"Arghh…" Erick Brown, mengerang pelan. Ia membuka kedua matanya sambil berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya yang raib entah kemana.
Pandangannya kabur. Ia tidak bisa melihat keadaan sekeliling dengan jelas.
Beberapa kali ia mengerjap hingga pandangannya benar-benar sempurna.
"Kepalaku pusing," gumam Erick sambil memegangi kepalanya yang pening bukan main.
Entah seberapa banyak Erick minum semalam. Tapi, ia yakin kalau dirinya minum sangat banyak sampai-sampai ingatannya tentang kejadian semalam benar-benar bias.
Erick beranjak bangun dari duduknya sambil memegangi lehernya.
Tenggorokannya terasa benar-benar kering. Ia membutuhkan air untuk membasahinya.
Erick melangkah turun dari ranjang tidurnya. Begitu bangun, dia nyaris saja tersungkur jatuh saking merasa pusingnya. Tapi, beruntung tangannya cepat-cepat berpegangan pada benda-benda disekitarnya.
Erick berjalan gontai sambil berpegangan. Melangkah menuju ruang dapur dan segera mencari minum untuk membasahi tenggorokannya.
Tiba di dapur, ia segera mengambil gelas kosong dan mengisinya dengan air lalu meneguknya hingga tandas.
Tukk!
Ditaruhnya gelas itu ke atas meja makan kecil di sana.
"Sepertinya semalam aku minum terlalu banyak, bahkan sampai membuatku tidak ingat apa-apa tentang kejadian semalam." Erick mengusap bibirnya dengan tangan.
"Dan siapa yang telah membawaku pulang?"
Erick mengerutkan kening berusaha mencari ingatannya yang raib tentang kejadian semalam. Ketika ia mabuk semalaman dengan uang pesangon yang ia terima dari manajer restoran tempatnya bekerja dulu.
Sialnya nihil. Ia sama sekali tidak bisa mengingat kejadian semalam.
Erick menghela napas pelan. Ia beranjak pergi menuju arah sofa tua kecil di ruang tengahnya.
Erick terhenyak duduk di atas sofa dengan posisi kepala menengadah menatap langit-langit rumah kontrakannya.
Rumahnya begitu berantakan seperti kandang babi. Banyak barang-barang berserakan di lantai, mulai dari bungkus makanan, hingga beberapa pakaian kotornya bercampur jadi satu.
Semenjak di usir dari rumah orangtuanya, kehidupan Erick semakin kacau.
Terlebih saat dirinya sadar dari koma beberapa bulan lalu dalam keadaan ingatannya yang hilang.
Erick mengalami amnesia. Ia tidak ingat apa-apa tentang kejadian lima tahun yang lalu saat ia mengalami kecelakaan hingga menewaskan tunangannya.
Selama lima tahun lamanya, Erick mengalami koma. Lalu begitu sadar, ia tidak ingat apa-apa.
Awalnya semua baik-baik saja. Sampai kemudian, ia mendengar desas-desus dari orang disekitarnya yang mengatakan kalau dialah yang sudah menyebabkan tunangannya meninggal.
Erick down kala itu. Ia berlari ke sana kemari untuk mencari jawaban dan kebenaran atas berita yang di dengarnya.
Tapi Alura dan Rico—kedua orangtuanya, memilih untuk bungkam dan enggan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Mereka beralasan kalau mengingat Sara akan membuat hidupnya hancur. Maka dari itu, mereka diam untuk melindunginya.
Apa yang dilakukan mereka, justru membuat rasa penasaran Erick semakin besar. Sampai kemudian, ia nekat mendatangi rumah tunangannya.
Dan di sanalah kehidupan Erick mulai hancur saat ia datang ke rumah tunangannya. Di usir dan di caci maki sebagai pembunuh dari tunangannya sendiri.
Erick frustasi mendengar apa yang mereka katakan. Terlebih ia masih belum percaya dengan apa yang dikatakan semua orang.
Ia menyalahkan dirinya terus menerus, seringkali melukai diri karena tidak bisa ingat apa-apa.
Di tengah rasa frustasinya, Erick melampiaskan itu semua dengan minum-minum di bar hingga tak sadarkan diri.
...***...
Erick terus mengulang kejadian itu. Dimana ketika ia frustasi, ia pergi ke bar untuk minum-minum hingga tidak sadarkan diri.
Hal ini tanpa sadar sudah membuat nama keluarga Brown, seorang publik figur bisnis seketika tercemar.
Rico yang emosi kala itu langsung menendangnya ke jalanan. Mengusirnya tanpa ampun karena sudah membuat keluarganya malu.
Erick semakin hancur. Tapi di sisi itu, ia berusaha bertahan.
Setelah semua kejadian yang dialaminya itu, di sinilah dia sekarang.
Hidup miskin di sebuah rumah petakan yang berada di tempat kumuh di pinggiran kota.
Uang yang ia miliki hanya cukup untuk membayar sewa rumah kontrakan yang kini ditempatinya.
Semenjak keluar dari rumah, Erick mulai berusaha mencari pekerjaan agar bisa terus bertahan hidup.
Ia berhasil mendapatkan pekerjaan. Pekerjaannya juga tidak terlalu sulit. Ia hanya perlu mencuci piring, dan membereskan restoran tempatnya bekerja.
Dengan uang yang ia dapat, ia malah semakin menyengsarakan dirinya dengan minum-minum setiap gajian hingga uangnya habis.
Tak jarang Erick di marahi atasannya karena datang dengan kondisi bau alkohol. Hal ini juga yang menjadi alasan kenapa kemarin dirinya di pecat.
Kruyuukk~
Erick tersentak saat perutnya berbunyi nyaring. Ia spontan memegangi perutnya yang kini terasa lapar.
"Aku benar-benar lapar. Sudah hampir jam sebelas, dan aku belum makan apapun," gumamnya pelan sambil melirik jam yang tergantung di dinding.
Jam sarapannya sudah lewat, dan ia belum makan apapun karena baru saja bangun setelah mabuk-mabukan di bar semalaman suntuk.
"Apakah aku punya makanan?" Erick bangun dari duduknya. Menghampiri ruang dapur dan mengecek lemarinya yang tersedia di sana.
Benda itu kosong. Tidak ada apapun di dalam sana selain ruangan gelap kosong yang hanya dihuni oleh seekor laba-laba.
Laba-laba itu sibuk melilitkan jaringnya pada seekor lalat yang berhasil ditangkap jaringnya.
"Kau sangat beruntung karena mendapatkan makanan seperti ini. Sedangkan aku tidak memiliki apapun yang bisa aku makan untuk mengganjal perutku," gumam Erick sambil menatap ke arah laba-laba di dalam sana. Berbicara seolah-olah makhluk itu mengerti dengan kalimatnya.
Erick menutup kembali lemarinya. Berjalan menuju ruang tengah untuk mengecek dompetnya yang tergeletak di atas meja.
"Aku ragu apakah aku memiliki uang untuk membeli makanan," lirihnya sambil meraih dompet yang tergeletak di sana.
Fokus Erick beralih saat melihat secarik kertas terbang keluar dari lipatan dompetnya.
"Apa ini?" Erick meraih kertas yang dilihatnya.
"Kartu nama?" Ia mengerutkan kening. Kartu nama seseorang yang entah siapa yang sudah menaruhnya di sana.
Dark Sky Intelligence Agency, itu yang tertera di kartu nama yang kini digenggamnya.
"Pria ini…" Erick mengerutkan kening. Mendadak ingatannya tentang kejadian semalam terputar diotaknya.
Ingatan ketika ia bertemu dengan seorang pria aneh di bar yang mendekatinya dan mengajaknya mengobrol banyak hal.
Pria itu sempat menanyakan beberapa hal padanya sebelum kemudian memberikan kartu nama yang kini digenggamnya sambil menawarkan pekerjaan.
Seingatnya, Erick pernah menolak tawaran pria itu. Tapi tidak di sangka, pria itu tak menyerah. Bahkan ia sepertinya yang sudah mengantarkannya pulang dan menyempilkan kartu nama itu di dompetnya.
"Benar. Ini adalah pria yang semalam aku temui di bar," gumam Erick yang semakin yakin.
Tapi kenapa dia meletakkan ini di dompetku?
...***...
Erick beralih dari kartu yang digenggamnya. Ia menoleh ke arah dompetnya yang kini terasa berbeda. Entah mengapa, tapi Erick merasa dompetnya begitu tebal dari sebelumnya.
Ia segera membuka isi dompetnya. Ada beberapa uang di dalamnya dengan jumlah nominal yang sangat besar, menyempil di antara lipatan dompet tuanya yang sudah usang.
Erick mendapati kertas lain di dalamnya.
Kali ini sebuah catatan yang ditulis di atas sticky note.
‘Aku meninggalkan beberapa uang karena sepertinya kau membutuhkan bantuan. Aku harap kau mempertimbangkan kembali tawaran dariku, dan kalau kau sudah mendapatkan jawabannya, tolong hubungi aku. Sky—’
Begitu yang tertera pada pesannya.
"Sky?" Erick bergumam pelan.
"Kenapa dia sangat ingin aku bekerja ditempatnya?" Erick bertanya-tanya. Sekali lagi ia menoleh pada kartu nama yang diberikan pria bernama Sky itu.
"Terlebih… dia bekerja sebagai agen mata-mata? Bukankah ini terlalu ceroboh? Kenapa mereka ingin merekrut orang luar tanpa pertimbangan lebih dulu? Aku kira mereka bodoh karena seenaknya merekrut orang tanpa berpikir lebih dulu." Erick meremas kartu nama dalam genggamannya hingga berubah menjadi gundukan tak beraturan.
"Aku akan menerima uang darimu karena aku sedang kelaparan. Tapi aku tidak janji untuk bekerja denganmu."
Erick beranjak dari tempatnya, hendak bersiap sebelum berangkat mencari makan siang untuk mengisi perutnya yang kosong.
...*...
Tukk!
Pria itu menaruh cangkir dalam genggamannya ke atas meja kerja rekan sekaligus ketuanya itu.
Sky Carrington, mendongak menatap lelaki yang baru saja memberinya secangkir kopi.
"Terima kasih," katanya.
"Bukan masalah." Calvert Bingham menjawab sambil meneguk cangkir miliknya sendiri.
"Omong-omong apa yang sedang kau lakukan?" Calvert menatap layar komputer dihadapan Sky.
"Aku sedang mengecek kasus kematian dari putri keluarga Avalee."
"Untuk apa?" Calvert menaikkan sebelah alisnya bingung.
"Ini masih ada hubungannya dengan dia." Sky meneguk minumannya lalu menaruh cangkir dalam genggamannya ke atas meja.
Ia menekankan kata terakhirnya.
Calvert hanya mengangguk pelan menanggapi jawaban dari Sky barusan.
"Sky!"
Atensi kedua orang pria di sana mendadak beralih pada seorang wanita cantik berambut pendek dengan style pakaian tomboy-nya.
"Apakah kau serius dengan ini?" Razita Marioline menghampiri mereka berdua.
"Maksudmu?" Sky balik bertanya.
"Kau akan merekrut anggota baru?"
"Ya. Memangnya kenapa? Bukankah aku sudah menjelaskannya padamu?"
"Siapa orangnya? Apakah kami tahu?" Razita menampakkan raut wajah penasaran.
Sky mengalihkan tab yang muncul di layar komputernya pada tab lain yang kini menampakkan seorang pria berwajah tampan dari kalangan kelas atas.
"Erick Brown? Kau serius?" Razita membulatkan kedua matanya.
"Ya. Aku bahkan sudah memintanya untuk bergabung."
"Lalu, apa katanya? Apakah dia menerimanya?" Kali ini Calvert yang bertanya.
"Semalam dia menolak. Tapi aku sudah meninggalkan kartu namaku di dompetnya, dan aku juga sudah memberikannya uang. Anggap saja sebagai uang muka sebelum dia resmi bekerja."
"Kau gila? Kenapa kau melakukan hal itu? Bagaimana kalau dia menolak untuk bergabung dengan kita dan tetap mengambil uangnya?" Calvert tak habis pikir dengan ulah ketuanya itu.
Sky memutar kursi berodanya seratus delapan puluh derajat.
"Kau tenang saja. Dia tidak akan melakukan hal itu," ujarnya santai.
"Bagaimana kau bisa yakin?"
"Karena aku tahu, dia sangat membutuhkan pekerjaan. Selain itu, sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaannya apalagi kalau kau dalam keadaan amnesia."
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!