Hello✋ selamat datang di cerita aku ya💖
panggil aku Bunny, not Thor, Author, Kak, atau apapun itu ya. Call me Bunny right now🐰💗
okey, happy reading and enjoy my story💘
REVISI ULANG
***
Presensi pria bersetelan tuxedo berwarna hitam di tengah-tengah acara membuat seluruh atensi para undangan tertuju hanya padanya seorang. Figur tinggi nan tampan itu berhasil menyita seluruh perhatian yang semula tertuju pada sepasang suami istri di tengah-tengah tempat acara.
Pria bersetelan serba hitam itu berjalan menuju tengah tempat acara—di mana pemilik acara ini berada. Sepanjang langkah yang dia hela, tatapan kagum tak henti-hentinya tersorot padanya, bahkan ada yang terang-terangan memuji parasnya yang tampan.
Tapi tentu saja, Dave Charles adalah figur sempurna yang di kenal dengan ketampanan dan sifat ramahnya pada siapa saja. Buktinya saja sekarang, semua orang dia senyumi saat kakinya lewat di depan mereka, yang kian malah membuat kesan tentang seorang Dave Charles semakin baik saja.
“Hei, dude. Kau selalu membuatku kesal atas semua perhatian yang kau curi. Seharusnya aku tidak mengundangmu.” Louis Reynard memutar bola mata saat mengatakannya, menatap sedikit jengkel pada pria 7 tahun lebih muda darinya, yang selalu terlihat sempurna di mana pun dia berada.
“Semua orang tau pemandangan yang layak di kagumi,” lontar Dave santai. Dia lantas menyodorkan papper bag berwarna gold ke arah sahabatnya itu. “Happy wedding anniversary, brother. Buat Kak Florez bahagia terus.”
Lantas Louis tertawa kecil, dia ambil hadiah itu lalu menepuk pundak Dave gemas. “Sampai umur pernikahan kami 100 tahun sekalipun, aku akan tetap membuat Florez bahagia.”
Dave berdecih saja, bucin satu ini tentu tidak perlu di ragukan semua kata-katanya. Menatap ke belakang di mana Florez Ivander menatap ke arahnya dengan senyum hangat, Dave ikut tersenyum dan menghampirinya.
“Selamat hari jadi pernikahan, Kak. Selama ini Louis tidak menyakitimu, kan?”
“Hentikan tuduhanmu, jerk!” umpat Louis kesal.
Tawa Florez Ivander mengudara dengan manis, matanya yang bulat bernetra cokelat itu menyipit karena tawanya yang geli. Semua orang yang melihat Florez Ivander akan berpikir dua kali untuk mengalihkan pandangan dengan cepat dari parasnya yang cantik, rasanya pasti ingin berlama-lama menatap wajah rupawan perempuan itu.
“Thanks baby boy! Oh, iya, mau minum?” Florez menyodorkan gelas yang dia ambil dari meja di sampingnya.
“Sure.”
Louis mendekat, merangkul posesif pinggang Florez kala Dave betah lama-lama dengan istrinya. “Jika tidak dijaga, tuan Charles akan mengambil wanita ini dariku. Dia itu perebut!”
Cih! Dave memutar bola mata jengah. “Tidak usah berlebihan. Aku tidak tertarik dengan istri orang.”
“Bagus kalau gitu.”
Florez tertawa. Perkelahian antara suami dan sahabatnya itu memang selalu terjadi bila mereka bertemu. Dari hal-hal kecil saja selalu ada pertikaian yang muncul, heran bagaimana bisa mereka berteman selama ini.
“Lapar, Dave? Ada banyak ma—“
Bruk!
“Aaawshh!!!”
Suara gaduh dari belakang membuat seluruh perhatian tertuju ke arah sana. Presensi gadis bersurai cokelat yang terjatuh dengan keadaan lutut dan telapak tangan menyentuh tanah itu membuat keadaan menjadi panik apalagi saat Florez dan Louis memekik cemas.
“Oh, God, Serena!”
Kaki Dave hendak ikut menghampiri ke sana, tapi saat nama itu menyapa telinganya, tubuhnya terasa beku dan kakinya keram secara tiba-tiba. Netranya yang hangat, berubah tajam tak kala kepala yang menunduk itu mendongak menatap orang tuanya dengan netra yang sedikit berair.
God ... She’s really cute!
“It hurts, Mom ...,” adunya dengan bibir mencebik.
“It’s okay, honey.” Florez membantu mengangkat putrinya itu dan memeriksa bagian yang terluka. “Cuman luka kecil, gak papa, kok.”
“Tapi pedih. Gimana kalau Serena gak bisa jalan?”
“Daddy bakal gendong Seren ke mana pun Seren mau.” Demi putrinya itu tidak menangis, Louis menenangkan secepatnya.
“Botol Serena pecah ...” jarinya yang mungil menunjuk ke arah botol yang sudah berhambur isinya ke tanah, menyebabkan keadaan tampak berantakan.
“Nggak papa, nanti beli lagi.” Louis buru-buru mengangkat tubuh putrinya dalam gendongannya, lantas meminta maaf karena sudah membuat kekacauan.
“Kita obatin dulu yuk ke dalam.” Florez masuk duluan ke dalam rumah, mengambil kotak P3K yang berada di dapur, lalu duduk di atas kursi meja makan.
“Sini Mom obatin.” Dengan cekatan dan telaten—seakan sudah terbiasa mengobati—Florez membersihkan luka di beberapa bagian tubuh Serena, lalu memberi obat merah dan menutup dengan plaster.
“Gimana bisa jatuh sih, sayang?” Louis bertanya, padahal tanpa bertanya sekalipun dia sudah tahu penyebab terjatuhnya gadis remaja ini.
“Kesandung sendal tadi, Dad. Liat deh, sendalnya gede banget, sih.” Ia angkat satu kakinya, menunjukkan pada kedua orang tuanya sendal apa yang dia pakai.
“Gak heran kalau jatuh.” Louis mendesah gemas. Bagaimana tidak jatuh kalau pakai sendal tidur, yang sialnya memang kebesaran di kaki putrinya.
“Iya, Dad, sendalnya tuh.”
“Okay, stop it. Sudah bahas sendalnya. Sekarang Serena balik ke kamar aja, ya?” suruh Florez sembari mengusap surai panjang Serena, menatapnya penuh kecemasan.
“Mau Daddy antar?”
Serena menggeleng cepat, dia lantas menatap ke luar di mana orang-orang berpesta di belakang rumahnya. Musik yang asyik, membuat Serena penasaran dan ingin bergabung juga.
“Serena udah cantik gini, Mom. Masa gak ikut party, sih?” dia tunjukkan pakaiannya, gaun sebatas lutut berwarna peach dan sendal tidur kebesarannya pada orang tuanya. “Serena bahkan dandan!”
“Yes, i know, baby. Tapi di luar terlalu banyak orang, kamu bisa jatuh lagi kalau ke sana. Kamu tau kalau kamu ceroboh, kan?” Florez menjawil hidung Serena.
“Serena bisa hati-hati. Boleh ya, Dad, Mom?” dia pasang puppy eyes paling ampuh yang dia miliki, namun saat gelengan Florez menjawab, Serena kembali cemberut.
“Dad ...,” adunya merengek.
“Iya, ayo ke belakang.” Louis terkekeh pelan saat Florez melototinya, perempuan itu terlalu over. “Go! Party time, baby?”
“Of course yes!!” dengan semangat membara, Serena bangkit seakan tidak terjadi apa-apa pada tubuhnya. “Party time with Daddy and Mommy, yey!!”
Figur cantik bertubuh mungil itu berlari meninggalkan kedua orang tuanya terlebih dahulu, senyumnya mengembang begitu lebar.
“Gak papa, sayang. Serena udah gede, udah kelas sebelas, tuh!” Louis berusaha membuat kecemasan pada Florez berkurang tentang kecerobohan putri mereka. Dengan hangat pria bermata abu-abu ini membelai surai istrinya.
Thup!
“Aw! Maaf-maaf salahnya aku...”
Pekikan itu kembali membuat atensi berlebihan dari Florez Ivander kian meledak. Buru-buru dia berlari menghampiri putrinya yang berdiri di depan pintu dapur.
“Ya ampun, Seren. Sampai kapan kamu gak buat Mommy cemas?”
Serena menunduk sembari mengusap jidatnya yang berbentur dengan dada seseorang. Itu sakit, tampaknya dada itu terbuat dari besi.
“Ketabrak, Mom. Seren gak liat.”
Perempuan bergaun peach itu mendongak untuk menatap korban yang dia tabrak. Pria asing berwajah hangat itu menarik seluruh perhatian Serena saat ini, menatap tiap inci wajah tanpa senyuman itu. Netra hitam pekat itu seakan siap menerkam Serena yang terus memperhatikan wajahnya.
“Im sorry, uncl—“
“Serena Kyntia Reynard, right?”
“Yes! Its me!” secara spontan Serena menyahut saat namanya di sebut. Alisnya menyatu, menatap penuh tanya pada pria dewasa yang kini menatapnya begitu dalam.
“Hello my Princess.”
***
REVISI ULANG
💗💗💗
“Sayang, ini Paman Dave. Sahabat Daddy.” Louis mengenalkan Dave pada Serena dengan menyebutkan ‘paman’ membuat perasaan tak senang muncul tiba-tiba dari Dave Charles. Tentu saja itu tidak menyenangkan untuknya. Kata uncle terlalu aneh, Dave tidak menyukainya.
"Hei! Aku baru berusia 27 kalau kau lupa! Seharusnya Serena memanggilku 'kakak'," tekan Dave tidak terima di panggil paman.
“Hello, Uncle.” Senyum polos anak usia 17 tahun ini mampu membuat perasaan kesal Dave perlahan surut. Walau dia memanggilnya uncle, Dave tidak bisa menampik bahwa senyum manis itu menggetarkan dadanya.
“Hello, Princess!” balik sapa Dave ceria.
“Kalau kamu lupa, kau itu pamannya. Walau umur kau 27, tapi kamu tetap paman Serena," ucap Louis membuat Dave mendengkus. Lalu, Louis menatap Serena kembali.
"Semenjak Paman Dave pindah ke mainsion dan sibuk mengurus perusahaan, Serena jadi lupa dengan kau, Dave! Padahal dulu, kau yang selalu mengajaknya bermain bahkan menidurkannya saat kami tengah sibuk,” tutur Louis mengingat masa lalu. Senyumnya terpatri tipis, matanya menerawang jauh. “Aku bahkan mengira kau tidak mengingat putriku.”
Dave tersenyum kaku. “Kau tau, sulit melupakan gadis cantik ini.”
Semua tentang Serena di ingatannya tidak mungkin bisa Dave hapus dalam memorinya. Semua ingatan tentang Serena tersusun rapi di kepalanya, mungkin jika otak memiliki folder, maka milik Serena-lah yang paling banyak dan berada di bagian atas. Dan malam ini, memori tentang Serena Kyntia kembali bertambah di kepalanya, entah itu kesan baik atau bukan, jika itu milik Serena, maka akan tetap Dave simpan selamanya.
“Serius? Berarti dulu Serena sering sama Uncle Dave, ya? Tapi, kok, Serena gak ingat sama Uncle?”
Ah, jangan tanya betapa sakitnya hati Dave saat tahu bahwa gadis ini melupakannya.
Florez mengusap surai putrinya pelan. “Kamu terlalu kecil dulu sebelum Uncle Dave tinggal kuliah di luar negeri. Saat kembali, dia sibuk dengan pacarnya.”
“Gitu, ya? Tapi makasi ya Uncle Dave karena udah rawat Serena waktu kecil. Uncle keren!” Serena memberikan dua jempolnya sebagai apresiasi.
Dave terenyak, sulit menelan saliva saat netra bulat itu menatapnya penuh kagum. Bibir merah muda yang tersenyum itu, membuat Dave tanpa sadar menjilat bibir bawahnya. S*it! Gadis itu terlalu sempurna untuk semua pikiran kotor yang bersemayam di kepalanya. Ini akan menjadi kesalahan terbesar yang Dave lakukan, ia sudah memprediksikannya.
“Boleh Serena tanya-tanya tentang Uncle?” dia meminta persetujuan. Dagunya berpangku pada tangan, menatap penuh ketertarikan pada pria yang tampaknya tidak jauh berbeda dengan umur ayahnya.
“Of course, Princess. Tanyakan sampai kamu tahu semua tentang aku.” Bukankah ini kesempatan bagus? Dave tidak akan melewatkan satu pertanyaan pun yang Serena lontarkan, sebab baginya dengan gadis itu tahu semua tentangnya, maka semua akan terasa mudah.
“Mengobrollah kalian berdua. Kami akan menyambut tamu.” Louis memotong obrolan Dave dan Serena. Pria bersetelan formal itu bangkit, di susul oleh Florez.
“Honey, tunggu di sini dan jangan jalan-jalan ke kerumunan. Jika ngantuk, suruh Uncle Dave mengantarkan kamu ke dalam.” Florez memberikan kecupan singkat di pucuk kepala putrinya.
“Yes, Mommy!” Serena memberikan dua jempolnya.
“Kalau gitu Mommy tinggal.” Serena mengangguk, dia menatap kepergian kedua orang tuanya yang mulai tenggelam di antara banyaknya tamu undangan.
“Uncle, ayo mulai sesi wawancara!”
Dave mengangguk dan tersenyum gemas. Netranya tidak sama sekali lepas dari figur cantik nan polos yang tengah berpikir keras mengenai pertanyaan yang akan dia lontarkan. Mungkin sangat banyak sehingga Serena berpikir cukup lama untuk memilah-milah pertanyaannya.
“Dulu Daddy juga pernah cerita sama Serena kalau Daddy punya sahabat baik. Tapi Daddy bilang juga kalau sahabat baiknya sibuk terus susah diajak kumpul. Serena tau semua tentang sahabat baik Daddy, tapi baru kali ini Serena tau muka dia,” tuturnya panjang.
“He’s handsome, right?” goda Dave dengan menaik turunkan alisnya.
“Mmm... not bad,” balas Serena sambil tertawa. Melihat raut wajah Dave yang pura-pura jengkel, kian membuat tawa Serena lepas. “Yes, uncle! He’s handsome.”
Dave menahan senyumnya, secara otomatis juga tangannya terangkat menyentuh permukaan rambut halus gadis ini, mengusapnya gemas dengan tatapan yang sulit di artikan.
“Akhirnya Serena punya uncle dekat. Soalnya semua keluarga Serena jauh.” Netra itu terlihat senang, bahkan Serena terlihat sangat menyukai elusan Dave pada surainya.
“Serena,” panggil Dave.
“Yes?”
“Bisa tidak panggil aku ‘uncle’? Itu terasa tidak nyaman.”
“Terus panggil apa? Om?” ia tatap dengan polos wajah Dave.
“That's not it too, baby.” Dave cubit hidung Serena gemas. “Call me Daddy too.”
“Hah?” mata Serena berkedip kaget, mulutnya sedikit terbuka bingung harus merespons bagaimana. Terbuka, lalu tertutup lagi. Hingga diam-diam membuat Dave mengeraskan rahang menahan semua gejolak gila dalam dirinya saat wajah menggemaskan itu terlihat jelas di matanya.
“Two Daddy?” tanya Serena sembari mengangkat dua jarinya ke udara.
Dave akhirnya tertawa, tingkah gemas itu mudah sekali memporak-porandakan dirinya. “Not bad. Bagaimana menurutmu?”
“Emm ... Serena gak suka. Uncle Dave kan bukan Daddy-nya aku, bukan suami Mommy juga. Yang bener tuh ya uncle! Uncle Dave!”
“Jadi, aku harus jadi suami Mommy kamu?”
“Ih! Enggak!” tolak Serena langsung dengan tatapan tidak suka. “Mommy cuman milik Daddy. Uncle Dave gak boleh ngambil!” ujarnya marah.
“I know.” Dave tersenyum tipis. Dia condongkan sedikit tubuhnya hingga berhenti tepat di samping wajah Serena. Aroma manis vanila bercampur susu cokelat itu membuat Dave menutup matanya sesaat, menahan untuk tidak mengecup leher gadis itu.
“Because i like you baby girl. Not your mommy.”
...💗💗💗...
Malam yang terasa panjang bagi Dave Charles. Sebab kini, jendela kamarnya di biarkan terbuka hingga embusan angin malam menghembus ke dalam. Petangnya kamar ini juga kian membuat Dave merasa akan mati akan kegelisahan dirinya sendiri. Sepi, gelap dan dingin, kombinasi paling tidak Dave sukai. Tapi, dia tetap berdiam diri dalam ketidaknyamanan itu.
Tubuh atletisnya di biarkan berbaring tanpa baju di ranjang, matanya menatap dalam-dalam langit-langit kamar yang gelap.
"Serena ...” dia bergumam frustrasi, apalagi saat bayangan manis gadis 17 tahun yang tidak pernah ia tatap selama 10 tahun itu berputar di kepalanya. Wajah cantik dan tatapan polos gadis itu benar-benar tidak bisa enyah dalam memorinya.
“Serena ...” tangan Dave mengeras, sebiasa mungkin mengontrol kegilaannya sebelum benar-benar meledak. Ini gila, Dave dalam bahaya jika terus-terusan memikirkan wajah itu.
“F*ck! What are you doing, Serena?!! Get out of my mind!”
Menyebalkan. Itu padalah salahnya, kenapa malah menyalahkan Serena atas semua fantasi gila yang Dave ciptakan sendiri? Sungguh, Dave benar-benar tidak tertolong.
“Serena ... Serena ... Kapan terakhir kali aku nyebut nama kamu, Princess?” kerinduan selama 11 tahun yang Dave tahan sebaik mungkin hancur lebur dalam beberapa jam saja malam ini. Bukan gadis kecil berusia 6 tahun lagi yang Dave temui, tapi remaja yang bahkan seharusnya sudah mengenal cinta.
Sial, memikirkan soal cinta remaja membuat Dave kesal. Mustahil Serena tidak dekat dengan seseorang di sekolahnya, itu pasti. Haruskah Dave kembali menjadi cowok 17 tahun untuk memantau Serena-nya?
Ah gila, Dave semakin meracau.
“Kali ini, saya gak akan ngelepas kamu lagi, Serena. Masa bodoh dengan keluargamu.” Figur tampan nan gagah itu beranjak, mengenakan kemejanya terakhir kali dengan asal, lalu merampas kunci mobil dan dompet di atas nakas.
Dave perlu pelepasan. Ia tidak bisa melakukannya sendiri dengan menjadikan Serena sebagai bahan fantasinya. Terlalu kotor, Dave enggan mengotori Serena. Hanya untuk saat ini, tapi tidak untuk nanti. Ia sudah menahan selama ini, maka biarkan Dave melakukannya.
...💗💗💗...
“Ingat, kalau udah waktunya pulang, tetap tunggu di dalam gerbang, jangan di luar sampai Kang Adi jemput. Jangan bandel dong sayang kayak kemarin-kemarin. Serena paham kan, Nak?” Florez memberi pesan begitu panjang setiap kali putrinya turun dari mobil untuk masuk ke dalam sekolah. Pesan yang selalu sama, tapi anehnya putrinya itu selalu bengal.
Serena mengerucutkan bibirnya. “Serena ‘kan udah besar, Mom, udah ngerti. Lagian, Serena kan ngikuti Angel kalau udah bel pulang. Angel aja udah boleh bawa mobil sendiri sama mamanya.”
“Hush! Malah balik ceramahi Mommy.” Florez tarik hidung Serena gemas. “Angel itu beda sama kamu, jadi jangan sok-sokan. Ingat kata Mommy, kan?”
“Sayang, Serena bukan anak kecil lagi. Biarin lah dia bebas sebentar aja, gak bakal kenapa-napa juga kok.” Louis memberi pembelaan pada putrinya, yang langsung saja menciptakan senyum cerah di bibir Serena.
“That Right!”
“Gak ada perlawanan. Cepat masuk sana, nanti telat.”
“Ish, Mommy selalu nyebelin.” Dengan wajah cemberut dan di tekuk, Serena berjalan ke masuk ke sekolahnya yang ramai, meninggalkan Florez yang berdecak melihat tingkah itu.
“Woi Siren!”
Serena memutar bola mata mendengar suara Angel memanggilnya dari jauh, tak luput nama ejekan yang menyebalkan.
“Serena! Not Siren, Angelaaaaa!” makin jengkel saja Serena pagi ini.
“Hehehe iya sih, gak cocok emang sama nama lo. Lo kan cupu.”
“Tuhkan, nyebelin!”
Angela tertawa renyah, membuat pagi Serena kian petang saja.
“Yok masuk.” Angela menggandeng lengan Serena untuk masuk bersama ke dalam gedung sekolah. “Eh malam ini ‘kan malam minggu yak. Gue, Rain sama Sea mau hang out nih. Lo mau ikut gak?”
“Kemana???? Mau dong jalan-jalan malam juga.”
“Di bolehin gak masalahnya lo! Secara ya, lo kan paling beda dari kita-kita. Aneh aja sih kok bisa gue mau temenan sama cupu kayak lo.”
“Ih! Angela nyebelin banget. Aku sedih, nih?”
“Bukan gimana-gimana ya, Siren. Lo kan tau emak lo sendiri gimana, over banget ngelebihi cowok gue. Gue tau ya lo anak satu-satunya, cewek juga, dodol lagi. Gak heran juga di kekang banget. Butttttt ... why outrageous??? Lo kan udah gede juga,” lontar Angela penuh keheranan, masih tidak paham kenapa ibu Serena begitu posesif.
“Gak tau sih. Mungkin karena Mommy aku sayang aku kali, ya?”
Sontak, kepala Serena mendapat toyoran kasar dari Angela. “Semua emak di muka bumi ini juga sayang kali sama anaknya. Cuman ortu gak waras yang gak sayang sama anaknya.”
“Iya juga sih ...”
“Goblok banget temen gue!” jengah Angela.
“Gini aja, gimana kalau lo izin buat nginep di rumah gue? Ortu kita kan deket juga, temenan, pasti di bolehin lah kayak kemarin-kemarin lo nginep rumah gue buat ngerjain tugas padahal aslinya ngedrakor. Gitulah pokoknya! Lo boong aja, gak papa kali cuman beberapa puluh aja lo boong, kan? Lo kan anak baik, gak mungkin boong kayak gue yang udah gak terhitung.”
Sebenarnya, Serena puyeng mendengarkan ocehan Angela yang panjang dan cepat. Tapi, Serena menangkap kalau dia harus berbohong dengan menginap di rumah Angela, tapi faktanya mereka akan jalan-jalan.
“Oke deh! Tapi nanti bantuin izinnya, ya?”
“Sip lah, Siren! Gue ajakin dua babu kita juga ya!”
Serena memberikan jempolnya, senyumnya mengembang. “Sesekali gak papa, kan?” gumamnya.
...💗💗💗...
“Em ... Ngel, kok kamu pakai baju seksi gitu, sih?” Serena tatap penuh tanya pada Angela yang sudah siap style super terbuka ciri khas Angela sekali. Tapi malam ini Angela terlalu terbuka, dia hanya mengenakan jeans super pendek, dan tank top corp tanpa ada lapisannya lagi. Ugh! Serena yang malu.
“Kenapa? Lo mau pakai gini juga?”
“IHH!!” Serena langsung menutup tubuhnya sembari menjauh. “Yang ada aku bakal beku kedinginan!” katanya super positif.
“Kita juga bakal pergi ke dalam ruangan, bukan jalan-jalan di luar, Siren. Lo kenapa lagi pake baju serba panjang gitu? Setidaknya pake rok di atas lutut, kek! Ini lo mau ke kutub utara?”
“Dingin, Angela. Gimana kalau nanti ada yang liatin aku? Bahaya tau!”
“Iya-iya anak polos.” Angela malas berdebat hanya karena pakaian, maka dengan cepat ia mengambil tasnya. “Yok buruan! Rain sama Sea udah di sana.”
Serena mengikuti langkah Angela keluar dari kamar, membuntuti langkah itu sembari berpikir bolehkan ia melakukan ini? Pukul sepuluh malam, orang tua Angela bahkan sudah tidur.
Serena lantas menarik tali tas milik Angela saat mereka hampir mencapai pintu utama. “Angel ...” panggilnya pelan membuat Angela menoleh sambil mengangkat alis.
“Ngapa?”
“Aku takut, Ngel, keluar malam-malam gini. Kamu aja gak izin,” lontar Serena cemas.
“Duh, Siren! Lo gak jalan sendirian, ada gue, Rain sama Sea. Gak usah takut, lo kita jagain, kok.”
“Aku gak yakin kamu bakal jagain aku.” Serena memasang wajah jengah, tampak sudah terbiasa dengan omong kosong sahabatnya ini.
Angela mengibaskan tangannya cepat. “Aman aja kok, Siren. Asal lo yakin.”
“Yakin gimana?”
“Yakin gak kenapa-napalah! Rilex okay?” Figur cantik milik Angela yang memancarkan sebuah keyakinan, membuat Serena akhirnya yakin juga dan memilih mengangguk.
“Ayo buru!”
Mereka pergi tanpa izin orang tua Angela, dan Serena pun berbohong pada orang tuanya. Tapi seperti apa yang Angela katakan, ia harus yakin.
...💗💗💗...
Lembur adalah rutinitas Dave setiap hari bahkan weekend sekalipun. Berteman bersama tumpukan berkas yang harus di periksa dan di tanda tangani, lalu rapat beberapa kali dengan beberapa bagian. Ugh, sangat banyak sekali kesibukan figur tampan ini.
Dari jendela besar ruangan Dave, ia dapat melihat keramaian dari ketinggian gedung perusahaan. Sangat ramai. Malam ini adalah malam minggu, malam yang seharusnya Dave isi dengan santai-santai.
Di perusahaan hanya tersisa Dave dan sekretarisnya di luar. Semua karyawan sudah pulang pukul empat sore tadi, dan sekarang sudah pukul tujuh malam.
Tok tok tok.
Fokus Dave pada berkas-berkas di hadapannya buyar seketika pintu kayu itu terbuka dan menghadirkan sosok cantik nan elegan milik Raisa Faradhita. Sekretaris yang sudah bekerja 5 tahun pada Dave, figur yang karyawan lain sebut sempurna.
“Maaf mengganggu, Pak. Sudah waktunya makan malam, Bapak ingin saya pesankan apa untuk makan malam?” Raisa Faradhita dengan suaranya yang lembut itu membuat Dave tersenyum tipis.
“Tidak perlu. Kamu bisa pulang, ini sudah lewat dari jam yang seharusnya.”
“Bagaimana dengan Bapak?”
“Saya juga akan pulang.” Dave bangkit dari duduknya tanpa membereskan berkas-berkas yang berhambur. Dia ambil jas dan tasnya di sofa, lantas mendekati Raisa. “Biar saya antar kamu.”
Raisa tersenyum sopan dan menggeleng pelan. “Tidak perlu, Pak Dave. Saya bisa pulang sendiri.”
“Pulang pakai apa?”
“Saya menggunakan taksi, Pak.”
“Kalau gitu, pulang sama saya saja. Saya tunggu di bawah.”
“Tapi, Pak ...”
Dave berlalu tanpa menghiraukan protesan Raisa. Dia berjalan keluar sembari menatap layar ponselnya yang menampilkan chatting dengan Louis. Namun merasa tak puas dengan obrolan dengan ketikan, Dave langsung menghubungi sahabatnya itu.
“Kau menggangguku Dave dengan menelepon malam minggu seperti ini.” Suara Louis terdengar kesal di seberang sana.
“Serena tidak ada di rumah?”
“Udah aku bilang ‘kan kalau putriku menginap di rumah Angela. Dia bilang bosan di rumah, makanya dia ngebet banget nginep di rumah Angela.”
“Rumah Angela di mana?” duh, bukan gimana-gimana ya, Dave sungguh merindukan gadis yang minggu lalu ia temui terakhir kali. Niat awalnya ia ingin pergi ke rumah sahabatnya itu, tapi saat tahu bahwa gadisnya tidak ada di sana, Dave jadi urung.
“Jangan ganggu putriku bermain dengan sahabatnya, man. Kau seharusnya bermain juga malam minggu seperti ini, jangan malah mengganggu orang lain.”
“Cih! Kontrol saja suara desahanmu itu, brother. Aku tutup!”
“Sialan si jomblo!” umpat Louis.
Dave tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Ini masih pukul setengah delapan, dan si sialan Louis sudah melakukan itu. Sepertinya pria itu juga bersyukur putrinya menginap di rumah sahabatnya.
“Maaf menunggu lama, Pak.” Raisa datang tepat di mana Dave membuka kunci mobilnya.
“No problem, Raisa. Just rilex!” ucap Dave ramah.
Raisa tersenyum manis, mengagumi paras dan kepribadian bosnya yang sangat sempurna. Raisa adalah salah satu orang yang beruntung bisa sedekat ini dengan sosok Dave Charles.
“Let us go home!”
...💗💗💗...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!