NovelToon NovelToon

Our Voice

1. Di Masa Depan, Saat Kami Bertemu Lagi [ Prologue ]

...Prologue...

...—Di Masa Depan, Saat Kami Bertemu Lagi—...

...( Gadis Terkutuk )...

...———...

Saat itu, nuansa pagi di awal musim panas sedang tidak berlangsung baik.

Gemuruh angin yang tidak bersahabat kembali mengguncang kota.

Di rumah Nenek, di kamarnya yang tenang, wanita tua itu terbaring lemas di atas kasur yang kasar, berkemul dengan kain tebal yang menjaga kehangatannya.

“Nenek pasti masih di sini, kan? Bertahanlah, Nek,” tuturku walau rasa cemas itu kian bertambah besar.

Nenek perlahan berbalik dan menatapku. Dia menampakkan senyumnya, tetapi tak seperti biasanya.

“Yuna hebat sekali, ya.” Setelah mengatakannya, Nenek berbatuk kecil. Firasatku semakin buruk.

“Aku sama sekali tidak mengerti maksud, Nenek,” kataku.

“Itu bukan senyum yang Yuna tunjukkan seperti biasanya. Kamu pikir Nenek tidak tahu?”

Aku tertawa, sambil menutup mulutku dengan telapak tangan. “Sama halnya dengan Nenek. Dan juga, Nenek sendiri yang mengajarkanku untuk selalu tersenyum, ingat?”

Untuk sesaat, aku bisa mendengar Nenek menarik napasnya, seperti sesak.

“Yuna, ada yang ingin Nenek tanyakan.”

Aku mengangguk. “... katakan saja, Nek.”

Tidak lama, dari bagian depan rumah, pusaran angin dengan kuat mengguncang seluruh kaca jendela kamar Nenek. Saat tekanan udara yang begitu kuat tersebut masuk melewatinya, itu hampir membuatku terhempas. Namun, gemuruh angin itu tidak berpengaruh pada Nenek.

Wajah Nenek berubah takut. “Apa kamu sudah memutuskannya, Yuna?” Gelombang angin yang pekat itu semakin liar, lalu memorak-porandakan semua hal di sekitar kami. Tidak ada sesuatu yang bisa dikatakan saat ini selain kekacauan.

“Ya, aku sudah memutuskannya,” jawabku.

Aku berusaha bertahan, sambil menggenggam tangan Nenek untuk menenangkannya.

Namun, rasa dingin di tangannya bukan berasal dari udara yang mengamuk di sekitar kami. Aku tidak begitu yakin, tetapi, semoga ini bukan pertanda buruk.

“Maafkan aku, Yuna. Nenek sepertinya baru saja merenggut kebahagiaanmu.” Air mata Nenek meluncur jatuh dan membasahi wajahnya. “Demi dunia ini, tolong gantikan ....” Tatapannya menuding gelang yang terpasang di sebelah tangannya. Tidak lama, mata Nenek kembali menutup.

“Nenek?” Kugenggam lebih erat tangannya; lebih dari yang pernah kulakukan.

Akan tetapi, dingin itu semakin menusuk tajam, dan itu sekarang seolah-olah menyebar melalui tanganku

Mungkin, Nenek pasti hanya sedang beristirahat, mengingat dia sudah terlalu banyak berbicara denganku sejak pagi tadi.

Karena itu, aku kembali mengulangi perkataanku, “Nenek pasti masih di sini, kan?”

Satu, dua, tiga, empat, lima detik berlalu.

Masih tidak ada sahutan.

Kali ini, aku berpikir jika Nenek telah pingsan.

Aku kembali tertawa. “Nenek lemah sekali. Ayolah bangun, Nek ....” Suaraku menyatu dengan deru angin yang berputar di sekeliling kami, seperti paduan suara.

Sebanyak apa pun diriku berusaha, wanita tua itu tetap tidak mau membuka matanya.

Aku terus menggerakkan badannya, semakin kencang. “Tidak, Nenek belum pergi; Nenek pasti hanya lelah.”

Selain itu, sesuatu terjadi padaku.

Sulit untuk dijelaskan. Namun, itu kenyataannya.

Air mataku tiba-tiba saja menggenang, dan ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Untuk sesaat, aura positif seperti lari meninggalkanku. Perlahan-lahan aku berdiri sambil melepas tangan Nenek yang lemas, kemudian menempelkan sepasang jariku di lehernya, memastikan denyut nadi itu masih mengalir.

Mataku melebar, meratapi fakta kejam yang ditunjukkan padaku. “Aku, tidak boleh menangis!”

Kugigit bibirku, berusaha menarik paksa genangan air itu kembali pada tempatnya. Tentu saja, tidak ada hal buruk—aku mencoba lari dari kenyataan—yang terjadi padanya.

Hanya saja itu salah. Sebenarnya Nenek telah mengembuskan napas untuk yang terakhir kalinya, dan itu yang baru saja terjadi.

Saat kesedihanku mulai mengalir, tiba-tiba arus tekanan udara di sekitarku berubah.

Gemuruh angin yang melanda di dalam kamar, di luar, dan di sekitar jalanan seketika lenyap. Kata Nenek, saat seorang Wanita atau Gadis Pengendali Angin tiada, maka kekacauan yang berada di sekitarnya pun lenyap.

Ini benar. Sekarang aku percaya kalau itu bukan sekadar mitos belaka.

“Ternyata legenda itu benar-benar ada.”

Oleh karena itu, sekarang aku melepas gelang emas berukiran hati yang terpasang di tangan Nenek, secara lembut. Entah bagaimana, tetapi pemikiranku seolah berkata kalau dia akan bangun jika aku tidak berhati-hati.

Suaraku keluar dalam hati. Aku harap tidak ada sesuatu yang buruk setelah ini. Tekad dan hatiku bersatu; aku mengenakan gelang itu dengan mata terpejam.

“Enam, tujuh, delapan, sembilan ....” Aku menghitung detik demi detik yang terus berjalan, bersiap menghadapi sensasi yang hanya bisa dialami oleh calon gadis pengendali angin, seperti yang diucapkan Nenek.

"Tidak ada yang terjadi?"

Saat netraku tertuju ke bawah, jawaban atas keluh kesahku sebelumnya seolah-olah mulai menunjukkan dirinya. “Aku, tidak—apa ini!”

Sebuah tornado berukuran kecil merambat naik ke atas tubuhku. Aku memerhatikannya, dan mereka berputar memenuhi kakiku.

Seiring waktu, tornado itu membesar dan berhasil menggapai puncak kepalaku. Ti–tidak bisa bergerak, resahku dalam hati.

Hingga pada saat yang bersamaan, aku berakhir seutuhnya dalam pusaran angin pekat yang memabukkan, dan sepertinya tubuh dan jiwaku seperti baru saja direnggut.

Gemuruh yang berkecamuk tiba-tiba berakhir.

Kilauan cahaya padam; suara angin lenyap; langit tak bergema—hening; udara dari segala arah datang dan berembus dengan lembut mengitari sudut-sudut wajahku yang bergetar. Aku yakin, dan instingku turut berkata, Sejauh ini nenek benar. Angin itu sepertinya baru saja membawaku ke suatu tempat.

Saat aku membuka mata—hamparan dunia yang luas seolah menanti kedatanganku.

“Huh?” Begitu terkejutnya aku. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. "Aku melayang?

Tidak ada tanda kehidupan matahari. Di tengah langit merah ( entah cahayanya dari mana ) yang membentang luas, tubuhku melayang, serta turun perlahan menuju daratan.

Semua yang terlihat olehku sangat jauh dari akal sehat.

"Ja–jangan! itu ...." Aliran angin bergerak dan melingkar secara halus di kedua kakiku. Itu membuatku tertawa karena geli. Akan tetapi, mereka terlihat seolah-olah sedang menopangnya, menjagaku agar tidak terjatuh.

Angin itu berwarna biru, sejernih lautan yang mengisi dua per tiga dunia yang kami tinggali. Ini tidak seperti yang pernah dikatakan orang-orang waktu di sekolah.

“Tunggu, hei ....”  Pandanganku seketika dipaksa—oleh angin yang datang dari atas, dan mereka menundukkan wajahku—untuk menatap titik-titik kecil seperti tanah gersang, hutan layu, danau—sungai keruh yang berada di dasar daratan yang luas. Ini jelas bukan dunia kami, pikirku.

Mustahil. Aku benar-benar melihatnya. Menginjakkan kaki di daratan asing itu kerap membuatku takut, tetapi semuanya sudah terlambat.

Aku telah berpijak di atasnya.

"Ternyata sama kayak tanah di bumi." Karena lega, aku mengelap keringat di wajahku dengan lengan tangan, sambil menghela napas.

Turun dari dasar cakrawala itu adalah momen yang nyata, dan aku bisa bertaruh itu dengan semua yang kumiliki.

Selain itu, bentuk alam ini tidak terurus. Sepertinya, dunia ini sudah lama ditinggal oleh waktu. Mungkin mereka bergerak terlalu cepat.

“Eh, itu!” sahutku karena sedikit cemas.

Dari berbagai sisi yang terlihat, sekelompok pusaran angin itu hendak mengepungku. Mereka melaju dengan kencang, dan semakin dekat.

Wajahku tertunduk, mengingat kawanan angin itu mungkin saja akan mencoba menghempaskanku lagi. Tidak lama kemudian, mereka yang sudah berada di dekatku tiba-tiba berhenti berguncang, kemudian menari dengan tenang.

Ini layak disebut seperti sorak-sorai penyambutan seorang tamu.

Mereka semua ... seperti memiliki jiwa, pikirku.

Kawanan angin itu lantas menyebar dan terpecah. Tekanan udaranya melemah, dan kini mereka menghilang serta meninggalkan sisa-sisa partikel udara yang menyejukkan.

Lama-kelamaan, arus udara ini semakin menyenangkan. Mereka seperti mengajakku berteman. "... ini geli," ucapku sambil tertawa. Mereka menampar halus di wajahku, secara bergantian, dan entah bagaimana aku bisa melihat wujudnya yang nyata.

Tiba-tiba, tekanan udara di sekitarnya kembali menguat.

"Eh? Apa ini?"

Pusaran itu kembali terbentuk, tetapi kali ini mereka tidak menghempaskanku. Jika dipikir-pikir lagi, ini mengingatkanku pada kejadian nenek sebelumnya.

Selanjutnya, mereka kembali mengangkatku dari tanah. Setelah semua yang terjadi, kami terbang bersama melintasi dinding langit senja yang rapuh.

Mereka membawaku lebih tinggi, jauh ke atas untuk mengarungi atmosfer langit. Saat aku berada di gemerlap angkasa yang ujungnya melintang bintang-bintang yang redup, aku seperti melihat sesuatu dari kejauhan.

“Apa yang ada di ujung sana?” Pandanganku terbelalak, seperti bola mataku baru saja dipaksa keluar.

Sebuah topan bergerak mendekatiku—berukuran raksasa, dan menjalar teguh dari inti daratan—seolah berusaha menunjukkan kalau dirinya adalah penguasa dunia ini.

"Aku ...." Mereka ( pusaran angin itu ) semua membawaku dengan paksa, menuju gelombang topan yang mematikan. ... harus melawannya, pikirku sambil mencoba menarik tubuhku ke belakang.

Namun, bagaimana caranya? Ini bukan daratan, melainkan langit.

Sia-sia saja.

Secercah tekad itu menghilang, dan aku pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Sekarang lapisan luar topan itu berpapasan di hadapanku.

Aku hanya bisa terpejam saat topan itu menyerap tubuhku ke dalamnya, membuatku sepenuhnya terjebak.

Kemudian aku kembali membuka mata, dan semua yang terlihat di sekitarku hanyalah abu-abu pekat. Tidak lebih dan tidak kurang.

"Tidak terhempas? Sungguh?"

Bahkan topan itu juga tidak membuatku terhempas seperti yang seharusnya terjadi. Ia seperti baru saja menakut-nakutiku dengan wujudnya yang besar. Namun, sekali lagi, aku merasa jika topan ini mungkin juga sedang mengajakku berteman.

"Aku tidak tahu harus berkata apa," gumamku karena bingung.

Tanpa sengaja pandanganku teralihkan pada gelang nenek di pergelangan tanganku, dan itu bersinar dengan terang.

Kuhalau pandanganku dengan tangan, berusaha mengerti dengan kondisi apa yang sebenarnya terjadi di sini.

Tapi ini sangat hangat, pikirku.

Sesuatu yang aneh seketika terjadi. Rasanya jiwa seseorang baru saja keluar dari gelang itu.

"Aah ...," Aku merintih kesakitan—air mataku kembali menggenang. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan seperti masuk ke dalam pikiranku tanpa jeda.

Ini adalah kenangan tentang penderitaan.

Rentetan siksaan yang kejam dan diasingkan.

Penyesalan dari semua gadis atau wanita yang pernah mendapatkan kutukan ini ( Nenek menyebutnya begitu ).

Tidak ada siapa pun yang melihat.

Hanya untuk kali ini saja aku akan melakukannya.

“Sudah cukup!” Karena tidak tahan lagi, akhirnya aku menangis.

Setelah sekian lama, air mata itu kembali berjatuhan. Akan tetapi, ini juga sangat membuatku lega.

Tiba-tiba angin topan raksasa itu menghilang, seakan-akan baru saja lenyap di telan daratan. Kumpulan deru angin yang membawaku ke atas langit pun terlihat setia menunggu di luar, lalu mereka kembali membawaku turun secara perlahan.

Untuk yang kedua kalinya aku melihat daratan dunia ini lagi. Itu adalah fenomena yang membuat hatiku bergetar hebat—menyaksikan perubahan yang signifikan dari sisi kehidupan permukaan alam tersebut.

“Apa aku melihat mimpi?” bantahku.

Daratan gersang yang tadi kulihat tiba-tiba berubah hijau. Semua keindahan yang tidak terbayangkan mulai tumbuh di bawah sana. Tiap sisi permukaan pun diwarnai dengan sempurna dan menawan.

Aku melihat tanah yang subur, hutan yang tumbuh itu pun terlihat seperti baru saja direboisasi. Danau mengalirkan mata air dari tempat-tempat yang tidak bisa terlihat, keindahan itu sekilas membuatku terpana.

Hebat sekali. Rasanya, sekarang diriku menolak untuk kembali ke duniaku sendiri.

"Semoga lain waktu aku bisa ke tempat ini lagi nanti," ucapku dengan tatapan berkaca-kaca.

Akan tetapi, tepat saat kakiku akan berpijak di daratan, pandanganku perlahan buram.

“Huh ....”  Alunan angin itu bergema dengan riang, seolah menyenandungkan simfoni yang membuatku terlelap. "... aku ... mengantuk?"

Semakin berat dan tak tertahankan.

Itu seperti perintah yang tidak bisa kulawan. Mau tak mau diriku memang harus terpejam.

Akhirnya kesadaranku menghilang dalam kilasan fatamorgana yang bergelora, dan di tengah takdir kejam yang baru saja memilihku.

Waktu itu aku sama sekali tidak menyadarinya.

Itu adalah awal mulanya.

Hari di mana aku menjalin kontrak dengan seluruh angin itu. Demi keselamatan duniaku sendiri, aku rela menerima konsekuensinya, bersedia menggantikan posisi nenek.

Sampai saat ini, mengendalikan kawanan angin yang bergerak di seluruh dunia itu tidaklah semudah yang dipikirkan. Setelah aku berjalan cukup lama dan menanggungnya, kutukan itu perlahan-lahan menyiksa hidupku. Jika harus dikatakan, mungkin ini yang dimaksud nenek, mengenai kekhawatiran yang dia rasakan jika aku terus bertahan menjadi gadis pengendali angin.

Akan tetapi, semua kenangan itu telah berlalu.

Ini sebenarnya benar-benar di luar perencanaanku. Namun, setelah kembali memutuskannya dengan matang, akhirnya aku memilih untuk memercayai pemuda itu, berkat satu kalimat yang pernah dia ucapkan.

Sekarang kami sangat jauh, entah di mana sekarang dia hidup. Namun, aku tidak akan pernah melupakannya.

Aku selalu berharap dan berharap. Tahun-tahun di masa depan terus bergerak tanpa henti.

Setiap hari aku berjalan menuju tempat itu; tempat pertama kali kami saling bercakap-cakap.

Seperti saat ini, sekarang diriku kembali berjalan melintasi separuh jalan yang dipenuhi kesibukan, terus bergerak mendekati halte bus itu.

Aku ingat wajahnya; wajah pemuda itu. Dia duduk termenung di sana dengan perut kosong, dan aku memberinya dorayaki untuk menyenangkan hatinya.

Oleh karena itu, aku percaya.

Di masa depan, saat kami bertemu lagi, suaraku dan suara pemuda itu—suara kami pasti akan bergema menghiasi angkasa lagi, jauh dan jauh, mencapai sesuatu yang belum pernah kami ketahui, serta berbagi perasaan yang telah kami pupuk diam-diam tanpa ada seorang pun yang menyadari.

Sungguh, jika itu benar-benar menjadi kenyataan, walau dengan kemungkinan yang amat sangat kecil, aku berjanji akan menceritakan suatu hal yang pernah dia tanyakan padaku.

Kala itu dia memohon, tetapi aku menolak untuk mengatakannya karena sebuah alasan.

Demikianlah mengenai kisahku; kisah bagaimana aku bisa mendapat kutukan itu, dan akan kutambahkan lagi satu kalimat di bagian akhir cerita tersebut.

Satu kalimat ringkas yang telah menjadi realita.

Itu semua adalah tentang dirinya, seseorang yang pernah menyelamatkanku dari titik keputusan yang telah ditakdirkan.

...———...

...Bersambung...

2. Langit Biru Di Kota Baru

...Bab 2...

...—Langit Biru Di Kota Baru—...

...( Pemuda Yang Mencari Arti Kehidupan )...

...———...

Beberapa waktu yang lalu, aku nekat meninggalkan tempat kelahiranku.

Berkelana mengelilingi delapan belas kota sejauh ini pun cukuplah panjang.

Dari kaca yang terbentang hingga bagian depan kursi sopir, aku duduk di bagian paling belakang bus. Tidak ada alasan yang pasti, tetapi sandaran yang disediakan di tempatku memang yang paling empuk.

Selain itu, aku baru saja tiba. Di sebuah kota yang sama sekali tidak aku ketahui seluk-beluknya.

Perjalanan ini akan kembali dimulai.

"Padahal sudah sejauh ini, tapi tenagaku seperti tidak ada habisnya," gumamku dengan percaya diri.

Sebelumnya, tekadku sudah bulat. Sekarang aku ingin mencari tahu sesuatu; tentang arti dari nilai kehidupan yang pernah ibu ceritakan padaku saat kecil. Kala itu, dia mengatakannya dengan riang, sambil mengangkat badanku tinggi-tinggi ke atas langit.

Mengesampingkan itu, persediaan untuk hidup dengan jangka waktu lima sampai delapan hari ke depan ( mungkin ) telah tersimpan rapi di tas ranselku—Sikat gigi dan odol; wafer dan air mineral; koran dan novel; dompet dan sebuah kartu pengenal—yang besar dan cukup berat untuk di bawa ke mana-mana.

Jika berbicara tentang tabungan, itu cukup berat untuk dibahas. Namun, saat ini uang memang diperlukan untuk bertahan hidup. Tidak jarang aku mencoba berdialog pada diriku sendiri.

"Ayo kita cari tahu berapa banyak yang tersisa."

Aku membuka ritsleting yang berada di bagian depan ransel, lalu meraih dompet kecil berwarna cokelat dan mengangkatnya setinggi dada.

Kok perasaanku mulai cemas, ya?

Firasatku berkata jika meletakkannya kembali di dalam tas akan jauh lebih baik— maksudku, bagaimana jika isinya ..., pikirku dalam hati.

Jantungku mulai berdegup tak keruan.

"Tidak ada waktu!" Untuk mengetahui jumlah uang yang tersisa saat ini, satu-satunya cara adalah dengan memberanikan diri membukanya.

"Baiklah, kumpulkan tekadmu Hiro," bisikku.

Sekarang sepasang jariku bergerak membuka ritsleting dompet itu, hingga fakta yang mencengangkan mulai terkuak.

"Sudah kuduga," gumamku sambil menghela napas.

Banyaknya butiran debu tampak telah bersarang di dalamnya. Ini sangat memuakkan, dan aku jatuh pada ekspektasi sendiri.

“Huh, mereka punya kaki?” guyonku sambil mendongak.

Mana mungkin aku menerima kenyataan ini!

Sangat aneh; bagaimana bisa? Apa kemarin ada kesalahan? Aku yakin sudah mencatat pengeluaranku dengan baik; setiap malam, di sudut-sudut halte kota saat aku kembali diturunkan ( walau sepertinya kali ini akan menjadi pagi ). Seharusnya masih ada beberapa lembar uang yang tersisa.

Hanya saja rasa panik tidak akan mengembalikan lembaran yang telah pergi meninggalkan singgasananya.

Bekerja. Cepat atau lambat, aku harus mendapatkannya di kota ini.  Aku menguatkan tekad dalam hati.

Ini satu-satunya jalan yang harus ditempuh agar bisa menggantikan kilauan debu yang hinggap di dompetku.

Tidak lama, bunyi dering yang diikuti getaran menjalar melalui pahaku. Aku sadar. Seseorang jelas sedang mengajukan panggilannya padaku.

"Huh?" Dengan cepat aku merogoh ponsel dari saku jins, menekan tombol hijau, lalu menempelkannya rapat-rapat di sebelah telingaku.

Aku memasang raut murka sambil mengingat kondisi finansial yang mencekik saat ini. “Apa ada yang bisa kubantu? Aku sedang—“

“Hei, Hiro. Apa kabarmu? Sudah lelah jalan-jalan ke negeri orang?”

Itu adalah sindiran pertama sahabatku di kota ini. Nada bicaranya semakin menusuk saat hari demi hari telah berganti, atau mungkin dia berniat menjatuhkan mentalku.

“Dengar, ini peringatan. Jika tidak ada hal penting yang ingin kau katakan, aku akan mengakhiri pembicaraan ini,” balasku sambil berdesis.

“Santai saja, kawan.” Suaranya berubah seperti anak kucing yang hendak meminta makan. “Intinya, apa ada yang salah di sana?”

“Satu-satunya kesalahan adalah saat kau menelepon seseorang yang sedang berpikir keras.”

Itu benar, ini tentang bagaimana caranya aku bisa bertahan hidup malam ini.

“K**ejam sekali, Sob.” Dia sering memanggilku dengan beberapa sapaan yang berbeda, tetapi mungkin ini hanya perasaanku. “Tapi jika bukan karena aku, kau tidak akan bisa pergi ke mana-mana. Kau tahu itu, bukan?”

Mataku melebar, sedikit terkejut karena perkataannya benar. “... ya, ini semua memang berkat kau.” Kurendahkan suaraku. “Aku ... ya, sepertinya baik-baik saja di sini; tidak perlu mengkhawatirkanku. Sudah puas?”

“Senangnya, tapi aku bersyukur karena bisa mendengar suaramu lagi. Aku kira kau sudah ditangkap poli—“

“Tolong jangan mendoakan temanmu sendiri dengan hal yang aneh-aneh, Keira!” timpaku dengan berteriak.

Tanpa disadari, semua orang di bus mengalihkan pandangannya kepadaku, dan ini sangat memalukan.

Wajahku mulai memerah. Refleksi sinar matahari pun memantul dari balik kaca tempat aku bersandar.

“Ki–kita bicara lagi nanti. Aku mau turun,” tuturku dengan lemah, sambil menahan malu.

Sementara itu, waktu terus berdetik.

Ini sudah dua belas menit sejak aku turun dari bus antar kota itu.

"Huh, dia merepotkan saja." Kubenarkan tali tasku yang hampir merosot.

Untuk sesaat, aku kembali teringat dengan Kota Narumi; tempat kelahiranku.

Kota itu memiliki aturan di mana penduduknya hanya diizinkan untuk pergi keluar kota jika mereka telah berusia di tujuh belas tahun. Pemerintah di sana berkata jika itu adalah regulasi yang sudah ditetapkan berdasarkan referendum yang adil.

Tidak hanya demikian.

Wajib militer, kota yang terisolasi dari wilayah mana pun, aturan mutlak dibuat tanpa persetujuan masyarakat dengan konsekuensi yang berat, alasan inilah yang membuatku melarikan diri.

Jika harus berterus terang, tidak ada yang tersisa di sana kecuali kesedihan.

Sebenarnya, waktu itu usiaku masih lima belas tahun ( saat hendak melarikan diri ), dan sekarang telah bertambah satu tahun. Alasan kenapa aku bisa melakukan ini adalah karena Keira. Dia adalah sahabatku yang ahli dalam bidang teknologi, dan dia pun adalah orang yang bersedia membuatkanku identitas palsu—kartu tanda penduduk—untuk mengelabuhi para petugas keamanan yang berjaga di tepi-tepi perbatasan Kota Narumi.

Aku masih ingat. Saat keluar dari wilayah yang mengekang itu, seketika perasan gembira bergetar hebat dan menjalar ke seluruh jiwaku.

Kulangkahkan kaki, kemudian berlari, lalu berkelana dengan bus yang membawaku bergerak menuju kota-kota yang akan memberikan kebahagiaan baru.

Akan tetapi, semua harapan itu tidak seperti dengan yang orang-orang katakan. Pengangguran enam belas tahun sepertiku ternyata sangatlah sulit untuk mendapatkan pekerjaan.

Namun, hal-hal seperti itu tentu saja tidak akan membuatku menyerah.

"Aku akan pulang setelah menemukannya. Tunggu aku Keira, dan setelah hari itu datang, aku pasti bisa merubah kota itu."

Aku harus mewujudkannya, karena saat itu aku sudah mengambil janji di hadapannya.

Tidak lama perutku mulai bersuara. Itu membuatku teringat dengan sebungkus wafer yang tersimpan di tasku.

Saat aku hendak mengambilnya, lisanku refleks berkata, "Ah, tidak. Itu untuk makan siang." Aku menahan diri, sambil mengalihkan perhatian pada tiang lampu jalan yang berdiri tenang.

"Jangan sekarang!" Bisikan itu kembali menggodaku. Namun, tanpa ragu kedua tanganku spontan memukuli tiang tak bersalah itu demi mengusir rasa lapar yang datang.

Pergilah jauh-jauh!  pintaku keras dalam hati.

Seperti merapal mantera sihir, lisanku tidak berhenti bergumam. Kehabisan uang, dan ini adalah kepastian yang membuatku tidak bisa memenuhinya.

Dari sudut jalan, seberang taman, ruko-ruko saling berhimpit, dan semua tempat ketika orang-orang kota bisa melihat apa yang sedang kuperbuat, tetapi aku tidak peduli dengannya. Ini demi—

“Kamu benar-benar merusak fasilitas umum wahai anak muda,” terang suara yang asing.

"Huh!" Karena terkejut, kuhentikan kegilaan itu.

Seseorang jelas sedang berdiri di belakang. Nada suaranya seolah sedang menggodaku, dan mungkin dia adalah seorang wanita karir dengan kepercayaan diri yang tinggi.

...———...

...Bersambung...

3. Berlari Dari Kesalahan

...Bab 3...

...—Berlari Dari Kesalahan—...

...( Hiro Sato )...

...———...

Aku menoleh ke belakang untuk menghadapi orang itu, kemudian berniat menjelaskan situasi rumit yang membuatku hampir kesulitan untuk berpikir.

“Ma–maaf, tapi aku—“ Suaraku terhenti setelah melihat rupa wanita itu.

Ia mengenakan topi dengan bintang perunggu tengah-tengahnya. Seragam biru tua beratribut lencana aneh yang menempel serta berkilauan di sana sini, dan dugaanku semakin kuat setelah melihat tongkat hitam mengilap sedang menggantung di sabuk pinggangnya.

“Kau akan memiliki masalah sekarang juga. Jadi ....” Wanita itu—sepertinya seorang polisi—membuatku bergidik.

Untuk itu, aku mencoba berpikir keras tentang pelarian apa yang biasa dilakukan oleh seorang aktor dalam film laga.

Aku menarik napasku kuat-kuat, lalu berteriak, “Tidak!” Ini memang gila, tetapi aku langsung menarik pandanganku darinya, kemudian berlari dengan semua yang kumiliki.

“Hei, tunggu dulu—berhenti!” Polisi itu dengan lantang meneriakiku.

Sepertinya jika dilihat-lihat, ia hanya bertugas untuk keperluan lalu lintas. Namun, bagaimanapun juga, orang itu pun punya hak untuk menangkapku, atau mungkin tidak. Tiang itu tampak sama sekali tidak terluka, dan seharusnya aku tidak perlu sepanik ini, kan?

“Lari, ya? Tapi, ke mana?” Napasku mulai tidak beraturan; aku terus berlari dan menatap lurus ke depan, tidak peduli dengannya.

Di depan sana terlihat banyak orang yang berjalan melewatiku, tetapi dengan cerobohnya aku menabrak mereka semua tanpa ragu. Suara-suara yang memuakkan itu mulai terngiang, bergema seperti festival konser dadakan.

“Hai sia*lan, pakai matamu!”

“Kau menjatuhkan rotiku! Aku sudah mengantrenya sejak lama, kau tahu?”

“Kalau tidak bisa melihat jangan lari, bocah tol*ol!” Teriakan terakhir dari seorang gadis sekolah menengah itu cukup membuatku tahu.

Kota ini terlalu keras untuk dihuni.

Pelarianku tidak berhenti di trotoar saja. Sampai saat ini, sepertinya aura-aura polisi itu sudah menghilang. itu hanya firasatku. Namun, aku hendak memastikan situasinya dengan menoleh.

"...!" Pandanganku seketika terbelalak. “Si–sial, aku salah.”

Tongkat hitam itu; ia masih berlari memburuku.

Selain itu, aku bisa melihat pergerakan aneh di tangannya—sebuah protofon—yang sepertinya digunakan untuk memanggil bala bantuan.

“Dia—ah, bakal makin buruk, nih!” seruku dengan nafas terengah-engah.

Ini artinya jelas. Aku baru saja melamar pekerjaan sebagai buronan di kota ini.

Siulan peluit mengiang-ngiang dari belakang, menimbulkan gema nyaring yang memekakkan telingaku. Kali ini, dia pasti memintaku untuk berhenti. Akan tetapi, aku tidak akan menyerahkan diriku begitu saja karena kasus yang konyol, dan aku pastikan itu tidak akan menjadi kenyataan.

"Aku harus kabur secepat mungkin!" Setelah beberapa saat berkelana di banyak kota, akhirnya keringatku kembali tumpah dengan deras. Ini jauh lebih melelahkan daripada menunggu kenyataan yang tidak pernah datang.

Sebelumnya di salah satu kota lain yang pernah kudatangi, aku ditangkap oleh satuan polisi dengan kasus menendang tanaman di depan rumah seorang kakek. Pria tua itu terus saja memeloroti uangku, dan saat aku membalasnya dengan tendangan pot, tanpa sadar polisi berada tepat di belakangku. Tentu saja setelah kakek tua itu bermain dengan modus playing victimnya, aku sama tidak bisa melawan. Akan tetapi, untung saja para polisi di sana hanya memberiku pengarahan agar tidak melakukan itu lagi.

Akan tetapi, tidak kusangka jika hal yang sama terjadi lagi.

Lampu penyeberangan lantas bertukar merah. Aku menyeberangi jalan dan tidak memerhatikan arus lalu lintas kendaraan yang padat. Sekarang kututup telingaku dengan telapak tangan, bersiap mengabaikan semua ocehan klakson yang bergema tersebut.

"Huff, huff, huff, aku lelah sekali. Tekanan ini!" seruku.

Saat ini derap langkahku kembali berlari di lintas trotoar yang berbeda dan sepi. Aku mempercepat pelarianku untuk menghindari kejarannya.

Dia tidak tahu kapan harus menyerah, pikirku.

Di saat yang bersamaan, di depan ujung trotoar yang akan berbelok, ada sejumlah tanaman hias yang berdiri berjajar di tepi jalan, beragam varian, dan sangat mencolok.

Hanya saja, bukan itu permasalahan utamanya. Akan tetapi—

"Hehe, mau lari ke mana kau, Nak?" seru seorang pria berbadan besar. orang ini mengenakan seragam yang sama dengan wanita itu. Ini menjadi lebih buruk lagi ketika dia keluar dan mengagetkanku dari balik tanaman hias itu, ditemani dengan senyumnya yang menyeringai.

"Ah—Hiro, bagaimana ini? Tidak mungkin berbelok." Aku mengusap keringat di dahiku dengan lengan tangan.

Saking derasnya, mereka semua berjatuhan tak keruan.

Semua strategi pelarian matang dadakan yang sudah kupersiapkan dengan baik telah pergi. Namun, ketika aku kembali memikirkan solusinya dalam-dalam, sesuatu yang aneh pun terjadi.

Eh? Suhunya? Kenapa udara di sini terasa berbeda? tanyaku heran dalam hati.

Semua itu terjadi saat diriku berpas-pasan dengan seorang gadis yang sedang terduduk di bangku jalan.

Tidak mungkin salah. Matahari pasti masih bersinar di atas sana. Teriknya bahkan sejak tadi hampir saja membakar kulitku. Namun, arus udara yang begitu dingin darinya terasa sangat nyata, dan jarak kami bahkan hanya berkisar setengah meter, bahkan kurang.

"Gadis itu? Ini semua karenanya?" gumamku.

Kubuang semua rasa cemas itu, tidak memedulikan lagi apa yang sedang menghalangi di depan. Saat ini, pandanganku sepenuhnya teralihkan padanya.

Gadis itu termenung, seolah berputus asa dengan kehidupan keji yang disajikan dunia ini. Selain itu, ia juga mengenakan jaket dengan tudung yang menutupi wajahnya.

Ini bercanda, kan? Suhunya benar-benar dingin saat berada di dekatnya, dan panas kembali menerjang tatkala langkahku sudah menjauh dari gadis tersebut.

Sederet pertanyaan beruntun masuk ke dalam kepalaku, tetapi tidak ada satu pun darinya yang berhasil terjawab. Ini logika yang tidak bisa kusandingkan dengan ilmu-ilmu terapan yang tersebar luas di lautan dunia ini.

Hanya saja, tidak lama darinya, aku—

Brak!

Karena tidak melihat ke depan, aku menabrak polisi besar itu hingga membuatku terjatuh. Pada akhirnya aku jatuh tertelungkup di atas trotoar yang menyengat, panas, dan penuh dengan bau langkah sepatu.

“Jadi ini akhirnya, ya?” Pandanganku mulai samar-samar, tetapi aku kerap mengacuhkan ocehan si besar itu. Tidak tahu kenapa, hanya saja aku sangat penasaran dengan gadis itu. Padahal situasinya sedang tidak mendukung untuk saat ini.

Kupertahankan kesadaranku sekuat mungkin karena gadis itu lantas memandangiku.

Saat dia hendak berdiri dan mendekat, kesadaranku tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Sepertinya aku pingsan untuk waktu yang cukup lama.

Terdengar suara keramaian yang mendekat; bersulang dengan bangga. Terompet dibunyikan seolah-olah perayaan besar sedang terjadi. Jika harus disimpulkan dengan kata-kata, aku tidak tahu di mana diriku berada kali ini.

"Di mana aku?"

Gelap kerap mengintai di mana-mana, dan mataku seperti tertutup sesuatu.

"Akhirnya kau sadar juga, Nak." Suara itu, ia pasti polisi wanita yang tadi mengejarku.

Benar, benar!

Tidak salah lagi.

Satu-satunya hal yang tersirat di wajahku adalah penyesalan. "Apa aku akan diinterogasi?"

“Ke–kenapa berpikiran begitu?”

“Karena saya di kantor polisi, kan?” tanyaku, sambil mencondongkan badan. “Tolong lepaskan saya; saya menyesal karena sudah memukul tiang itu.”

"Huh?" Wanita itu nampak terheran-heran dengan pernyataanku.

"Eh?"

"Intinya ... kau lari karena itu?" Aku bisa mendengar tawa jahatnya. Jantungku saat ini melompat-lompat karena takut.

Aku berusaha menyelaraskan situasinya. “Bukan, saya hanya—“

“Tenang saja, Nak. Ini tidak seburuk yang kau kira.” Wanita itu merendahkan suaranya. “Aku atau pria yang kau tabrak tadi itu bukan polisi sungguhan.”

"Eh ...!" Aku menganga, meratapi penyesalanku setelah lari seperti orang gila di tengah-tengah lajur kota yang padat.

“Lalu, lalu, kenapa kalian mengejarku? Aku yakin tiang itu tidak rusak, dan ini bukan salahku!”

“Heh? Justru itu. Kami baru saja ingin menolongmu.” Kali ini si pria besar yang mengajakku berbicara. Suaranya cukup berat. "Selain itu, aku merasa bersalah karena sudah membuatmu menabrakku. Ya, meski itu tidak sepenuhnya salahku, sih."

Satu hal yang ingin aku katakan adalah, “Tapi, bisa tolong lepaskan penutup mata ini? Aku ingin ....” pintaku.

“Baiklah.” Tawa wanita itu memudar.

Aku bisa merasakannya. Saat ini dia sedang berdiri dan berjalan di belakangku. Tangannya pun sibuk melepas penutup mata itu.

"Ah, ini ...."  Saat cahaya lampu menyambut terang, lambat laun aku bisa melihat banyak hal.

Di sekelilingku, orang-orang dengan seragam yang sama sedang asyik berbincang satu sama lain di tempat mereka. Meja bar panjang berisikan gelas-gelas alkohol yang bertebaran di sekitar ruangan yang cukup besar, dan banyaknya tisu yang berserakan di bawah lantai kayu yang kotor.

Tempat ini mirip seperti bar yang tidak terawat.

Aku berusaha mengabaikan situasi ini dan mencoba kembali bertanya pada wanita itu.

“Berapa lama aku pingsan?”

Wanita itu tampaknya masih sangat muda, mungkin sekitar dua puluh tahun. Lipstik merah telah membasahi bibirnya yang lembut, dan rambutnya diikat kepang.

Si besar itu pun melingkarkan tangannya di bahuku seraya berkata, “Mungkin, enam atau tujuh jam. Bukan begitu, Aina?” ujarnya, sambil tersenyum lebar.

“Benar. Tapi selain itu, kau juga harus berterima kasih.” Wanita bernama Aina itu berkata dengan nada malas, lalu dia menguap.

“Untuk apa?” tanyaku protes.

Dia lantas menyeringai, sangat lebar, membuatku nyaris ingin sesegera mungkin lari dari tempat ini.

“Kami bisa saja meninggalkanmu di sana. Tapi pria tangguh ini tidak akan membiarkannya. Ya, dia ini memang baik hati, sih.” Kak Aina kemudian memukul kepala si besar itu tanpa ragu.

“Hei, Aina, itu sakit, lho.” Karena geram, si besar itu melepaskan tangannya dari bahuku.

“Nah, sekarang kau harus membantu kami; kalau kau mau keluar dari sini.” Dari sorot mata Kak Aina, dia seperti punya niat buruk.

Aku harap ini akan baik-baik saja. Namun, wajahku mulai menuai cemas.

“Aku ... harus apa?” Meski dia mengatakannya dengan riang, tetapi ini membuatku—

“Pakai ini.” Pria besar itu terbahak-bahak, sambil mengulurkan celemek serta sepasang sarung tangan plastik di atas tanganku.

“Huh?” Raut heran mulai memenuhi diriku.

“Ya, aku pikir kau sudah menduganya.” Kak Aina menepuk-nepuk bahuku dengan keras. Ini terasa sakit, tetapi tetap saja aku masih tidak mengetahui arti dari perkataannya.

“Kamu akan jadi tukang cuci piring kami malam ini,” tambahnya.

Senyumnya pun melebar, seolah menyemangati penderitaanku.

...———...

...Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!