Mobil putih itu berhenti tepat didepan rumah joglo yang terbuat dari kayu jati. Lelaki paruh baya itu, membuka seat belt nya. Saat ingin membuka pintu mobilnya. Matanya tak sengaja, melihat gadis sedang duduk diundakkan. Sambil membaca buku tebal, ditangannya.
Gadis itu pun mengedarkan pandangannya, tatkala telinganya mendengar deru mobil berhenti. Ai langsung berlari saat melihat om Hanan keluar dari mobilnya.
Gubrak ... gubrak gadis itu berlari sampai menatap kursi yang ada diruang tamu.
"Ai? Kamu kenapa?" Bapak bertanya saat melihat putrinya masuk rumah dengan tergesa-gesa. Seolah ingin menghindari seseorang.
"Ada tamu Pak! Ai, ke kamar dulu!" Gadis itu menjawab dan berlari ke kamarnya.
Bapak hanya menggeleng menatap punggung Ai. Yang telah menghilang dibalik pintu kamar.
"Permisi!"
Suara seseorang sambil mengetuk pintu.
Bapak yang mendengar sapaan dari luar rumah, membalikkan badannya. Berjalan kearah pintu utama. Betapa terkejutnya ia, saat melihat sahabat karibnya. Berkunjung ke rumahnya, setelah hampir belasan tahun.
"Nan!" Bapak membuka tangannya, siap menerima pelukan dari sahabatnya.
Om Hanan pun langsung memeluknya.
"Bagaimana kabarmu, Elan? Lama tak bertemu?"
"Syukur! Alhamdulillaah!" Bapak merangkul sahabatnya. Mengajak sahabatnya nya duduk di ruang tamu.
"Masih betah sendiri?" tanya om Hanan, seraya duduk di kursi yang terbuat dari rotan.
"Wes tua, Nan!" Bapak mengulum senyumannya.
"Lah, karena tua. Kamu harus cari pengganti nya! Biar ada yang merawat saat kamu sakit!" Mata om Hanan, menatap setiap sudut rumah itu. Seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tresno ku mong karo ibuk'e anak-anak Nan! Terus bagaimana kabar keluargamu?" Bapak bertanya, sedangkan kepalanya celingak-celinguk. Seperti mencari seseorang.
"Alhamdulillah baik Nan! Bungsuku sudah kuliah!" Om Hanan masih ingin tahu. Sebenarnya siapa gadis yang tadi berlari.
Tatkala dirinya baru mengeluarkan kakinya dari mobil.
"Ah iya-iya!" Mengelus dagunya yang sudah berjenggot putih.
"Elan, aku tak takok! Mau aku weruh gadis cilik, melbu omah kui sopo?" Dengan rasa penasaran yang membuncah. Membuat om Hanan harus menanyakan. Tentang gadis yang menyita perhatian beliau.
(Elan, aku mau tanya! Tadi aku melihat gadis kecil, masuk kedalam rumah, itu siapa)
"Iku putriku, Nan! Memang dia seperti itu kalau ada tamu!" Bapak menundukkan kepalanya, paruh baya itu. Tidak tahu lagi, harus melakukan apa. Agar putrinya tidak insicure.
Om Hanan menatap sahabatnya sekilas. Akan tetapi om Hanan, bisa memahami gestur. Yang Bapak perlihatkan.
"Isinan toh, Lan?"
(Pemalu toh)
"Iya seperti yang kamu lihat!"
Tidak ada sahutan dari om Hanan, ruangan tamu itu lenggang sejenak. Hanya suara jarum jam yang mengisi kesunyian.
"Ya Allah! Aku lupa, kamu tak nggorno! Enggak aku kasih unjukkan!" Bapak baru ingat, jika tamunya sudah dua puluh menit. Tapi belum dibuatkan camilan dan teh hangat.
Om Hanan hanya mampu mengulum senyumannya. Padahal dari tadi beliau sudah haus.
Ya Allah! Bapak nggak punya perasaan banget.
"Aku permisi dulu, Nan!" ujar Bapak, yang mendapatkan anggukkan dari sahabatnya.
Tok ...tok ...tok
Bapak mengetuk pintu kamar putrinya, yang terhubung dengan ruang tamu. Jelas saja om Hanan, bisa melihat punggung sahabatnya.
"Ai! Tolong buatkan, cemilan buat sahabat Bapak Nak! Emak'e belum pulang dari pasar!" Emak'e yang dimaksud Bapak adalah Ibunya.
Cekklek! Handle pintu ditarik dari dalam kamar. Ai mengeluarkan kepalanya.
"Iya, Pak!" Menunduk takzim.
"Tolong buatkan teh hangat buat sahabat Bapak!" Bapak mengulangi ucapannya. Padahal Ai, sudah mendengar saat beliau mengetuk pintu.
Gadis itu pun berjalan kearah dapur, yang terletak di belakang kamarnya.
...***...
Mata om Hanan, tak berpaling dari gadis yang mampu menyita perhatian beliau. Rambut hitam Ai, yang panjang itu diikat rapi.
Membuat om Hanan mengulum senyumannya lagi. Mungkin saja paruh baya itu, teringat bungsunya.
Bapak kembali lagi keruang tamu, melanjutkan bincang-bincang dengan sahabatnya.
"Putrimu umur berapa Lan?" tanyanya sambil memperbaiki duduknya. Agar lebih santai, dan pastinya nyaman. Untuk punggung seumuran om Hanan.
"Sembilan belas tahun, Nan!" Bapak menjawab dengan penuh rasa kecurigaan. Kenapa sahabatnya hanya bertanya mengenai Ai. Padahal dirinya juga memiliki putra, yang umurnya lebih tua dari Ai.
"Berarti bentar lagi Kuliah?"
"Kalau melihat dari anaknya sih, nggak ada niatan Nan!" Bapak menggeleng-gelengkan kepalanya memikirkan putrinya.
"Loh kenapa emangnya, Lan? Kebanyakan anak sekarang lulusan paling rendah S1!" Om Hanan nampak heran dengan pemikiran gadis yang menyita perhatiannya.
"Mungkin belum ada panggilan!" Bapak terkekeh, om Hanan juga tidak mau kalah dengan sahabatnya.
"Kamu kira mau daftar Haji! Nunggu panggilan!" Keduanya terbahak-bahak.
"P-pak!" Panggilan dari samping tembok pembatas kamar.
Bapak menengok kan kepalanya, lelaki paruh baya itu seakan tahu maksud putrinya.
Bapak berjalan kearah Ai, dan mengambil nampan. Bapak tersenyum dan kembali keruang tamu.
"Minum Nan!" Bapak meletakkan cangkir teh didepan sahabatnya.
Sedangkan Ai, kembali ke dapur untuk mencuci perabotan rumah yang kotor.
"Maaf, ya Nan! Kalau putriku tidak menyapamu! Sebenarnya aku juga, bingung Nan! Dengannya, kenapa rasa malunya itu sangat besar! Sampai-sampai Nan, kalau ada tamu. Nggak mau keluar kamar!"
Om Hanan menyeruput teh yang mengepul asapnya.
"Berhubung, tadi ini. Nggak ada orang di rumah selain dia! Jadi si Ai, terpaksa keluar kamar!"
Om Hanan mengangguk paham, sambil meletakkan cangkir di atas muja bundar.
"Sempat Nan, waktu itu! Ada tamu kemari! Nah waktu itu dia pergi ke warung. Buat beli nasi goreng! Nggak sengaja, aku ngelihat si Ai, pulang sambil nyoncong bungkusan."
"Melihat ada mobil yang terparkir di depan rumah. Dia sudah tahu kalau itu tamuku, langsung Nan! Dia puter balik gitu! Bobol jendela kamarnya! Ya Allah!" Bapak teringat dengan kejadian beberapa bulan yang lalu.
Sontak saja om Hanan tertawa, karena gadis yang menyita perhatiannya. Bisa bobol jendela, kamu gadis atau maling Ai?
"Emang nggak ada gitu, jalan keluarnya! Maksudnya mungkin disemangati beri motivasi!"
"Ya Allah, Nan! Segala cara sudah tak lakukan. Terus aku juga nggak pernah marah sama dia. Aku selalu menasehati dengan kelemah-lembutan, memberi semangat.Tapi tetap Nan hasilnya Nihil!" Bapak memijat pelipisnya.
"Kalau cara lembut nggak bisa bikin berubah. Mungkin harus pakai cara kasar! Contohnya anakku, seng mbarep (sulung) Kui kalau pakai cara lembut. Nggak masuk, tapi kalau aku ancam! Bertekuk lutut, Lan! Yang tengah, dia itu kadang kalau pakai cara keras. Dia semakin keras, tapi saat aku! Pakai cara lemah lembut, dia ini juga merendah! Beda lagi sama yang bungsu, labil! Setiap anak memiliki cara dan penanganan yang berbeda!" Om Hanan memberi masukan untuk sahabatnya.
Plak ..plak ...plak! Ai berlari dari dapur masuk ke kamar. Hal itu membuat kedua paruh baya mengalihkan perhatian ke pintu kamar Ai.
Bapak menghembuskan nafas pelan.
"Sabar Lan!" Om Hanan menepuk pundak Bapak.
Ruang tamu lenggang sejenak, dibenak om Hanan dia ingin mengatakan hal penting.
"Lan! Sebenarnya aku ingin minta maaf sebesar-besarnya! Jika keinginanku ini, terlalu berlebihan!" Om Hanan bicara terlihat sungkan.
"Apa yang kamu inginkan Nan?" Bapak mengangkat kaki kirinya, di atas kaki kanannya.
"Bolehkah aku meminta, putrimu sebagai menantuku?"
Ai yang ada di kamar pribadinya, bisa mendengar perkataan om Hanan. Gadis itu menggeleng takut.
"Aku nggak mau!" ucapannya dalam hati dengan tangan yang berkeringat.
Matanya sudah berkaca-kaca, tubuhnya merosot saat mendengar permintaan sahabat Bapaknya.
"Ai nggak mau! Nggak!" Gadis itu terlihat tertekan. Menutup telinganya seolah, tidak mau mendengar ucapan om Hanan.
"Bapak! Nggak akan nikahin Ai, diumur segini!" Ai, sangat yakin jika Bapak, tidak akan tega menikahkannya diusianya yang masih remaja.
Didalam hidupnya gadis itu, tidak pernah berfikir untuk menikah. Dia ingin menikmati hidupnya dengan Bapak, Emak'e serta kak Ayyas saja. Anggap saja, gadis belia itu terjebak dalam zona nyaman.
"Baiklah aku berpikir, jika Ai! Menikah dengan putramu! Itu akan membuatku tenang Nan!" Kata Bapak, yang mampu membuat debaran jantung Ai tak karuan, gadis itu semakin takut.
Ai menunduk dan membenamkan wajahnya di lutut. Gelengan kepala semakin keras, sebagai jawaban dia tidak mau menikah.
"Hiks ...hiks!"
Ada banyak alat pengukur dan sistem untuk dipantau. Mulai dari tekanan mesin oli, kandungan cairan hidrolik, hingga saluran pendingin udara. Lelaki itu mengecek beberapa dokumen. Yang berisi rencana penerbangan, tertulis sebelum keberangkatan. Daeng yang menjadi Captain Pilot. Menjadi satu-satunya orang yang berhak memutuskan mengenai pengalihan penerbangan, demi alasan keselamatan penumpang.
Co-pilot yang duduk disampingnya. Bertanggung jawab untuk membuat catatan di atas kertas. Memantau jalannya mesin dan ikut membantu Captain dalam hal navigasi. Serta perubahan rencana yang Captain Daeng buat, selama penerbangan berlangsung.
Seorang Pilot juga rutin dalam pengecekan kesehatan fisik dan psikis Karena perannya yang penting dalam suatu penerbangan.
Pesawat itu mulai lepas landas, perjalanan yang akan. Ditempuh Captain Daeng 6 jam.
Pilot bukan hanya complicated saat ingin lepas landas. Akan tetapi saat mengudara di angkasa. Seorang Pilot harus tetap fokus. Ia wajib memastikan pesawat yang dikendarainya memiliki cukup bahan bakar untuk sampai di tujuan. Seorang Pilot juga tidak ingin mendarat dengan bahan bakar berlebih. Pesawat harus membuang bahan bakar agar proses pendaratan lebih minim risiko. Itulah mengapa terkadang pesawat terlihat seperti 'kencing' saat di udara beberapa mil sebelum mendarat.
"Semoga lancar!" Captain Daeng membatin.
"Antara pulang ke rumah mama atau pulang ke rumah Tuhan!" Password yang selalu ada saat dia ingin menerbangkan pesawat.
"Saya akan melakukan yang terbaik untuk para penumpang."
...***...
Setelah mengantarkan sahabatnya keluar rumah. Bapak ingin masuk ke dalam rumah. Akan tetapi langkahnya terhenti saat ada deru motor berhenti. Ternyata anak dan Ibunya baru pulang dari pasar.
"Siapa Pak?" Kak Ayyas bertanya sambil turun dari motor metix nya. Melihat mobil om Hanan yang hampir hilang.
"Om Hanan! Le!"
"Hanan?" tanya Emak'e mengerutkan keningnya, sedangkan tangannya membawa tas belanjaan. Mungkin paruh baya itu pernah dengar nama Hanan. Akan tetapi ingatannya sudah lemah
"Teman kuliah dulu Mak! Suaminya Mela!" jawab Bapak sambil masuk rumah yang diikuti Emak'e dan Ayyas.
Setibanya di ruang tamu, Emak'e mengerutkan keningnya. Saat melihat dua cangkir teh dan camilan singkong.
"Lan, tadi kamu yang buatkan minum?" Emak'e duduk di kursi rotan dengan susah payah. Maklum faktor U.
"Cucumu! Mak!" jawabnya sambil melihat siaran sepakbola. Kebetulan waktu itu Timnas yang unggul.
Sontak saja Emak'e dan Ayyas kaget bukan kepalang. Bagaimana mungkin si Putri malu alias Ai, mau menghidangkan camilan didepan tamu.
"Yang benar Pak? Si Ai, yang menyuguhkan ini didepan om Hanan?" Kak Ayyas bertanya sambil menyalakan rokok.
"Siapa bilang, orang tadi tanyanya. Siapa yang buat teh? Bukan siapa yang menghidangkan! Gollll!" Kata Bapak bangga saat negaranya berhasil mencetak Gol ketiga kalinya. Dimenit ke 50 akhir.
Teriakan Bapak membuat Emak'e kaget.
"Kak, tolong panggil Adek! Ada yang harus Bapak, bicarakan. Tapi Bapak, mau sembahyang dulu!" ujar Bapak sambil berdiri dari duduknya. Dan membenahi sarungnya.
...***...
Tok ... tok ...tok
"Dek, Bapak ingin bicara!"
Ai yang ada di dalam kamarnya. Gadis itu terus mengelap pipinya yang basah karena air mata. Dalam hatinya bertanya kenapa Bapak, setega itu dengannya.
"Hiks ...Ibu, Ai! Nggak mau nikah! Nggak!" Menggelengkan kepalanya.
Ayyas yang ada didepan kamar adiknya, mengerutkan keningnya. Karena mendengar suara orang terisak.
"Dek, kamu kenapa? Jangan bikin Kakak, khawatir!" Ayyas menggedor pintu kamar adiknya.
Ai tak menghiraukan panggilan dan gedoran kakak.
"Bapak jahat! Ibu, hiks ...hiks!" Ai menutup mulutnya agar Ayyas tidak mendengar.
"Ai, t-takut! Huhuuuuu!" Ai membuang bantal ke lantai. Gadis itu menjambak rambutnya kasar. Rasa sakit di dadanya tidak bisa diceritakan lagi. Ai berteriak tanpa suara. Kenapa hidupnya harus hancur, meskipun dia tidak seperti remaja pada umumnya. Akan tetapi dia juga memiliki tujuan hidup. Ya, kekurangannya hanya satu. Dia terlalu insicure.
"AI! Bukak! Ai! Dooor Dooor!"
Ai langsung mengelap matanya, mengambil napas dalam. Mencoba menenangkan diri sendiri.
"Ai! Shalat Kak!" Berusaha agar suaranya tidak bergetar.
Huft! Ayyas menghela nafas lega, ternyata adiknya menangis. Saat berdoa, itulah pikirannya.
"Ya sudah, setelah Shalat temui Bapak!"
"Bapak pasti akan membicarakan tentang pernikahan!" gumam Ai, sambil menatap pantulan wajahnya.
"Ai, kenapa hidupmu tidak beruntung?"
"Disaat teman seusiaku sedang menikmati masa remaja, dengan healing ketempat -tempat yang instagramable! Aku akan menikah dengan seorang yang tidak aku kenal!"
"Aku benci dengan situasi ini! Benci!" Ai menampar pipinya sendiri. Padahal dalam agamanya, menyakiti diri adalah hal yang tidak Tuhan, sukai.
"Kenapa harus aku, kenapa?" tanyanya kearah cermin.
Bukankah dalam agamanya Tuhan, telah menjelaskan. Jika Yang Maha Kasih! Tidak akan menguji ciptaan-Nya. Melampaui kadar kesanggupannya!
Tentu saja hal itu akan terlupakan saat marah. Marah itu adanya diotak. Sedangkan kita masih bisa memilih perilaku yang akan kita lakukan. Atau disebut Behavior.
...***...
Cekklek pintu kamar terbuka, Ai berjalan kearah ruang tamu dengan mata bengkaknya. Emak'e yang melihat cucunya seperti itu berdiri dan duduk merengkuh Ai.
"Ai, kenapa?" Emak'e mengelus pipi cucunya.
Sedangkan Bapak, curiga jika Ai eavesdrop pembicaraannya tadi dengan om Hanan.
"Ai? Kamu nangis Dek?" Ayyas menatap adiknya yang terdiam membisu.
"Ai! Kamu kenapa Nduk?" Bapak bertanya lirih. Ai melirik Bapak sekilas, kemudian menunduk.
"Ai ... Bapak mau bicara sesuatu denganmu!"
Ai mengepalkan tangannya agar tidak menangis.
“Aii! Bapak ingin..." Ai segera memotong ucapan Bapak. Gadis itu langsung berdiri dari duduknya.
Hayo siapa yang akan tertindas di cerita ini?
"Ai nggak mau Bapak! Pokoknya Ai, nggak mau Ni-kah!" ucapan Ai, membuat Emak'e dan Ayyas terkejut. Sedangkan Bapak, menghembuskan nafas.
"Apa nikah?" pekik Ayyas sambil menutup laptopnya.
Ai ingin berlari ke kamarnya, akan tetapi langkahnya terhenti saat Bapak mengeluarkan suara.
"Ai! Ini demi kebaikanmu!" Bapak terlihat lebih tegas. Gadis itu membalikkan badannya menatap Bapak dengan kekecewaan.
"Kebaikan apa yang Bapak maksud? Menikahkan gadis seusia ku hah? Bapak, mau psikis Ai, yang menjadi taruhannya!" teriaknya kesal. Bukan hanya itu tangisannya juga semakin keras.
Emak'e dan Ayyas masih shock dengan kejadian yang terjadi sekarang. Drama pertikaian antara Bapak dan Ai, baru saja dimulai.
"Percayalah, kau akan aman. Jika menikah dengan putranya om Hanan!" Ayyas melotot tak percaya. Mendengar statement dari mulut Bapak.
"Aku tidak mau! Dan aku tidak mau!" Gadis itu menjambak rambutnya. Menutup telinganya seolah tidak mau mendengar ucapan dari mulut Bapak.
Prang! Prang! Ai menarik telapak meja dengan kasar. Barang-barang seperti asbak, remote hingga dua cangkir teh dan piring. Jatuh membentur lantai, bukan cukup disitu. Ai mengambil beberapa pigura yang menempel di dinding. Ia lempar ke segala arah.
Ketiganya hanya diam melihat, Ai yang emosi.
Tinggal satu pigura yang menggantung di dinding yang terbuat dari kayu. Foto Ibu yang tersenyum. Sambil menggendong dirinya. Dan Kak Ayyas menggandeng tangan Ibu. Ai menatap dengan sendu, gadis itu mengambil pigura, kemudian ia cium dan terakhir ia peluk.
Bapak bisa melihat punggung Ai, yang bergetar karena tersedu-sedu.
"Om Hanan itu baik loh Ai! Dan pepatah bilang buah jatuh tak jauh dari pohonnya! Itu sebabnya Bapak, menerima. Lamaran om Hanan, untuk menjadikanmu sebagai menantunya!" tuturnya se-lembut mungkin.
"Harusnya Bapak minta approval dari Ai, sebelum menerimanya! Tapi Bapak, egois iya Bapak egois!" Ai mengelap pipinya kasar.
"Dan apa yang Bapak katakan tadi! Buah jatuh tak jauh dari pohonnya?" Ai menghela nafas panjang.
"Itu benar Pak! Jika pohon itu adalah pohon mangga. Yang ditanam di depan rumah! Maka buahnya jatuh tak jauh dari pohonnya. Akan tetapi, jika pohon itu adalah pohon kelapa. Yang ditanam dipinggir pantai. Maka buah kelapa itu bisa jatuh dibibir pantai. Dan ombak bisa menggulung buah itu. Sehingga jauh dari pohonnya! Katakan! Kenapa nggak pernah berpikir seperti itu. Kenapa Bapak, melihat sesuatu hanya dengan satu sudut pandang saja, yang sering orang katakan. Kenapa Bapak, nggak mau, berpikir dengan sudut pandang yang berbeda Hikkkks!" Ai kembali tersedu-sedu. Sungguh malang nasib gadis rumahan seperti Ai.
Bapak bungkam tidak menjawab, merenung mungkin saja. Akan tetapi beliau juga merasa tidak enak hati. Jika harus membalikkan lidahnya, untuk membatalkan pernikahan. Yang telah ia sepakati dengan om Hanan.
"Lihat Kakak saja, masih kerja! Belum ada niatan nikah. Kenapa, Ai yang umurnya lebih muda dipaksa?" Gadis itu terus saja mengeluarkan air mata. Entah kapan air mata itu berhenti.
"Itu nggak adil Pak!"
"Kamu anak gadis Ai, yang memiliki batasan umur untuk menikah. Apa kamu mau disebut prawan tua? Dengan keadaan dirimu yang tidak seperti teman-temanmu! Jika saja kamu kayak anak remaja lain, Bapak tidak akan menjodohkan kamu. Kalau kamu aja nggak mau membuka diri untuk mengenal banyak orang! Terus bagaimana kamu mendapatkan jodoh!" Bapak memalingkan wajahnya, se–umur hidupnya. Tidak pernah bersikap keras dengan Ai. Apalagi membandingkan Ai, dengan anak remaja yang lain. Provokasi om Hanan nampak nya bekerja cepat.
"Bapak! Jodoh itu kisah yang magical dan misterius. We never really know how it works(Kita tidak pernah benar-benar tahu bagaimana cara kerjanya)! Karena Tuhan, yang telah menjalankan it's all! Without human intervention!" Ai menggeleng sebagai penekanan.
"Maka izinkanlah Bapak! Mengoreksi ucapan mu yang belum tepat!"
Ai menatap Bapak, dengan dada yang sesak. Seakan ada yang menghimpit hatinya.
"Bapak! Tahu bahwa jodoh adalah hal yang magical dan misterius! Manusia tidak pernah tahu tentang siapa yang akan menjadi pendampingnya kelak! Hal ini juga, terjadi denganmu sekarang!"
"Mungkin kamu beranggapan, jika kamu! Akan menikah di umur 24 tahun. Atau kamu berpikir jika, Tuhan! Tidak menakdirkan seseorang di hidupmu? Aku tidak pernah tahu, apa yang ada dalam pikiran putriku!" Bapak memberi jeda ucapannya, mengambil nafas sejenak. Untuk menenangkan dirinya.
"Kembali lagi, kalimat yang kamu ucapkan tadi! Magical dan misterius! Mungkin saja ini Keajaiban Tuhan, dan rencana-Nya! Jalan untuk dirimu menemukan jodoh, yang telah disiapkan oleh Nya!"
Ai terdiam akan tetapi sesekali terisak. Emak'e dan mendekati cucunya. Mengelus bahu Ai agar tenang.
"Dan kamu mengatakan! Bahwa kisah cinta, pure from God! I approved your speech! Karena itu kebenarannya! Akan tetapi, pemikiran mu terlalu dangkal!"
"Manusia memang tidak bisa mencampuri kisah cinta. Yang sudah Tuhan, garis kan! Akan tetapi Tuhan, memiliki banyak cara. Untuk mempertemukan tulang rusuk ke pemiliknya!"
"Bapak beri contoh, It's about your story now!! Ai, coba tanyakan pada dirimu!"
"Kenapa Bapak, tidak menjodohkan mu dengan anaknya om Hanan! Saat kau ada di kandungan? Because it is not time, this happens!"
"Kenapa nggak dari dulu Ai? Bukankah Bapak, kenal sama om Hanan sudah puluhan tahun! Jawabannya masih sama. Because it is not time, this happens!"
"Dan kenapa pula, baru hari ini! Bapak dan om Hanan dipertemukan kembali! Dan langsung setuju untuk menjadi besan! Jawabannya simpel, Ai! Because it includes the plan that God, write! Dan sekarang sudah waktunya!"
(Because it includes the plan that God, write! Karena itu termasuk rencana yang Tuhan, tulis!)
"Kami tidak pernah membicarakan atau merencanakan hal ini sebelumnya! Bahkan saat om Hanan, ingin bertamu kemari! Sedikit pun dalam hati beliau tak memiliki tujuan untuk hal ini! Kau tahu kenapa, hal ini terjadi? Because it includes the plan that God, write!"
"Andai kata Ai! Tadi saat om Hanan kemari, kamu dikamar atau di rumah Mbak Dewi! Kejadiannya akan berbeda! Dia tidak akan, pernah mengutarakan keinginannya untuk menjadikan kamu menantunya!"
"And ask yourself! Kenapa pagi ini, kamu yang tidak pernah duduk diundakkan! Hari ini duduk diundakkan? Maka jawabannya adalah. Because it includes the plan that God, write!"
Ai menunduk dalam, ya semua ini karena Tuhan, yang telah menulis-Nya.
"Apa yang kamu simpulkan, dari penjelasan Bapak tadi?" Bapak ingin anaknya berpikir bahwa apa yang terjadi kedepannya. Adalah Tuhan, yang telah menetapkan.
"Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya! Every second, minutes! God, has set up! Maka itu jawabannya!" Bapak mengakhiri ucapannya.
Ai langsung berlari ke kamarnya. Dan membanting pintu kamar.
Brakkkk!
Bapak hanya mengelus dada. Setidaknya beliau telah memberikan pengertian kepada putrinya. Akan lebih mudah jika esok hari, meminta Ai menyetujuinya. Jika tidak berhasil! Maka pakai rumus om Hanan saja, pasti berhasil....
Dunia hanyalah senda gurau semata...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!