Pagi-pagi di rumahnya yang sederhana Nuraini berdandan secantik mungkin menyambut kedatangan Agung Mahendra suaminya setelah tiga tahun penantiannya.
Bagaimana mereka terikat dengan nikah gantung ini, itu karena tiga tahun yang lalu sebelum usianya genap 16 tahun, Ayahnya menerima pinangan dari orang tua Agung yang kala itu berusia 24 tahun dengan alasan persahabatan.
Berhubung Anik masih sekolah tidak ada pesta meriah hanya akad nikah yang hanya dihadiri oleh keluarga inti saja, apalagi malam pertama.
Semula Anik menerima karena ingin patuh pada Ayahnya namun ternyata Agung sangat tampan sehingga terbit rasa suka di hatinya, disinilah ia sekarang menunggu dengan gelisah bolak-balik ke kamar mandi sampai bajunya kusut dan riasannya luntur.
"Mana sih! Kenapa mereka belum sampai, huh!" Keluhnya sambil memegangi perutnya. Menunggu membuat Anik meriang, mules serta jantung berdebar-debar. Gejala ciri-ciri orang nervous.
"Iya, coba telpon Yah!" Ningsih ibunya Anik pun ikutan gerah.
Perjalanan dari Kota Jkt ke desa Anik cuma dua jam lebih dengan mobil pribadi. Kalau berangkat jam sembilan pagi jam sebelas siang atau paling telat jam dua belas sudah sampai lewat jalan tol. Sekarang waktu menunjukkan angka 14.30wib. "Hm..." Sekdes Safar membuang nafas pelan.
"Mungkinkah terjadi kecelakaan?" Tanya Ningsih pada suaminya.
"Hus, jangan bicara sembarangan! Wicaksana itu keluarga terpandang, banyak iring-iringan pengawal yang menjaga keselamatan mereka."
"Tapi kalau Allah berkehendak..."
"Diam lah," potong Sekdes Safar marah, ucapan istrinya ini seolah mendo'akan.
"Baru terlambat dua jam kamu sudah bawel!" Bentaknya, Ningsih terdiam. Menarik nafas berat membuangnya kasar, hah! Bahkan saat pernikahannya dulu, Ningsih tidak gelisah seperti ini menunggu pengantin prianya.
"Anik, lihat ini!" Cilla bernama lengkap Prisila Hermana usia 20 tahun, satu-satunya teman Anik yang tau dia telah menikah, tiba-tiba berteriak.
Karena penasaran dengan tampang suami teman sebangkunya di SMA itu, ia ikut makan siang bersama keluarga Anik yang berakhir kecewa. Namun dengan sabar dia menunggu sambil browsing-browsing hapenya.
"Apa sih, bikin kaget aja!" kesal Anik. Karena lama menunggu hormonnya jadi gak stabil, perasaannya benar-benar gelisah. Duduk gak tenang, berdiri apalagi.
"Ini," Cila menunjukkan layar hapenya.
"Sebuah ledakan di jalan tol memakan korban jiwa, untuk sementara berjumlah lima belas orang termasuk orang penting Wicaksana Grup."
"Aaaaa!" Anik menutup mulut kaget.
Safar dan istrinya juga terkejut, segera membuka ponsel masing-masing.
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un."
***
Malam hari di Rumah besar Wicaksana tamu-tamu berdatangan berpakaian hitam-hitam, terutama dari karyawan perusahaan. Rekan bisnis bahkan Kepala negara, beberapa menteri beserta staf datang menyampaikan ucapan turut berduka cita.
Tuan Tara Wicaksana dan Istinya Nyonya Nadya ikut menjadi korban ledakan, dua pengawal dan juga supir pribadi.
Keluarga Anik sudah sampai di rumah duka, duduk paling depan di samping jenazah disemayamkan. Rencananya besok akan dimakamkan menunggu keluarga besar lainnya berdatangan.
Dengan mata sembab, Anik mencari keberadaan suaminya. Bertanya pada pengawal Rumah Besar tidak ada yang mengetahuinya. Begitu juga pelayan wanita di dapur, mereka tidak tau kalau Anik adalah istri Tuan muda mereka.
"Ngapain dia nanya-nanya," sinis sesama pelayan wanita.
"Tau, pacarnya kali." Jawaban salah satu ART mengundang cekikikan ART yang lain.
"Kalau dia pacar Mas Agung berarti aku istrinya," ujar Susi si ART paling seksi.
Hahahaha, mereka tertawa sambil tutup mulut takut dibilang kurang ajar kalau ada yang mendengar.
"Aku tidak melihat Mas Agung semenjak pulang dari London, ada yang tau?" tanya yang lain.
"Pastilah sibuk, kamu gak tau kejadian ini bisa berdampak tidak baik pada saham perusahaan."
Cis! "Sotoy lo, kebanyakan nonton drama. Mas Agung belum bekerja di perusahaan kan?"
"Kalau iya juga, masa lebih mementingkan saham dari pada orang tua."
Anik menguping pembicaraan, karena di berita tidak ada nama Mahendra ikut menjadi korban jiwa maupun luka-luka, artinya Agung dalam keadaaan sehat wal'afiat.
"Mas Agung dimana sih kamu?"
Anik tidak mengenal satupun dari keluarga Agung, jadi disini statusnya belum jelas sebelum dia bertemu suaminya itu. Orang tua Anik tidak mau lancang memperkenalkan siapa dirinya, walaupun ada photo-photo mereka saat menikah dan satu bukti yang paling konkrit yaitu surat nikah.
Saat ijab Kabul satu pengawal yang jadi korban dan Supir ikut menjadi saksi, tapi mereka pun telah meninggal. Ada satu pengawal lagi yang dia ingat tapi sama seperti Agung, Anik tidak tahu dimana keberadaannya.
***
Sementara Anik mencari Suaminya.
Agung sendiri sedang duduk termenung di ruang baca keluarganya di lantai tiga, tidak ada yang tau kapan dia datang.
Saat tiba dari luar negeri Agung pergi ke kota B bertemu dengan teman-temannya. Berjanji akan menyusul ke rumah Anik saat pesta berakhir. Namun sampai seminggu Agung belum juga ke rumah istri di atas kertasnya itu, orang tuanya ngotot mau menjemput menantu mereka walau tanpa dirinya.
"Akh!"
Agung mengepal tangan geram, tidak ada air yang keluar dari matanya. Yang ada hanya amarah, dendam pada Anik penyebab orang tuanya tewas.
Dari laporan asisten pribadinya, Agung tau keluarga Anik ada di ruang utama. "Presiden datang saja aku tidak keluar, apalagi mereka. Dasar keluarga pembawa sia!"
Agung meninju pegangan kursinya, ingin rasanya mencekik mereka satu persatu. Terutama Anik, perempuan jelek yang tidak sadar bentuk itu.
Prank!
Barang-barang di atas meja kerja Papanya jadi korban kemarahan Agung, juga yang ada di lemari buku hancur berserakan di lantai.
"Mas Agung, anda tidak apa-apa?"
Doni si asisten pribadi bertanya khawatir. Takut kenapa-napa dengan Tuan mudanya itu, sejak tadi dia berdiri di depan pintu ruang baca berjaga-jaga.
Waktu menunjukkan angka 23.00wib, Rumah Besar Wicaksana sepi. Tinggal pengawal dan beberapa tetangga yang akrab menemani keluarga besar bercakap-cakap.
"Doni, Agung ada di dalam?" tanya Kakak perempuan Agung datang menghampiri. Saat mendengar keributan dari lantai atas, dia segera naik.
Agung merupakan anak tunggal tidak mempunyai saudara kandung, hanya ada satu saudari angkat yaitu Adelia berusia 35 tahun yang masih betah sendiri. Adel termasuk jajaran petinggi perusahaan, pemilik saham nomor 4 terbesar setelah Papa Tara, Mama Nadya dan Agung Mahendra sendiri.
"Ada Nona," angguk Doni menunduk hormat. "Tapi Mas Agung ingin sendiri," lanjutnya.
Ck! Tidak perduli dengan peringatan Doni, Adel membuat panggilan nomor Agung beberapa kali namun benar saja tidak di angkat-angkat bahkan panggilannya direjeck lalu ponselnya di off.
Tok tok tok! Adelia mengetuk.
Satu kali...
Dua kali...
Tiga kali...
Sampai sepuluh kali tidak ada jawaban juga, Adelia tidak mau putus asa. Mengambil kunci serap miliknya lalu membuka sendiri pintunya.
Astaga!
Melihat kehancuran di ruang baca melebihi kena gempa delapan skala richter. "Agung!" panggil Adelia menghampiri adik tampannya. Menangis sejadi-jadinya, memeluk Agung yang terduduk di Sofa.
Wajahnya tertutup jemari tangannya, Agung yang menengadah ke atas kemudian menunduk ke arah kakak di pelukannya.
"Huh!"
Menarik nafas berat membuangnya kasar, Agung balas memeluk kakak cantiknya. Hampir terpancing sedih, namun Agung menahan diri untuk tidak menangis.
Perasaan marah ini akan ku patri dalam hati, untuk membalas dendam pada keluarga sialan itu.
Rahangnya mengetat, suara gigi gemeretak Agung terdengar di telinga Adelia.
***
Saat mendengar keributan Anik mengendap ke lantai tiga, banyak tangga menuju ke atas. Di depan satu pintu yang terbuka, dia melihat seseorang yang familiar.
Sepertinya bapak ini salah seorang yang dulu ikut menjadi saksi pernikahanku dengan Mas Agung. Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga saksi yang masih hidup.
Ucap dalam hati Anik, kemudiannya berjalan mendekati si pengawal.
"Nyonya," sapa Doni melihat Anik.
"Hm," senyum Anik membalas anggukan Doni, ternyata dia ingat padaku batin Anik lega. Merasa ada harapan bertemu suaminya malam ini. "Saya mencari Mas Agung, Pak." Anik suara pelan berbisik, takut kedengaran orang.
"Ada di dalam, Nyonya. Tapi Mas Agung tidak mau diganggu katanya." Doni berkata segan, secara ia tahu Anik adalah istri sah Agung.
"Begitu ya," gumam Anik spontan melirik ke dalam ruangan dari celah pintu yang terbuka, seketika matanya membelalak.
Seorang perempuan berambut gelombang sebahu, wajahnya tidak terlalu jelas kelihatan. Hampir separuh bagian atas tubuhnya terbuka, tersembul dua buah semangka ukuran mantap untuk seorang wanita yang disebut seksi.
Tiba-tiba pitam kepalanya pusing, tubuhnya hampir melorot kalau Anik tidak cepat-cepat menyandar ke dinding. Dengan matanya sendiri, Anik melihat suaminya Agung sedang bercumbu dengan sangat bernafsu.
***Tbc.
"Nyonya, anda tidak apa-apa?" tanya Doni khawatir memandang raut istri Tuan mudanya tiba-tiba pucat dan hampir jatuh.
Anik menggeleng, menahan tubuhnya agar tidak melorot ke lantai. Ingin segera pergi, lututnya masih gemetar.
Melirik dari sela pintu ke dalam ruang baca, Doni mengerut dahi. Cuma dia yang tau kejadian tak senonoh Adelia pada Agung saat masih remaja.
Dasar siluman, apa Mas Agung sudah memaafkan Mbak Adel?
Hah!
Melihat Anik, Doni jadi mengerti apa penyebab Nyonya mudanya ini menangis tersedu sedan.
Menepuk-nepuk dadanya yang sesak tanpa permisi pada Doni, Anik berjalan perlahan menuruni anak tangga. Harapannya jadi istri Agung pupus sudah, siapa lah diriku ini bermimpi terlalu tinggi. Anik mengusap air matanya yang semakin dihapus semakin deras.
Akh!
Sebelum menghampiri Ayah dan Ibunya, Anik berusaha meredakan tangisannya. Menimbang-nimbang, apakah mau memberitahukan atau tidak perbuatan Agung pada orang tuanya.
Aih, aku lupa mengambil gambar sebagai bukti. Agung tidak menyukaiku, yang bersikeras menikahkan kami adalah Tuan Tara. Sekarang beliau telah meninggal, hubungan suami istri terpaksa cukup sampai disini. Agung memiliki wanita, tanpa minta cerai pun aku yakin dia akan mencampakkanku. Sebaiknya aku menyiapkan mental.
Dalam hati Anik terasa sakit banget, dia menyukai Agung dari pandangan pertama tapi tidak menyadari seberapa dalam rasa itu.
Apakah aku telah jatuh cinta pada Mas Agung? Ya Tuhan, kenapa sakit sekali rasanya dikhianati.
Jatuh lagi air mata, menjelang pukul 01.00wib dini hari tangisnya pun reda. Anik mendatangi orang tuanya, "ayah! Kenapa tidak pulang saja dulu. Besok datang lagi langsung ke pemakaman," usul Anik.
"Iya betul kata Anik," ujar Ningsih yang ngantuk-ngantuk setuju.
Tidak ada juga yang memperdulikan mereka. "Anik tinggallah disini Nak, tunggu suamimu." Safar memohon gak enak hati pada besannya yang terbujur kaku.
Menunggu suami berselingkuh? Benar-benar kena mental...
Anik menatap Ayahnya ragu, mau bilang apa tidak.
Lebih baik bicarakan dulu dengan Mas Agung, mau dibawa kemana hubungan ini. Apa maksudnya menikah denganku kalau punya wanita lain.
"Kamu bisa berteman dengan pelayan, bantulah apa saja." Safar menatap putrinya, sayu. Khawatir juga meninggalkan nya sendirian di tempat asing.
Ya Tuhan! Ku mohon, ini kali terakhir aku berurusan dengan Agung batin Anik lalu mengangguk. "Baiklah, Anik nurut apa kata Ayah."
Hm...Sekdes Safar menarik senyuman. Kasihan pada putrinya, sebagai istri Tuan rumah dirinya tidak dianggap oleh keluarga Wicaksana. Hanya Tara dan Nadya yang mendukung Anik, sekarang sudah tidak ada lagi. Sekdes Safar bahkan tidak melihat wujud menantunya dari tadi. "Ya sudah, kami pulang dulu." Pamitnya pada Anik, mengajak Ningsih pergi. Mata istrinya itu redup seperti lampu lima watt.
Menemani Ayah dan ibunya ke mobil, "besok Anik ikut siapa ke pemakaman?" Tanya Anik.
Sebagai menantu, ia merasa berkewajiban mengantar mendiang mertuanya itu ke pembaringan terakhir.
"Pagi-pagi Ayah akan menjemputmu," janji Safar.
Dia hanya ingin mengantar istrinya pulang biar gak terlantar di rumah orang, Safar tidak tau bahwa ini akan menjadi yang terakhir kalinya dia bisa melihat wajah Anik.
Safar membawa mobilnya keluar dari Rumah Besar keluarga Wicaksana tanpa permisi pada keluarga mendiang besannya itu, Anik melambai pada kedua orang tuanya.
Di satu pojok halaman. "Bos! Mereka pergi meninggalkan target," lapor anak buahnya.
"Habisi dulu yang dua orang!" Seorang wanita menarik ujung bibirnya, menyeringai sinis.
"Baik, Bos!" Jawaban dari seberang telepon.
Adel di pelukan Agung, menghapus pesan chatnya tersenyum girang. Walaupun dia bukan satu-satunya wanita yang dekat dengan Agung, namun posisinya paling kuat sebagai anggota keluarga. Siapa yang menghalangi jalannya harus dimusnahkan dari muka bumi.
Setelah sekian lama menahan diri, tiba-tiba Agung menciumnya dengan suka rela. Tentu saja Adel kaget sekaligus senang, bisa luluh juga si gunung es. Selama ini, diam-diam Adel mengirim mata-mata kemana saja Agung pergi.
Begitu banyak wanita di sekelilingmu belum ada yang kau anggap serius, tidak disangka ternyata diam-diam kau menyukaiku juga.
Senyum Adel masih betah di pelukan adik kesayangannya itu, menangis sesenggukan.
Jika air mata adalah senjata yang ampuh untuk menarik simpati Agung, aish kenapa gak dari dulu saja aku berlagak jadi gadis cengeng.
Hah!
Agung menarik nafas berat menghempasnya kasar, walau bukan yang pertama tapi tadi dia melakukannya secara sadar agar dilihat oleh istri sialan itu.
Dulu saat remaja Agung pernah mimpi malam, ketika membuka mata ada Adel di pelukannya. Tentu saja Agung kaget dan marah, secara Adel dan dirinya kakak adik. Adel minta maaf dan menyatakan perasaannya, Agung tidak menolak dengan kasar. Hanya mengingatkan Adel agar menjaga jarak dengannya, kalau dia ngelunjak barulah ditindak tegas. Untungnya tidak demikian. Kenapa Adel bisa menaruh hati padanya, Agung mencari tau ternyata mereka bukan saudara kandung, jadi ya sah-sah saja.
Agung tersenyum devil, menyusun rencana pembalasan dendamnya pada Anik.Tanpa bicara dia meninggalkan Adel, kembali dengan sikap dinginnya.
Barusan dia hangat kenapa sekarang kumat lagi. "Agung," panggil Adel lirih, masih ada sisa tangisnya yang dibuat-buat.
"Aku mau mandi, gerah!" Jawab Agung ketus tanpa menoleh.
Adel terhenyak tidak mengerti dengan sikap Agung, kenapa mempermainkan perasaannya.
Kalau bukan karena ingin dilihat perempuan itu, gak sudi aku menciummu.
Agung menekan rasa jijiknya pada Adel dengan mengingat Anik, perempuan yang telah dinikahinya tiga tahun yang lalu. Perempuan yang menyebabkan orang tuanya meninggal.
Kalau bukan karena mau menjemputnya, Papa dan Mama tidak akan kena musibah. Dulu tidak suka sekarang tambah benci.
Di kamar mandi Agung mengguyur tubuhnya di bawah shower masih berpakaian. Kepalanya panas terasa mau pecah, gak sabar ingin menyiksa anak orang. "Doni!" Agung memanggil dengan suara keras.
"Ya, Mas!" Doni menjawab dengan suara keras juga lalu masuk ke kamar Tuan Mudanya. Doni mengikuti kemana saja Agung pergi, menunggu di depan pintu kamar, standby.
"Panggil wanita itu!"
Wanita itu, siapa neh maksudnya?
"Nona Adel, Mas?" Tanya Doni ingin memastikan.
"Bukan! Wanita yang tadi bersama kamu."
Oh, berarti Mas Agung telah melihat istrinya.
"Baik Mas." Segera Doni mencari Anik.
***
Di ruang utama, Anik gak bisa tidur walaupun ada tempat buat geletak di ambal. Daripada bengong, ia bantu mengangkat gelas-gelas kosong. Mengumpulkan plastik-plastik bekas air mineral, lumayan rapi Anik istirahat duduk di ruang tamu. Memejamkan mata, terlintas di benaknya gambaran Agung dan si wanita di ruangan baca.
Dia menatapku.. apa Mas Agung lupa dengan wajahku. Menyangka aku ini pelayan rumahnya jadi tidak perduli. Seharusnya dia berhenti melakukan hal tak senonoh saat ada orang yang melihatnya, entah itu siapa. Ah, sudah biasa kali terpengaruh budaya luar.
Anik bermonolog sendiri, tak terasa jatuh air mata. Bisa dikira orang bahwa dia yang kehilangan orang tua. Bisa dikira orang, bahwa orang tuannya lah yang meninggal.
Ih, amit-amit jabang bayi. Astaghfirullah.
Ucap Anik buru-buru terbayang Ayahnya yang sedang nyetir di tengah malam buta, sudah pasti belum sampai di rumah.
"Jangan sampai kenapa-napa, ah! Seharusnya aku tidak meminta Ayah pulang tadi!" Anik menyesal, sekarang dia khawatir ingin menelpon ibunya. Segera mengeluarkan ponsel dari dalam tas kecilnya.
"Nyonya!"
Doni memanggil sebelum Anik sempat menekan nomor kontak ibunya, mendongak, "Iya," jawabnya.
"Anda dipanggil oleh Mas Agung." Doni berkata pelan.
Ha! Jadi benar dia tau aku ada disini, tapi bisa saja laporan dari pengawal ini kan.
"Ada apa Pak?" Tanya Anik.
"Tidak tau, Nyonya. Silahkan ikut saya."
Baiklah, saatnya bicara. Diceraikan pun jadilah, malam ini juga tidak perduli. Aku tidak sudi punya suami yang memiliki lebih dari satu perempuan.
Anik bangun dari duduknya, badannya terasa berat dipaksanya juga berdiri. Mengikut kemana pengawal membawanya, di lantai dua di sudut lorong mereka berhenti.
"Silahkan Nyonya." Doni membuka pintu sebuah kamar.
Anik ragu-ragu mau masuk, mengintip sedikit. "Tidak ada orang," ujarnya menatap Doni.
"Ada Nyonya di kamar mandi, anda sudah ditunggu."
Gleg!
Anik menelan saliva, tiba-tiba jantungnya berdetak lebih kencang dari normal.
Dari satu ruangan di lantai tiga, seorang wanita melihat Anik masuk ke kamar Agung melalui layar monitor. "Dasar perempuan jiiiaalang!" Adel meradang, aaakh!
***tbc.
Hai readers, jangan lupa like ya. Jumpa lagi, 🙏.
Di kamar Agung, Anik duduk di sofa empuk.
Tidak mungkin dia menungguku di kamar mandi kan.
Dalam hatinya terpesona dengan nuansa kamar Agung tertata rapi dan harum, kesan maskulin dari seorang pria dewasa.
Cis, paling pembantu yang beresin.
Anik menekan perasaan kagumnya jangan sampai jatuh lebih dalam. Ini pertama kali dia masuk ke tempat privasi suaminya itu, sepertinya untuk yang terakhir kalinya juga.
Kalau Agung punya kekasih kenapa Om Tara menikahkan kami, apakah hubungan mereka tidak direstui. Tapi sekarang mereka bisa bebas, baiklah Anik kuatkan hatimu. Setelah bercerai tidak perlu sedih berlama-lama, cukup satu bulan saja.
Anik melihat ke kasur, kasur yang seharusnya mereka berbagi tempat tidur. Tempat melakukan ritual malam pertama dengan penuh cinta dan malam-malam bahagia berikutnya.
Semua hanya angan-anganku saja, hah...
Desah dalam hati Anik teringat tadi ia harus menelpon ibunya, mengeluarkan lagi ponselnya.
"Hei, kenapa masih disitu!" Terdengar suara teriakan.
Ha!
Anik belum nalar, apakah maksudnya dia harus masuk ke kamar mandi?
"Kemari kataku, apa kamu budek!" Suara teriakan lagi.
Oh benar ternyata, aku harus masuk.
Anik belum lupa dengan suara Agung, tapi tidak dengan versi yang ngebentak gini.
Cklekk!
Pintu kamar dibuka, wajah Doni tersembul dari pintu kamar mendengar teriakan Tuan mudanya. "Nyonya, masuklah ke kamar mandi. Mas Agung butuh bantuan anda," ujarnya.
Tuan muda dalam suasana hati yang buruk bisa tambah parah kalau dibantah.
"Please," mohon Doni mengatup dua tangannya pasang tampang memelas.
Ck! Sampai segitunya.
Anik memasukkan lagi ponselnya, meletakkan tas kecilnya di sofa lalu melangkahkan kakinya berjalan ke arah pintu kamar mandi. Anik pakai terusan sopan warna putih, mirip-mirip gamislah. Ada kerudungnya juga tapi hanya formalitas karena datang melayat, rambut bagi Anik adalah mahkota jadi gak harus tertutup full.
Meskipun ibunya mengenakan jilbab tapi tidak memaksa Anik untuk mengikutinya. Semoga setelah ini Anik dapat hidayah bisa segera hijrah ya, amin.
Oh Tuhan! aku tidak mau melihatnya teljang, takut gak kuat mental.
"Ada perlu apa katakan! Asal kau tau, aku bukan pelayanmu!" teriak Anik dari balik pintu.
Anak ini galak juga ternyata, kalau begitu aku harus lebih galak.
Dalam hati Agung semakin gak sabar ingin menyiksa Anik. "Masuk! Hitung sampai tiga kalau kau belum masuk aku akan menyeretmu! Tigaa..!"
Astaga! Tiga, mau satu dulu bego.
Mendorong pintu kamar mandi yang memang tidak tertutup rapat, Anik melangkah masuk seketika membuka mata lebar melihat pemandangan hasil karya Ilahi. Benar-benar ada Mas Agung di bawah shower di dalam ruangan kaca berbentuk segi empat.
Gleg!
Anik menelan liur melihat jelas penampakan tubuh Agung.
Ya Tuhan, semakin tampan saja makhluk ciptaanmu ini.
Agung menyeringai, melihat reaksi Anik terngaga melihat pesonanya.
Dimana-mana perempuan sama saja, tidak bisa melihat pria hot dan basah di depan mata.
"Kemari cepat!" Agung melotot menatap tajam.
Mau bersikap manis, aku tidak sedang menggodanya kan.
Sinis Agung, sementara Anik berpikiran lain.
Inikah gambaran asli laki-laki yang menikahiku, apa dia gila? Tiga tahun yang lalu gak ada yang aneh dengan dirinya. Mandi masih berpakaian lengkap dengan sepatu, kalau gak buodoh pastilah dia guoblok.
"Ada apa ya, Mas?" tanya Anik. "Boleh selesaikan dulu mandinya baru kita bicara baik-baik, di luar. Maaf, kalau Mas Agung jadi marah karena tadi aku mengganggu kesenanganmu. Sumpah aku gak sengaja, Mas Agung jangan khawatir aku bisa menyimpan rahasia," lanjutnya.
Mendengar ucapan Anik, Agung hampir muntah darah. "Aku tidak ingin mendengar celotehmu!" bentaknya.
Sial benar perempuan ini, benar-benar minta disiksa.
"Kemari, mendekatlah." Agung suara pelan menekan giginya, menatap Anik dengan mata membulat lebar merah menyala. Wajahnya juga merah, rahang berbulunya mengetat. Itu dapat dilihat Agung dari cermin yang ada di depannya, sengaja diseram-seramkan untuk menakuti Anik.
Tapi dimata Anik semakin mengundang bi ra hi, gambaran lelaki jantan yang sebenarnya. Perempuan mana yang tidak tergoda, gak heran jika banyak wanita di sekeliling pinggangnya.
Setelah ini buang jauh-jauh dia dari pikiranmu, Anik!
"Aku gak mau basah, gak ada baju ganti." Anik masih kekeh menolak, pada dasarnya dia bukanlah orang yang mudah diintimidasi.
Agung benar-benar dibuat naik darah.
Sepertinya kamu memang minta diseret, baiklah!
Agung tidak bisa lebih lama lagi menahan qonaknya, setelah tadi dibangunkan Adelia. Membuka pintu ruang mandinya, Agung mendatangi Anik.
Tap!
Menggenggam tangannya yang sehalus sutra, hm. Menyeringai, Agung menarik paksa Anik.
Ah!
Pekik Anik meronta, ingin melepaskan diri dari cengkeraman Agung namun lelaki berstatus suaminya itu memegang tangannya erat.
"Tidak mau, lepas!" Anik berusaha melawan dengan mencubit lengan Agung, ah mana terasa bagi pria itu cuma bikin geli.
Dasar perempuan bodoh, siapa suruh kamu setuju menikah denganku.
Geram Agung langsung memanggul Anik masuk ke ruang kaca, menurunkannya tepat di bawah shower yang masih menyala.
"Aaaaaa...aaa." suara jeritan Anik hilang timbul ditelan derasnya air pancuran. Dari ujung rambut sampai ujung kaki Anik jadi basah, membuat lekukannya terbentuk nyata.
Hm, indah juga body anak kampung ini. Berdaging hanya di tempat yang penting.
"Makanya kalau dipanggil suami datang, temani aku mandi, hm. Senang menikah denganmu istriku." Agung mengucek rambut Anik kasar, benar-benar dibuat megap.
"Aduh sakit!" Pekik Anik berusaha menepis tangan Agung, semakin pria itu menarik-narik rambutnya.
"Seorang istri harus nurut pada suami, apa kamu tidak diajari orangtuamu?" Agung menjambak menahan separoh tenaganya, tidak mau meninggalkan jejak kekerasan.
"Aaaaa, batalkan saja pernikahan ini! Aku tidak mau hidup bersama denganmu...hiks hiks." Gak tahan Anik menangis pasrah, tak guna berontak tenaganya lebih kuat.
Jangan harap!
Berhenti menjambak, ada rambut terikut ditangannya lumayan banyak. Agung segera memasukkan kedalam saku celananya.
Hiks...hiks, terisak Anik menggosok kepalanya yang perih. Ini pertama kali ia dekat dengan lelaki, otaknya blank. Ntah karana dijambak atau karena jarak mereka yang terlalu dekat. Menunduk salah menengadah salah. Anik buang muka, masih menangis hiks.
Agung menekan giginya. "Bersyukurlah, dari sekian banyak wanitaku hanya kamu yang ku nikahi."
Oh, tidak.
"Aku mau bercerai!" Teriak Anik di wajah Agung. Dadanya sesak, air matanya mengalir deras sederas air hujan shower.
Haha! Tidak akan sebelum aku menyiksamu.
Agung pasang tampang bengis. "Kamu adalah perempuan yang dipilih Papa dan Mama, sekarang mereka telah meninggal. Hanya mereka yang bisa memutuskan hubungan pernikahan ini, kamu mengerti itu istri sialan!" Agung mencengkeram dagu Anik menghadapnya, ingin rasanya mencekik perempuan ini kalau saja dia tidak kuliah hukum.
Akh!
Teriak Anik kesakitan tapi tidak membuatnya terkejut mendengar kata makian Agung, tidak setelah dia melihat langsung adegan di ruang baca.
Baginya aku ini istri sialan, segitu bencinya Mas Agung padaku.
Anik merenung Agung, tatapan mereka bertemu.
Sialan!
Iris Agung menyipit melihat keindahan alami di depan mata, walaupun telah disiksa tidak membuat kecantikannya berkurang, justru semakin mengundang. Sudah biasa dia dikelilingi gadis-gadis cantik beriasan tebal penghias senyuman palsu.
Ini bulu mata lentik asli bukan cangkokan, ini bibir merah alami bukan tatto ataupun lipstik tebal satu inchi.
Agung tergerak ingin mencium Anik, tapi ditahan setengah mati olehnya. Perempuan sial ini tidak pantas mendapatkan bibirku. "Kalau mau hidup damai kau harus patuh padaku, tugas pertamamu melepaskan semua apa yang melekat ditubuhku." Agung menghempas wajah Anik dari genggamannya kemudian memutar kran shower ke minimum water.
Akh!
"Ap...apa!" Anik terbelalak, mengusap wajahnya.
Kenapa dia tidak minta pada wanita tadi melakukannya.
"Kau mendengarku, tunggu apa! Ayo lakukan dengan lembut dan penuh cinta."
Ya Tuhan, kesalahan apa yang telah kulakukan pada pria ini.
Anik tidak mau cari masalah mengulurkan tangannya gemetar, membuka kancing kemeja Agung dari yang paling atas.
"Mulai dari bawah." Perintah Agung melirik sepatutnya.
Anik merenung lagi wajah Agung, lebih pada terpesona dari pada benci.
Aku malu pada diriku bahwa selama tiga tahun ini sering merindukan sentuhanmu, wahai suamiku.
***tbc.
Like, komen and share, 👍
Terimakasih ikutin terus.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!