ini pergi. Saat Forget Jakarta selesai dinyanyikan dan Arsen serta seluruh pengisi acara sudah menghilang, Calya berjalan seorang diri melewati lorong – lorong yang lebih mirip labirin ketimbang backstage. Bukannya menemui sebuah ruang pertemuan yang dimaksud, Calya malah menemukan pintu dengan nama Arsen di depannya. Bisa saja gadis itu masuk kesana tapi diurungkan niatnya. Gadis itu berbalik dan sialnya rasa dingin dengan sedikit bau alkohol mengenai lengannya. Baunya seperti wine mahal. Yang ditatapnya adalah dada seorang pria. Lagi – lagi dada seorang Arsen. Kali ini cukup fatal. Wine yang sepertinya merupakan favorit Arsen. Seperti berita yang beredar, Arsen selalu meminum segelas wine sebelum meet and greet dengan para penggemarnya. Sweater abu yang dipakainya pada akhir konser pun basah oleh wine. Calya mengangkat kepalanya menatap mata Arsen sepersekian detik. Tatapan itu terlalu kuat. Arsen memiliki aura yang membuat siapapun terpesona namun mencekam jika dalam jarak sedekat ini, dalam keadaan seperti ini. .

“Sorry.” cicit Calya masih menunduk ketakutan. Arsen menyentuh sweater nya menarik bagian yang basah. Arsen berdehem sekali. Kemudian menunduk nyaris mencium puncak kepala Calya kemudian berbisik, “sayang sekali. Padahal ini sweater kesayanganku.” Calya sama sekali tak bergerak, ketakutan menghinggapi tubuhnya. Calya merunduk semakin dalam.

"Maaf," cicit Calya.

"Hanya maaf?" Sarkas Arsen membuat wajah Calya seketika berubah ketakutan. Kakinya terasa seperti jelly, jantungnya semakin berdegup kencang, tubuhnya nyaris ikut bergetar.

"Ehh… aku… aku akan mencucinya," kata Calya berusaha menyelesaikan katanya dengan cepat namun nyaris tak terdengar.

"Ehm!" Dehem Arsen lebih keras. Calya mengintip Arsen dari balik poninya. Arsen masih menatapnya tajam -atau lebih tepatnya mengintimidasi.

"Baiklah!" Seru Arsen kemudian mengangkat perlahan sweater miliknya dengan kedua tangannya hingga terlepas menampilkan dadanya yang bidang. Jangan bayangkan Arsen berbadan six pack dengan abs terpahat sempurna karena nyatanya Arsen hanya memiliki  dada bidang disertai pundak tegap tapi mampu membuat Calya menahan nafas selama beberapa saat. Arsen menyodorkan sweater miliknya yang kemudian diterima oleh Calya lantas dimasukkan ke dalam tas ransel mini milik Calya yang berwarna oranye. Arsen mengamati dengan intens apa yang dilakukan Calya kemudian merogoh saku belakang mengambil dompetnya. Diambilnya sebuah kartu dan diberikan pada Calya.

“Ini nomerku, hubungi aku saat sweater punyaku sudah beres,” jelas Arsen. Dengan perasaan takut dicampur bahagia, Calya meraih kartu nama itu. Setelahnya Arsen menghilang dibalik pintu ruang tunggu pribadinya. Saat Arsen sepenuhnya menghilang, Calya tersenyum lebar dan berjalan dengan sangat girang. Segera disimpan nomor milik Arsen itu pada ponselnya kemudian kartu nama itu disimpan pada dompet kecil miliknya. Calya berjanji pada dirinya untuk melaminating kartu nama Arsen dan memajangnya pada sebuah pigura. Kapan lagi seorang Arsen memberikan kartu namanya pada fans? Ini gila bukan? Calya berjanji tidak akan memberikan nomor Arsen pada siapapun walaupun mereka menawarnya seharga mobil sport miliknya.

Layaknya meet and greet pada umumnya, kebanyakan adalah wanita yang hadir. Pertanyaan yang terlontar pun seputar makna - makna tersembunyi dari album terbarunya kini. Calya hanya sekedar menjadi penonton disini. Baginya menjadi pendengar lebih menyenangkan ketimbang aktif bertanya. Hingga sampailah pada sebuah pertanyaan dari gadis muda yang mungkin baru saja menginjak umur 17.

“Halo, aku Zefa, aku sudah ngikutin kamu sejak SMP. Ehmm, apa kamu dan Kelly itu… aaahh ya gitu?” gadis yang mengenalkan diri sebagai Zefa itu membuat seluruh ruangan sedikit ricuh. Arsen terlihat berpikir sejenak, tatapannya sedikit kosong, dan sepertinya mengarah padaku yang membuatku mengidik ngeri. Tatapan Arsen akhirnya pulih. Tatapan intens seperti sebelum - sebelumnya, Dia mengangkat mic.

“Aku sudah 29 tahun hidup, dan untuk jangka waktu yang lama aku sendiri. Kenapa? Sebenarnya ada masa lalu yang aku tak bisa lupakan, sayangnya, orang yang membuat masa lalu bersamaku sama sekali tidak bisa mengingatnya, atau mungkin belum mampu dan belum mau mengingatnya. Aku hanya mampu berharap ingatannya segera pulih. Jadi apakah Aku dan Kelly ada sesuatu atau tidak, jawabannya adalah.” Arsen membuat seluruh ruangan terperangah kemudian terdengar bisikan-bisikan yang membuat ruangan cukup ricuh. Arsen sama sekali tidak melanjutkan kalimatnya, Ia hanya sekedar mengangkat bahunya tak memberikan jawaban. Dan sepanjang sisa meet and greet Arsen, Calya hanya mematung memberikan tatapan kosong.

Calya bertemu dengan Arsen. Calya juga bertemu dengan Andi. Calya tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada pertemuannya dengan Arsen ataupun Andi. Calya tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada awalnya, begitu pula aku, kamu, semua orang. Yakinlah bahwa segala sesuatu yang memiliki awal yang buruk belum tentu berakhir buruk, dan semua yang berawal baik belum tentu berakhir baik. Kita hanya perlu menjalani suatu pertemuan tanpa memikirkan perpisahan tersebut. Genesa.

NB : Terima kasih untuk Andien yang sudah tukar shift dengan Andi sehingga aku dan Andi bertemu.

Bab 3 - Candi

Halo, ini Andi. Kalian sudah mengenalku sebagai kekasih Calya. Dia selalu menyebutku kekasihnya walaupun aku meninggalkannya dengan cara yang paling menyakitkan. Aku sendiri tak mengerti mengapa itu terjadi. Itu semua adalah rahasia alam. Aku selalu melakukan yang terbaik, namun kehidupan berkata lain. Perasaannya padaku terlalu dalam dan tulus, terkadang aku sampai tak mengerti mengapa Calya seperti itu.

Rasa cinta Calya menyadarkanku pada sebuah filosofi yang Otousan pernah katakan padaku. Kalian tahu sebuah candi? Sebuah candi dibangun tanpa perekat apapun tapi dapat berdiri berabad-abad. Diperlukan waktu yang panjang untuk menciptakan sebuah candi yang indah dan kokoh. Batu yang awalnya berbentuk asal harus dipahat sedemikian rupa menghasilkan berbagai bentuk dengan berbagai cerita di dalamnya. Begitulah Calya sehingga kusimpulkan dibalik keindahan pribadi seorang Calya, percayalah, tersimpan sejuta cerita kelam. Ketegarannya merupakan hasil dari pahatan kehidupan yang lama, yang tentunya menyakitkan. Sayangnya, aku kini menyadari bahwa aku merupakan salah satu pahatan yang menyakitkan itu.

Calya selalu menggambarkan diriku dengan amat sempurna. Aku bagaikan laki - laki yang selalu diidam - idamkan semua kaum hawa. Nyatanya tidak. Aku tetaplah manusia yang memiliki sejuta kelemahan. Aku tetaplah aku. Andi, kekasih Calya.

Akhir 2011. Aku tak terlalu ingat pada bulan apa ini terjadi tapi yang jelas, ini merupakan akhir tahun 2011. Setelah segelas teh ucapan terima kasih Calya, kami menjadi cukup dekat. Setiap hari kami bertemu di perpustakaan. Calya dengan tugas - tugasnya akan berhenti saat pukul tiga sore. Aku sesekali mengganggu pekerjaanya dengan percakapan yang menurutku saja tidak penting. Pada pukul empat sore aku mengantar Calya kembali ke dorm miliknya. Beberapa kali aku dan Calya menikmati makan malam bersama saat akhir pekan, entah Ia menganggap itu kencan atau tidak. Calya unik. Calya tegas, misterius, baik, berbudi pekerti, serta tulus. Aku heran mengapa Ia tidak mempunyai teman.

Jika biasanya aku dan Calya akan bertemu di perpustakaan setelah kelas paginya, hari ini tidak. Aku berada di Indonesia tanpa Calya tahu. Otousan memintaku untuk pulang ke Indonesia kemarin malam, ada hal penting yang perlu dibicarakan katanya. Rumah yang sudah menjadi tempatku berteduh selama dua puluh lima tahun tak terlihat menua. Masih rindang seperti dulu. Pekarangan memasuki rumah masih ditumbuhi berbagai macam tanaman. Okaasan sangat menyukai tumbuhan maka dari itu pekarangan yang cukup luas ini sangat terawat. Saat aku memasuki ruang keluarga, Otousan maupun Okaasan tengah bercengkrama disana. Okaasan berdiri menghampiriku. Wanita yang hampir menginjak kepala lima ini mengusap punggungku lalu menuntun diriku untuk duduk.

“Ada apa Otousan sampai memintaku pulang ke Indonesia?” Tanyaku sopan.

“Otousan ingin kamu meninggalkan studi gelar mastermu dan kembali ke Indonesia.”

“Apa?!” Kataku dengan nada tinggi tak suka nyaris marah.

“Tenanglah, nak. Otousan hanya ingin kau mulai belajar mengurus perusahaan,” kata Okaasan berusaha menenangkanku.

“Tidak! Otousan sudah memintaku untuk mengambil arsitektur, dan aku menurutinya. Tidak lagi kali ini. Maaf. Jangan biarkan aku mengorbankan lagi impianku, aku mohon,” kataku diakhiri dengan sebuah permohonan kemudian aku bangkit dari sofa dan kembali ke kamarku. Tercetak jelas wajah terkejut Otousan. Entah apa yang merasuki diriku hingga semarah itu. Aku tak bisa lagi meninggalkan cita - cita ku karna Otousan.

Aku tak lagi berminat untuk menginap, segera aku kembali ke bandara dan mencari penerbangan tercepat untuk kembali ke Singapura. Perjalanan yang biasanya terasa menyenangkan dan cepat kali ini berbeda. Hati marahku membuat segala sesuatu terasa salah.. Aku tak pernah menyangka Otousan akan setega itu padaku. Untuk meninggalkan gelar master ku yang sudah nyaris garis selesai ini adalah hal yang gila. Setelah meninggalkan impianku sebagai musisi, tidak lagi untuk menjadi seorang dengan gelar master. Masih kuingat sore itu, sore dimana otousan memintaku untuk mengambil gelar sarjanaku  di Australia dengan jurusan arsitektur. Perintah otousan adalah hal yang paling tidak bisa kutolak.

Saat tiba di Singapura aku tak langsung kembali ke apartemen, aku mampir sebentar ke NTU. Aku butuh ketenangan, dan kurasa piano di tengah hall bisa menjadi jawabannya. Aku selalu mencari piano itu setiap kali dalam keadaan seperti ini. Saat kakiku berjalan di lorong menuju backstage hall, denting piano mengalun sendu di telingaku. Tak biasanya ada orang yang memainkan piano yang berada di hall, dan hal itu membuatku penasaran siapa yang menekan tuts hitam putih itu. Kubuka sedikit pintu untuk mengintip. Itu seorang gadis. Kuamati lebih lagi untuk mengetahui siapa dia. Itu Calya. Aku tak pernah tahu Calya bisa bermain piano terlebih permainannya itu terlihat sempurna. Nada - nada mengalun indah. Piano Sonata no. 29, op. 106, in Bb major aku sangat hafal dengan nada -nada nan rumit itu. Tak mungkin seorang pianis biasa mampu memainkannya. Hanya seorang pianis yang sudah bergelut bertahun - tahun dengan tuts hitam putih itu yang mampu memainkannya. Aku masuk sepenuhnya ke dalam hall. Menyusuri tangga menurun yang langsung mengarah ke podium. Tiba - tiba Calya berhenti seakan menyadari kehadiranku. Calya menatapku lalu mengambil tasnya dan berlari keluar ruangan. Aku tak dapat menahannya. Ia keluar melalui pintu yang berada di samping podium. Aneh. Aku menggantikan Calya, memainkan Piano Sonata no. 29, op. 106, in Bb major. Permainanku tak seindah saat jari Calya memainkannya. Permainan milik Beethoven yang satu ini sama sekali tidak mudah. Hanya pianis - pianis hebat yang mampu memainkannya.

Ini adalah besoknya. Aku cukup merindukan Calya. Kini aku sedang menjalankan shift-ku di perpustakaan. Menunggu di front desk sudah menjadi kegiatan yang menyenangkan bagiku. Sekarang sudah pukul dua belas siang. Seharusnya Calya akan tiba di sini sebentar lagi seperti hari - hari biasanya.

Benar dugaanku, seperti biasa, Calya masuk ke dalam  perpustakaan dengan tas ranselnya sendirian kemudian duduk di salah satu bangku yang memiliki komputer. Oh! Kali ini aku salah! Dia naik ke lantai atas. Aku menunggu beberapa saat hingga Calya muncul dengan sebuah buku tebal tentang psikologi. Ia menghampiri salah satu petugas perpustakaan lainnya kemudian meminjam buku tersebut lantas keluar dari perpustakaan. Tidak seperti dugaanku! Ada apa dengan Calya?

Keesokannya, lagi - lagi aku menunggu. Lagi - lagi Calya tak singgah di perpustakaan, bahkan menatapku saja tidak! Dia seakan tak mengenalku. Tatapannya memang dingin, tapi kali ini benar - benar dingin. Wajah manisnya sangat tidak sesuai dengan tatapan membunuh seperti itu.

Ini hari kelima Calya menghindar. Aku bertekad untuk mendapat perhatiannya. Aku sengaja absen dari perpustakaan hari ini. Aku menunggu di depan kelas Calya. Sekarang pukul 11.56 itu berarti sebentar lagi Calya akan keluar dari kelasnya. Jam belum tepat pukul 12 siang, pintu kelas Calya sudah terbuka membawa semua mahasiswa keluar dari kelas itu. Calya masih dengan tatapan dingin melihatku kaget, Calya sempat mundur selangkah saat melihatku namun berhasil mengontrol keterkejutannya. Hah! Permainan peran yang baik! Dia berjalan melalui ku seakan tak mengenalku. Kepalanya yang hanya sepundak ku berlalu dengan ringannya.

“Calya,” panggil ku. Calya berhenti namun tak berbalik. Aku menghampirinya, menyejajarkan diriku dengannya.

“Bisa kita bicara?” tanyaku lembut.

“Maaf, aku sibuk,” katanya jutek lalu berlalu meninggalkanku yang mematung dengan keterkejutanku akan sikap dingin.

Hari - hari selanjutnya tetap seperti itu. Aku tidak mengerti lagi. Ini bahkan sudah satu bulan Calya tak menggunakan komputer perpustakaan. Calya seakan menghindari diriku. Aku seakan putus harapan. Aku tak tahu letak kesalahanku, seperti pendapatku di awal perjumpaan kami. Calya merupakan sosok yang misterius, dia tak mudah ditebak.

Waktu berjalan sangat cepat. Besok adalah hari terakhirku bekerja di perpustakaan. Studiku di NTU sudah selesai, selanjutnya aku akan kembali berkarir membangun gedung - gedung tinggi di balik meja seorang arsitek menunggu hari wisudaku. Calya dan aku sama sekali tidak membaik, bukan karena aku tak ingin tapi Calya yang seakan menghindar dariku, oh, tunggu, Calya memang menghindar. Mungkin besok adalah kesempatan terakhirku membenahi semuanya sebelum aku benar - benar meninggalkan NTU.

Aku berjalan dan absen pulang dengan jempolku. Aku berjalan lesu menyusuri jalanan NTU yang luas nan panjang. Berbagai kemungkinan dapat terjadi esok hari tapi satu hal yang kuyakini, itu adalah jalan terbaik bagiku ataupun Calya. Jika alam sudah mengatur demikian, biarlah.

Menunggu di depan dorm Calya memang bukan ide bagus namun ini satu - satunya kesempatan bertemu dengannya. Jangan kira aku menunggu tepat di depan kamarnya sambil bersandar di tembok memainkan handphone. Aku menunggu di depan gedung dorm Calya yang cukup panas dengan matahari yang tanggung di barat sana. Dorm Calya dikhususkan untuk perempuan dan laki - laki tak boleh melintasinya. Jadi disinilah aku, menunggu dengan penuh kebosanan. Aku bolak - balik di depan pintu masuk. Beberapa kali penjaga disana menghampiriku membawakan cemilan serta kopi.

Calya akhirnya muncul saat matahari sudah tenggelam sepenuhnya. Lagi - lagi Ia terkejut saat melihatku. Calya berusaha tak menghiraukanku dengan berjalan lurus ke depan tanpa menatapku. Aku mengambil langkah kecil mendekat kemudian mencekal tangannya. Calya berhenti. Dia hanya menatapku, kami hanya saling menatap selama beberapa saat. Tersirat rasa benci dalam matanya.

“Kamu menghindar?” Tanyaku membuka kesunyian.

“Aku? Bukannya kamu?” Balik tanyanya dengan nada sarkastik penuh penekanan. Aku mengernyitkan dahi kebingungan. Aku menjauh? Yang benar saja!

“Tidak merasa, ya?!” nada Calya semakin meninggi. Aku memegang bahunya. Tiba - tiba saja bahunya bergetar. Calya menangis. Untunglah depan dorm sepi jika tidak kami berdua akan menjadi pusat perhatian. Aku menepuk pundaknya menenangkannya.

“Jika kau memang datang hanya untuk pergi, lebih baik kau tak pernah mendekatiku.” katanya masih sarkastik.

“Tenanglah dahulu,” aku berkata. Aku mencoba mengoreksi diriku sendiri. Mungkin saja memang kesalahannya ada padaku. Ku terawang pertama kali Calya mulai menjauh. Jauh lagi kuterawang sebulan yang lalu. Oh! Saat aku pulang ke Indonesia. Aku tidak sempat mengabarinya. Aku terlalu marah pada Otousan -dan juga hubungan kami masih mengambang jadi aku tidak memiliki keharusan mengabarinya. Ya pasti karena itu.

“Hei!” panggilku memegang dagu nya membuat pandangan kami bertemu. Aku tersenyum masam. Mata Calya basah serta mulai berubah menjadi merah. Matanya bengkak walau hanya menangis sebentar.

“Aku tidak menjauh. Jika kau tanya mengapa aku menghilang. Itu karena aku ada masalah saat aku kembali ke Indonesia dan aku tak ingin memberimu kabar di saat seperti itu,” jelasku pada Calya. Calya mengerjap beberapa kali kemudian menunduk dan berkata “maaf”. Aku mengulurkan tanganku menyentuh kepalanya, mengelusnya kemudian Calya memelukku.

Suatu hubungan memang akan ada masanya di bawah dan ada juga masanya hubungan tersebut ada di atas, dan kini hubunganku dan Calya makin membaik. Setelah memberikan penjelasan pada Calya akan aku dan Otousan, Calya kembali seperti dulu. Calya pada akhirnya mengerti keadaanku yang terjepit akan keinginan Otousan dan mimpiku, namun satu hal yang baru kusadari kini, Calya tak pernah benar - benar menceritakan masa lalunya. Aku tak pernah tahu bagaimana seorang Calya di masa dulu.

Hari ini, Minggu, 20 November 2011, tanggal yang cantik. Aku membawa Calya ke Marina Bay Sands. Aku menguras seperdelapan isi tabunganku untuk memesan sebuah meja dengan pemandangan langsung ke perkotaan Singapura. Tak sampai disitu. Demi kenyamanan Calya, aku mengeluarkan mobilku satu - satunya, yang sudah pasti kesayanganku walau usianya nyaris 22 tahun. Membawa Calya di dalam mobilku adalah ide yang sempurna.

Aku menjemput Calya di depan dorm, kemudian membawanya ke Marina Bay Sands. Perjalanan dari NTU kesana memang cukup jauh, namun Calya dan aku benar - benar menikmatinya. Saat hendak turun dari mobil, kuambil buket mawar putih dari jok belakang. Calya dengan sumringah menerima buket itu. Calya sangat menyukai mawar terutama yang berwarna putih, katanya putih melambangkan kesucian dan mawar putih terlihat cantik sekaligus suci. Kuletakkan tanganku di pinggangnya yang dibalut dress selutut berwarna biru dongker dengan manik - manik yang mempercantik gaun itu namun tidak berlebihan. Awalnya Calya terlihat terkejut, menatapku penuh tanya namun selanjutnya Calya sepenuhnya nyaman.

Seorang pelayan menghampiri kami saat kaki kami menyentuh karpet depan meja resepsionis. Seperti restoran mahal pada umumnya, pelayan datang dan menanyakan tentang reservasi.

“Bisa kami bantu?” tanya pelayan laki-laki itu.

“Kami sudah memesan meja.”

“Bisa kami tau atas nama siapa?”kata pelayan itu dengan bahasa Inggris yang kental dengan aksen Singapura.

“Atas nama Candi.” jawabku kemudian menatap Calya yang menatapku dengan senyum bertanya.

Pelayan menggiring kami ke meja yang telah kami pesan, setelahnya satu per satu  makanan dikeluarkan. Diawali dengan teh chamomile seperti biasa. Calya terlihat bahagia. Binar di matanya tak meredup sedikitpun. Membahagiakan Calya adalah tujuanku sejak pertama bertemu dengannya. Hingga makanan penutup kami datang, Calya tak pernah mencopot senyum itu. Puding -yang aku sendiri tak tahu apa namanya ini- sudah habis saat jam menunjukan pukul delapan malam lebih sembilan menit. Aku merogoh kantong celanaku mengeluarkan sebuah kotak. Dengan menatap mata Calya dalam, aku membuka kotak itu dan menunjukan sebuah gelang berwarna perak yang memiliki desain minimalis dengan sebuah liontin berbentuk grand piano dengan warna yang sama. Calya menatapku melemparkan tatapan bingung namun masih dengan binar bahagia itu.

"What is it for?" Tanyanya dengan senyum lebar.

"I want you to be my girlfriend." Kataku yang sama sekali tak ada kata memohon padanya. Calya terdiam sejenak menatap kotak yang tergeletak di atas meja. Senyum Calya perlahan menghilang. Calya menatap tangannya yang terkepang di atas meja. Jantungku mencelos saat itu juga.

“Sorry, aku...aku nggak bisa. Aku nggak maksud mainin kamu. I...I just can’t. I have trust issue. That’s it. Sorry.” kata Calya penuh dengan binar bersalah. Aku tak dapat menyalahkan Calya. Calya memiliki alasan yang mungkin aku belum mengerti. Aku menatap matanya, kuambil kotak tadi lalu kututup dan kuberikan tepat di depannya.

“No matter what will happened, it’s yours.” Calya mengerjap sesaat kemudian mengambilnya kemudian menggerakkan bibirnya membentuk kata thank you. Calya kembali tersenyum

Aku sepenuhnya sadar. Aku dan Calya adalah dua insan yang baru saja dipertemukan. Tak mudah kami untuk bersatu secepat itu. Aku bahkan tak pernah tahu apa yang sudah Calya lewati sebelum aku datang ke kehidupannya. Setelahnya aku dan Calya kembali ke kawasan NTU. Perjalanan jauh membuat kami mampu membahas berbagai macam hal.

“Jadi kamu bisa main piano?” tanyaku sambil menyetir.

“Sedikit,” jawab Calya singkat dengan mengangkat bahunya yang dapat kulihat dari ujung mataku.

“Sedikit? Oh! C’mon! Don’t lie to me,” balasku tak puas dengan jawaban Calya

“Ya... aku sudah bermain piano sejak kecil tapi kini tidak lagi. Tidak sesering dulu maksudku,” jawab Calya yang sama sekali tak membuatku puas.

“Why? I mean, you’re great on it. You’re such a great pianist. Piano Sonata number 29, op. 106, in Bb major is not a simple thing,” aku memburunya lebih lagi

“Kau tahu, setiap lagu yang kumainkan, setiap nada yang didengar orang, ada sesuatu yang kelam nan gelap yang menguap dari jariku.” jawab Calya dengan lembut mengerikan. Aku menghembuskan nafas berat, begitu juga Calya.

“It’s okay. Just tell me when you’re ready,” jawabku menyerah. Kemudian keheningan membuat kami terlempar pada pikiran masing-masing.

“Tadi kenapa reservasinya atas nama Candi?” Tanya meredam kesunyian.

“Calya Andi.” jawabku kemudian tersenyum. Walau aku tak melihat wajah Calya, aku tahu bahwa Calya tersenyum. Aku harap senyum itu selalu berada disana.

Perjalanan menuju kawasan NTU terasa panjang tanpa pembicaraan. Calya terlihat larut dalam lamunannya. Aku larut dalam jalanan yang panjang. Kelamaan mata Calya terpejam. Aku menepikan mobilku sejenak. Cahaya bulan masuk melalui kaca mobil, wajah Calya tersorot sempurna membuat wajah tidurnya itu terasa menenangkan.

Mungkin hubungan juga seperti candi, perlu beberapa hal perlu dipahat supaya lebih indah. Hal-hal yang sudah indah juga perlu disusun. Batu-batu sebuah hubungan memang banyak dan terlihat rumit maka dari itu diperlukan waktu untuk menyusunnya.

Calya serta otousan mengajarku suatu hal. Sebuah candi yang kita impikan ataupun rencanakan terasa sudah tersusun dan mantap untuk kita pamerkan tapi jika alam sudah angkat bicara, semuanya hanyalah angan belaka. Semua batu yang telah terpahat bahkan tersusun dapat rubuh seketika. Hingga hari kepergianku, aku tak mengerti apa yang Calya maksud dengan denting kelam itu. Menjadi musisi memang impianku sejak di bangku sekolah. Aku sudah merencanakan matang akan langkah yang akan kuambil, namun apa yang di depan mata jauh dari rencana. Semua itu mengajarkan padaku suatu hal bahwa tidak semua hal yang sudah kita impikan dan rencanakan akan tercapai, dan dalam kasus ku, denting kelam Calya dan menjadi musisi. Candi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!