"Sebaiknya anak, Ibu, dan, Bapak, dirawat di RSJ,” kata psikolog yang menangani Larisa.
Kedua orang tua itu menghembuskan nafas kasar juga menatap sang dokter dengan penuh kekecewaan.
“Anda, pikir anak saya gila?” Endra seolah tak terima dengan saran psikolog itu.
“Pak, ini sudah percobaan bunuh diri yang kelima kalinya. Larisa butuh perawatan dan dampingan, Pak. Sampai kapan kalian akan tetap melakukan konseling pribadi? Sudah berapa psikolog yang kalian datangi?” Psikolog itu pun ikut kesal dengan sikap Endra sebagai orang tua.
Sepertinya mereka lebih mementingkan nama baik dan juga gengsi. Sebagai seorang pengusaha terkenal Endra merasa malu jika sang anak harus di rawat di RSJ. Apa kata orang-orang serta rekan bisnisnya nanti?
“Pak, kesehatan anak Bapak jauh lebih penting dari rasa malu dan gengsi Anda. Larisa masih muda, masa depannya panjang, Pak. Jangan sampai anda menyesalinya nanti,” tambah Psikolog itu.
“Benar, Pa apa kata, Pak Gino. Kita pun sudah kewalahan mengurus Larisa di rumah” ujar sang istri.
Endra menarik nafas dalam menurunkan emosi yang tadi sempat membara. Lalu ia menundukan kepala menimang-nimang saran nan diberikan semua psikolog yang sudah mereka datangi. Berharap sang anak bisa sembuh nyatanya mereka semua mengatakan kalau Larisa harus dirawat.
“Kalau, Bapak setuju saya akan kasih surat rekomendasi ke salah satu RSJ di kota ini. Pastinya yang terbaik untuk kesembuhan anak, Bapak,” terang Psikolog itu.
Endra mengangguk lemah. “Baik, Pak. Tolong dibantu. Kami pun sudah hampir putus asa rasanya. "
...🐷🐷🐷🐷...
Larisa gadis berusia 20 tahun itu mengalami depresi setelah ditinggal nikah oleh sang kekasih. Bayu--cinta pertama sekaligus cinta matinya Larisa. Mereka bertemu di kampus yang sama. Pandangan pertama membuat gadis itu langsung jatuh hati padanya.
Saat Bayu mengetahui hal itu, ia pun memanfaatkan perasaan tulus Larisa. Karena anak tunggal dan sebagai pewaris perusahaan, pergaulan Larisa dibatasi oleh sang papa. Membuatnya tumbuh menjadi seorang gadis yang polos. Ia memang memiliki otak yang pintar, namun otak pintar tak bisa dipakai untuk menilai seseorang. Apakah dia beneran tulus atau tidak terhadap kita.
Satu bulan menjalani PDKT Bayu menyatakan cinta palsunya pada Larisa. Mengubah status hubungan mereka menjadi pacaran. Bagi Larisa saat itu dunianya seakan penuh warna dan berbunga. Hari-hari ia lalui dengan semangat, senyuman, keceriaan dan kebahagiaan.
Apa yang diminta oleh Bayu ia penuhi. Mulai dari biaya kuliah sampai gaya hidupnya yang selangit di tanggung oleh gadis polos itu. Larisa tak bisa menolak karena ia tak ingin orang yang dicintainya merasa kecewa dan terluka. Janjinya ia akan membahagiakan Bayu. Lima tahun pacaran Larisa tak pernah menaruh curiga sama sekali, kepercayaan penuh ia berikan pada sang kekasih.
Hal itu dimanfaatkan Bayu untuk mencari kebahagiaan lain diluar sana.Mengencani wanita yang ia suka bermodalkan uang yang diberikan oleh Larisa.
Karena tak mau kehilangan Bayu, Larisa pun ingin segera menikah. Awalnya Bayu menolak dengan alasan ia belum mapan. Bahkan baru saja lulus kuliah dan ingin mencari pekerjaan terlebih dahulu.
Tetapi Larisa tetap memaksanya. Ia mengatakan kalau Bayu tak perlu repot-repot mencari pekerjaan, karena nantinya ia bisa meneruskan perusahaan sang papa. Sedangkan ia akan menjadi istri yang baik di rumah, menunggu kepulangan suami seperti yang dilakukan sang mama. Setelah dipikir-pikir Bayu pun akhirnya setuju dan pernikahan mereka mulai dipersiapkan.
Pesta lamaran sudah dilaksanakan dengan megah dan mewah. Bayu adalah orang yang paling beruntung. Dalam sekejap dirinya akan menjadi menantu seorang pengusaha terkenal di kota ini. Otomatis statusnya yang dari kalangan orang biasa akan berubah menjadi orang kaya. Senyum kebahagiaan tak luntur dari wajah Larissa. Satu bulan setelah lamaran, pesta pernikahan pun akan digelar.
Gedung hotel yang terkenal dan termewah di kota ini sudah disulap seperti sebuah kerajaan. Ya, itu semua atas permintaan Larisa. Ia ingin mewujudkan pernikahan impiannya seperti dalam film princes yang ia tonton dulu di masa kecil. Semua berjalan lancar sesuai rencana. Hari H semakin dekat, rasa deg-deg an serta bahagian membuncah menjadi satu dalam dada.
Larisa sudah tak sabar ingin segera memakai gaun cinderellanya. Bersanding dengan pangeran Bayu di atas pelamin. Oh, pasti hari itu adalah hari yang paling menggembirakan sekaligus membahagiakan dalam hidupnya.
Hari yang di nanti-nanti telah tiba. Pagi ini Larisa sudah cantik dengan make up pengantin juga kebaya putih mewah nan ditaburi kristal sudah melekat di badannya. Ia duduk di kamar hotel sambil menghubungi Bayu lewat aplikasi chatting.
Namun tak ada balasan sama sekali. Ia tetap santai, mungkin Bayu sedang sibuk mempersiapkan diri bersama keluarganya pikir Larisa. Memang keluarga pengantin pria tak menginap di hotel seperti keluarga pengantin perempuan. Satu jam lagi ijab kabul akan segera dilakukan. Namun tak ada tanda-tanda kedatangan Bayu beserta keluarga.
Membuat Larisa dilanda rasa cemas. Ia coba menghubungi nomor ponsel Bayu tapi tak aktif sama sekali. Begitu pula dengan nomor kedua orang tuanya. Sang Mama berusaha menenangkan anaknya itu. Air mata sudah menganak di pelupuk, tapi berusaha ia tahan takut akan merusak riasannya nanti.
Tepat di waktu ijab kabul akan dilakukan seorang kurir datang mengantarkan surat atas nama Bayu. Larisa menerimanya dengan raut wajah yang sulit diartikan. Ia masih menatap ke arah pintu berharap Bayu akan datang dan surat ini hanyalah sebuah kejutan manis yang biasa ia lakukan.
Amplop putih persegi panjang itu mulai dibuka dengan rasa takut, cemas dan khawatir. Dugaan demi dugaan muncul di benak Larisa tentang Bayu yang tak kunjung datang. Mata hitam nan bulat itu bergerak kekiri dan kanan saat membaca selembar surat dari calon pangerannya.
Seketika Larisa menjatuhkan diri di lantai ia menangis histeris setelah membaca goresan tinta hitam dari Bayu. Laki-laki itu tak bisa datang karena ia dituntut agar bertanggung jawab atas kehamilan sang pacar. Kalau tidak maka ia akan dilaporkan pada pihak yang berwajib.
Bayu juga mengatakan kalau selama ini ia tak pernah mencintai Larisa. Ia mau menjalani hubungan ini hingga mau menikah dengannya hanya karena harta yang dimiliki. Ia memilih menikahi sang pacar karena mereka saling mencintai, sedangkan Bayu tak yakin bisa hidup bahagia dengannya meski bergelimang harta.
Wanita itu benar-benar hancur sehancur hancurnya. Dibohongi, dikhianati, dicampakkan dan ditinggal pas pernikahan akan dilaksanakan membuatnya tak bisa menahan gejolak kesedihan. Larisa mengamuk menghancurkan dekorasi gedung yang indah itu. Ia benci, marah, kecewa, sakit hati namun tak bisa melampiaskan pada orang yang sudah melakukan hal ini padanya. Semua tamu undangan menatap heran pada calon pengantin itu.
Hingga pesta pun dibatalkan dan itu menjadi berita hangat di kalangan media. Semakin menambah beban pikiran Larisa. Keluarganya kini menanggung malu akibat dirinya, sedih, tertekan, kecewa yang berkepanjangan membuat Larisa depresi bahkan ia sampai histeris menghancurkan benda-benda yang ada di dekatnya sebagai bentuk pelampiasan emosi yang tak tersampaikan.
Sejak saat itu Endra dan Davira menemui psikolog untuk membantu sang putri mengatasi depresinya dan berharap kesembuhan segera datang, tapi malah keadaan Larisa semakin parah. Beberapa kali ia mencoba melakukan tindakan bunuh diri, namun berhasil di gagalkan. Kini satu-satunya cara adalah menempatkan sang putri di tempat yang seharusnya. Rumah bukan lagi tempat yang aman untuk Larisa.
...----------------...
Tolong dukungannya di novel ke tiga ini ya..
Tinggalkan like 👍 komen 🖊 hadiah 🎁 serta vote 🔖
Terimakasih banyak ☺😊😁
Hati orang tua mana yang tak hancur, sedih dan terluka kala harus menerima kenyataan kalau sang anak mengalami gangguan jiwa. Larisa yang dulu cantik, ceria dan penuh semangat kini berubah 360 derajat. Kurus, pucat, lesu tak terawat, tatapan kosong dan kadang-kadang menangis sambil tertawa atau mengamuk layaknya orang kesetanan. Namun ketika kesadarannya kembali, ia akan bertingkah normal seperti tak ada yang terjadi padanya.
Sudah tiga bulan Larisa dikurung dalam rumah. Seluruh jendela dan pintu dipagari terali besi. Rumah mereka kini berubah layaknya penjara mewah untuk menjaga sang tuan putri agar tak melakukan hal-hal yang dapat membahayakan nyawanya. Semua benda yang di rasa membahayakan sudah disingkirkan sesuai saran psikolog.
Hari ini Endra dan sang istri akan mengantarkan Larisa ke RSJ sesuai rekomendasi Pak Gino kemarin.
“Kita mau kemana, Mah?” Lemah namun masih dapat didengar oleh Davira. Pandangan Larisa mengarah keluar jendela mobil.
“Kita mau ke Rumah Sakit, sayang.”
“Siapa yang sakit, Mah?”
Davira melirik suaminya yang duduk di bangku depan.
“Kan kamu gak nafsu makan jadi kita mau periksa sekalian minta obat penambah nafsu makan sama Dokter, ya,” jelas Endra menatap sang putri.
Larisa mengangguk pelan. Davira pun memeluk putrinya, ia mendongakkan kepala untuk menahan genangan air mata agar tak jatuh membasahi pipi. Sampai di depan RSJ mereka bertiga melangkah memasuki lorong menuju ruang dokter yang akan ditemui.
“Mah, ini Rumah Sakit apa?” tanya Larisa.
“Ya, Rumah Sakit biasa, sayang. Ayo, dokternya sudah nungguin kita,” ajak Davira membimbing putrinya.
Larisa melihat sekeliling, namun ia sadar kalau ini bukanlah rumah sakit biasa seperti yang dibilang sang Mama. Kebanyakan pasien yang terlihat seperti orang gila yang ia temui di jalanan. Ruang rawat pun tak seperti rumah sakit pada umumnya. Disini semua pintu terbuat dari terali besi sama seperti di rumahnya. Halaman pun dipagari dengan kawat berduri dan perawat disini tampak sedang mengawasi pasien bukan merawat seperti di rumah sakit pada umumnya.
Tiba-tiba ada seorang pasien berteriak histeris gara-gara rebutan mainan dengan temannya. Para perawat mulai memegangi tangan juga kakinya dan berusaha menyuntikkan obat penenang.
“Pah, apa ini baik untuk Larisa?” bisik Davira.
“Sebaiknya kita bergegas ke ruang dokter, Mah. Sebelum Larisa melihat lebih banyak dan dia sadar,” jawab Endra.
“Selamat pagi, Bapak dan Ibuk.” Dokter Ningsih sebagai kepala RSJ menyambut kedatangan mereka dengan baik. Siapa yang tak kenal dengan Endra pengusaha terkenal di kota ini.
“Pagi, Dok,” balas mereka.
“Silahkan duduk!”
Mereka pun duduk di sofa saling berseberangan.
“Saya rasa Pak Gino sudah menjelaskan kedatangan kami kemari. Jadi, saya gak perlu lagi memberikan keterangan?” Endra berkata langsung pada intinya.
Dokter jiwa berusia 53 tahun itu tersenyum lebar. "Sebelumnya perkenalkan, nama saya Ningsih. Bisa dipanggil Dokter Nining."
Endra dan Davira hanya tersenyum simpul sebagai balasan. Raut wajah mereka yang sedikit tegang membuat Dokter itu paham kenapa Endra dan Davira kurang beramah tamah dengannya. Lalu ia beralih menatap Larisa yang masih memindai ruang kerjanya. “Hai, nama kamu Larisa, ya?”
Larisa hanya mengangguk. “Mah, ini bukan rumah sakit biasa. Gak ada alat -alat buat periksanya.”
“Ini kantor namanya, sayang. Kalau mau diperiksa kita pindah ruangan. Kamu mau?”
“Larisa mau diperiksa?” Davira berusaha membujuk sang putri.
Tampak ragu namun gadis itu mengangguk setuju. Mereka menuju ruangan lain. Entah pemeriksaan seperti apa yang akan dilakukan Dokter Ningsih, Larissa mulai merasa kurang nyaman. Tak sengaja saat melewati ruang rawat ia melihat pasien tadi sudah tertidur lelap di atas kasur namun tangan dan kakinya diborgol di sisi ranjang.
“Ini bukan Rumah Sakit biasa kan, Mah?” cemasnya.
“Ini rumah sakit yang biasa kita kunjungi kok, sayang,” jawab Davira.
“Ini Rumah Sakit Jiwa kan?!"
"Nggak, sayang."
"Mama, bohong! Ini memang Rumah Sakit Jiwa. Mama,pikir aku gila?”
“Sayang, kamu kesini cuma mau melakukan pemeriksaan. Bukan berarti orang yang berobat ke sini adalah orang gila,” jelas Dokter Ningsih.
“Gak, aku gak mau! Aku gak gila.” Larisa mulai berontak, ia berusaha lepas dari pangkuan sang Mama. Beberapa perawat dan suster diminta oleh Dokter Ningsih untuk memegangi Larisa yang mulai histeris.
“Risa, sayang, Mama sama Papa sayang sama kamu, makanya kita kesini biar kamu sembuh,” kata Endra.
“Suruh mereka lepasin aku kalau memang, Papa, Mama sayang aku.”
Davira hanya bisa menangis melihat sang putri berada di antara perawat dan suster. Menyesal rasanya ia datang kesini namun ia juga tak bisa berbuat apa-apa untuk kesembuhannya.
“Gapapa, Risa. Dokter cuma mau bicara sama kamu berdua,” bujuk Ningsih lagi.
“Kalian jahat, kalian anggap aku gila. Padahal aku ini anak kalian, kenapa kalian bawa aku kesini?” Suara Larisa meninggi kekuatanya kini tak dapat lagi dikendalikan oleh suster dan perawat yang memegangi.
Larisa terus melawan dan berontak agar bisa lepas dari orang-orang yang menahannya. Ia tak dapat dikendalikan lagi emosi sudah menguasai membuat ia berteriak histeris mengumpat kedua orang tuanya. Berhasil lepas Larisa lari sekuat tenaga, ia harus kabur pikirnya. Tak mau jika tinggal di sini bersama orang-orang yang tak waras itu.
Beberapa suster dan perawat tadi mengejar Larisa agar tak lari ke jalanan pikir mereka dan itu bisa saja berbahaya. Tepat di depan gerbang Rumah Sakit, Larisa menabrak tubuh seorang yang baru saja turun dari mobilnya dan hendak masuk.
Brak ...
“Tolong, tolong saya. Bawa saya pergi dari sini, saya gak mau tinggal di sini, saya gak gila,” mohonnya mengiba.
“Hei, tenang. Ada apa, kamu kenapa?” Pria yang ditabrak tadi menahan bahu Larisa.
“Saya gak gila, saya gak mau diperlakukan seperti pasien tadi oleh mereka.” Larisa menunjuk pada orang-orang yang ada di belakang.
Abista melihat sang mama dan kedua orang tua Larisa berlari untuk mendekat. Ia pun mulai paham sepertinya gadis yang ada dalam pelukannya ini sama seperti pasien-pasien yang ia tangani selama ini.
“Tolong, saya, saya gak gila,” gumam Larisa dalam tangisnya.
“Oke, saya akan bantu kamu. Tapi bisa kamu tenang dulu?”
Larisa menggeleng dengan raut wajah tegang dan cemas.
“Kalau kamu gak tenang, saya akan serahkan kamu ke mereka.” Abi menunjuk suster dan perawat dengan dagunya.
“Iya, iya, saya akan tenang.”
“Kamu gak akan lari lagi? Gak akan histeris lagi?”
Larisa menggeleng lalu menganggukkan kepalanya.
“Kalau begitu ayo ikut saya,” ajak Abi lembut.
“Kemana?” tahan Larisa.
“Kalau kamu mau saya bantu, ikut dan percaya sama saya,” tegasnya menatap mata gadis itu.
“Tapi saya gak mau masuk kesana lagi.”
“Ada saya. Saya gak akan biarkan orang lain mendekati kamu.”
“Benar?”
“Percaya sama saya!”
......................
Dukungannya please .... 😁🙏
Davira dan Endra menghembuskan nafas lega ketika Larisa berhasil ditenangkan oleh pria yang belum mereka kenali itu. Begitu pula dengan Dokter Ningsih ia tersenyum lebar ketika Abi datang di waktu yang tepat. Selama perjalanan kembali ke dalam ruang dokter Ningsih, Larisa tak mau melepaskan dirinya dalam dekapan Abi. Entah kenapa ia merasa lebih aman di dekat pria yang baru saja ia temui tadi.
Di ruangan dokter Ningsih, Abi melakukan sedikit pemeriksaan terkait kondisi Larisa.
“Kamu percaya sama saya kan?” tanya Abi lembut pada gadis itu.
Larisa mengangguk.
“Saya akan memberikan satu suntikan. Apa kamu akan tetap tenang?”
“Itu apa?” tanya Larisa takut.
“Cuma obat, agar kamu bisa merasa sedikit lebih baik.”
“Bukan obat yang tadi disuntikkan ke pasien tadi kan?”
Abi tersenyum. “Bukan! Obat ini gak akan bikin kamu pingsan kok. Kamu bakalan tetap sadar, palingan cuma ngantuk dikit.”
“Nanti tangan sama kaki aku gak diborgol kan?"
“Gak akan. Percaya sama saya! Boleh?”
Larisa mengangguk ragu, tapi Abi tetap santai agar gadis di depannya merasa aman.
“Beres,” ucap Abi.
Larisa tersenyum sekilas.
“Kamu mau jalan-jalan sama suster di taman?” saran Abi.
Raut wajah Larisa tampak waspada.
“Di taman ada bunga mawar. Kamu bisa petik sebagai hadiah untuk saya karena sudah membantu kamu.” jelas Abi.
Larisa masih menekuk wajahnya namun ia juga berpikir. Takut kalau nanti ia dipegangi lagi oleh perawat dan suster seperti tadi.
“Suster gak akan megangin kamu lagi karena mereka takut sama saya.”
Ia setuju. Suter pun menemaninya menuju taman yang dimaksud oleh Abi.
Kedua orang tua Larisa sejak tadi hanya diam memperhatikan bagaimana pria itu berinteraksi dengan purti mereka. Ada banyak pertanyaan yang ingin diungkapkan namun menunggu penjelasan adalah pilihan terbaik untuk saat ini.
Setelah Larisa pergi bersama suster barulah Dokter Ningsih membuka suara.
“Perkenalkan ini putra saya, Abista Mardhani. Lulusan S3 spesialis kejiwaan. Baru saja kembali dari Australia seminggu yang lalu. Dia kesini berencana ingin membuka praktek sendiri.”
“Kami orang tuanya, Larisa,” jelas Endra. “Terimakasih sudah membantu anak saya tadi.”
“Sama-sama, Pak. Boleh saya tau penyebab putri kalian depresi?” Sebagai Doktor spesialis jiwa yang sudah memiliki asam garam tentu Abi bisa menebak hal yang sedang dialami Larisa hanya saja ia butuh penjelasan tentang penyebabnya.
“Kamu bisa bantu sembuhkan anak saya?” tanya Davira penuh harap.
"Untuk saat ini saya belum bisa memberikan kepastian, Buk. Saya baru saja menginjakkan kaki di sini. Rencananya ingin liburan dulu, tapi kalau memang kalian butuh bantuan akan saya pertimbangkan."
Davira berlutut di depan Abista. "Tolong, tolong bantu anak saya untuk bisa sembuh. Cuma kamu satu-satunya dokter yang mampu membuatnya tenang. Selama ini sudah banyak psikolog yang kami datangi namun mereka tak mampu menangani Larisa."
Abi membawa Davira bangkit dan duduk di sofa kembali. Rasa iba dan belas kasihannya yang begitu besar membuat ia tak mampu menolak permohonan seorang ibu ini. Apa lagi dari sorot matanya wanita itu juga tampak mulai stres dengan keadaan sang putri.
"Beri saya waktu untuk mempelajari kondisinya Larisa."
"Kamu serius, Bi?" tanya sang Mama. Namun Abi mengedipkan matanya sebagai kode kalau hal itu bisa mereka bicarakan nanti.
"Hari ini Larisa di bawa pulang dulu. Ini kartu nama saya, besok kalau dia histeris kalian bisa hubungi ke nomor yang tertera di sana," tutur Abi.
"Jadi, anak saya gak perlu dirawat?" tanya Endra.
Abi menggelengkan kepala. "Saya akan menangani Larisa secara pribadi nantinya."
"Tapi-"
"Sebaiknya, Bapak dan Ibuk pulang bersama Larisa. Tenangkan diri kalian dan besok kita bisa bicarakan baik-baik tentangnya."
Ningsih pun setuju akan saran sang putra. Pasutri itu kembali menuju kediaman mereka membawa Larisa yang sudah lebih tenang.
...🐣🐣🐣🐣...
“Kamu kok malah kasih mereka harapan sih, Bi?” tanya sang Mama
“Ya, gimana mau nolak, Ma. Gak bisa! Aku orangnya gak tegaan.”
Ningsih menghembuskan nafas kasar. “Kamu terlalu memikirkan perasaan orang lain, jadinya lupa sama diri sendiri.”
“Maksud, Mama apa sih?” Abi tak beranjak dari duduknya semula.
“Kamu lupa sekarang sudah umur berapa? Seharusnya kamu itu mulai cari calon istri terus nikah biar Mama bisa gendong cucu.”
Sebenarnya hal ini sudah sering mereka bahas. Bagi Abi umurnya belum terlalu tua, makanya ia belum ada keinginan untuk menikah. Hanya saja kalau di Indonesia pria yang sudah menginjak kepala tiga itu dianggap sudah tua.
“Ma.” Abi merasa sedikit jengkel jika membahas hal ini.
“Pokoknya, besok kita ketemu sama anak temannya Mama. Kamu sudah janjikan?!”
“Iya, aku emang janji. Tapi kita cuma ketemu kan?! Gak ada acara perjodohan nantinya.”
“Memangnya kenapa? Mama memang pengen jodohin kamu sama dia.”
“Mah, aku ini sudah dewasa. Kalau aku memang ingin menikah pasti akan menikah. Jadi, Mama gak perlu repot-repot buang waktu menjodohkan aku dengan siapa pun. Tujuan aku pulang ke Indonesia mau buka praktek, buat bantu nyembuhin banyak orang yang mengalami gangguan jiwa. Bukan buat cari jodoh.” Tutur kata Abi terdengar lembut dan tegas.
Ningsih menarik nafas dalam. “Oke. Terus kamu serius mau bantu gadis tadi secara pribadi? Kenapa dia gak dirawat di sini aja?”
Abi menganggukkan kepala. “Aku minta rekam medik kejiwaannya. Psikolog mana sih yang kirim dia kesini?”
Ningsih memberikan dokumen yang berisikan keterangan tentang kesehatan mental Larisa dari rekannya. Ia pun duduk di samping sang putra. “Awalnya, Mama gak mau terima, tapi kata psikolog yang merekomendasikannya itu dia gak bisa lagi ditangani dengan konseling pribadi, makanya di kirim kesini. Mama terima dia dengan maksud ingin membantunya, merekomendasikan kamu ke orang tuanya, tapi, ya, gak sekarang juga. Niatnya sih, nanti pas kamu udah mulai buka praktek.”
“Udah ketemu sekarang itu artinya mereka jodoh sama aku.” Abi membaca sekilas lembaran dokumen yang diberikan sang Mama tadi.
“Kamu ngapain kesini?” tanya wanita yang masih tampak muda itu.
“Rencananya sih tadi mau keliling-keliling. Lihat perkembangan Rumah Sakit ini, tapi kayaknya aku pulang aja deh. Mau pelajari ini,” jawabnya menggoyangkan map berwarna biru itu.
“Hati-hati di jalan, Mama juga mau lanjut kerja. Ingat besok kita makan siang sama anak teman, Mama di restoran T.”
“Oke, Mam.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!